Hahh? Pertanyaan macam apa itu. "Maksudnya? Kenapa Ibu ngomong kayak gitu?""Kemarin juga Mbak mu ngirim ini. Sekarang juga. Apa karena kami ga sanggup beli makanya kamu suruh Mbak mu?""Ibu kenapa? Laras ga pernah nyuruh Mbak Rika buat ngirimin ini Bu. Ini Mbak Rika sendiri yang ngirim.""Banyak alasan kamu Ras. Bilang aja memang kamu yang minta ini semua." Bu Murni menatapku sangat tajam. Begitu juga Pak Danar dan Mas Ifan. Hanya Andy yang terlihat santai. Aku tersenyum santai. "Iya Bu. Aku yang nyuruh Mbak Rika ngirim ini!" jawabku sambil berlalu. Kuambil ponselku dan mengetik pesan untuk Mbak Rika. |Mbak, kurmanya enak. Mkasih banyak ya Mbak!| Klik. Terkirim. Tiba-tiba Mas Ifan masuk. "Ras, kamu kenapa bentak Ibuku?"Hahh??? Apalagi ini"Bentak gimana maksudnya Mas?""Ya tadi. Kamu kenapa ngomong kasar sama Ibuku?""Yang bagian mana ya Mas aku ngomong kasar sama bentak Ibu kamu?""Alah banyak alasan kamu Ras. Selama ini juga aku udah berusaha ngasih yang terbaik buat kamu.
Tanganku gemetar saat aku melihat layar ponselku. Aku tak percaya kala melihat foto Mas Ifan suamiku tersenyum mesra dengan seorang wanita yang tidak aku kenal dengan buku nikah ditangan masing - masing. Perlahan aku scroll beranda facebook ku. Ada banyak foto - foto Mas Ifan menikah lagi. Ya Allah. Hati ini nyeri. Seperti luka yang disiram dengan air jeruk nipis. Sakit ya Allah. Sungguh aku tak menyangka pada akhirnya seperti ini. Pernikahan yang baru seumur jagung. Terakhir yang aku tau, suamiku pergi merantau lagi. Bosan di kampung katanya saat itu. Aku duduk, linglung, entah apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Kupandangi anakku dengan Mas Ifan yang baru berusia 3 bulan. Wajah yang polos dan lugu sedang asyik bermain mobil - mobilan yang diberikan sepupunya. Perlahan ku dekati, kubelai rambutnya, dalam hati kukatakan padanya "Nak, ayahmu menikah lagi." Aku tidak tau apakah ini karma bagiku atau memang ini sudah jalan hidupku. Apakah ini akibat dari perbuatanku, atau memang aku
Bingung. Angkat atau tidak. Mas Rey, ada rasa ga enak hati karena dia saudara ipar. Dan juga dia jarang sekali mencampuri urusan kami kecuali darurat. Tapi tunggu. Apakah ini juga darurat? Menurutku tidak. Lalu kenapa Mas Rey menelepon? Segera ku angkat dan aku kembali masuk kamar. "Halo Mas.""Assalamualaikum. Mas lagi di terminal. Jemput sekarang ya. Mas ga tau jalan kerumah itu."Dari nada suaranya, Mas Rey nampak kesal dan telepon di akhiri sepihak. Segera kuberitahu Mas Ifan dan keluarganya. Tegang, panik, seperti pencuri yang tertangkap basah. Hanya aku sendiri yang terlihat santai. Mau tak mau, Mas Ifan menjemput Mas Rey ke terminal. Sembari menunggu mereka tiba dirumah, ponselku tak berhenti bergetar."Sia - sia aku habiskan duitku untuk biaya kuliahmu. Kalau seandainya dari dulu aku tau kamu sebodoh ini, lebih baik kuinvestasikan ke hal lain.""Mba mohon. Tolong pulang lah dulu. Kita bisa bicarakan semuanya baik - baik. Kalian tetap nikah, tapi jangan sekarang. Tunggulah
Kutekan tombol jawab. ya’lamu ma baina aidihim wa ma khalfahum, wa la yuhituna bisyai’ im min ilmihi illa bima sya... Kudengar potongan ayat kursi. Ica memang sering mendengar murottal. Bulu kudukku berdiri. Tiba - tiba aku menangis lagi. Terasa sesak didada. Ada yang bergejolak dari hati yang paling dalam. "Assalamualaikum Mbak. Gimana kabarnya?"Tak kujawab salam Ica. "Kabar baik Ca.""Mbak tau ga Ibu belum sadar juga sampai hari ini."Aku diam. "Mbak, Mbak punya adik empat orang. Aku tiga orang. Ingat ga dulu kita bilang sama Ibu, jatah kita 1 satu orang. Aku sama Santi dan Mbak sama Fizi. Biar Doni sama Ibu aja karena ga mungkin lagi sama Mbak Rika. Mbak, kalau Mbak nikah sekarang gimana kita menepati janji kita sama Ibu?"Aku diam. Hanya suara isakan ku yang terdengar. "Mbak, nangis ga menyelesaikan masalah loh. Ga ada gunanya Mbak nangis. Mau nangis darah juga ga ada gunanya Mbak. Mbak pulang ya sama Mas Rey.""Mas Rey marah Ca. Mbak ga berani ngomong sama Mas Rey.""Ga a
Pov Ita (Ibu Laras) Drrtttt drrtttttPonselku bergetar diatas meja mengajar ku. Ku lirik nama yang tertera, Laras. Anak keduaku yang saat ini sedang bekerja di Salon, dipulau seberang. "Assalamualaikum, halo nak.""Ma, aku mau nikah. Restuin ya."Tak ada jawaban salam atau sekedar basa basi dari Laras. "Alhamdulillah anak ku mau nikah." jawabku sekenanya. "Beneran Bu, aku udah di jalan mau kerumah calon menantu Ibu.""Kamu kalau bercanda jangan kelewatan Ras.""Aku ga bercanda Bu. Sumpah deh.""Yang benar kamu Ras. Kamu mau nikah tapi kok kayak mau beli sayur." "Maaf Bu, ga sempat nelpon Ibu. Tapi ini beneren kami udah di jalan."Tiba-tiba kepalaku berputar. Dan brukkkk aku ambruk. Hal terakhir yang aku lihat, anak didikku berlari sambil berteriak memanggilku, dan aku merasakan aliran darah di dadaku tidak terbendung. Bau aroma obat menusuk penciumanku. Perlahan-lahan aku membuka mata, dan terkejut ketika melihat aku terbangun dirumah sakit. "Alhamdulillah udah siuman Bu!"Pak
Pov IfanSetelah aku tamat SMK, aku langsung merantau ke ibukota. Jika tetap tinggal di desa ini, aku tidak bisa memanfaatkan ijazahku yang walaupun hanya tamat SMK. Mencoba peruntungan, bagaimanapun lebih bagus di kota dari pada di desa. "Doain Ifan ya Bu, Pak!" ucapku sambil mencium telapak tangan Ibu Bapakku. Tampak Ibu menitikkan air mata. Tak butuh waktu lama, aku bekerja sebagai mekanik, bermodalkan ijazah SMK ku. Tak lepas dari campur tangan seorang kenalan yang berasal dari desa yang sama. ***Larasati namanya. Gadis polos yang berhasil mencuri hatiku pada pandangan pertama. Selain cantik, dia terlihat baik dan juga solehah. "Mbak orang sini ya!" tanyaku ketika tak sengaja kami berpapasan. "Bukan Mas. Saya orang Sumatera.""Ohh orang Sumatera!" Aku hendak melanjutkan percakapan kami tapi Laras sudah berlalu. Tiga hari kemudian kami tak sengaja berpapasan lagi. "Mbak namanya siapa?" Tanyaku lagi. "Laras Mas.""Sumatera mana Mbak asalnya?""Sumatera Utara Mas. Kenapa ya
Pov Ifan 2Pada akhirnya Laras memilih tidak pulang dan pernikahan kami tetap akan dilangsungkan. Aku menghampiri Bapak yang duduk diteras dengan kopi dan rokoknya. "Fan, kamu yakin akan menikah secepat ini? Kamu baru 19 tahun loh!" Bapak membuka percakapan. "Tidak ada larangan toh Pak mau nikah di usia berapa. Yang penting udah cukup umur.""Nikah itu bukan sekedar tidur bersama dan makan bersama Fan. Nikah dan pacaran itu perbedaannya seratus persen. Ini ceritanya kamu melarikan anak orang. Kamu udah mikirin resiko yang akan kamu hadapi?"Bapak menatapku tajam. Tak mau kalah, kutatap balik Bapakku. "Lalu, kenapa Bapak selipkan serbuk itu di tas Ifan?""Bapak hanya tak habis pikir aja dengan mu Fan. Kenapa secepat itu kamu gunakan? Udah hamil berapa bulan Laras?""Kenapa Bapak malah menyalahkanku? kalau serbuk itu tidak ada ini semua tak akan terjadi Pak. Sadar ga ini semua akibat perbuatan Bapak!"Kusadari, ternyata Bapakku juga seorang pengecut. Aku masuk ke kamarku dengan mem
Setelah kepergian Mas Ifan, kuperhatikan raut wajah kedua calon mertuaku yang semakin lama semakin memucat. Entah apa yang mereka takutkan, tapi bagiku semuanya seperti biasa saja. "Ras, kamu benaran yakin melanjutkan acara ini?" Pak Alex memecah keheningan. "Ia Pak. Bapak tanya berkali-kali lagi pun jawaban ku tetap sama.""Trus kamu apa gak mikirin orang tua kamu Ras? Pernikahan itu kalau bisa sekali seumur hidup. Kamu kayak gini gak ada harga dirinya loh Ras. Bisa saya bayangkan gimana perasaan orangtua kamu. Ibu kamu seorang pendidik tapi kamu malah seperti ini Ras. Apalagi Bapak kamu, punya harga diri yang sangat tinggi. Ga bisa dijengkali orang.""Iya Pak. Laras tau. Tapi gimana Pak, Laras udah sampai disini.""Nahh, Laras kenapa bisa sampai dikampung ini? Laras udah berapa kali kesini?""Dua kali Pak. Pertama kami langsung pulang hari. Dan ini kali kedua.""Ifan udah pernah ketemu orang tua kamu?""Belum Pak."Pak Alex menarik nafas panjang. "Kalau belum pernah, kenapa kamu