Kutekan tombol jawab.
ya’lamu ma baina aidihim wa ma khalfahum, wa la yuhituna bisyai’ im min ilmihi illa bima sya... Kudengar potongan ayat kursi. Ica memang sering mendengar murottal. Bulu kudukku berdiri. Tiba - tiba aku menangis lagi. Terasa sesak didada. Ada yang bergejolak dari hati yang paling dalam. "Assalamualaikum Mbak. Gimana kabarnya?"Tak kujawab salam Ica. "Kabar baik Ca.""Mbak tau ga Ibu belum sadar juga sampai hari ini."Aku diam. "Mbak, Mbak punya adik empat orang. Aku tiga orang. Ingat ga dulu kita bilang sama Ibu, jatah kita 1 satu orang. Aku sama Santi dan Mbak sama Fizi. Biar Doni sama Ibu aja karena ga mungkin lagi sama Mbak Rika. Mbak, kalau Mbak nikah sekarang gimana kita menepati janji kita sama Ibu?"Aku diam. Hanya suara isakan ku yang terdengar. "Mbak, nangis ga menyelesaikan masalah loh. Ga ada gunanya Mbak nangis. Mau nangis darah juga ga ada gunanya Mbak. Mbak pulang ya sama Mas Rey.""Mas Rey marah Ca. Mbak ga berani ngomong sama Mas Rey.""Ga apa Mbak. Biar Ica yang bilang sama Mas Rey. Tapi Mbak beneran pulang ya. Janji ya Mbak.""Iya Ca.""Yaudah Ica matikan teleponnya ya biar Ica telepon Mas Rey dulu. Assalamualaikum."Aku diam. "Jawab salamku donk Mba.""Wa'alaikum salam."Kembali aku bergabung ke teras.
"Minum dulu Ras!" Bu Murni menyodorkan teh. Aku langsung meneguknya sampai habis. Kulihat gelas teh Mas Rey masih terisi penuh. "Kita pulang kan Ras."Tadi aku sudah memutuskan akan pulang setelah Ica menelepon. Tapi sekarang aku ragu lagi. Kenapa bisa seperti ini? "Tadi Ica bilang kamu mau pulang Ras. Kenapa sekarang ragu lagi?"Aku juga berpikir. Kenapa aku seperti ini? "Ras, kamu tau ga tadi perjalanan kesini Mas diancam sama dia!"Mas Rey menunjuk Mas Ifan. "Dia bawa Mas mutar - mutar dulu. Takut Mas bawa polisi. Jadi dia mutar dulu buat mastiin ga ada polisi bareng Mas. Dan tadi tau ga Bapak ini bilang apa sama Mas. Jangan berani macam-macam disini kalau masih mau hidup. Ya Mas ketawa donk. Bapaknya mungkin berpikir dia malaikat Izrail ya sampe bisa ngomong gitu. Serem ihhh. Atau jangan - jangan kamu dikasih sesuatu Ras!"Mas Rey menatap Bu Murni dan Pak Danar penuh selidik, dan yang ditatap berubah pucat. Mas Ifan tetap menunduk. "Ras, kamu ikut pulang atau gak?"Suara Mas Rey meninggi. "Gak Mas. Aku tinggal aja."Mas Ifan sekeluarga tersenyum lega dan Mas Rey membuang nafas menahan marah. "Kamu yakin Ras? Kalau kamu takut ga dikasih Bapak Ibu ini, Mas bisa menelpon polisi.""Yakin Mas. Sampaikan maaf Laras untuk Mbak Rika dan juga Ibu Bapak.""Yasudah, kalau ini keputusan kamu Ras. Tapi ingat, jika nanti kamu kenapa - kenapa jangan cari kami. Karena ini pilihan kamu sendiri. Kami angkat tangan mulai sekarang!"Mas Rey beranjak hendak pulang. "Mari Mas saya antar lagi." Mas Ifan menawarkan diri dengan senyum lebar. Ponselku bergetar lagi. "Maafin Mbak ya Ca. Mbak ga bisa pulang sama Mas Rey.""Uda hamil berapa bulan Mbak?"Aku diam. "Berapa bulan Mbak?"Suara Ica meninggi. "Mbak ga tau Ca."Ica terdiam. "Oke. Yasudahlah. Assalamualaikum."Ica mengakhiri panggilan. "Ayo masuk Mbak. Istirahat aja dulu. Nanti sore aja kita belanja ke grosir depan." Bu Murni membimbingku masuk kerumah. Aku langsung menuju kamar. Kutarik nafas dalam - dalam, kutenangkan pikiranku, dan bayangan Ibu hilang dari pikiranku. ***"Ehh Bu Murni. Sama siapa Bu? Kok aku baru lihat?" Sri, pemilik grosir bertanya penuh selidik. "Calon mantuku Sri. Tadi malam tiba dirumah sama Ifan!" Bu Murni menjelaskan dengan penuh semangat. "Cantik. Bukan orang sini ya Bu!" Sri bertanya lagi. Aku hanya senyum ramah sambil mengikuti Bu Murni dari belakang. "Begini Sri. Aku mau beli keperluan untuk pesta nanti. Tapi seperti biasa ya. Bayarnya tunggu panen dulu.""Pesta? Kapan Bu Mur?""Nanti aku antar undangan deh. Coba liat ini Sri. Kira-kira uda cukup belum ya?"Bu Murni menyerahkan catatan yang sudah disiapkan entah sejak kapan. "Mmm ini beras sama gula sepertinya masih kurang deh Bu Mur.""Yaudah Sri tolong atur aja ya. Bon nya nanti aku ambil. Tapi bayarnya tunggu panen ya Sri.""Aman Bu Mur.""Ayo Ras. Kita ke warung itu dulu. Pesan perbumbuan."Bu Murni menarik tanganku dengan semangat empat lima. Sepanjang jalan aku berpikir. Kok bisa bisanya ya, semua diserahkan ke pemilik grosir. Apa ga takut ditipu. Ahh bodo amat. Yang penting sebentar lagi aku udah sah jadi istri orang yang kucintai. Allahuas-aamad.Lam yalid wa lam yuladWa lam yakul lahu kufuwan ahad. Aku mendengar potongan Surah Al Ikhlas saat melewati rumah bercat hijau dengan gaya sederhana. Aku merinding. Entah kenapa, sejak tiba dirumah Mas Ifan tiap kali aku mendengar lantunan ayat-ayat Al-qur'an, bulu kudukku selalu merinding. Dan tiba-tiba aku menyadari satu hal. Shalat yang tidak pernah kutinggalkan, begitu tiba dirumah Mas Ifan, aku belum shalat sekalipun. Begitu juga dengan Mas Ifan dan keluarga. Ingin nyebut, tapi lidahku kelu. Isi kepalaku hanya Mas Ifan dan Mas Ifan. Aku bahkan hampir melupakan kedatangaan Mas Rey untuk membawaku pulang. Aku juga tidak menanyakan apakah Mas Rey pulang dengan selamat atau tidak. "Ini rumah pak Ustadz. Biasanya empat kali seminggu ngajar anak-anak ngaji di mesjid itu!" Bu Murni menjelaskan. Tampak Bu Murni mempercepat langkahnya. "Ayo Ras, buruan. Nanti warungnya keburu tutup."Bu Murni langsung menarik tanganku. Di dalam rumah Pak Ustadz, "Ayah, kenapa orang yang dibelakang Mbah Murni pakaiannya hitam semua?" Anak pak Ustadz yang baru tiga tahun menunjuk Bu Murni. "Kok tiga orang nak? Itu kan cuma dua orang. Coba perhatikan sekali lagi.""Itu tiga orang Ayah."Pak Ustadz diam.Setelah perbumbuan selesai, aku kembali kerumah bersama Bu Murni.
"Eh Bu Murni, dari mana bu? Eh sama siapa ini?" sapa Pak Ustadz yang berdiri di pekarangan rumahnya. Tapi pandangan Pak Ustadz tak lepas dariku dan ke arah belakangku. Ah mungkin karena beliau seorang ustadz jadi tak elok jika harus menatap Bu Murni. "Dari kedai depan Pak Ustadz. Ini calon mantu saya. Baru tiba semalam!" Bu Murni seperti tak suka dengan Pak Ustadz. Pak Ustadz menatapku sangat tajam. Aku bingung. "Mari Pak Ustadz!" Bu Murni langsung menarik tanganku. "Mbak jangan lupa shalat ya. Ngaji, banyakin shalawat." Pak Ustadz setengah berteriak kepadaku. Aku menoleh. Ada jejak kekhawatiran diraut wajah pak Ustadz.Pov Ita (Ibu Laras) Drrtttt drrtttttPonselku bergetar diatas meja mengajar ku. Ku lirik nama yang tertera, Laras. Anak keduaku yang saat ini sedang bekerja di Salon, dipulau seberang. "Assalamualaikum, halo nak.""Ma, aku mau nikah. Restuin ya."Tak ada jawaban salam atau sekedar basa basi dari Laras. "Alhamdulillah anak ku mau nikah." jawabku sekenanya. "Beneran Bu, aku udah di jalan mau kerumah calon menantu Ibu.""Kamu kalau bercanda jangan kelewatan Ras.""Aku ga bercanda Bu. Sumpah deh.""Yang benar kamu Ras. Kamu mau nikah tapi kok kayak mau beli sayur." "Maaf Bu, ga sempat nelpon Ibu. Tapi ini beneren kami udah di jalan."Tiba-tiba kepalaku berputar. Dan brukkkk aku ambruk. Hal terakhir yang aku lihat, anak didikku berlari sambil berteriak memanggilku, dan aku merasakan aliran darah di dadaku tidak terbendung. Bau aroma obat menusuk penciumanku. Perlahan-lahan aku membuka mata, dan terkejut ketika melihat aku terbangun dirumah sakit. "Alhamdulillah udah siuman Bu!"Pak
Pov IfanSetelah aku tamat SMK, aku langsung merantau ke ibukota. Jika tetap tinggal di desa ini, aku tidak bisa memanfaatkan ijazahku yang walaupun hanya tamat SMK. Mencoba peruntungan, bagaimanapun lebih bagus di kota dari pada di desa. "Doain Ifan ya Bu, Pak!" ucapku sambil mencium telapak tangan Ibu Bapakku. Tampak Ibu menitikkan air mata. Tak butuh waktu lama, aku bekerja sebagai mekanik, bermodalkan ijazah SMK ku. Tak lepas dari campur tangan seorang kenalan yang berasal dari desa yang sama. ***Larasati namanya. Gadis polos yang berhasil mencuri hatiku pada pandangan pertama. Selain cantik, dia terlihat baik dan juga solehah. "Mbak orang sini ya!" tanyaku ketika tak sengaja kami berpapasan. "Bukan Mas. Saya orang Sumatera.""Ohh orang Sumatera!" Aku hendak melanjutkan percakapan kami tapi Laras sudah berlalu. Tiga hari kemudian kami tak sengaja berpapasan lagi. "Mbak namanya siapa?" Tanyaku lagi. "Laras Mas.""Sumatera mana Mbak asalnya?""Sumatera Utara Mas. Kenapa ya
Pov Ifan 2Pada akhirnya Laras memilih tidak pulang dan pernikahan kami tetap akan dilangsungkan. Aku menghampiri Bapak yang duduk diteras dengan kopi dan rokoknya. "Fan, kamu yakin akan menikah secepat ini? Kamu baru 19 tahun loh!" Bapak membuka percakapan. "Tidak ada larangan toh Pak mau nikah di usia berapa. Yang penting udah cukup umur.""Nikah itu bukan sekedar tidur bersama dan makan bersama Fan. Nikah dan pacaran itu perbedaannya seratus persen. Ini ceritanya kamu melarikan anak orang. Kamu udah mikirin resiko yang akan kamu hadapi?"Bapak menatapku tajam. Tak mau kalah, kutatap balik Bapakku. "Lalu, kenapa Bapak selipkan serbuk itu di tas Ifan?""Bapak hanya tak habis pikir aja dengan mu Fan. Kenapa secepat itu kamu gunakan? Udah hamil berapa bulan Laras?""Kenapa Bapak malah menyalahkanku? kalau serbuk itu tidak ada ini semua tak akan terjadi Pak. Sadar ga ini semua akibat perbuatan Bapak!"Kusadari, ternyata Bapakku juga seorang pengecut. Aku masuk ke kamarku dengan mem
Setelah kepergian Mas Ifan, kuperhatikan raut wajah kedua calon mertuaku yang semakin lama semakin memucat. Entah apa yang mereka takutkan, tapi bagiku semuanya seperti biasa saja. "Ras, kamu benaran yakin melanjutkan acara ini?" Pak Alex memecah keheningan. "Ia Pak. Bapak tanya berkali-kali lagi pun jawaban ku tetap sama.""Trus kamu apa gak mikirin orang tua kamu Ras? Pernikahan itu kalau bisa sekali seumur hidup. Kamu kayak gini gak ada harga dirinya loh Ras. Bisa saya bayangkan gimana perasaan orangtua kamu. Ibu kamu seorang pendidik tapi kamu malah seperti ini Ras. Apalagi Bapak kamu, punya harga diri yang sangat tinggi. Ga bisa dijengkali orang.""Iya Pak. Laras tau. Tapi gimana Pak, Laras udah sampai disini.""Nahh, Laras kenapa bisa sampai dikampung ini? Laras udah berapa kali kesini?""Dua kali Pak. Pertama kami langsung pulang hari. Dan ini kali kedua.""Ifan udah pernah ketemu orang tua kamu?""Belum Pak."Pak Alex menarik nafas panjang. "Kalau belum pernah, kenapa kamu
"Assalamualaikum Ras. Sehat nak?""Wa'alaikum salam. Alhamdulillah sehat Pak. Bapak sehat?""Bapak sama Ibu ga sehat Ras. Ibu sempat diopname. Bapak kepikiran sama kamu. Apa gak pulang aja dulu Ras? Jangan buang harga diri kamu."Aku diam. Tak tau harus menjawab apa. "Bapak harap kamu pulang Ras. Jangan lupakan kami orangtua kandung kamu."Aku tetap diam. "Ras, kamu dengar nak?" kali ini Ibu yang bicara. Air mataku tak bisa kubendung. "Iya Bu.""Jangan lupa shalat ya. Perbanyak Istigfar. Minta sama Allah diberikan kesehatan.""Iya Bu.""Jangan nyusahin yang punya rumah Ras. Anak-anak Ibu ga pernah Ibu ajarin nyusahin orang. Tapi entah lah kali ini.""Maafin Laras Bu.""Yasudah. Ibu tutup dulu ya. Jangan lupa shalat Ras. Assalamualaikum.""Iya Bu. Wa'alaikum salam.""Ras, kamu tidur dikamar sebelah Ibu ya. Yuk, udah malam!" ajak Bu Rina. "Iya Bu."Aku berbaring dikasur. Mencoba memejamkan mata tapi tak junjung terpejam. Tok...tok... tok"Ras, udah tidur belum? Ini Ibu.""Belum Bu.
Tiga hari sebelum acara pernikahan, utusan dari keluarga Pak Danar datang kerumah Pak Alex. "Pak, semua sudah siap ya pak. Akad nikah hari minggu jam 9. Dirumah saja. Dilanjutkan dengan resepsi!" kata utusan Pak Danar. Pak Alex menarik nafas panjang. Tak mengiyakan dan tak menolak juga. Karena pada intinya keputusan bulat ada ditanganku. Setelah makan malam, saat semua sedang berkumpul di depan televisi, "Ras, kamu yakin akan melanjutkan semua ini?" tanya Pak Alex. Semua menatapku menunggu jawaban. Aku ragu. Antara melanjutkan dan membatalkan. "Gak tau Pak. Aku bingung. Tadi malam aku bermimpi didorong Mas Ifan kejurang!" Aku menceritakan mimpi buruk tadi malam. "Aku benar-benar tidak bisa mengambil keputusan Pak. Aku bingung."Aku menarik nafas panjang. Speaker murottal yang diberikan Bu Rina selalu kuhidupkan saat aku berada dikamar. Shalat yang sejak tiba dirumah Mas Ifan selalu kutinggalkan, setelah dirumah Pak Alex tak pernah kutinggalkan lagi. Bahkan sujudku lebih panj
Ini terlalu mudah. Apakah segampang ini aku bisa kabur sementara persiapan untuk acara pernikahan sudah siap semua? Bukankah ini terlalu mudah? Firasatku tak enak. Tapi bagaimanapun, bismillah aja. Allah sebaik-baik pelindung. Dan benar saja, tiba-tiba dipersimpangan kami dihadang oleh orang yang tidak kami kenal. "Kalian mau apa?" kata Om Tino. Tak ada yang menjawab. "Mau kemana Ras?" Mas Ifan muncul. Matilah aku. Tapi kenapa Mas Ifan bisa ada disini sementara rumah Mas Ifan bukan didekat sini. Siapa yang sudah mendahului kami? Seminggu yang lalu, ketika Mas Ifan sekeluarga kembali dari rumah Pak Alex, Ifan singgah kerumah tetangga yang juga temannya Ifan. Ifan minta tolong untuk memantau Laras selama dirumah Pak Alex dengan iming-iming uang. Kebetulan orangtua Ifan juga kenal dengan orangtuanya. Jadilah mereka tak langsung pulang. Dan benar saja. Semua kegiatan Laras dilaporkan mereka ke Mas Ifan sekeluarga. Tak lupa mereka menguping pembicaraan Ayu dan Laras dihalaman belak
Tak kujawab panggilan Mas Ifan. Aku takut. "Ras, suami kamu nanya loh, kok ga dijawab. Dosa tau."Fakta baru yang tak bisa kuhindari. Satu jam yang lalu, aku mulai menyandang status sebagai istri Mas Ifan. Perlahan kubuka pintu. Nampak Mas Ifan berdiri tegap dengan senyuman yang sangat manis menurutku. "Kamu kenapa Ras? Sedih karena ditinggal orangtua kamu? Atau karena kamu takut?"Aku tak menjawab. Mas Ifan memanggil penata rias untuk memperbaiki riasanku yang sudah tak berwujud. Selama proses merias, semua diam. Rasanya sangat canggung. Mas Ifan kemudian masuk ke kamar. "Jangan pasang wajah ketat gitu dong Ras. Kamu mau mempermalukan kami semua disini? Dipikir orang-orang aku maksa kamu. Terima kenyataan dong Ras."Mas Ifan mulai jengkel. Aku tetap tak menjawab. Bagaimanapun ini hari kami. Aku disini sendirian, aku tak mau mengambil resiko. Kupaksakan untuk tersenyum kepada semua tamu yang hadir. Wajah jengkel Mas Ifan berubah menjadi senyum yang sangat manis. Acara berjalan lan