Pov Ita (Ibu Laras)
Drrtttt drrttttt
Ponselku bergetar diatas meja mengajar ku. Ku lirik nama yang tertera, Laras. Anak keduaku yang saat ini sedang bekerja di Salon, dipulau seberang. "Assalamualaikum, halo nak.""Ma, aku mau nikah. Restuin ya."Tak ada jawaban salam atau sekedar basa basi dari Laras. "Alhamdulillah anak ku mau nikah." jawabku sekenanya. "Beneran Bu, aku udah di jalan mau kerumah calon menantu Ibu.""Kamu kalau bercanda jangan kelewatan Ras.""Aku ga bercanda Bu. Sumpah deh.""Yang benar kamu Ras. Kamu mau nikah tapi kok kayak mau beli sayur." "Maaf Bu, ga sempat nelpon Ibu. Tapi ini beneren kami udah di jalan."Tiba-tiba kepalaku berputar. Dan brukkkk aku ambruk. Hal terakhir yang aku lihat, anak didikku berlari sambil berteriak memanggilku, dan aku merasakan aliran darah di dadaku tidak terbendung. Bau aroma obat menusuk penciumanku. Perlahan-lahan aku membuka mata, dan terkejut ketika melihat aku terbangun dirumah sakit. "Alhamdulillah udah siuman Bu!"Pak Rahmat, suamiku seketika menggenggam tanganku. Kemudian menghela nafas dengan berat. Setelah kesadaranku terkumpul,"Pak, ini udah jam berapa? Kenapa aku disini? Aku kan harus mengajar.""Ibu udah ga sadarkan diri selama sehari semalam bu. Ini hari kedua kita dirumah sakit ini. Alhamdulillah Ibu udah siuman!"Mataku terbelalak. Kuputar kembali memoriku. Aku menerima telpon dari Laras dan kemudian aku ambruk. "Laras gimana Pak? Lakukan sesuatu biar pernikahan Laras di tunda dulu.""Ibu istirahat dulu. Jangan banyak pikiran. Nanti bisa drop lagi.""Tapi gimana dengan Laras Pak."Tak ada jawaban dari suamiku. Mungkin apa yang kurasakan, begitu juga yang dirasakan suamiku. Laras ingin menikah, minta ijin tapi seperti hendak membeli sayur. Bahkan Laras juga belum pernah mengenalkan calon suaminya kepada kami. Apakah dia berasal dari keluarga baik-baik? Bagaimana dengan agamanya? Apakah dia bisa menghargai wanita? Apa yang membuat Laras bisa senekat ini? Berbagai pertanyaan kini menghantuiku. Ahh tapi jika calon suami Laras dari keluarga baik - baik, tak mungkinlah mereka menikah dengan cara seperti ini. Ya Allah, apa caraku salah dalam mendidik anak-anakku selama ini? "Bu, ini Mbak Rika nelpon!"Bapak menyodorkan hp. "Assalamualaikum Bu. Alhamdulillah Ibu udah siuman.""Wa'alaikum salam. Ia Mbak. Alhamdulillah. Laras Mbak. Gimana Laras?""Bu, Ibu sayang ga sama kami? Anak-anak Ibu yang lain dan juga cucu Ibu?""Apaan sih kamu Rika. Ya pastilah.""Bu, janji ya bu jangan pingsan lagi. Masih ada kami kok sayang sama Ibu.""Ada apa sih Ka?""Laras ga mau pulang Bu. Mereka ga mau menunda pernikahannya. Tadi Mas Rey baru tiba dari sana. Kata Mas Rey, Laras nurut aja apapun yang mereka bilang. Ica juga udah berusaha bujuk Laras Bu. Tapi Laras tetap ga mau pulang dulu."Aku terdiam. "Ka, apakah Laras hamil duluan?""Ga tau Bu. Tadi kata Ica, pas Ica tanya hamil brapa bulan Laras jawab ga tau."Hening.
"Bu. Ibuuu..."
"Ia Ka. Ibu disini. Ibu ga apa apa.""Yasudah. Ibu istirahat aja ya. Jangan terlalu dipikirkan. Anak anak Ibu masih banyak. Bukan dia aja. Ibu istirahat ya. Jangan lupa minum obat. Rika tutup dulu ya Bu. Assalamualaikum.""Wa'alaikum salam."Hancur hatiku. Hamil??? Mungkinkah? Seorang Laras yang tidak pernah pacaran? Anak ku yang paling kalem diantara anak anakku yang lain? Aku tak percaya. Tapi kenapa Laras ga mau menunda pernikahannya? Apa benar dia hamil? Kubuka aplikasi hijauku, berharap ada sepatah kata dari Laras. Tapi nihil. Bahkan menanyakan kabar apakah aku baik baik saja tak ada. Laras, ada apa dengan mu nak? Kukuatkan hatiku. Bagaimana pun aku harus menerima kenyataan ini. Teringat adikku Ani. Selama kuliah dan sampai Laras kerja di salon, Laras tinggal dirumah Ani. Mungkin Ani tau sesuatu. Ani, betapa malunya aku bahkan untuk berbicara dengan mu. Tiba-tiba Ani menelpon. "Assalamualaikum, ia An.""Wa'alaikum salam. Sehat Mbak Ita?""Alhamdulillah sehat An. Langsung saja An. Mbak ga bisa berbasa-basi.""Mbak masih di Rumah sakit?""Ia An. Tapi bentar lagi mau pulang aja lah. Nunggu Bapaknya anak-anak pulang dr mesjid. An, Laras ada sesuatu yang mencurigakan ga selama disana?""Itu lah Mba. Selama dia disini ga ada yang aneh. Aku juga kaget banget Mbak pas Rika tadi nanya soal Laras. Cuma kata Tia, seminggu yang lalu Laras kesini ngantar piring, gelas dan perkakas yang dia pake di salon. Diantar sama laki-laki. Tapi laki-laki itu nunggu di depan sana Mbak. Trus Laras juga langsung pergi. Tia bilang tunggu aku pulang aja baru Laras pergi lagi. Tapi Larasnya ga mau. Buru-buru katanya."Ahh iya aku baru ingat. Sebulan terakhir ini Laras tinggal di salon lantai 2. Karena salonnya bisa juga untuk tempat tinggal. Laras pernah jatuh dari motor karena pulang malam. "Maaf ya An. Pada akhirnya Laras seperti itu. Mbak malu padamu An. Mbak malu. Sia-sia semua yang Ani berikan pada Laras. Bahkan Laras pun seperti tidak menghargaimu An. Maafkan Mbak An. Dan juga Laras.""Sudahlah Mba. Entah salahnya dimulai dari mana juga kita ga tau Mbak. Yang pasti kita sudah berusaha memberikan yang terbaik untuk Laras. Laras juga udah dewasa. Udah bisa berpikir. Seandainya aku ga bolehin dia tinggal di salon mungkin juga ga seperti ini Mbak. Tapi apa gunanya kalau kita berandai-andai lagi. Rey juga udh dari sana kan, tetap aja Laras ga mau pulang dulu. Ini mungkin pilihan dia Mbak.""Maafin Mbak An.""Udah toh Mbak. Nanti lebaran lagi kita maaf-maafan. Yasudah Mbak, tadi An cuma mau menanyakan kabar Mbak aja. Alhamdulillah udah siuman. Saya tutup ya Mbak. Assalamualaikum.""Wa'alaikum salam An."Aku bersiap-siap untuk pulang. Sembari menunggu Pak Rahmad, kurapihkan kasurku, kubereskan pakaianku, obatku dan semuanya. Pada hal dokter belum menyuruh pulang. Tapi aku tak bisa berdiam diri diranjang ini. Ada anak-anak didikku yang menunggu kehadiranku disekolah. Dan aku juga merasa sudah merasa fit seperti sedia kala. "Loh Ibu. Ibu mau kemana?" kata Dokter yang baru saja masuk. "Mau pulang saja Dok. Uda ga merasa sakit lagi.""Saya cek dulu ya Bu, apakah Ibu sudah bisa pulang atau belum."'Toh aku juga cuma pingsan aja Dok' Batinku. "Tensinya normal ya Bu, demamnya juga udah turun. Ibu udah bisa pulang ya. Tapi harus banyak istirahat ya Ibu. Jangan banyak pikiran juga."'Gimana saya ga banyak pikiran Bu Dokter, anak saya nikah tapi kayak beli sayur' Batinku lagi. "Iya Dok. Makasih banyak ya Dok.""Sama-sama Ibu."***Dirumah, "Pak, gimana Laras Pak?"Aku memecah keheningan. Bapak yang sejak tadi diam aja, kaget mendengar suaraku. Apa yang Pak Rahmat pikirkan?Pov IfanSetelah aku tamat SMK, aku langsung merantau ke ibukota. Jika tetap tinggal di desa ini, aku tidak bisa memanfaatkan ijazahku yang walaupun hanya tamat SMK. Mencoba peruntungan, bagaimanapun lebih bagus di kota dari pada di desa. "Doain Ifan ya Bu, Pak!" ucapku sambil mencium telapak tangan Ibu Bapakku. Tampak Ibu menitikkan air mata. Tak butuh waktu lama, aku bekerja sebagai mekanik, bermodalkan ijazah SMK ku. Tak lepas dari campur tangan seorang kenalan yang berasal dari desa yang sama. ***Larasati namanya. Gadis polos yang berhasil mencuri hatiku pada pandangan pertama. Selain cantik, dia terlihat baik dan juga solehah. "Mbak orang sini ya!" tanyaku ketika tak sengaja kami berpapasan. "Bukan Mas. Saya orang Sumatera.""Ohh orang Sumatera!" Aku hendak melanjutkan percakapan kami tapi Laras sudah berlalu. Tiga hari kemudian kami tak sengaja berpapasan lagi. "Mbak namanya siapa?" Tanyaku lagi. "Laras Mas.""Sumatera mana Mbak asalnya?""Sumatera Utara Mas. Kenapa ya
Pov Ifan 2Pada akhirnya Laras memilih tidak pulang dan pernikahan kami tetap akan dilangsungkan. Aku menghampiri Bapak yang duduk diteras dengan kopi dan rokoknya. "Fan, kamu yakin akan menikah secepat ini? Kamu baru 19 tahun loh!" Bapak membuka percakapan. "Tidak ada larangan toh Pak mau nikah di usia berapa. Yang penting udah cukup umur.""Nikah itu bukan sekedar tidur bersama dan makan bersama Fan. Nikah dan pacaran itu perbedaannya seratus persen. Ini ceritanya kamu melarikan anak orang. Kamu udah mikirin resiko yang akan kamu hadapi?"Bapak menatapku tajam. Tak mau kalah, kutatap balik Bapakku. "Lalu, kenapa Bapak selipkan serbuk itu di tas Ifan?""Bapak hanya tak habis pikir aja dengan mu Fan. Kenapa secepat itu kamu gunakan? Udah hamil berapa bulan Laras?""Kenapa Bapak malah menyalahkanku? kalau serbuk itu tidak ada ini semua tak akan terjadi Pak. Sadar ga ini semua akibat perbuatan Bapak!"Kusadari, ternyata Bapakku juga seorang pengecut. Aku masuk ke kamarku dengan mem
Setelah kepergian Mas Ifan, kuperhatikan raut wajah kedua calon mertuaku yang semakin lama semakin memucat. Entah apa yang mereka takutkan, tapi bagiku semuanya seperti biasa saja. "Ras, kamu benaran yakin melanjutkan acara ini?" Pak Alex memecah keheningan. "Ia Pak. Bapak tanya berkali-kali lagi pun jawaban ku tetap sama.""Trus kamu apa gak mikirin orang tua kamu Ras? Pernikahan itu kalau bisa sekali seumur hidup. Kamu kayak gini gak ada harga dirinya loh Ras. Bisa saya bayangkan gimana perasaan orangtua kamu. Ibu kamu seorang pendidik tapi kamu malah seperti ini Ras. Apalagi Bapak kamu, punya harga diri yang sangat tinggi. Ga bisa dijengkali orang.""Iya Pak. Laras tau. Tapi gimana Pak, Laras udah sampai disini.""Nahh, Laras kenapa bisa sampai dikampung ini? Laras udah berapa kali kesini?""Dua kali Pak. Pertama kami langsung pulang hari. Dan ini kali kedua.""Ifan udah pernah ketemu orang tua kamu?""Belum Pak."Pak Alex menarik nafas panjang. "Kalau belum pernah, kenapa kamu
"Assalamualaikum Ras. Sehat nak?""Wa'alaikum salam. Alhamdulillah sehat Pak. Bapak sehat?""Bapak sama Ibu ga sehat Ras. Ibu sempat diopname. Bapak kepikiran sama kamu. Apa gak pulang aja dulu Ras? Jangan buang harga diri kamu."Aku diam. Tak tau harus menjawab apa. "Bapak harap kamu pulang Ras. Jangan lupakan kami orangtua kandung kamu."Aku tetap diam. "Ras, kamu dengar nak?" kali ini Ibu yang bicara. Air mataku tak bisa kubendung. "Iya Bu.""Jangan lupa shalat ya. Perbanyak Istigfar. Minta sama Allah diberikan kesehatan.""Iya Bu.""Jangan nyusahin yang punya rumah Ras. Anak-anak Ibu ga pernah Ibu ajarin nyusahin orang. Tapi entah lah kali ini.""Maafin Laras Bu.""Yasudah. Ibu tutup dulu ya. Jangan lupa shalat Ras. Assalamualaikum.""Iya Bu. Wa'alaikum salam.""Ras, kamu tidur dikamar sebelah Ibu ya. Yuk, udah malam!" ajak Bu Rina. "Iya Bu."Aku berbaring dikasur. Mencoba memejamkan mata tapi tak junjung terpejam. Tok...tok... tok"Ras, udah tidur belum? Ini Ibu.""Belum Bu.
Tiga hari sebelum acara pernikahan, utusan dari keluarga Pak Danar datang kerumah Pak Alex. "Pak, semua sudah siap ya pak. Akad nikah hari minggu jam 9. Dirumah saja. Dilanjutkan dengan resepsi!" kata utusan Pak Danar. Pak Alex menarik nafas panjang. Tak mengiyakan dan tak menolak juga. Karena pada intinya keputusan bulat ada ditanganku. Setelah makan malam, saat semua sedang berkumpul di depan televisi, "Ras, kamu yakin akan melanjutkan semua ini?" tanya Pak Alex. Semua menatapku menunggu jawaban. Aku ragu. Antara melanjutkan dan membatalkan. "Gak tau Pak. Aku bingung. Tadi malam aku bermimpi didorong Mas Ifan kejurang!" Aku menceritakan mimpi buruk tadi malam. "Aku benar-benar tidak bisa mengambil keputusan Pak. Aku bingung."Aku menarik nafas panjang. Speaker murottal yang diberikan Bu Rina selalu kuhidupkan saat aku berada dikamar. Shalat yang sejak tiba dirumah Mas Ifan selalu kutinggalkan, setelah dirumah Pak Alex tak pernah kutinggalkan lagi. Bahkan sujudku lebih panj
Ini terlalu mudah. Apakah segampang ini aku bisa kabur sementara persiapan untuk acara pernikahan sudah siap semua? Bukankah ini terlalu mudah? Firasatku tak enak. Tapi bagaimanapun, bismillah aja. Allah sebaik-baik pelindung. Dan benar saja, tiba-tiba dipersimpangan kami dihadang oleh orang yang tidak kami kenal. "Kalian mau apa?" kata Om Tino. Tak ada yang menjawab. "Mau kemana Ras?" Mas Ifan muncul. Matilah aku. Tapi kenapa Mas Ifan bisa ada disini sementara rumah Mas Ifan bukan didekat sini. Siapa yang sudah mendahului kami? Seminggu yang lalu, ketika Mas Ifan sekeluarga kembali dari rumah Pak Alex, Ifan singgah kerumah tetangga yang juga temannya Ifan. Ifan minta tolong untuk memantau Laras selama dirumah Pak Alex dengan iming-iming uang. Kebetulan orangtua Ifan juga kenal dengan orangtuanya. Jadilah mereka tak langsung pulang. Dan benar saja. Semua kegiatan Laras dilaporkan mereka ke Mas Ifan sekeluarga. Tak lupa mereka menguping pembicaraan Ayu dan Laras dihalaman belak
Tak kujawab panggilan Mas Ifan. Aku takut. "Ras, suami kamu nanya loh, kok ga dijawab. Dosa tau."Fakta baru yang tak bisa kuhindari. Satu jam yang lalu, aku mulai menyandang status sebagai istri Mas Ifan. Perlahan kubuka pintu. Nampak Mas Ifan berdiri tegap dengan senyuman yang sangat manis menurutku. "Kamu kenapa Ras? Sedih karena ditinggal orangtua kamu? Atau karena kamu takut?"Aku tak menjawab. Mas Ifan memanggil penata rias untuk memperbaiki riasanku yang sudah tak berwujud. Selama proses merias, semua diam. Rasanya sangat canggung. Mas Ifan kemudian masuk ke kamar. "Jangan pasang wajah ketat gitu dong Ras. Kamu mau mempermalukan kami semua disini? Dipikir orang-orang aku maksa kamu. Terima kenyataan dong Ras."Mas Ifan mulai jengkel. Aku tetap tak menjawab. Bagaimanapun ini hari kami. Aku disini sendirian, aku tak mau mengambil resiko. Kupaksakan untuk tersenyum kepada semua tamu yang hadir. Wajah jengkel Mas Ifan berubah menjadi senyum yang sangat manis. Acara berjalan lan
Aku menatap tajam mata Mas Ifan. Ingin kuhajar saja lelaki yang sudah sah menjadi suamiku itu. "Tak sedikit pun aku ada rasa sama kamu Mas. Bahkan sekarang yang ada aku sangat membencimu! Mungkin sekarang ragaku ada disini. Tapi hatiku tertinggal entah dimana Mas. Maafkan aku jika besok dan seterusnya tak bisa jadi istri yang kamu inginkan. Karena pernikahan ini hanya kemauan sepihak. Bukan kedua belah pihak!" "Ya, tapi kamu itu sekarang sudah jadi istriku Ras!""Aku ngak bilang aku bukan istrimu Mas. Aku sadar sepenuhnya aku itu sudah jadi menantu dirumah ini. Hanya saja, hatiku belum jadi milikmu Mas."Mas Ifan tersenyum. Senyum misterius menurutku. "Seandainya kamu gak menghalangi kami kemarin Mas. Mungkin aku masih bisa memaafkanmu.""Tak perlu dimaafkan Ras. Aku juga tak akan meminta maaf padamu. Ya, memang aku yang mau kamu harus jadi istriku. Dan kuwujudkan walaupun dengan cara yang salah. Dan sekarang semua sudah terjadi. Kamu juga sudah sadar sepenuhnya. Kamu sadar saat ij