Setelah kepergian Mas Ifan, kuperhatikan raut wajah kedua calon mertuaku yang semakin lama semakin memucat. Entah apa yang mereka takutkan, tapi bagiku semuanya seperti biasa saja. "Ras, kamu benaran yakin melanjutkan acara ini?" Pak Alex memecah keheningan. "Ia Pak. Bapak tanya berkali-kali lagi pun jawaban ku tetap sama.""Trus kamu apa gak mikirin orang tua kamu Ras? Pernikahan itu kalau bisa sekali seumur hidup. Kamu kayak gini gak ada harga dirinya loh Ras. Bisa saya bayangkan gimana perasaan orangtua kamu. Ibu kamu seorang pendidik tapi kamu malah seperti ini Ras. Apalagi Bapak kamu, punya harga diri yang sangat tinggi. Ga bisa dijengkali orang.""Iya Pak. Laras tau. Tapi gimana Pak, Laras udah sampai disini.""Nahh, Laras kenapa bisa sampai dikampung ini? Laras udah berapa kali kesini?""Dua kali Pak. Pertama kami langsung pulang hari. Dan ini kali kedua.""Ifan udah pernah ketemu orang tua kamu?""Belum Pak."Pak Alex menarik nafas panjang. "Kalau belum pernah, kenapa kamu
"Assalamualaikum Ras. Sehat nak?""Wa'alaikum salam. Alhamdulillah sehat Pak. Bapak sehat?""Bapak sama Ibu ga sehat Ras. Ibu sempat diopname. Bapak kepikiran sama kamu. Apa gak pulang aja dulu Ras? Jangan buang harga diri kamu."Aku diam. Tak tau harus menjawab apa. "Bapak harap kamu pulang Ras. Jangan lupakan kami orangtua kandung kamu."Aku tetap diam. "Ras, kamu dengar nak?" kali ini Ibu yang bicara. Air mataku tak bisa kubendung. "Iya Bu.""Jangan lupa shalat ya. Perbanyak Istigfar. Minta sama Allah diberikan kesehatan.""Iya Bu.""Jangan nyusahin yang punya rumah Ras. Anak-anak Ibu ga pernah Ibu ajarin nyusahin orang. Tapi entah lah kali ini.""Maafin Laras Bu.""Yasudah. Ibu tutup dulu ya. Jangan lupa shalat Ras. Assalamualaikum.""Iya Bu. Wa'alaikum salam.""Ras, kamu tidur dikamar sebelah Ibu ya. Yuk, udah malam!" ajak Bu Rina. "Iya Bu."Aku berbaring dikasur. Mencoba memejamkan mata tapi tak junjung terpejam. Tok...tok... tok"Ras, udah tidur belum? Ini Ibu.""Belum Bu.
Tiga hari sebelum acara pernikahan, utusan dari keluarga Pak Danar datang kerumah Pak Alex. "Pak, semua sudah siap ya pak. Akad nikah hari minggu jam 9. Dirumah saja. Dilanjutkan dengan resepsi!" kata utusan Pak Danar. Pak Alex menarik nafas panjang. Tak mengiyakan dan tak menolak juga. Karena pada intinya keputusan bulat ada ditanganku. Setelah makan malam, saat semua sedang berkumpul di depan televisi, "Ras, kamu yakin akan melanjutkan semua ini?" tanya Pak Alex. Semua menatapku menunggu jawaban. Aku ragu. Antara melanjutkan dan membatalkan. "Gak tau Pak. Aku bingung. Tadi malam aku bermimpi didorong Mas Ifan kejurang!" Aku menceritakan mimpi buruk tadi malam. "Aku benar-benar tidak bisa mengambil keputusan Pak. Aku bingung."Aku menarik nafas panjang. Speaker murottal yang diberikan Bu Rina selalu kuhidupkan saat aku berada dikamar. Shalat yang sejak tiba dirumah Mas Ifan selalu kutinggalkan, setelah dirumah Pak Alex tak pernah kutinggalkan lagi. Bahkan sujudku lebih panj
Ini terlalu mudah. Apakah segampang ini aku bisa kabur sementara persiapan untuk acara pernikahan sudah siap semua? Bukankah ini terlalu mudah? Firasatku tak enak. Tapi bagaimanapun, bismillah aja. Allah sebaik-baik pelindung. Dan benar saja, tiba-tiba dipersimpangan kami dihadang oleh orang yang tidak kami kenal. "Kalian mau apa?" kata Om Tino. Tak ada yang menjawab. "Mau kemana Ras?" Mas Ifan muncul. Matilah aku. Tapi kenapa Mas Ifan bisa ada disini sementara rumah Mas Ifan bukan didekat sini. Siapa yang sudah mendahului kami? Seminggu yang lalu, ketika Mas Ifan sekeluarga kembali dari rumah Pak Alex, Ifan singgah kerumah tetangga yang juga temannya Ifan. Ifan minta tolong untuk memantau Laras selama dirumah Pak Alex dengan iming-iming uang. Kebetulan orangtua Ifan juga kenal dengan orangtuanya. Jadilah mereka tak langsung pulang. Dan benar saja. Semua kegiatan Laras dilaporkan mereka ke Mas Ifan sekeluarga. Tak lupa mereka menguping pembicaraan Ayu dan Laras dihalaman belak
Tak kujawab panggilan Mas Ifan. Aku takut. "Ras, suami kamu nanya loh, kok ga dijawab. Dosa tau."Fakta baru yang tak bisa kuhindari. Satu jam yang lalu, aku mulai menyandang status sebagai istri Mas Ifan. Perlahan kubuka pintu. Nampak Mas Ifan berdiri tegap dengan senyuman yang sangat manis menurutku. "Kamu kenapa Ras? Sedih karena ditinggal orangtua kamu? Atau karena kamu takut?"Aku tak menjawab. Mas Ifan memanggil penata rias untuk memperbaiki riasanku yang sudah tak berwujud. Selama proses merias, semua diam. Rasanya sangat canggung. Mas Ifan kemudian masuk ke kamar. "Jangan pasang wajah ketat gitu dong Ras. Kamu mau mempermalukan kami semua disini? Dipikir orang-orang aku maksa kamu. Terima kenyataan dong Ras."Mas Ifan mulai jengkel. Aku tetap tak menjawab. Bagaimanapun ini hari kami. Aku disini sendirian, aku tak mau mengambil resiko. Kupaksakan untuk tersenyum kepada semua tamu yang hadir. Wajah jengkel Mas Ifan berubah menjadi senyum yang sangat manis. Acara berjalan lan
Aku menatap tajam mata Mas Ifan. Ingin kuhajar saja lelaki yang sudah sah menjadi suamiku itu. "Tak sedikit pun aku ada rasa sama kamu Mas. Bahkan sekarang yang ada aku sangat membencimu! Mungkin sekarang ragaku ada disini. Tapi hatiku tertinggal entah dimana Mas. Maafkan aku jika besok dan seterusnya tak bisa jadi istri yang kamu inginkan. Karena pernikahan ini hanya kemauan sepihak. Bukan kedua belah pihak!" "Ya, tapi kamu itu sekarang sudah jadi istriku Ras!""Aku ngak bilang aku bukan istrimu Mas. Aku sadar sepenuhnya aku itu sudah jadi menantu dirumah ini. Hanya saja, hatiku belum jadi milikmu Mas."Mas Ifan tersenyum. Senyum misterius menurutku. "Seandainya kamu gak menghalangi kami kemarin Mas. Mungkin aku masih bisa memaafkanmu.""Tak perlu dimaafkan Ras. Aku juga tak akan meminta maaf padamu. Ya, memang aku yang mau kamu harus jadi istriku. Dan kuwujudkan walaupun dengan cara yang salah. Dan sekarang semua sudah terjadi. Kamu juga sudah sadar sepenuhnya. Kamu sadar saat ij
Hahh? Pertanyaan macam apa itu. "Maksudnya? Kenapa Ibu ngomong kayak gitu?""Kemarin juga Mbak mu ngirim ini. Sekarang juga. Apa karena kami ga sanggup beli makanya kamu suruh Mbak mu?""Ibu kenapa? Laras ga pernah nyuruh Mbak Rika buat ngirimin ini Bu. Ini Mbak Rika sendiri yang ngirim.""Banyak alasan kamu Ras. Bilang aja memang kamu yang minta ini semua." Bu Murni menatapku sangat tajam. Begitu juga Pak Danar dan Mas Ifan. Hanya Andy yang terlihat santai. Aku tersenyum santai. "Iya Bu. Aku yang nyuruh Mbak Rika ngirim ini!" jawabku sambil berlalu. Kuambil ponselku dan mengetik pesan untuk Mbak Rika. |Mbak, kurmanya enak. Mkasih banyak ya Mbak!| Klik. Terkirim. Tiba-tiba Mas Ifan masuk. "Ras, kamu kenapa bentak Ibuku?"Hahh??? Apalagi ini"Bentak gimana maksudnya Mas?""Ya tadi. Kamu kenapa ngomong kasar sama Ibuku?""Yang bagian mana ya Mas aku ngomong kasar sama bentak Ibu kamu?""Alah banyak alasan kamu Ras. Selama ini juga aku udah berusaha ngasih yang terbaik buat kamu.
Tanganku gemetar saat aku melihat layar ponselku. Aku tak percaya kala melihat foto Mas Ifan suamiku tersenyum mesra dengan seorang wanita yang tidak aku kenal dengan buku nikah ditangan masing - masing. Perlahan aku scroll beranda facebook ku. Ada banyak foto - foto Mas Ifan menikah lagi. Ya Allah. Hati ini nyeri. Seperti luka yang disiram dengan air jeruk nipis. Sakit ya Allah. Sungguh aku tak menyangka pada akhirnya seperti ini. Pernikahan yang baru seumur jagung. Terakhir yang aku tau, suamiku pergi merantau lagi. Bosan di kampung katanya saat itu. Aku duduk, linglung, entah apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Kupandangi anakku dengan Mas Ifan yang baru berusia 3 bulan. Wajah yang polos dan lugu sedang asyik bermain mobil - mobilan yang diberikan sepupunya. Perlahan ku dekati, kubelai rambutnya, dalam hati kukatakan padanya "Nak, ayahmu menikah lagi." Aku tidak tau apakah ini karma bagiku atau memang ini sudah jalan hidupku. Apakah ini akibat dari perbuatanku, atau memang aku