Bingung. Angkat atau tidak.
Mas Rey, ada rasa ga enak hati karena dia saudara ipar. Dan juga dia jarang sekali mencampuri urusan kami kecuali darurat. Tapi tunggu. Apakah ini juga darurat? Menurutku tidak. Lalu kenapa Mas Rey menelepon? Segera ku angkat dan aku kembali masuk kamar. "Halo Mas.""Assalamualaikum. Mas lagi di terminal. Jemput sekarang ya. Mas ga tau jalan kerumah itu."Dari nada suaranya, Mas Rey nampak kesal dan telepon di akhiri sepihak. Segera kuberitahu Mas Ifan dan keluarganya. Tegang, panik, seperti pencuri yang tertangkap basah. Hanya aku sendiri yang terlihat santai. Mau tak mau, Mas Ifan menjemput Mas Rey ke terminal. Sembari menunggu mereka tiba dirumah, ponselku tak berhenti bergetar."Sia - sia aku habiskan duitku untuk biaya kuliahmu. Kalau seandainya dari dulu aku tau kamu sebodoh ini, lebih baik kuinvestasikan ke hal lain.""Mba mohon. Tolong pulang lah dulu. Kita bisa bicarakan semuanya baik - baik. Kalian tetap nikah, tapi jangan sekarang. Tunggulah sebentar lagi."Kubaca pesan singkat yang dikirimkan Mbak Rika.
Kenapa aku jadi merasa iba sama Mbak ku ya. "Audzu billahi minasy syaithonir rojiim.Astagfirullahaladzim. Astagfirullahaladzim. Astagfirullahaladzim."Pesan pertama dari Ica. Adik perempuanku.
Tiba - tiba bulu kudukku berdiri setelah aku baca pesan dari Ica. Kubaca sampai berulang kali. Tiba - tiba aku kepikiran sama Ibu. Ibu, terakhir kata Mba Rika Ibu pingsan. Apakah sekarang Ibu sudah sadar? Aku hendak menelepon Ibu, tiba - tiba Bu Murni langsung memanggilku. Kini, ada rasa tak enak dihati mengingat Ibu. "Mbak, tadi Ibu sempat bikin gorengan nih. Makan dulu sembari kita menunggu Mas mu tiba."Wangi pisang goreng bercampur dengan aroma teh yang baru dibuat Bu Murni. Aku sebenarnya masih kenyang, tapi untuk menghargai Bu Murni, kuambil satu pisang goreng dan segelas teh. Bu Murni dan Pak Sutrisno menatapku penuh arti, berharap aku langsung makan pisang goreng dan menghabiskan teh nya. Dan benar saja. Setelah teh nya habis, mereka langsung merasa lega. Aku yang tadi kepikiran Ibu, berangsur-angsur melupakan Ibu lagi. "Bu, Pak!" terdengar suara Mas Ifan dari luar. Kami beranjak ke depan. "Assalamualaikum, Bu Pak."Mas Rey menyalami Pak Danar dan Bu Murni. Hening. Tak ada yang berbicara. Tiba - tiba, "Apakah tidak ada yang mau Bapak dan Ibu katakan kepada saya?" Mas Rey memecah keheningan. Keluarga Mas Ifan gelagapan. Begitu juga Mas Ifan. Tak ada yang berani bicara keada Mas Rey. Tiba - tiba Mas Rey menatap ku. "Kamu beneran mau nikah?""Iya Mas. Kalau gak, aku ga disini!" jawabku sekenanya. "Kita pulang yok. Nanti Mas bantu ngomong sama Bapak Ibu di kampung. Kalian nikahnya ditunda dulu, setelah ngomong sama Bapak Ibu dulu ya."Mas Rey memohon kepadaku. "Ga bisa Mas. Kalau uda sampai disini, aku ga bisa pergi lagi. Nanti setelah nikah baru bisa pergi.""Kenapa ga bisa? Alasannya apa?""Nanti keluarga Mas Ifan malu sama orang - orang disini.""Trus kamu ga mikirin betapa malunya Bapak, Ibu, Mba Rika, Mas dan keluarga Tante disana? Kamu kenapa jadi bodoh gini? Mbak kamu menyekolahkan kamu sampai sarjana biar kamu pintar. Biar otakmu kamu gunakan untuk berpikir. Calon suamimu usianya berapa? Apa dia juga ga bisa berpikir dan ga punya etika? Apa orang - orang disini juga semuanya kayak gini?"Mas Rey memelototi Bu Murni dan Pak Danar. "Kamu kalau ngomong ke orang tua bisa sopan ga?" Ujar Bu Murni. "Trus sopan santun kalian sebagai orang tua dimana? Kenapa membiarkan anak gadis yang belum sah jadi menantu kalian tidur dirumah kalian?"Ponselku bergetar lagi. Mas Rey melirik, "Angkat!" bentaknya. "Mas Rey uda sampai kan? Kamu pulang bareng Mas Rey ya. Nanti biar Mas Rey yang ngomong sama yang punya rumah itu. Pulang ya Ras. Pikirkan Ibu!" Mbak Rika memohon lagi. Aku teringat pesan yang dikirimkan Ica. Dalam hati aku kembali membaca kalimat ta'awudz dan beristighfar. "Ras, kamu dengar kan. Kamu pulang ya. Nikahnya nanti aja. Bulan depan ya. Nikahnya tetap sama dia kok. Cuma ditunda aja. Ya Ras ya!"Tiba - tiba aku menangis. Kepalaku berputar. Tak tau apa yang harus kukatakan pada Mbak Rika. "Maafin Laras Mbak!" ucapku sambil terisak. "Iya Mbak maafin kok. Tapi kamu pulang ya sama Mas Rey.""Tapi ga bisa lagi Mbak. Nanti keluarga Mas Ifan malu sama orang-orang disini. Karena aku uda sampai dan menginap dirumah Mas Ifan." Aku masih terisak. "Trus kamu apa ga mikirin Ibu? Ahh yaa. Kalau kamu pikirin Ibu pasti kamu sudah tanya kabarnya kan? Tapi ini tidak. Kenapa? Apa kamu uda bunting? Uda berapa bulan hahh?"Mba Rika murka. Aku semakin terisak. "Ga usah nangis pela**r. Apa kamu pikir menangis bisa menyelesaikan masalah hahh? Kamu memikirkan orang - orang itu, tapi kamu tidak sekalipun memikirkan Ibu kandungmu sendiri? Ibu yang sudah melahirkan dan membesarkanmu? Kamu buang otak kamu dimana sih?" Mbak Rika juga mulai terisak. "Tolonglah jangan egois. Mbak ga bilang jangan menikah. Mbak cuma bilang tunda dulu. Ngomong dulu sama Ibu Bapak. Pulang. Itu saja ga susah loh untuk dilakukan. Jangan nyusahin semua orang.""Maaf Mbak. Aku ga bisa pulang lagi." Hanya itu yang bisa kuucapkan sama Mbak Rika. "Dasar perempuan murahan, pel***r." Mbak Rika berteriak ditengah isak tangisnya. Dan panggilan diakhiri sepihak. Aku duduk bersandar di dinding. Mas Rey masih diteras berbicara dengan orang tua Mas Ifan. Kulihat Mas Ifan hanya duduk sambil menundukkan kepala. Sekelebat bayangan Ibu melintas di pikiranku. Tangisku kembali pecah. Tiba - tiba aku berpikir kenapa bisa sampai dirumah Mas Ifan tanpa sepengetahuan keluargaku. Aku teringat di dalam bus Mas Ifan bilang, jika sudah sampai disini tidak bisa pulang lagi. Setelah nikah baru bisa pulang. Ku iyakan perkataan Mas Ifan saat itu. Bayangan Ibu melintas lagi. Aku galau. Jika aku pulang bersama Mas Rey, keluarga Mas Ifan akan menanggung malu disini. Dan juga, aku kesini juga atas kemauan sendiri. Mas Ifan tak sekalipun memaksaku untuk kesini dan menikah. Kulakukan karena aku mencintai Mas Ifan dan Mas Ifan juga mencintaiku. Namun bagaimana dengan Ibu? Jika aku tak pulang, maka keluargaku juga akan malu dikampung. Terutama Ibu. Ibu yang berprofesi sebagai tenaga pendidik, tapi aku seperti tak pernah di didik. Tapi apakah nanti orang-orang dikampung akan tau jika aku menikah dengan cara seperti ini? Ponselku bergetar lagi. Kali ini Ica yang menelpon. Entah apa yang akan dia katakan.Kutekan tombol jawab. ya’lamu ma baina aidihim wa ma khalfahum, wa la yuhituna bisyai’ im min ilmihi illa bima sya... Kudengar potongan ayat kursi. Ica memang sering mendengar murottal. Bulu kudukku berdiri. Tiba - tiba aku menangis lagi. Terasa sesak didada. Ada yang bergejolak dari hati yang paling dalam. "Assalamualaikum Mbak. Gimana kabarnya?"Tak kujawab salam Ica. "Kabar baik Ca.""Mbak tau ga Ibu belum sadar juga sampai hari ini."Aku diam. "Mbak, Mbak punya adik empat orang. Aku tiga orang. Ingat ga dulu kita bilang sama Ibu, jatah kita 1 satu orang. Aku sama Santi dan Mbak sama Fizi. Biar Doni sama Ibu aja karena ga mungkin lagi sama Mbak Rika. Mbak, kalau Mbak nikah sekarang gimana kita menepati janji kita sama Ibu?"Aku diam. Hanya suara isakan ku yang terdengar. "Mbak, nangis ga menyelesaikan masalah loh. Ga ada gunanya Mbak nangis. Mau nangis darah juga ga ada gunanya Mbak. Mbak pulang ya sama Mas Rey.""Mas Rey marah Ca. Mbak ga berani ngomong sama Mas Rey.""Ga a
Pov Ita (Ibu Laras) Drrtttt drrtttttPonselku bergetar diatas meja mengajar ku. Ku lirik nama yang tertera, Laras. Anak keduaku yang saat ini sedang bekerja di Salon, dipulau seberang. "Assalamualaikum, halo nak.""Ma, aku mau nikah. Restuin ya."Tak ada jawaban salam atau sekedar basa basi dari Laras. "Alhamdulillah anak ku mau nikah." jawabku sekenanya. "Beneran Bu, aku udah di jalan mau kerumah calon menantu Ibu.""Kamu kalau bercanda jangan kelewatan Ras.""Aku ga bercanda Bu. Sumpah deh.""Yang benar kamu Ras. Kamu mau nikah tapi kok kayak mau beli sayur." "Maaf Bu, ga sempat nelpon Ibu. Tapi ini beneren kami udah di jalan."Tiba-tiba kepalaku berputar. Dan brukkkk aku ambruk. Hal terakhir yang aku lihat, anak didikku berlari sambil berteriak memanggilku, dan aku merasakan aliran darah di dadaku tidak terbendung. Bau aroma obat menusuk penciumanku. Perlahan-lahan aku membuka mata, dan terkejut ketika melihat aku terbangun dirumah sakit. "Alhamdulillah udah siuman Bu!"Pak
Pov IfanSetelah aku tamat SMK, aku langsung merantau ke ibukota. Jika tetap tinggal di desa ini, aku tidak bisa memanfaatkan ijazahku yang walaupun hanya tamat SMK. Mencoba peruntungan, bagaimanapun lebih bagus di kota dari pada di desa. "Doain Ifan ya Bu, Pak!" ucapku sambil mencium telapak tangan Ibu Bapakku. Tampak Ibu menitikkan air mata. Tak butuh waktu lama, aku bekerja sebagai mekanik, bermodalkan ijazah SMK ku. Tak lepas dari campur tangan seorang kenalan yang berasal dari desa yang sama. ***Larasati namanya. Gadis polos yang berhasil mencuri hatiku pada pandangan pertama. Selain cantik, dia terlihat baik dan juga solehah. "Mbak orang sini ya!" tanyaku ketika tak sengaja kami berpapasan. "Bukan Mas. Saya orang Sumatera.""Ohh orang Sumatera!" Aku hendak melanjutkan percakapan kami tapi Laras sudah berlalu. Tiga hari kemudian kami tak sengaja berpapasan lagi. "Mbak namanya siapa?" Tanyaku lagi. "Laras Mas.""Sumatera mana Mbak asalnya?""Sumatera Utara Mas. Kenapa ya
Pov Ifan 2Pada akhirnya Laras memilih tidak pulang dan pernikahan kami tetap akan dilangsungkan. Aku menghampiri Bapak yang duduk diteras dengan kopi dan rokoknya. "Fan, kamu yakin akan menikah secepat ini? Kamu baru 19 tahun loh!" Bapak membuka percakapan. "Tidak ada larangan toh Pak mau nikah di usia berapa. Yang penting udah cukup umur.""Nikah itu bukan sekedar tidur bersama dan makan bersama Fan. Nikah dan pacaran itu perbedaannya seratus persen. Ini ceritanya kamu melarikan anak orang. Kamu udah mikirin resiko yang akan kamu hadapi?"Bapak menatapku tajam. Tak mau kalah, kutatap balik Bapakku. "Lalu, kenapa Bapak selipkan serbuk itu di tas Ifan?""Bapak hanya tak habis pikir aja dengan mu Fan. Kenapa secepat itu kamu gunakan? Udah hamil berapa bulan Laras?""Kenapa Bapak malah menyalahkanku? kalau serbuk itu tidak ada ini semua tak akan terjadi Pak. Sadar ga ini semua akibat perbuatan Bapak!"Kusadari, ternyata Bapakku juga seorang pengecut. Aku masuk ke kamarku dengan mem
Setelah kepergian Mas Ifan, kuperhatikan raut wajah kedua calon mertuaku yang semakin lama semakin memucat. Entah apa yang mereka takutkan, tapi bagiku semuanya seperti biasa saja. "Ras, kamu benaran yakin melanjutkan acara ini?" Pak Alex memecah keheningan. "Ia Pak. Bapak tanya berkali-kali lagi pun jawaban ku tetap sama.""Trus kamu apa gak mikirin orang tua kamu Ras? Pernikahan itu kalau bisa sekali seumur hidup. Kamu kayak gini gak ada harga dirinya loh Ras. Bisa saya bayangkan gimana perasaan orangtua kamu. Ibu kamu seorang pendidik tapi kamu malah seperti ini Ras. Apalagi Bapak kamu, punya harga diri yang sangat tinggi. Ga bisa dijengkali orang.""Iya Pak. Laras tau. Tapi gimana Pak, Laras udah sampai disini.""Nahh, Laras kenapa bisa sampai dikampung ini? Laras udah berapa kali kesini?""Dua kali Pak. Pertama kami langsung pulang hari. Dan ini kali kedua.""Ifan udah pernah ketemu orang tua kamu?""Belum Pak."Pak Alex menarik nafas panjang. "Kalau belum pernah, kenapa kamu
"Assalamualaikum Ras. Sehat nak?""Wa'alaikum salam. Alhamdulillah sehat Pak. Bapak sehat?""Bapak sama Ibu ga sehat Ras. Ibu sempat diopname. Bapak kepikiran sama kamu. Apa gak pulang aja dulu Ras? Jangan buang harga diri kamu."Aku diam. Tak tau harus menjawab apa. "Bapak harap kamu pulang Ras. Jangan lupakan kami orangtua kandung kamu."Aku tetap diam. "Ras, kamu dengar nak?" kali ini Ibu yang bicara. Air mataku tak bisa kubendung. "Iya Bu.""Jangan lupa shalat ya. Perbanyak Istigfar. Minta sama Allah diberikan kesehatan.""Iya Bu.""Jangan nyusahin yang punya rumah Ras. Anak-anak Ibu ga pernah Ibu ajarin nyusahin orang. Tapi entah lah kali ini.""Maafin Laras Bu.""Yasudah. Ibu tutup dulu ya. Jangan lupa shalat Ras. Assalamualaikum.""Iya Bu. Wa'alaikum salam.""Ras, kamu tidur dikamar sebelah Ibu ya. Yuk, udah malam!" ajak Bu Rina. "Iya Bu."Aku berbaring dikasur. Mencoba memejamkan mata tapi tak junjung terpejam. Tok...tok... tok"Ras, udah tidur belum? Ini Ibu.""Belum Bu.
Tiga hari sebelum acara pernikahan, utusan dari keluarga Pak Danar datang kerumah Pak Alex. "Pak, semua sudah siap ya pak. Akad nikah hari minggu jam 9. Dirumah saja. Dilanjutkan dengan resepsi!" kata utusan Pak Danar. Pak Alex menarik nafas panjang. Tak mengiyakan dan tak menolak juga. Karena pada intinya keputusan bulat ada ditanganku. Setelah makan malam, saat semua sedang berkumpul di depan televisi, "Ras, kamu yakin akan melanjutkan semua ini?" tanya Pak Alex. Semua menatapku menunggu jawaban. Aku ragu. Antara melanjutkan dan membatalkan. "Gak tau Pak. Aku bingung. Tadi malam aku bermimpi didorong Mas Ifan kejurang!" Aku menceritakan mimpi buruk tadi malam. "Aku benar-benar tidak bisa mengambil keputusan Pak. Aku bingung."Aku menarik nafas panjang. Speaker murottal yang diberikan Bu Rina selalu kuhidupkan saat aku berada dikamar. Shalat yang sejak tiba dirumah Mas Ifan selalu kutinggalkan, setelah dirumah Pak Alex tak pernah kutinggalkan lagi. Bahkan sujudku lebih panj
Ini terlalu mudah. Apakah segampang ini aku bisa kabur sementara persiapan untuk acara pernikahan sudah siap semua? Bukankah ini terlalu mudah? Firasatku tak enak. Tapi bagaimanapun, bismillah aja. Allah sebaik-baik pelindung. Dan benar saja, tiba-tiba dipersimpangan kami dihadang oleh orang yang tidak kami kenal. "Kalian mau apa?" kata Om Tino. Tak ada yang menjawab. "Mau kemana Ras?" Mas Ifan muncul. Matilah aku. Tapi kenapa Mas Ifan bisa ada disini sementara rumah Mas Ifan bukan didekat sini. Siapa yang sudah mendahului kami? Seminggu yang lalu, ketika Mas Ifan sekeluarga kembali dari rumah Pak Alex, Ifan singgah kerumah tetangga yang juga temannya Ifan. Ifan minta tolong untuk memantau Laras selama dirumah Pak Alex dengan iming-iming uang. Kebetulan orangtua Ifan juga kenal dengan orangtuanya. Jadilah mereka tak langsung pulang. Dan benar saja. Semua kegiatan Laras dilaporkan mereka ke Mas Ifan sekeluarga. Tak lupa mereka menguping pembicaraan Ayu dan Laras dihalaman belak