Share

Bab 2

Bingung. Angkat atau tidak. 

Mas Rey, ada rasa ga enak hati karena dia saudara ipar. Dan juga dia jarang sekali mencampuri urusan kami kecuali darurat. Tapi tunggu. Apakah ini juga darurat? Menurutku tidak. Lalu kenapa Mas Rey menelepon? 

Segera ku angkat dan aku kembali masuk kamar. 

"Halo Mas."

"Assalamualaikum. Mas lagi di terminal. Jemput sekarang ya. Mas ga tau jalan kerumah itu."

Dari nada suaranya, Mas Rey nampak kesal dan telepon di akhiri sepihak. 

Segera kuberitahu Mas Ifan dan keluarganya. Tegang, panik, seperti pencuri yang tertangkap basah. Hanya aku sendiri yang terlihat santai. Mau tak mau, Mas Ifan menjemput Mas Rey ke terminal. Sembari menunggu mereka tiba dirumah, ponselku tak berhenti bergetar.

"Sia - sia aku habiskan duitku untuk biaya kuliahmu. Kalau seandainya dari dulu aku tau kamu sebodoh ini, lebih baik kuinvestasikan ke hal lain."

"Mba mohon. Tolong pulang lah dulu. Kita bisa bicarakan semuanya baik - baik. Kalian tetap nikah, tapi jangan sekarang. Tunggulah sebentar lagi."

Kubaca pesan singkat yang dikirimkan Mbak Rika. 

Kenapa aku jadi merasa iba sama Mbak ku ya. 

"Audzu billahi minasy syaithonir rojiim.

Astagfirullahaladzim. 

Astagfirullahaladzim. 

Astagfirullahaladzim."

Pesan pertama dari Ica. Adik perempuanku. 

Tiba - tiba bulu kudukku berdiri setelah aku baca pesan dari Ica. Kubaca sampai berulang kali. Tiba - tiba aku kepikiran sama Ibu. Ibu, terakhir kata Mba Rika Ibu pingsan. Apakah sekarang Ibu sudah sadar? Aku hendak menelepon Ibu, tiba - tiba Bu Murni langsung memanggilku. Kini, ada rasa tak enak dihati mengingat Ibu. 

"Mbak, tadi Ibu sempat bikin gorengan nih. Makan dulu sembari kita menunggu Mas mu tiba."

Wangi pisang goreng bercampur dengan aroma teh yang baru dibuat Bu Murni. Aku sebenarnya masih kenyang, tapi untuk menghargai Bu Murni, kuambil satu pisang goreng dan segelas teh. Bu Murni dan Pak Sutrisno menatapku penuh arti, berharap aku langsung makan pisang goreng dan menghabiskan teh nya. Dan benar saja. Setelah teh nya habis, mereka langsung merasa lega. Aku yang tadi kepikiran Ibu, berangsur-angsur melupakan Ibu lagi. 

"Bu, Pak!" terdengar suara Mas Ifan dari luar. Kami beranjak ke depan. 

"Assalamualaikum, Bu Pak."

Mas Rey menyalami Pak Danar dan Bu Murni. 

Hening. Tak ada yang berbicara. Tiba - tiba, 

"Apakah tidak ada yang mau Bapak dan Ibu katakan kepada saya?" Mas Rey memecah keheningan. 

Keluarga Mas Ifan gelagapan. Begitu juga Mas Ifan. Tak ada yang berani bicara keada Mas Rey. Tiba - tiba Mas Rey menatap ku. 

"Kamu beneran mau nikah?"

"Iya Mas. Kalau gak, aku ga disini!" jawabku sekenanya. 

"Kita pulang yok. Nanti Mas bantu ngomong sama Bapak Ibu di kampung. Kalian nikahnya ditunda dulu, setelah ngomong sama Bapak Ibu dulu ya."

Mas Rey memohon kepadaku. 

"Ga bisa Mas. Kalau uda sampai disini, aku ga bisa pergi lagi. Nanti setelah nikah baru bisa pergi."

"Kenapa ga bisa? Alasannya apa?"

"Nanti keluarga Mas Ifan malu sama orang - orang disini."

"Trus kamu ga mikirin betapa malunya Bapak, Ibu, Mba Rika, Mas dan keluarga Tante disana? Kamu kenapa jadi bodoh gini? Mbak kamu menyekolahkan kamu sampai sarjana biar kamu pintar. Biar otakmu kamu gunakan untuk berpikir. Calon suamimu usianya berapa? Apa dia juga ga bisa berpikir dan ga punya etika? Apa orang - orang disini juga semuanya kayak gini?"

Mas Rey memelototi Bu Murni dan Pak Danar. 

"Kamu kalau ngomong ke orang tua bisa sopan ga?" Ujar Bu Murni. 

"Trus sopan santun kalian sebagai orang tua dimana? Kenapa membiarkan anak gadis yang belum sah jadi menantu kalian tidur dirumah kalian?"

Ponselku bergetar lagi. Mas Rey melirik, 

"Angkat!" bentaknya. 

"Mas Rey uda sampai kan? Kamu pulang bareng Mas Rey ya. Nanti biar Mas Rey yang ngomong sama yang punya rumah itu. Pulang ya Ras. Pikirkan Ibu!" Mbak Rika memohon lagi. 

Aku teringat pesan yang dikirimkan Ica. Dalam hati aku kembali membaca kalimat ta'awudz dan beristighfar. 

"Ras, kamu dengar kan. Kamu pulang ya. Nikahnya nanti aja. Bulan depan ya. Nikahnya tetap sama dia kok. Cuma ditunda aja. Ya Ras ya!"

Tiba - tiba aku menangis. Kepalaku berputar. Tak tau apa yang harus kukatakan pada Mbak Rika. 

"Maafin Laras Mbak!" ucapku sambil terisak. 

"Iya Mbak maafin kok. Tapi kamu pulang ya sama Mas Rey."

"Tapi ga bisa lagi Mbak. Nanti keluarga Mas Ifan malu sama orang-orang disini. Karena aku uda sampai dan menginap dirumah Mas Ifan." Aku masih terisak. 

"Trus kamu apa ga mikirin Ibu? Ahh yaa. Kalau kamu pikirin Ibu pasti kamu sudah tanya kabarnya kan? Tapi ini tidak. Kenapa? Apa kamu uda bunting? Uda berapa bulan hahh?"

Mba Rika murka. Aku semakin terisak. 

"Ga usah nangis pela**r. Apa kamu pikir menangis bisa menyelesaikan masalah hahh? Kamu memikirkan orang - orang itu, tapi kamu tidak sekalipun memikirkan Ibu kandungmu sendiri? Ibu yang sudah melahirkan dan membesarkanmu? Kamu buang otak kamu dimana sih?" Mbak Rika juga mulai terisak. 

"Tolonglah jangan egois. Mbak ga bilang jangan menikah. Mbak cuma bilang tunda dulu. Ngomong dulu sama Ibu Bapak. Pulang. Itu saja ga susah loh untuk dilakukan. Jangan nyusahin semua orang."

"Maaf Mbak. Aku ga bisa pulang lagi." 

Hanya itu yang bisa kuucapkan sama Mbak Rika. 

"Dasar perempuan murahan, pel***r." Mbak Rika berteriak ditengah isak tangisnya. Dan panggilan diakhiri sepihak. 

Aku duduk bersandar di dinding. Mas Rey masih diteras berbicara dengan orang tua Mas Ifan. Kulihat Mas Ifan hanya duduk sambil menundukkan kepala. 

Sekelebat bayangan Ibu melintas di pikiranku. Tangisku kembali pecah. Tiba - tiba aku berpikir kenapa bisa sampai dirumah Mas Ifan tanpa sepengetahuan keluargaku. Aku teringat di dalam bus Mas Ifan bilang, jika sudah sampai disini tidak bisa pulang lagi. Setelah nikah baru bisa pulang. Ku iyakan perkataan Mas Ifan saat itu. 

Bayangan Ibu melintas lagi. Aku galau. Jika aku pulang bersama Mas Rey, keluarga Mas Ifan akan menanggung malu disini. Dan juga, aku kesini juga atas kemauan sendiri. Mas Ifan tak sekalipun memaksaku untuk kesini dan menikah. Kulakukan karena aku mencintai Mas Ifan dan Mas Ifan juga mencintaiku. Namun bagaimana dengan Ibu? Jika aku tak pulang, maka keluargaku juga akan malu dikampung. Terutama Ibu. Ibu yang berprofesi sebagai tenaga pendidik, tapi aku seperti tak pernah di didik. Tapi apakah nanti orang-orang dikampung akan tau jika aku menikah dengan cara seperti ini? 

Ponselku bergetar lagi. 

Kali ini Ica yang menelpon. Entah apa yang akan dia katakan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status