Beranda / Pernikahan / Luka di Balik Senyum Istriku / 1. Membawa Calon Madu Untuk Najma

Share

Luka di Balik Senyum Istriku
Luka di Balik Senyum Istriku
Penulis: Sheila FR

1. Membawa Calon Madu Untuk Najma

Penulis: Sheila FR
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Waalaikumsalam, Abah." 

Najma, istriku, membukakan pintu untukku sambil menjawab salamku. Namun, senyumnya berubah sesaat menjadi kebingungan kala melihat sosok wanita di belakangku. Itu hanya terjadi sepersekian detik. 

Karena setelahnya, Najma kembali tersenyum sambil menggeser tubuhnya agar kami bisa masuk. "Silakan masuk, Mbak…?"

"Saya Salwa, Mbak." Wanita di belakangku kini memperkenalkan dirinya pada istriku.

Jujur, aku sedikit ketakutan membawa Salwa ke rumah ini, tapi karena permintaan Najma kala itu, aku pun coba beranikan diri.

Namun, senyum di wajah Najma tidak berubah. Dengan lembut, ia bahkan berkata, "Baik, Mbak Salwa, silahkan masuk."

Hatiku sedikit tenang. 

Aku pun melangkah menuju kamarku untuk meletakkan tas dan jas, sebelum aku menjelaskan semua kepada Najma.

Tapi, istriku itu sungguh luar biasa memahamiku. 

Diambilnya barang-barangku dan tersenyum. "Sini, biar umma yang bawakan tas dan jasnya, Abah."

"Terima kasih, Umma."

Istriku mengangguk menanggapi perkataanku. Kemudian, dia melangkah menuju kamar kami. 

Aku pun mengikuti langkahnya menuju kamar.

Namun, baru saja aku masuk, Najma telah keluar. Sepertinya, ia lakukan untuk menemani Salwa.

"Umma," panggilku sambil memegang tangannya. 

"Ya, Abah?" 

"Maafkan, Abah." 

Segera kutarik Najma ke dalam pelukanku. Sungguh, bukan niatanku untuk melukai hatinya seperti ini. 

Istriku mengangguk. "Tak apa, Abah. Tak ada yang perlu dimaafkan, ini takdir."

Lagi–senyuman yang indah terukir di bibirnya–membuat diri ini seakan merasa begitu bersalah. 

"Umma mau buatkan minuman dulu untuk tamu kita,” ucapnya lagi, “Abah, mandilah. Umma sudah siapkan air hangat untuk Abah."

"Baiklah, Umma."

Aku pun segera membersihkan tubuhku.

Tidak butuh waktu lama untuk selesai, aku pun mengenakan pakaian lengkap, lalu melangkah menuju ruang tamu, tempat istri dan calon istriku berada. 

Aku tak mendengar perbincangan mereka sama sekali. 

Keduanya tampak diam–tak ada yang memulai pembicaraan. 

Segera kulangkahkan kaki ini dan duduk di samping Najma, sambil menggenggam tangannya. 

Namun, dengan lembut, dia berusaha melepaskan tangannya dariku.

Alisku terangkat, tapi Najma hanya mengangguk.

"Ya, sudah. Berhubung Mas Hamdan sudah selesai mandinya, jadi silakan bila ada yang ingin kalian sampaikan." Istriku itu pun membuka suaranya. Dia terlihat begitu tenang tanpa beban membuat hatiku sedikit perih.

"Umma, perkenalkan dia Salwa,” ucapku menahan grogi, “wanita yang ayah ceritakan beberapa hari yang lalu."

Jujur, aku tak tahu apa yang harus kusampaikan kepada istriku ini. Kulirik Salwa dari ujung mata yang hanya menunduk memilih ujung jilbabnya saja. 

"Abah beneran siap untuk berpoligami? Apakah abah masih ingat tentang hukum-hukum poligami?"

Lagi, istriku bertanya membuatku seketika mengangguk.

"InsyaAllah abah siap, Umma. Abah masih mengingatnya dan InsyaAllah Abah akan mengamalkannya."

"Baiklah Abah, jika memang Abah sudah yakin," putusnya cepat lalu seketika menatap Salwa.

"Mbak, apakah mbak sudah siap menjadi istri kedua suami saya dan menjadi adik madu untuk saya?"

"InsyaAllah, Mbak," ucap Salwa.

Aku tak bisa mengalihkan pandangan dari istriku. 

Air mukanya sungguh tenang, seperti tak ada emosi di sana, pun amarah, serta rasa benci di wajah cantiknya. 

Hanya senyuman yang menghiasi wajah bidadariku ini. 

Sungguh, bukan aku tak lagi mencintainya, sehingga aku memilih untuk menduakannya. Namun, hati ini tak bisa aku kendalikan saat aku mengenal Salwa. 

Kala itu, saat aku memantau proyek pembangunan hotel di kawasan Jakarta Utara, sementara Salwa merupakan pemilik kedai kopi yang ada tepat di depan proyek milikku. 

Aku yang sering membeli kopi miliknya membuat aku memiliki perasaan yang aneh terhadapnya. 

Dia wanita sholehah. 

Tak pernah sekalipun kulihat, ia melepas jilbab yang ia kenakan. Padahal, seringkali matahari begitu terik di sana. Warungnya pun ramai pelanggan karena ia tak hanya menjual kopi, melainkan juga menjual gorengan, serta nasi dengan lauk sederhana. 

Sosoknya membuatku mengingat istriku–Najma. 

Istri Sholehahku yang tak pernah membuka auratnya di hadapan lelaki yang bukan muhrimnya. 

Meski awalnya aku mengira ini kekaguman semata karena Salwa mirip dengan Najma, tapi lama-kelamaan, dia selalu menghantui pikiranku. Bahkan, ketika aku sedang bersama Najma. 

Aku pun berusaha menepis pikiran itu, berusaha menghilangkan Salwa dari pikiranku. 

Tapi, semakin aku berusaha keras melupakannya, justru dia semakin menghantui tidurku. 

Jadi, aku sampai tak pernah lagi membeli kopi di sana demi menghalau semakin besarnya perasaan ini. Juga, demi menjaga kesetiaanku kepada istriku. 

Aku selalu melaksanakan sujud malam untuk meminta kepada Allah agar menjaga perasaanku hanya untuk istriku. Namun, wanita pemilik kedai kopi itu semakin menguasai pikiranku. 

Aku semakin gelisah dibuatnya. 

Aku butuh nasihat. 

Aku butuh wejangan kata-kata indah yang bisa menyejukkan hati dari istriku, tapi aku tak berani mengatakannya kepadanya. 

Bagaimana jika istriku terluka karena perasaanku yang mulai bercabang? 

Hingga suatu malam, aku tak tahu bahwa istriku mendengar segala curhatanku kepada sang pemilik hati, kepada sang maha pembolak-balik hati. 

Hingga saat aku selesai berdoa dan memohon, aku membalikkan badanku dan aku melihat istriku tengah terduduk di belakangku sambil memandangku lagi dengan senyuman yang tak pernah luntur di wajahnya. 

"Abah tak mau cerita kepada Umma?" tanyanya malam itu membuat aku ketakutan sekaligus merasa begitu bersalah. 

"Umma, se-sejak kapan Bunda ada di sini?"

Istri yang tak pernah menentang perintahku tersebut, tersenyum lembut. "Sejak Abah berdoa."

"Ma-maafkan Abah, Umma," gugupku.

"Minta maaf untuk apa, Abah?"

"Maaf, karena tak bisa mengendalikan perasaan Abah. Maaf sudah membagi perasaan ini, maafkan Abah, Umma."

Dia pun mengangguk. "Lantas, apa yang akan Abah lakukan selanjutnya?"

"Abh akan berusaha menghapus rasa ini, Umma. Abah janji, Abah tak akan menduakan Umma."

"Benarkah Abah?"

"Benar, Umma. Abah tak mau menyakiti Umma, aku akan berusaha menjadikan Umma satu-satunya bidadari Abah."

"Jika perasaan itu tetap ada bagaimana?"

Aku terdiam sebelum akhirnya kembali berbicara, "Bantu Abah untuk menghilangkan perasaan ini."

"InsyaaAllah, Abah."

Kala itu, ia tersenyum sembari mengangguk dan kami berpelukan lama sekali.

Sejak itu, aku kembali berusaha menghapus perasaan ini dengan cara meluangkan lebih banyak waktu bersama istriku. 

Kuajak dirinya jalan-jalan, bahkan keluar negeri untuk berbulan madu kembali mengenang masa-masa awal pernikahan dulu. 

Namun, setahun berlalu, aku masih gagal. 

Najma yang menyadari itu pun, akhirnya memintaku untuk membawa Salwa ke rumah. Bahkan, ia telah meminta ibuku untuk melamar Salwa untukku. 

Kutolak keras permintaannya itu, tapi Najma memaksa karena ia tak mau diriku terus berzina fikiran karena terus memikirkan wanita yang bukan mahramnya.

"Jadi kapan pernikahannya akan diselenggarakan?" 

Pertanyaan Najma membuyarkan lamunanku. 

Dengan cepat, aku pun menjawab, "Belum dipikirkan, Umma."

"Lebih cepatm lebih baik, Abah. Gimana kalau lima belas hari lagi?"

Deg!

Usulan Najma membuat aku dan Salwa kompak menatap wanita bak malaikat ini.

"Umma, jangan terlalu cepat."

"Tak apa, Abah. Agar Umma segera ada temannya di rumah ini," senyumnya lagi.

"Umma!" sentakku tanpa sadar, tetapi ia seolah mengabaikan penolakanku.

Ditatapnya Salwa dengan kehangatan. "Adikku, apakah kamu siap jika menikah dua pekan lagi?"

"Saya terserah, Mas Hamdan, Mbak," jawab Salwa dengan rona merah muda pipinya. 

Melihat itu, gegas Najma memalingkan wajahnya lalu menatap diriku. 

"Bagaimana dengan Abah?"

Aku pun menghela napas panjang. "Terserah Umma sajalah."

"Oh, iya Abah, nikahin Salwa secara negara juga, ya. Jangan lupa daftarkan pernikahan kalian di KUA, agar kelak kalau kalian punya anak ada status yang jelas bagi anak kalian."

Aku mematung.

Membahas soal anak, memang cukup sensitif untuk kami.

Selama enam tahun menikah, kami memang masih belum memiliki anak. Namun, bukan itu alasan aku mencintai wanita lain. Sungguh, perasaan ini datang begitu saja tanpa bisa aku mengendalikannya.

‘Ya Allah, apakah ini jalan yang harus hamba tempuh?’

Komen (7)
goodnovel comment avatar
ASTHAFAYA
gedek anjir, meskipun izin dan masih bersikap baik sama istrinya. Tapi tetep aja bajingan. Hamdan dislike. aku kurang suka karakter cowo menye-menye. Laki-laki sejati itu yang mencintai satu perempuan dan menjaga cinta itu benar-benar
goodnovel comment avatar
Selly Meliyani
Sakit hati kalau baca
goodnovel comment avatar
Puput Assyfa
mengatasnamakan cinta tp tega berhianat dengan membawa madu untuk sang istri pertama. sakit tp tk berd4r4h
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Luka di Balik Senyum Istriku   2. Bidadari Tak Bersayap

    "Mbak, aku mohon jangan terlalu cepat mengambil keputusan, aku ingin mas Hamdan kembali memikirkan keputusannya, karena sejujurnya aku pun enggan menjadi orang ketiga dalam rumah tangga Mbak dan mas Hamdan. Bagaimana juga dengan pandangan orang-orang tentangku, Mbak?" Tutur Salwa dengan rasa tak enak hati."Aku tidak terlalu cepat mengambil keputusan, adikku. Aku sudah memikirkan ini sejak setahun yang lalu. Ini takdir kita untuk menjadi istri-istri dari satu orang suami," Kata Najma menatap yang kulihat sednag menatap menatap kosong ke depan. "Tak usah hiraukan perkataan orang, InsyaaAllah Mbak siap melindungi kamu jika mereka berbuat dzalim kepadamu," Pandangannya kembali beralih kepada Salwa disertai seulas senyum yang terlihat begitu tulus.Saat ini, Aku sengaja meninggalkan mereka berdua untuk saling berbicara, karena Aku tak mau akhirnya terjadi pertikaian antara mereka, walaupun pertikaian itu tak bisa dihindari, karena dalam rumah tangga tak 'kan luput dari yang namanya masal

  • Luka di Balik Senyum Istriku   3. Intimidasi Abi Dan Ummi

    Di rumahku kini sedang sibuk menyiapkan acara pernikahanku dengan Salwa yang akan diselenggarakan esok siang. Aku sangat merasa grogi, rasanya tak siap harus mengikrarkan janji suci untuk kedua kalinya dengan wanita yang berbeda.Acaranya akan diadakan di rumah Salwa.Di sini kami sibuk menyiapkan seserahan yang akan di bawa untuk Salwa. Ah, bukan kami. Lebih tepatnya, Najmalah yang paling sibuk menyiapkan semua seserahan yang akan kami bawa ke rumah calon madunya. Abi serta Ummi turut hadir di sini untuk menyaksikan menantunya ini menikah dengan wanita lain. Menyaksikan sang menantu yang akan memberikan madu untuk sang anak.Tadi pagi, saat Abi serta Ummi baru sampai, aku tak berani menatap wajah kedua mertuaku ini karena mereka terlihat begitu marah kepadaku. Aku tahu, dan sangat pantas jika Abi dan Ummi marah kepadaku karena aku telah menduakan putri mereka, putri yang begitu mereka sayangi, putri satu-satunya dari empat saudara yang ketiganya laki-laki semua. Najma merupakan put

  • Luka di Balik Senyum Istriku   4. Hari Pernikahan

    .Happy Reading🌟🌟🌟🌟"Abah, setelah Salwa sah menjadi istrimu, setelah selesai acara perlakukanlah dia sebagaimana engkau memperlakukan diriku dahulu."Najma yang saat ini sedang memakaikan baju pengantin untukku menasehatiku agar aku melakukan hal yang sama kepada Salwa sebagaimana yang aku lakukan kepadanya dulu."InsyaaAllah, Umma."Tadi, pagi-pagi sekali Najma sudah berada di ruang setrika untuk melanjutkan menyetrika baju yang aku kenakan sekarang ini karena semalam belum selesai.Dia begitu telaten memakaikan baju serta memasang kancing pada kemejaku, tak lupa dia juga menyemprotkan parfum kepada beberapa bagian tubuhku. Setelahnya dia mengambil peci dengan warna putih dan memakaikannya di kepalaku, tentunya dengan senyuman yang tak pernah pudar dari wajah cantiknya.Pakaian serba putih kini sudah melekat sempurna di tubuhku. Begitupun dengan istriku, ia juga menggunakan gamis putih yang indah dan tak memperlihatkan lekuk tubuhnya. Gamis putih yang bertaburan mutiara dari bagi

  • Luka di Balik Senyum Istriku   5. Nasihat Abah

    Siang menjelang sore, kami masih beristirahat di ruang keluarga sebelum nanti sore hingga malam akan mengadakan resepsi. Kami sekeluarga duduk lesehan di lantai beralaskan karpet yang sengaja di gelar untuk acara ijab qobul tadi. Namun, bayang-bayang Najma menangis masih menghantuiku. "Hamdan, jadilah suami yang adil bagi kedua istrimu, perlakukan mereka dengan sama. Jangan pernah bedakan mereka. Janganlah kamu membandingkan antara istrimu yang satu dengan istrimu yang lain," Abi membuka percakapan diantara kami dengan memberikan nasihat kepadaku yang akan aku dengar dan berusaha menjalankan nasihat Abi."Jangan pernah menegur satu istrimu di depan satu istrimu yang lain, karena itu bisa menimbulkan rasa iri, dengki, dendam bahkan sombong di hati istri-istri mu. Nasehati mereka dengan tutur kata yang baik, tegur mereka dengan kalimat yang bijak. Jangan memberitahukan kekurangan satu istrimu kepada istrimu yang lain. Jika ingin menegur, tegurlah saat kalian sedang berdua saja."Abi me

  • Luka di Balik Senyum Istriku   6. Suara Hati Najma

    Aku pulang bersama Abi dan Umi menuju kediamanku selama ini.Kutarik nafas sepanjang-panjangnya merasakan ada yang mendesak keluar di kedua netraku ini. Tak lama, kuhembuskan perlahan nafas ini seiring buliran bening yang menetes begitu saja melewati pipiku. Segera aku menghapusnya agar umi tak mengetahuinya. Aku memang ikhlas. Namun, bukan berarti aku tak akan menangis saat melihat suamiku bersanding dengan wanita lain. Aku tak akan sanggup membendung air mataku lagi jika aku tetap berada di sana menyaksikan suamiku bak raja dan ratu bersama istri mudanya. Tak apa, aku baik-baik saja, dan akan tetap baik-baik saja. "Abi yakin putri Abi adalah wanita yang kuat." Perkataan Abi sontak membuatku mengalihkan pandanganku kepada lelaki cinta pertamaku ini. Aku berikan senyuman tulus ku kepada Abi untuk membenarkan ucapan beliau kalau aku wanita yang kuat. "Najma kuat kok, Abi," ucapku dengan yakin. "Abi percaya, Nak," ujar Abi sambil mengusap kepalaku yang tertutup Khimar. Setibanya

  • Luka di Balik Senyum Istriku   7. Mengantar Kepulangan Abi dan Umi

    Selesai solat subuh berjamaah bersama Salwa dan ibu, aku segera bersiap-siap untuk pulang ke rumahku bersama Najma. Meskipun Najma melarang, tapi aku akan tetap mengantar Abi dan Umi ke bandara. Sedangkan ibuku sudah pulang sejak semalam bersama budhe Kiki. Bagaimana mungkin aku tak mengantar kepulangan mereka karena aku baru menikah, sedangkan mereka saja rela jauh-jauh datang dari Jawa timur ke Jakarta demi menghadiri pernikahan keduaku, yang mungkin kebanyakan mertua tak akan merestui pernikahan kedua menantunya."Mas, kenapa kamu terlihat sangat terburu-buru, mau kemana?" tanya Salwa menghampiriku yang tengah berganti pakaian. "Dik, hari ini mas harus pulang ke rumah Najma, mas mau mengantarkan umi dan Abi ke bandara." "Bukankah mbak Najma melarang mu untuk mengantar mereka dan mengatakan akan mengantar sendiri Abi dan Umi?" Terlihat wajah istri baruku ini tampak tak suka mendengar perkataanku barusan. "Dik, tak elok rasanya membiarkan Najma sendirian mengantar kepulangan Ab

  • Luka di Balik Senyum Istriku   8. Panggilan Tak Terjawab

    "Ummi, Abah sudah carikan rumah buat ummi yang dekat dengan rumah Abah dan Umma Najma. InsyaaAllah Minggu depan sudah bisa ditempati." "Alhamdulillah kalau begitu Abah, ummi nurut saja sama Abah. Apakah Abah sudah bilang ke mbak Najma?" "Belum, Ummi. Tak enak jika membahas hal seperti ini hanya melalui sambungan telepon. Besok Abah akan bilang sama Umma Najma." Ini adalah malam ketujuhku bersama Salwa, yang artinya besok sudah waktunya aku kembali bersama istri pertamaku. Aku sudah sangat merindukannya, ini adalah kali pertama aku berjauhan dengannya selama seminggu. Biasanya hanya sehari dua hari aku tidak bertemu dengannya jika ada kegiatan luar kota, dan itupun jarang karena aku lebih memilih mengutus asistenku untuk keluar kota karena tak mau meninggalkan istriku seorang diri. Saat ini aku sedang berada di dalam kamar tidur kami, sebelum tidur kami biasakan diri untuk mengobrol agar lebih mendekatkan diri satu sama lain. Aku memilih membelikan rumah untuk Salwa di kompleks per

  • Luka di Balik Senyum Istriku   9. Kabar Bahagia

    "Mbak Najma pingsan, segeralah pulang!" Begitu isi pesan yang aku terima dari mbak Hanifah, gegas aku menghubungi nomor ponsel Mbak Hanifah. Pada dering ke tiga barulah panggilan bisa tersambung ke nomor tujuan. "Assalamualaikum, Mbak. Ada dimana Najma sekarang?" "Wa'alaikum salam, Mas Hamdan, mbak Najma sedang di rawat di rumah sakit Pelita. Segeralah kemari!" "Baik, Mbak. Saya akan segera kesana, assalamualaikum," "Waalaikum salam," Aku segera menuju mobilku dan melajukannya meninggalkan rumah, tak lupa aku mengunci pintu terlebih dahulu. Aku mengendarai mobil dengan kecepatan diatas rata-rata, aku begitu khawatir terhadap istriku. Apa yang terjadi dengannya hingga ia sampai pingsan? Apakah istriku sedang sakit? Ya Allah, selamatkanlah istriku. Setibanya di rumah sakit, selesai memakirkan mobil aku segera berlari menuju resepsionis untuk menanyakan dimana ruang rawat istriku. Setelah mengetahui di mana ruang rawat umma Najma. Aku berlari kecil menyusuri koridor rumah sakit

Bab terbaru

  • Luka di Balik Senyum Istriku   23. RASA YANG SAMA. END

    Kamu pantas mendapatkan itu, karena kamu manusia yang tidak tahu diri!" ujar Kinan dengan penuh emosi. "Pergi sebelum aku memanggil satpam untuk mengusirmu! Jangan sampai atasanku keluar dan memberimu sanksi atas keributan yang kau lakukan. Jangan pernah ganggu hidupku lagi. Jangan pernah ikut campur urusanku lagi. Tante hanyalah orang asing yang kebetulan dinikahi papa karena hamil duluan!" Ucapan pedas Maira membuat Kinan semakin naik pitam. "Heh, semakin kurang ajar kamu ya sama orang tua!" Geram Kinan sambil menjambak rambut Maira dari balik kerudung yang dikenakan wanita itu. "Panggil selingkuhanmu ke sini! Gara-gara dia kamu kehilangan Reno dan gara-gara dia kamu semakin tak bisa diatur!" "Aauuwwhh, sakiiiit! Lepasin, Mak lampir! Dasar Gila!" Maira berusaha melepaskan cekalan ibu tirinya pada rambutnya. Sungguh saat ini kepalanya terasa kebas dan kulit kepalanya terasa mau copot. Sontak saja mereka di hampiri orang beberapa orang termasuk para pelayan di restoran tersebu

  • Luka di Balik Senyum Istriku   22. Playing Victim

    "Kenapa anak nakal itu belum juga di temukan?!"Entah kemana perginya Laura yang sesungguhnya, sehingga orang punya kuasa sekuat ayahnya saja tak dapat menemukan keberadaannya. Bahkan detektif handal yang biasanya tak pernah gagal dalam misinya, juga tak dapat menemukan keberadaan wanita muda itu. Jangan menemukan Laura, mendapatkan jejak kepergiannya saja tidak.Tuan Derial mulai ketakutan, ia takut kalau Laura di culik oleh musuhnya. Dia adalah pebisnis yang besar, tentu tak sedikit orang yang membencinya, sisi gelap dalam dunia bisnis salah satunya adalah bersaing dengan kotor, dan itu sudah menjadi rahasia umum."Tapi, siapa yang sudah memanfaatkan Laura demi bisa menyaingi ku? Selama lima bulanan ini tak ada yang berusaha menekan atau menyenggol diriku dengan kepala menunduk, dan satu tangan yang memikat pangkal hidungnya. Ia terlalu pusing memikirkan kemana perginya Laura. Ditambah sang istri yang sering jatuh sakit akibat kepikiran kepada putri mereka satu-satunya.Tak mau piki

  • Luka di Balik Senyum Istriku   21. Berakhirnya Kehidupan Salwa

    "Bil, maafkan aku, gara-gara aku kamu jadi korbannya Reno." Kini Bilal dan Maira tengah duduk di sebuah kursi yang terletak di teras minimarket di seberang restoran. Maira memaksa untuk membantu Bilal mengompres wajah lelaki itu yang memar dan mengobatinya. Saat terjadi adu jotos tadi, teman-teman yang semula hanya menonton kini turun tangan untuk memisahkan Bilal dan Reno, begitupun satpam dan kang ojol yang di pesan Bilal. "Gak papa, Mai. Lagian aku memang geram sama lelaki yang beraninya hanya sama perempuan, apalagi sampai main fisik segala. Beruntunglah kamu sudah bebas dari lelaki seperti itu." Jawab Bilal sambil mengompres wajahnya sendiri, karena ia tak mau jika Maira yang melakukannya. Tentu Bilal masih sangat ingat akan batasan-batasan dalam agamanya. Bilal membantu Maira bukan karena apa, tapi ia tak suka saja melihat kekerasan yang dilakukan oleh lelaki kepada perempuan, apalagi kejadian itu tepat berada di depan matanya. Bilal tak bisa untuk pura-pura tak melihat, apa

  • Luka di Balik Senyum Istriku   20. Baku hantam

    Kamu gak ada rencana buat pulang, Nak?" Tanya Nafisah saat menghubungi Bilal."InsyaaAllah awal Ramadhan ini Hamdan pulang, Mi, tapi belum tahu pastinya tanggal berapa." jawab Bilal.Satu bulan lagi sudah memasuki bulan Ramadhan, dan tanpa disadarinya sudah empat bulan Bilal bekerja di restoran."Syukurlah kalau begitu. Abi dan Umi sangat merindukan kamu, Nak." ujar Nafisah dari seberang sana dengan raut wajah yang begitu kentara menatap penuh rindu kepada sang putra."Bilal juga sangat merindukan Abi dan Umi. Kalian sehat-sehat kan di situ?""Alhamdulillah, kami semua sehat, Nak.""Alhamdulillah kalau umi dan Abi sehat semua."Setelah mengobrol lama dengan sang ibu, Bilal mengakhiri panggilannya dikarenakan ia sudah tiba di tempat kerjanya. Bilal turun dari angkot setelah membayar ongkos. Dihalaman depan, Bilal berpapasan dengan beberapa rekannya yang juga baru tiba di restoran. Bilal menyapa dengan ramah, dan mereka juga membalas sapaan Bilal tak kalah ramahnya. Namun, ada satu oran

  • Luka di Balik Senyum Istriku   19. Tempat Kerja Baru

    "Halo, Baby, mau aku temani?" Tanya Salwa dengan suara yang dibuat sesensual mungkin di dekat telinga pada salah satu pengunjung yang kini tengah menenggak anggur merah.Salwa kini tengah berdiri di belakang pria itu sambil mengalungkan tangannya pada leher pria itu. Tubuhnya bergerak bergoyang kesana-kemari mengikuti alunan musik DJ yang berputar."Owwhh, yees babyy." jawab lelaki tersebut sambil menarik tangan Salwa dan mendudukkan Salwa di atas pangkuannya.Semenjak kematian sang putri, lebih tepatnya kematian Riko, Salwa tak memiliki ladang uang lagi. Bukannya menyesal atas apa yang menimpa Alifah, tapi Salwa justru semakin menjadi-jadi. Bahkan kini wanita itu bekerja sebagai kupu-kupu malam di sebuah klub terkenal di ibukota. Tanpa ada sedikitpun rasa risih atau malu mengenakan pakaian yang begitu mini dan mencetak seluruh lekuk tubuhnya itu. Bahkan dengan bangganya ia memamerkan tubuhnya pada setiap pengunjung yang datang. Sekalipun usianya tak lagi muda, tapi bentuk tubuh Salwa

  • Luka di Balik Senyum Istriku   18. Mengenang masa Lalu

    "Ini adalah surat pemecatanmu, silahkan ambil gaji terakhirmu dan juga bonusnya. Maaf saya tak dapat membantumu untuk bertahan dalam pekerjaan ini."Sesuai dengan permintaan tuan Derial, jikalau dalam tiga hari Laura belum juga ditemukan, maka Bilal harus dikeluarkan dari kantor ini. Dan saat ini, dengan berat hati Tuan Xavier memberikan surat pemecatan untuk Bilal. Pernah kemarin tuan Xavier berusaha membela Bilal dan berusaha mempertahankan Bilal di perusahaan, tapi tanpa kata, satu proyek besar mengalami kegagalan dan kekacauan. Dan tentu itu menimbulkan kerugian yang fantastis.Dengan berat hati, Tuan Xavier mengeluarkan surat pemecatan untuk Bilal."Tidak apa-apa, Pak. Jangan mengorbankan banyak orang hanya demi satu orang, saya sungguh tidak apa-apa. Saya bisa mencari pekerjaan di tempat lain." jawab Bilal yang berusaha berlapang dada dengan apa yang diterimanya hari ini.Tuan Xavier semakin menatap iba kepada Bilal, "Tapi, namamu sudah di blacklist di seluruh perusahaan manapun

  • Luka di Balik Senyum Istriku   17. Ancaman Untuk Bilal

    "Kamu tahu kenapa saya memanggilmu kesini?" Tanya Tuan Xavier yang kini sudah berdiri dari duduknya.Berbeda dengan orang yang duduk di depan meja tuan Xavier yang tetap duduk di tempatnya tapi kursinya ia putar agar bila melihat ke arah Bilal."Tidak, Tuan!" Jawab Bilal sambil menunduk."Ada yang ingin bertemu denganmu." ujar Tuan Xavier sambil melangkahkan kakinya menuju sofa.Bilal sontak mendongak dan menatap seseorang yang baru saja memutar kursinya. Lelaki itu! Ya, Bilal masih sangat ingat siapa lelaki yang sedang menatap tak ramah kepadanya tersebut."Dimana kamu menyembunyikan putriku?" Pertanyaan tanpa basa basi tersebut membuat Bilal menyerukan dahinya.Ya, lelaki itu adalah tuan Derial, orang tua dari Laura, yang seminggu yang lalu membuat Bilal babak belur."Putri Anda? Maksud Anda Laura? Kenapa Anda bertanya pada saya?"Tuan Derial yang tak mendapatkan jawaban atas pertanyaan, dan justru di balas dengan pertanyaan pula, seketika amarahnya semakin memuncak. Tuan Derial ban

  • Luka di Balik Senyum Istriku   16. Duka Hamdan untuk Kesekian Kali

    Hamdan masih terpaku menatap batu nisan dengan tanah yang masih merah di hadapannya. Sekalipun air matanya tak lagi menetes, tapi kesedihan masihlah tergambar jelas di wajah lelaki yang usianya sudah lebih dari kepala enak tersebut. Jika dilihat lebih dekat lagi, kedua sudut mata Hamdan masih basah oleh sisa-sisa air mata.Sungguh, semua ini masih seperti mimpi buruk bagi Hamdan, lelaki itu sangat berharap ada yang membangunkannya dan membuktikan bahwa semua ini hanyalah mimpi. Namun, rintik-rintik hujan yang semakin deras membasahi bumi dan mengguyur tubuhnya membuat Hamdan tersadar bawa semua ini adalah nyata adanya."Om, ayo pulang, hujannya sudah semakin deras!" Ajak Airi yang sejak tadi setia menemani Hamdan beserta kedua orang tuanya."Iya, mari pulang Pak Hamdan, belajarlah mengikhlaskan Alifah, karena dia sudah tenang di sana." sahut pak Herman, papanya Airi."Kalian pulanglah terlebih dahulu, saya masih ingin disini. Terimakasih sudah menemani saya dari tadi." tolak Hamdan t

  • Luka di Balik Senyum Istriku   15. Tidak Selamat

    "Bu, beli es batunya ya, dua," kata Hamdan saat baru pulang dari pertemuannya dengan papanya Laura.Hamdan membeli es batu di warung dekat kontrakannya untuk mengompres wajahnya yang terasa sakit akibat terkena bogeman dua kali dari nak buah tuan Derial."Ini, Mas, 4000 ribu ya." Ibu pemilik warung menyodorkan satu kantung plastik berisi dua es batu yang terbungkus plastik setengah kilo kepada Bilal.Bilal mengambil uang di dalam dompetnya dan menyerahkan uang pecahan sepuluh ribuan kepada pemilik warung, "Ini, Bu, sisanya beli soklin yang 5000 ya Bu, seribunya kasih permen dah." Bilal teringat jika di kontrakannya sudah tidak ada sabun cuci baju. Ya, Bilal memang terbiasa mencuci bajunya sendiri sejak ia remaja.Si pemilik warung mengambilkan pesanan Bilal dan menyerahkannya kepada si empunya. "Itu kenapa wajahnya, Mas? Habis berantem ya?""Gak apa-apa, Bu, ini cuma terjadi kesalahpahaman saja tadi.""Walahh.. Mau heran tapi ini Jakarta, Mas Bilal harus terbiasa ya sama kerasnya kota

DMCA.com Protection Status