Di rumahku kini sedang sibuk menyiapkan acara pernikahanku dengan Salwa yang akan diselenggarakan esok siang. Aku sangat merasa grogi, rasanya tak siap harus mengikrarkan janji suci untuk kedua kalinya dengan wanita yang berbeda.
Acaranya akan diadakan di rumah Salwa.
Di sini kami sibuk menyiapkan seserahan yang akan di bawa untuk Salwa.
Ah, bukan kami. Lebih tepatnya, Najmalah yang paling sibuk menyiapkan semua seserahan yang akan kami bawa ke rumah calon madunya. Abi serta Ummi turut hadir di sini untuk menyaksikan menantunya ini menikah dengan wanita lain. Menyaksikan sang menantu yang akan memberikan madu untuk sang anak.Tadi pagi, saat Abi serta Ummi baru sampai, aku tak berani menatap wajah kedua mertuaku ini karena mereka terlihat begitu marah kepadaku.
Aku tahu, dan sangat pantas jika Abi dan Ummi marah kepadaku karena aku telah menduakan putri mereka, putri yang begitu mereka sayangi, putri satu-satunya dari empat saudara yang ketiganya laki-laki semua. Najma merupakan putri bungsu Abi dan Ummi, dan tentu mereka sekeluarga sangat menyayangi Najam bahkan memanjakan wanita Sholehah yang menjadi istriku tersebut."Apakah ada kesalahan yang putri Abi perbuat sehingga kamu mau menikah lagi?" Tanya Abi pagi tadi.
"Tidak ada, Abi. Tidak ada sama sekali, tak sekalipun Najma berbuat kesalahan kepada Hamdan, Bi."
"Lalu, apakah ada kekurangan pada putriku?" Ada raut kecewa, sedih dan terluka yang ku lihat dari sepasang manik hitam legam milik lelaki yang kepadanya istriku bernasab.
"Tidak ada, Abi," jawabku sambil menundukkan kepala dengan tajam.
"Apakah alasan kamu berpoligami, mantuku?"
Walau takut dan ragu, aku menceritakan semuanya dari awal hingga sampai di titik ini kepada Abi dan Ummi tanpa ada yang aku sembunyikan. Aku siap menerima segala kemarahan Abi, karena aku yakin pasti mereka sangat kecewa kepadaku.
"Jadi begitu ceritanya. Beginilah akibatnya kalau seorang mukmin tak bisa menjaga pandangannya. Akan ada wanita idaman lain yang terlihat paripurna melebihi wanita yang sudah halal baginya."
"Iya, Abi. Abi, Ummi, maafkan Hamdan telah melukai putri Abi dan Ummi, maafkan Hamdan tak bisa mengendalikan hati Hamdan, maafkan Hamdan yang tak bisa menjaga pandangan, maafkan Hamdan telah mengecewakan kalian,"
Aku bersimpuh sambil menyalami tangan Abi dan Ummi, air mataku menetes merasa begitu berdosa kepada istriku serta kedua orang tuanya. Sungguh, aku tak ingin ada dalam posisi ini, karena ini pun sangat terasa amat sulit bagiku.
"Jika Abi membawa pulang Najma hari ini juga, apakah kamu mengizinkan?" Tanya Abi menatap tajam ke arahku, sedangkan Ummi sejak tiba tadi, beliau seolah tak Sudi menatap diriku walau hanya sekian detik.
"Jangan! Jangan, Abi, jangan bawa Najma pergi, maafkan Hamdan, Bi. Tolong, jangan bawa Najma pergi dari sisi Hamdan. Jika memang Abi dan Ummi nggak ridho, Hamdan akan batalkan pernikahan ini,"
"Abah, jangan berkata seperti itu. Bangunlah, Abah!" Najma menghampiriku dan membantuku berdiri dan duduk di sofa.
Aku sungguh takut, aku takut kehilangan istri sesholehah Najma.
"Abi, Ummi, Najma ikhlas jika mas Hamdan menikah lagi, ini juga permintaan Najma. Najma tahu bagaiman perjuangan suami Najma untuk melupakan wanita itu, tapi takdir Allah berkata lain, Abi. Bahkan Najma sendiri yang meminta mas Hamdan untuk menikahi wanita yang selama ini mengganggu fikirannya, Najma tak mau mas Hamdan sampai zina fikiran karena memikirkan wanita yang bukan mahramnya."
"Kamu beneran ridho, Nak, suamimu menikah lagi?" Pandangan umi kepada Najma terlihat begitu terluka. Rasanya ummi begitu menyayangkan nasib putrinya yang harus di madu.
"InsyaaAllah, Ridho, Ummi."
"Berpoligami itu memang diizinkan, tapi harus dengan alasan yang memang di terima sebagai syarat berpoligami,"
"Abi, Ummi, Najma tahu persis gimana awalnya, sehingga pada akhirnya Najma meminta Mas Hamdan untuk meminang perempuan itu. Tolong ridhoi pernikahan kedua pada suami Najma."
Aku merasa begitu malu kepada istriku. Aku yang akan menikah lagi, tapi istrikulah yang berjuang meminta restu untuk pernikahan keduaku ini. Lagi, Najma berjuang mencari ridho dan restu dari kedua orang tuanya setelah sebelumnya kepada Ibuku.
"Nak, kenapa kamu begitu ikhlas dipoligami?"
"Karena ini takdir, Ummi. Kita sebagai hamba Allah tak bisa menolak takdir," jawab Najma takzim.
"Apakah kamu siap untuk berlaku adil kepada istri-istrimu?"
"InsyaaAllah, Hamdan siap, Abi."
Abi menghela nafas kasar seraya mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya,
"Ya sudahlah, kalau seperti itu. Abi dan Ummi hanya bisa mendoakan semoga Allah meridhoi kalian, dan semoga kalian selalu bahagia.""Aamiin," ucapku dan Najma berbarengan.
"Ingat Hamdan, jika sekali saja kamu buat putri Abi terluka karena perlakuanmu yang tidak adil, jangan salahkan Abi jika Abi membawa pulang putri Abi!"
"InsyaaAllah Hamdan akan akan menjaga hati Najma, Bi."
Setelahnya Abi dan Ummi pergi dari hadapan kami. Aku melihat, sekilas Ummi mengusap sudut matanya. Aku tahu, Abi dan Ummi marah padaku. Orang tua mana yang tidak marah jika anaknya disakiti?
Orang tua mana yang tak marah jika mengetahui sang putri telah dikhianati?Allah, ampuni aku yang sudah melukai hati istriku serta kedua mertuaku yang sudah begitu baik kepadaku.
****
"Sayang, ini sudah malam, kenapa belum istirahat?" Tanyaku pada istriku yang kini sedang berada di ruang setrika. Aku menghampirinya, lalu memeluk tubuhnya dari belakang. Ku hirup aromanya yang selalu membuat hatiku tenang.
"Umma lagi nyetrika baju Abah buat acara besok, Bah," jawabnya sambil mengukir senyum di wajahnya. Tangannya sibuk memaju-mundurkan setrika yang dipegangnya.
Aku lihat kedua netranya tampak memerah, apakah dia sedang menangis? atau dia sudah sangat mengantuk tapi ditahannya demi menyelesaikan menyetrika bajuku?
"Umma, jangan lakukan itu. Mari kita istirahat."
Aku menuntun istriku menuju kamar kami, dan meletakkan baju yang barusan dipegang Najma ke atas papan setrika.
Setibanya di kamar, aku mendudukkan Najma di pinggiran kasur, kemudian aku pun ikut duduk dengan menghadap kearahnya.
"Umma...."
"Iya, Abah?"
Wanita ayu di depanku ini tidak menatap ke arahku, dia hanya menunduk memainkan jari-jarinya.
"Lihat Abah!" Pintaku padanya.
Perlahan ia mengangkat kepalanya menghadap kearahku. Lagi dan lagi, senyuman yang begitu indah yang dia suguhkan untukku. Begitu pandai ia menyembunyikan perasaannya dariku.
"Kenapa, Abah?"
"Umma, Abah tahu Umma terluka, Abah tahu bunda sakit hati. Tolong jangan di pendam sendirian Umma, berbagilah kepada Abah. Menangislah jika memang Umma ingin menangis. Jangan terlalu memendam sendirian, Ummma,"
"Tidak Abah, Umma tidak apa-apa, jangan pikirkan Umma. Persiapkan saja diri Abah untuk hari esok!"
"Bagaimana aku tak memikirkanmu, engkau istriku, tanggung jawabku. Tak mungkin untuk aku tak memikirkan dirimu, kamu begitu berharga untuk tak di pikirkan."
Aku memeluknya begitu erat. Aku merasa bahwa diriku adalah lelaki paling bodoh di dunia yang sudah tega menyakiti istri speak bidadari seperti Najma.
"Tidurlah, Abah!" Pintanya melepaskan diri dari pelukanku.
"Umma," ucapku lagi.
"Aku tak apa, Abah. Percayalah pada istrimu ini, bahwa aku baik-baik saja, tidurlah suamiku!"
Aku membaringkan tubuhku juga tubuhnya, aku memeluknya begitu erat sekali. Aku tahu dia terluka, tapi dia terlalu pandai menyimpan lukanya, menyembunyikan sakitnya dariku. Aku sadar dan sangat menyadari bahwa aku adalah suami yang teramat sangat jahat kepada istri bidadari, seperti Najma.
"Izinkan Abah meminta hak Abah, Umma," pintaku yang ingin meredam kegelisahan dan kegundahan yang sejak tadi menyerang dengan cara seperti ini.
"Silahkan, Abah!"
Namun, Najma tidak menatapku seperti biasanya.
Terasa sesak di dada. Aku perlahan merasakan luka yang ia sembunyikan."Maafkan, Abah," batinku..Happy Reading🌟🌟🌟🌟"Abah, setelah Salwa sah menjadi istrimu, setelah selesai acara perlakukanlah dia sebagaimana engkau memperlakukan diriku dahulu."Najma yang saat ini sedang memakaikan baju pengantin untukku menasehatiku agar aku melakukan hal yang sama kepada Salwa sebagaimana yang aku lakukan kepadanya dulu."InsyaaAllah, Umma."Tadi, pagi-pagi sekali Najma sudah berada di ruang setrika untuk melanjutkan menyetrika baju yang aku kenakan sekarang ini karena semalam belum selesai.Dia begitu telaten memakaikan baju serta memasang kancing pada kemejaku, tak lupa dia juga menyemprotkan parfum kepada beberapa bagian tubuhku. Setelahnya dia mengambil peci dengan warna putih dan memakaikannya di kepalaku, tentunya dengan senyuman yang tak pernah pudar dari wajah cantiknya.Pakaian serba putih kini sudah melekat sempurna di tubuhku. Begitupun dengan istriku, ia juga menggunakan gamis putih yang indah dan tak memperlihatkan lekuk tubuhnya. Gamis putih yang bertaburan mutiara dari bagi
Siang menjelang sore, kami masih beristirahat di ruang keluarga sebelum nanti sore hingga malam akan mengadakan resepsi. Kami sekeluarga duduk lesehan di lantai beralaskan karpet yang sengaja di gelar untuk acara ijab qobul tadi. Namun, bayang-bayang Najma menangis masih menghantuiku. "Hamdan, jadilah suami yang adil bagi kedua istrimu, perlakukan mereka dengan sama. Jangan pernah bedakan mereka. Janganlah kamu membandingkan antara istrimu yang satu dengan istrimu yang lain," Abi membuka percakapan diantara kami dengan memberikan nasihat kepadaku yang akan aku dengar dan berusaha menjalankan nasihat Abi."Jangan pernah menegur satu istrimu di depan satu istrimu yang lain, karena itu bisa menimbulkan rasa iri, dengki, dendam bahkan sombong di hati istri-istri mu. Nasehati mereka dengan tutur kata yang baik, tegur mereka dengan kalimat yang bijak. Jangan memberitahukan kekurangan satu istrimu kepada istrimu yang lain. Jika ingin menegur, tegurlah saat kalian sedang berdua saja."Abi me
Aku pulang bersama Abi dan Umi menuju kediamanku selama ini.Kutarik nafas sepanjang-panjangnya merasakan ada yang mendesak keluar di kedua netraku ini. Tak lama, kuhembuskan perlahan nafas ini seiring buliran bening yang menetes begitu saja melewati pipiku. Segera aku menghapusnya agar umi tak mengetahuinya. Aku memang ikhlas. Namun, bukan berarti aku tak akan menangis saat melihat suamiku bersanding dengan wanita lain. Aku tak akan sanggup membendung air mataku lagi jika aku tetap berada di sana menyaksikan suamiku bak raja dan ratu bersama istri mudanya. Tak apa, aku baik-baik saja, dan akan tetap baik-baik saja. "Abi yakin putri Abi adalah wanita yang kuat." Perkataan Abi sontak membuatku mengalihkan pandanganku kepada lelaki cinta pertamaku ini. Aku berikan senyuman tulus ku kepada Abi untuk membenarkan ucapan beliau kalau aku wanita yang kuat. "Najma kuat kok, Abi," ucapku dengan yakin. "Abi percaya, Nak," ujar Abi sambil mengusap kepalaku yang tertutup Khimar. Setibanya
Selesai solat subuh berjamaah bersama Salwa dan ibu, aku segera bersiap-siap untuk pulang ke rumahku bersama Najma. Meskipun Najma melarang, tapi aku akan tetap mengantar Abi dan Umi ke bandara. Sedangkan ibuku sudah pulang sejak semalam bersama budhe Kiki. Bagaimana mungkin aku tak mengantar kepulangan mereka karena aku baru menikah, sedangkan mereka saja rela jauh-jauh datang dari Jawa timur ke Jakarta demi menghadiri pernikahan keduaku, yang mungkin kebanyakan mertua tak akan merestui pernikahan kedua menantunya."Mas, kenapa kamu terlihat sangat terburu-buru, mau kemana?" tanya Salwa menghampiriku yang tengah berganti pakaian. "Dik, hari ini mas harus pulang ke rumah Najma, mas mau mengantarkan umi dan Abi ke bandara." "Bukankah mbak Najma melarang mu untuk mengantar mereka dan mengatakan akan mengantar sendiri Abi dan Umi?" Terlihat wajah istri baruku ini tampak tak suka mendengar perkataanku barusan. "Dik, tak elok rasanya membiarkan Najma sendirian mengantar kepulangan Ab
"Ummi, Abah sudah carikan rumah buat ummi yang dekat dengan rumah Abah dan Umma Najma. InsyaaAllah Minggu depan sudah bisa ditempati." "Alhamdulillah kalau begitu Abah, ummi nurut saja sama Abah. Apakah Abah sudah bilang ke mbak Najma?" "Belum, Ummi. Tak enak jika membahas hal seperti ini hanya melalui sambungan telepon. Besok Abah akan bilang sama Umma Najma." Ini adalah malam ketujuhku bersama Salwa, yang artinya besok sudah waktunya aku kembali bersama istri pertamaku. Aku sudah sangat merindukannya, ini adalah kali pertama aku berjauhan dengannya selama seminggu. Biasanya hanya sehari dua hari aku tidak bertemu dengannya jika ada kegiatan luar kota, dan itupun jarang karena aku lebih memilih mengutus asistenku untuk keluar kota karena tak mau meninggalkan istriku seorang diri. Saat ini aku sedang berada di dalam kamar tidur kami, sebelum tidur kami biasakan diri untuk mengobrol agar lebih mendekatkan diri satu sama lain. Aku memilih membelikan rumah untuk Salwa di kompleks per
"Mbak Najma pingsan, segeralah pulang!" Begitu isi pesan yang aku terima dari mbak Hanifah, gegas aku menghubungi nomor ponsel Mbak Hanifah. Pada dering ke tiga barulah panggilan bisa tersambung ke nomor tujuan. "Assalamualaikum, Mbak. Ada dimana Najma sekarang?" "Wa'alaikum salam, Mas Hamdan, mbak Najma sedang di rawat di rumah sakit Pelita. Segeralah kemari!" "Baik, Mbak. Saya akan segera kesana, assalamualaikum," "Waalaikum salam," Aku segera menuju mobilku dan melajukannya meninggalkan rumah, tak lupa aku mengunci pintu terlebih dahulu. Aku mengendarai mobil dengan kecepatan diatas rata-rata, aku begitu khawatir terhadap istriku. Apa yang terjadi dengannya hingga ia sampai pingsan? Apakah istriku sedang sakit? Ya Allah, selamatkanlah istriku. Setibanya di rumah sakit, selesai memakirkan mobil aku segera berlari menuju resepsionis untuk menanyakan dimana ruang rawat istriku. Setelah mengetahui di mana ruang rawat umma Najma. Aku berlari kecil menyusuri koridor rumah sakit
Wa'alaikum salam, Ibu."Kami menjawab salam wanita paruh baya yang telah melahirkan ku ke dunia ini."Bagaimana keadaanmu, Nak?" Tanya ibu kepada istriku."Alhamdulillah sudah mendingan, Bu." jawab Najma sambil mencium tangan ibu."Ibu bahagia dan bersyukur banget denger kalian akan memberikan ibu cucu, selamat ya,""Alhamdulillah, Bu. Allah masih mempercayakan kami untuk dititipkan amanahnya." jawabku dengan penuh binar kebahagian."Ibu sama siapa kesini? Tahu dari mana kalau Najma ada disini?""Ibu sama ...""Assalamualaikum,"Kami kembali menoleh saat mendengar salam dari arah pintu, di sana istri mudaku dengan membawa parsel buah ditangannya. Wanita itu menghampiriku lalu mencium tanganku, setelahnya dia bercipika-cipiki dengan Najma."Aku turut bahagia, Mbak dengar kabar baik itu," "Terimakasih, Adikku.""Selamat ya, Mas, Mbak.""Iya, sekali lagi terimakasih.""Ini, ibu sama Salwa. Tadi ibu ke rumah kalian, mau bawakan pepes ikan tuna buat Najma, tapi kata Hanifah dari kemaren
Aku tak mempedulikan Najma yang terus saja meminta turun, aku segera membawanya ke kamar agar ia bisa segera istirahat. Soal Salwa, aku harap dia bisa memaklumi apa yang aku lakukan kepada Najma di hadapannya tadi. Setelah meletakkan Najma di kamar, aku keluar untuk mengambil minum di dapur buat Najma. ku lihat beberapa tetangga datang untuk menjenguk istriku. Mereka duduk di ruang tamu di temani ibu. Mereka tak datang dengan tangan kosong, masing-masing dari mereka membawa bungkusan plastik putih transparan yang terlihat jelas isinya. Ada yang membawa roti tawar beserta susu, ada yang membawa camilan, dan ada juga yang membawa buah-buahan. Aku tak heran, karena memang istriku pun melakukan hal yang sama ketika ada tetangga yang sedang sakit. Aku menyampaikan kepada Najma kalau ada para tetangga, tapi aku melarangnya keluar karena harus istirahat. Aku yakin mereka pasti mengerti dan memaklumi jika Najma tak menemui mereka. Sayangnya Najma memaksa untuk tetap menemui mereka. Dia tur
Kamu pantas mendapatkan itu, karena kamu manusia yang tidak tahu diri!" ujar Kinan dengan penuh emosi. "Pergi sebelum aku memanggil satpam untuk mengusirmu! Jangan sampai atasanku keluar dan memberimu sanksi atas keributan yang kau lakukan. Jangan pernah ganggu hidupku lagi. Jangan pernah ikut campur urusanku lagi. Tante hanyalah orang asing yang kebetulan dinikahi papa karena hamil duluan!" Ucapan pedas Maira membuat Kinan semakin naik pitam. "Heh, semakin kurang ajar kamu ya sama orang tua!" Geram Kinan sambil menjambak rambut Maira dari balik kerudung yang dikenakan wanita itu. "Panggil selingkuhanmu ke sini! Gara-gara dia kamu kehilangan Reno dan gara-gara dia kamu semakin tak bisa diatur!" "Aauuwwhh, sakiiiit! Lepasin, Mak lampir! Dasar Gila!" Maira berusaha melepaskan cekalan ibu tirinya pada rambutnya. Sungguh saat ini kepalanya terasa kebas dan kulit kepalanya terasa mau copot. Sontak saja mereka di hampiri orang beberapa orang termasuk para pelayan di restoran tersebu
"Kenapa anak nakal itu belum juga di temukan?!"Entah kemana perginya Laura yang sesungguhnya, sehingga orang punya kuasa sekuat ayahnya saja tak dapat menemukan keberadaannya. Bahkan detektif handal yang biasanya tak pernah gagal dalam misinya, juga tak dapat menemukan keberadaan wanita muda itu. Jangan menemukan Laura, mendapatkan jejak kepergiannya saja tidak.Tuan Derial mulai ketakutan, ia takut kalau Laura di culik oleh musuhnya. Dia adalah pebisnis yang besar, tentu tak sedikit orang yang membencinya, sisi gelap dalam dunia bisnis salah satunya adalah bersaing dengan kotor, dan itu sudah menjadi rahasia umum."Tapi, siapa yang sudah memanfaatkan Laura demi bisa menyaingi ku? Selama lima bulanan ini tak ada yang berusaha menekan atau menyenggol diriku dengan kepala menunduk, dan satu tangan yang memikat pangkal hidungnya. Ia terlalu pusing memikirkan kemana perginya Laura. Ditambah sang istri yang sering jatuh sakit akibat kepikiran kepada putri mereka satu-satunya.Tak mau piki
"Bil, maafkan aku, gara-gara aku kamu jadi korbannya Reno." Kini Bilal dan Maira tengah duduk di sebuah kursi yang terletak di teras minimarket di seberang restoran. Maira memaksa untuk membantu Bilal mengompres wajah lelaki itu yang memar dan mengobatinya. Saat terjadi adu jotos tadi, teman-teman yang semula hanya menonton kini turun tangan untuk memisahkan Bilal dan Reno, begitupun satpam dan kang ojol yang di pesan Bilal. "Gak papa, Mai. Lagian aku memang geram sama lelaki yang beraninya hanya sama perempuan, apalagi sampai main fisik segala. Beruntunglah kamu sudah bebas dari lelaki seperti itu." Jawab Bilal sambil mengompres wajahnya sendiri, karena ia tak mau jika Maira yang melakukannya. Tentu Bilal masih sangat ingat akan batasan-batasan dalam agamanya. Bilal membantu Maira bukan karena apa, tapi ia tak suka saja melihat kekerasan yang dilakukan oleh lelaki kepada perempuan, apalagi kejadian itu tepat berada di depan matanya. Bilal tak bisa untuk pura-pura tak melihat, apa
Kamu gak ada rencana buat pulang, Nak?" Tanya Nafisah saat menghubungi Bilal."InsyaaAllah awal Ramadhan ini Hamdan pulang, Mi, tapi belum tahu pastinya tanggal berapa." jawab Bilal.Satu bulan lagi sudah memasuki bulan Ramadhan, dan tanpa disadarinya sudah empat bulan Bilal bekerja di restoran."Syukurlah kalau begitu. Abi dan Umi sangat merindukan kamu, Nak." ujar Nafisah dari seberang sana dengan raut wajah yang begitu kentara menatap penuh rindu kepada sang putra."Bilal juga sangat merindukan Abi dan Umi. Kalian sehat-sehat kan di situ?""Alhamdulillah, kami semua sehat, Nak.""Alhamdulillah kalau umi dan Abi sehat semua."Setelah mengobrol lama dengan sang ibu, Bilal mengakhiri panggilannya dikarenakan ia sudah tiba di tempat kerjanya. Bilal turun dari angkot setelah membayar ongkos. Dihalaman depan, Bilal berpapasan dengan beberapa rekannya yang juga baru tiba di restoran. Bilal menyapa dengan ramah, dan mereka juga membalas sapaan Bilal tak kalah ramahnya. Namun, ada satu oran
"Halo, Baby, mau aku temani?" Tanya Salwa dengan suara yang dibuat sesensual mungkin di dekat telinga pada salah satu pengunjung yang kini tengah menenggak anggur merah.Salwa kini tengah berdiri di belakang pria itu sambil mengalungkan tangannya pada leher pria itu. Tubuhnya bergerak bergoyang kesana-kemari mengikuti alunan musik DJ yang berputar."Owwhh, yees babyy." jawab lelaki tersebut sambil menarik tangan Salwa dan mendudukkan Salwa di atas pangkuannya.Semenjak kematian sang putri, lebih tepatnya kematian Riko, Salwa tak memiliki ladang uang lagi. Bukannya menyesal atas apa yang menimpa Alifah, tapi Salwa justru semakin menjadi-jadi. Bahkan kini wanita itu bekerja sebagai kupu-kupu malam di sebuah klub terkenal di ibukota. Tanpa ada sedikitpun rasa risih atau malu mengenakan pakaian yang begitu mini dan mencetak seluruh lekuk tubuhnya itu. Bahkan dengan bangganya ia memamerkan tubuhnya pada setiap pengunjung yang datang. Sekalipun usianya tak lagi muda, tapi bentuk tubuh Salwa
"Ini adalah surat pemecatanmu, silahkan ambil gaji terakhirmu dan juga bonusnya. Maaf saya tak dapat membantumu untuk bertahan dalam pekerjaan ini."Sesuai dengan permintaan tuan Derial, jikalau dalam tiga hari Laura belum juga ditemukan, maka Bilal harus dikeluarkan dari kantor ini. Dan saat ini, dengan berat hati Tuan Xavier memberikan surat pemecatan untuk Bilal. Pernah kemarin tuan Xavier berusaha membela Bilal dan berusaha mempertahankan Bilal di perusahaan, tapi tanpa kata, satu proyek besar mengalami kegagalan dan kekacauan. Dan tentu itu menimbulkan kerugian yang fantastis.Dengan berat hati, Tuan Xavier mengeluarkan surat pemecatan untuk Bilal."Tidak apa-apa, Pak. Jangan mengorbankan banyak orang hanya demi satu orang, saya sungguh tidak apa-apa. Saya bisa mencari pekerjaan di tempat lain." jawab Bilal yang berusaha berlapang dada dengan apa yang diterimanya hari ini.Tuan Xavier semakin menatap iba kepada Bilal, "Tapi, namamu sudah di blacklist di seluruh perusahaan manapun
"Kamu tahu kenapa saya memanggilmu kesini?" Tanya Tuan Xavier yang kini sudah berdiri dari duduknya.Berbeda dengan orang yang duduk di depan meja tuan Xavier yang tetap duduk di tempatnya tapi kursinya ia putar agar bila melihat ke arah Bilal."Tidak, Tuan!" Jawab Bilal sambil menunduk."Ada yang ingin bertemu denganmu." ujar Tuan Xavier sambil melangkahkan kakinya menuju sofa.Bilal sontak mendongak dan menatap seseorang yang baru saja memutar kursinya. Lelaki itu! Ya, Bilal masih sangat ingat siapa lelaki yang sedang menatap tak ramah kepadanya tersebut."Dimana kamu menyembunyikan putriku?" Pertanyaan tanpa basa basi tersebut membuat Bilal menyerukan dahinya.Ya, lelaki itu adalah tuan Derial, orang tua dari Laura, yang seminggu yang lalu membuat Bilal babak belur."Putri Anda? Maksud Anda Laura? Kenapa Anda bertanya pada saya?"Tuan Derial yang tak mendapatkan jawaban atas pertanyaan, dan justru di balas dengan pertanyaan pula, seketika amarahnya semakin memuncak. Tuan Derial ban
Hamdan masih terpaku menatap batu nisan dengan tanah yang masih merah di hadapannya. Sekalipun air matanya tak lagi menetes, tapi kesedihan masihlah tergambar jelas di wajah lelaki yang usianya sudah lebih dari kepala enak tersebut. Jika dilihat lebih dekat lagi, kedua sudut mata Hamdan masih basah oleh sisa-sisa air mata.Sungguh, semua ini masih seperti mimpi buruk bagi Hamdan, lelaki itu sangat berharap ada yang membangunkannya dan membuktikan bahwa semua ini hanyalah mimpi. Namun, rintik-rintik hujan yang semakin deras membasahi bumi dan mengguyur tubuhnya membuat Hamdan tersadar bawa semua ini adalah nyata adanya."Om, ayo pulang, hujannya sudah semakin deras!" Ajak Airi yang sejak tadi setia menemani Hamdan beserta kedua orang tuanya."Iya, mari pulang Pak Hamdan, belajarlah mengikhlaskan Alifah, karena dia sudah tenang di sana." sahut pak Herman, papanya Airi."Kalian pulanglah terlebih dahulu, saya masih ingin disini. Terimakasih sudah menemani saya dari tadi." tolak Hamdan t
"Bu, beli es batunya ya, dua," kata Hamdan saat baru pulang dari pertemuannya dengan papanya Laura.Hamdan membeli es batu di warung dekat kontrakannya untuk mengompres wajahnya yang terasa sakit akibat terkena bogeman dua kali dari nak buah tuan Derial."Ini, Mas, 4000 ribu ya." Ibu pemilik warung menyodorkan satu kantung plastik berisi dua es batu yang terbungkus plastik setengah kilo kepada Bilal.Bilal mengambil uang di dalam dompetnya dan menyerahkan uang pecahan sepuluh ribuan kepada pemilik warung, "Ini, Bu, sisanya beli soklin yang 5000 ya Bu, seribunya kasih permen dah." Bilal teringat jika di kontrakannya sudah tidak ada sabun cuci baju. Ya, Bilal memang terbiasa mencuci bajunya sendiri sejak ia remaja.Si pemilik warung mengambilkan pesanan Bilal dan menyerahkannya kepada si empunya. "Itu kenapa wajahnya, Mas? Habis berantem ya?""Gak apa-apa, Bu, ini cuma terjadi kesalahpahaman saja tadi.""Walahh.. Mau heran tapi ini Jakarta, Mas Bilal harus terbiasa ya sama kerasnya kota