Selesai solat subuh berjamaah bersama Salwa dan ibu, aku segera bersiap-siap untuk pulang ke rumahku bersama Najma.Meskipun Najma melarang, tapi aku akan tetap mengantar Abi dan Umi ke bandara. Sedangkan ibuku sudah pulang sejak semalam bersama budhe Kiki. Bagaimana mungkin aku tak mengantar kepulangan mereka karena aku baru menikah, sedangkan mereka saja rela jauh-jauh datang dari Jawa timur ke Jakarta demi menghadiri pernikahan keduaku, yang mungkin kebanyakan mertua tak akan merestui pernikahan kedua menantunya.
"Mas, kenapa kamu terlihat sangat terburu-buru, mau kemana?" tanya Salwa menghampiriku yang tengah berganti pakaian.
"Dik, hari ini mas harus pulang ke rumah Najma, mas mau mengantarkan umi dan Abi ke bandara."
"Bukankah mbak Najma melarang mu untuk mengantar mereka dan mengatakan akan mengantar sendiri Abi dan Umi?" Terlihat wajah istri baruku ini tampak tak suka mendengar perkataanku barusan.
"Dik, tak elok rasanya membiarkan Najma sendirian mengantar kepulangan Abi dan Umi, sedangkan mereka datang ke Jakarta untuk menghadiri pernikahan kita," jawabku.
"Mas tak mau sarapan dulu?" tanyanya setelah menghela napas dengan pasrah.
"Mas keburu, Dik."
"Ya sudah kalau begitu, hati-hati, Mas."
"Iya, Mas pamit dulu, setelah ini mas akan kembali kesini, Assalamualaikum," balasku.
"Wa'alaikumsalam," jawabnya.
Setelah mencium singkat kening istri mudaku, aku bergegas keluar dari kamar takut terlambat mengantar umi dan Abi.
"Ibu, Hamdan pulang dulu ke rumah Najma mau mengantarkan Abi dan Umi ke bandara." pamitku pada ibu yang tengah menyiapkan sarapan di dapur.
"Enggak sarapan dulu?" tanya ibu menghentikan kegiatannya lalu menoleh kepadaku.
"Nggak usah, Bu. Takut ketinggalan."
"Ya sudah, hati-hati, Le."
"Iya, Bu. Ya sudah, Hamdan berangkat, assalamualaikum," pamitku.
"Waalaikumsalam," salam Ibu kembali.
Setelah berpamitan kepada ibu, aku segera menuju mobil dan melajukannya meninggalkan pekarangan rumah Salwa. Beruntung jalanan tak begitu ramai karena ini masih pagi buta, hanya jalanan saja yang sedikit licin dan berair karena semalam hujan turun dengan begitu derasnya.
Dua puluh menit kemudian, aku tiba di rumahku. Ada sebuah mobil taksi terparkir di depan gerbang rumah kami, beruntung aku tak terlambat untuk mengantar kedua mertuaku menuju bandara.
"Assalamualaikum," salamku sambil membuka pintu rumah
"Wa'alaikumsalam," jawab mereka semua yang ada di ruang tamu tampak sedang mengecek barang milik Abi umi.
Najma menghampiriku lalu mengulurkan tangannya untuk salim kepadaku dengan seulas senyum yang begitu indah.
"Kok pulang sepagi ini, Abah?"
"Umma, Abah ingin ikut mengantar Abi dan Umi ke bandara," balasku.
"Abah, Umma sudah katakan kan kemaren, Umma sendiri yang akan mengantar Abi dan Umi. Bagaimana dengan Salwa?"
"Umma, tak mungkin Abah setega itu membiarkan Umma seorang diri mengantar Abi dan Umi ke bandara," balasku, "lagian, Salwa sudah ngizinin Abah."
"Ya sudah kalau gitu, yuk buruan berangkat."
"Emm, Abah. Abah sudah sarapan?"
"Belum, Umma," jawabku.
"Hari ini Umma nggak masak, kami semua juga belum sarapan, niatnya mau sarapan di kafe depan bandara."
"Baiklah, Umma."
Kami pun berangkat menuju bandara, Abi dan Umi tetap menggunakan taksi karena tak enak hati jika harus membatalkan begitu saja pesanan mereka. Sedangkan aku menggunakan mobil bersama Najma. Di pertengahan jalan, lalu lintas terhenti karena lampu merah, aku menatap lekat wajah istriku yang tampak berbeda. Mata itu, mata indah yang selalu memancarkan cahaya cinta itu, mata indah yang selalu memandangku dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, mata itu tampak bengkak, kantung nadanya sedikit membesar.
Aku takut untuk menanyakannya, meskipun tanpa bertanya aku tahu mengapa istriku menangis hingga matanya menjadi bengkak seperti itu. Aku bukan lelaki yang tak peka, aku begitu peka akan perasaan istriku. Aku merasa begitu bersalah kepadanya semenjak Najma mengetahui tentang perasaanku yang mulai bercabang. Bahkan kini rasa bersalah itu semakin besar saat pernikahan keduaku berlangsung. Namun apa boleh buat? Nasi sudah menjadi bubur, semoga aku bisa menjadi suami yang adil untuk kedua istriku. Semoga tak ada yang terdzolimi diantara keduanya.
Setibanya di bandara, kami mampir dulu ke kafe depan bandara untuk sarapan karena jam penerbangan Abi dan Umi masih empat puluh lima menit lagi. Selesai sarapan kami langsung mengantar Abi dan Umi ke depan pintu bandara.
"Jagalah putri Abi dengan baik, jika kamu tak sanggup lagi membahagiakan dia, Abi siap menerima kepulangannya." pesan Abi sebelum memasuki area bandara
"InsyaaAllah Hamdan akan menjaga kebahagian Najma, dan akan selalu berusaha membuat putri Abi bahagia."
"Ingatlah, jangan sampai kamu mengumpulkan istri-istrimu dalam satu atap!"
"InsyaaAllah tidak akan, Abi."
"Baiklah kalau begitu, kami pamit, assalamualaikum," ucap ayah mertuaku.
"Waalaikumsalam," balas aku dan istriku serempak.
Setelah memastikan pesawat yang di tumpangi kedua mertuaku itu sudah lepas landas, aku pun mengajak Najma pulang.
Namun, tiba-tiba, aku mendengar suara lirih dari sampingku."Umma, kenapa menangis?" tanyaku.
Tak kusangka, Najma segera mengusap kedua sudut netranya."Tidak apa-apa, Abah. Hanya saja Umma masih kangen sama umi dan Abi."
"Benarkah?"
"Iya Abah."
"Ya sudah, kita pulang sekarang ya."
"Mari, Abah."
Kami pun pulang meninggalkan bandara.
Namun, aku ingin sedikit memiliki waktu luang dengan istriku yang sholeh ini. Jadi, kala melihat minimarket, kutepikan mobil di depannya."Umma, apakah ada yang mau Umma beli?" tanyaku.
Hanya saja, Najma justru menggeleng. "Tidak usah, Abah. Umma mau langsung pulang saja, Umma belum sempat beres-beres rumah."
"Ya sudah kalau nggak ada, kita langsung pulang saja," balasku lesu.
Aku pun kembali melajukan mobilku membelah jalanan ibu kota yang lumayan macet, karena ini sudah waktunya jam beraktifitas.
Setibanya di rumah, aku mengikuti langkah istriku memasuki rumah kami.
Rumah ini entah mengapa terasa begitu sepi.Setiap hari, Najma akan sendirian semenjak aku berangkat kerja hingga aku pulang. Istriku tak pernah keluar rumah jika tak ada keperluan, bahkan dia tak memiliki geng sosialita seperti kebanyakan para istri lainnya, Najma lebih betah di dalam rumah dan sesekali main bersama anak tetangga di depan rumah yang baru berusia dua tahun.
Aku duduk di sofa ruang tengah, sedangkan Najma menuju dapur.
"Abah, ini kopinya." Najma kembali setelah beberapa menit kemudian dengan membawa secangkir kopi untukku.
"Terima kasih, Umma."
Najma duduk di sampingku sambil menyandarkan kepalanya ke bahuku--hal yang selalu dia lakukan saat kami duduk berdua seperti ini.
Menit demi menit berlalu, posisi kami masih sepeti tadi. Kami diam membisu tak ada obrolan di antara kami, hingga dering ponselku memecahkan keheningan diantara kami.
Najma bahkan sampai menegakkan posisi duduknya karena ponselku ada di saku celana sebelah kanan tempat Najma bersandar.
"Assalamualaikum, Mas." Terdengar suara dari seberang.
Ternyata, Salwa yang menelponku.
"Waalaikum salam, Dik. Ada apa?"
"Mas belum pulang?"
"Sebentar lagi mas kembali, ini mas masih berada di rumah Najma."
"Oh, ya sudah, Salwa cuma mau tanya itu saja, ya sudah Salwa tutup telponnya, salam buat mbak Najma," balasnya.
"Baiklah, nanti mas sampaikan salammu."
"Assalamualaikum," salamnya.
"Waalaikumsalam."
Telepon pun berakhir.
Aku segera menoleh pada Najma yang berada di sebelahku. "Umma, Salwa titip salam buat Umma."
"Waalaikum salam, salam balik buat adikku, Abah."
Istriku itu tampak mengangguk dan tersenyum.
Aku pun sedikit lega. Ini adalah senyum pertamanya setelah kulihat ia menangis kemarin.
Namun, kebahagiaanku ternyata singkat kala menyadari bahwa Salwa tengah menungguku saat ini.
"Umma, Abah pulang dulu ke rumah Salwa ya," ucapku akhirnya meski terasa begitu berat kala tengah nyaman bersama Najma.
Mata Najma sedikit membelalak sebelum kembali mengangguk. "Ah, iya Abah. Silahkan! Maafkan Umma sudah menahan Abah disini dengan terus bersandar di bahu abah."
Istriku itu lalu bangkit dan menjauh dariku dengan raut wajah yang begitu sulit untuk kuartikan.
Deg!
Entah mengapa, rasa sakit itu datang lagi.
"Tidak, tidak apa-apa, Umma tidak salah," ucapku cepat, "jangan berkata seperti itu. Abah masih tetap milik Umma."
Namun, Najma hanya tersenyum. "Pergilah Abah, Salwa pasti sudah menunggu."
"Iya, Umma. Jaga diri baik-baik dirumah selama nggak ada Abah," ucapku
"InsyaaAllah, Abah."
"Nanti malam, Abah akan ajak Salwa kesini untuk merundingkan waktu Abah bersama kalian."
"Jangan terlalu cepat, Abah. Nikmati dulu masa-masa pengantin baru kalian, Umma nggak apa-apa," pesannya.
Mendengar itu, aku segera membawa Najma ke dalam pelukanku lalu mengusap lembut kepalanya, serta mencium keningnya dengan begitu lama.
Sungguh, mulia sekali hati istriku ini.
Lama, aku terdiam sebelum teringat kembali bahwa ada istri baru yang menjadi tanggung jawabku.
"Abah pergi dulu, Assalamualaikum," pamitku.
"Hati-hati Abah, wa'alaikum salam," balasnya.
Dengan berat hati, aku meninggalkan istriku seorang diri di rumah selama beberapa hari ke depan.
Rumah yang tujuh tahun lalu aku bangun dengan hasil dari keringatku sendiri untuk istriku ini, terasa senyap mendadak.
"Ya Allah, tolong mampukan hambamu bertanggungjawab atas pilihan ini.""Ummi, Abah sudah carikan rumah buat ummi yang dekat dengan rumah Abah dan Umma Najma. InsyaaAllah Minggu depan sudah bisa ditempati." "Alhamdulillah kalau begitu Abah, ummi nurut saja sama Abah. Apakah Abah sudah bilang ke mbak Najma?" "Belum, Ummi. Tak enak jika membahas hal seperti ini hanya melalui sambungan telepon. Besok Abah akan bilang sama Umma Najma." Ini adalah malam ketujuhku bersama Salwa, yang artinya besok sudah waktunya aku kembali bersama istri pertamaku. Aku sudah sangat merindukannya, ini adalah kali pertama aku berjauhan dengannya selama seminggu. Biasanya hanya sehari dua hari aku tidak bertemu dengannya jika ada kegiatan luar kota, dan itupun jarang karena aku lebih memilih mengutus asistenku untuk keluar kota karena tak mau meninggalkan istriku seorang diri. Saat ini aku sedang berada di dalam kamar tidur kami, sebelum tidur kami biasakan diri untuk mengobrol agar lebih mendekatkan diri satu sama lain. Aku memilih membelikan rumah untuk Salwa di kompleks per
"Mbak Najma pingsan, segeralah pulang!" Begitu isi pesan yang aku terima dari mbak Hanifah, gegas aku menghubungi nomor ponsel Mbak Hanifah. Pada dering ke tiga barulah panggilan bisa tersambung ke nomor tujuan. "Assalamualaikum, Mbak. Ada dimana Najma sekarang?" "Wa'alaikum salam, Mas Hamdan, mbak Najma sedang di rawat di rumah sakit Pelita. Segeralah kemari!" "Baik, Mbak. Saya akan segera kesana, assalamualaikum," "Waalaikum salam," Aku segera menuju mobilku dan melajukannya meninggalkan rumah, tak lupa aku mengunci pintu terlebih dahulu. Aku mengendarai mobil dengan kecepatan diatas rata-rata, aku begitu khawatir terhadap istriku. Apa yang terjadi dengannya hingga ia sampai pingsan? Apakah istriku sedang sakit? Ya Allah, selamatkanlah istriku. Setibanya di rumah sakit, selesai memakirkan mobil aku segera berlari menuju resepsionis untuk menanyakan dimana ruang rawat istriku. Setelah mengetahui di mana ruang rawat umma Najma. Aku berlari kecil menyusuri koridor rumah sakit
Wa'alaikum salam, Ibu."Kami menjawab salam wanita paruh baya yang telah melahirkan ku ke dunia ini."Bagaimana keadaanmu, Nak?" Tanya ibu kepada istriku."Alhamdulillah sudah mendingan, Bu." jawab Najma sambil mencium tangan ibu."Ibu bahagia dan bersyukur banget denger kalian akan memberikan ibu cucu, selamat ya,""Alhamdulillah, Bu. Allah masih mempercayakan kami untuk dititipkan amanahnya." jawabku dengan penuh binar kebahagian."Ibu sama siapa kesini? Tahu dari mana kalau Najma ada disini?""Ibu sama ...""Assalamualaikum,"Kami kembali menoleh saat mendengar salam dari arah pintu, di sana istri mudaku dengan membawa parsel buah ditangannya. Wanita itu menghampiriku lalu mencium tanganku, setelahnya dia bercipika-cipiki dengan Najma."Aku turut bahagia, Mbak dengar kabar baik itu," "Terimakasih, Adikku.""Selamat ya, Mas, Mbak.""Iya, sekali lagi terimakasih.""Ini, ibu sama Salwa. Tadi ibu ke rumah kalian, mau bawakan pepes ikan tuna buat Najma, tapi kata Hanifah dari kemaren
Aku tak mempedulikan Najma yang terus saja meminta turun, aku segera membawanya ke kamar agar ia bisa segera istirahat. Soal Salwa, aku harap dia bisa memaklumi apa yang aku lakukan kepada Najma di hadapannya tadi. Setelah meletakkan Najma di kamar, aku keluar untuk mengambil minum di dapur buat Najma. ku lihat beberapa tetangga datang untuk menjenguk istriku. Mereka duduk di ruang tamu di temani ibu. Mereka tak datang dengan tangan kosong, masing-masing dari mereka membawa bungkusan plastik putih transparan yang terlihat jelas isinya. Ada yang membawa roti tawar beserta susu, ada yang membawa camilan, dan ada juga yang membawa buah-buahan. Aku tak heran, karena memang istriku pun melakukan hal yang sama ketika ada tetangga yang sedang sakit. Aku menyampaikan kepada Najma kalau ada para tetangga, tapi aku melarangnya keluar karena harus istirahat. Aku yakin mereka pasti mengerti dan memaklumi jika Najma tak menemui mereka. Sayangnya Najma memaksa untuk tetap menemui mereka. Dia tur
"Ummi lagi masak apa?" tanyaku pada istri keduaku yang ku lihat sedang memotong bawang merah dan bawang putih."Astagfirullah, Abah. Bikin kaget saja!" Seketika Salwa menghentikan kegiatannya, laku mengusap dadanya karena kaget."Maaf, Ummi." Sesalku, "Ummi lagi masak apa?" tanyaku sambil melingkarkan tanganku pada kedua pinggulnya.Dia mengangguk,"Mau buat sup ayam." lalu Salwa berusaha melepaskan tanganku yang melingkar di perutnya, "Jangan seperti ini Abah, nggak enak entar kalau di lihat ibu ataupun mbak Najma.""Oh, iya, ibu kemana?" aku bertanya lagi tanpa melepaskan pelukanku."Ibu lagi ke warung mau beli penyedap rasa katanya udah nggak ada.""Ummi, maafkan Abah ya, dari pagi Abah mengabaikan Ummi." ujarku sambil mencium pipinya."Nggak apa-apa, Abah. Ummi ngerti kok." jawabnya sambil menunduk menyembunyikan rona merah jambu di pipinya"Semoga disini juga segera tumbuh buah hati kita," kataku sambil mengusap perut rata Salwa."Aamiin,""Aamiin,"Setelah Salwa mengaminkan ucapa
Setelahnya aku pun pergi menuju rumah istri keduaku. Tak butuh waktu lama, hanya butuh waktu sekitaran lima menit untuk aku sampai di rumah Salwa. Saat tiba di persimpangan di depan rumah Salwa, aku melihat di sana terparkir sebuah mobil yang tidak aku ketahui siapa pemiliknya.Seorang wanita paruh baya bersama seorang pemuda berdiri di depan pintu sedang menunjuk-nunjuk Salwa. Bahkan di sekitaran mereka ada beberapa ibu-ibu yang menontonnya. Ada apa ini? Aku memilih turun dari mobil dan mendekat ke arah mereka. Tampaknya tak ada yang menyadari kehadiranku, perlahan aku mulai mendengar perbincangan mereka"Jadi ini alasan kamu menolak anak saya? Di lamar bujang nggak mau, maunya nikah sama orang yang sudah beristri. Kamu itu tak ubahnya hanya seorang pelakor, Salwa!" Makian ibu-ibu itu membuat Salwa menunduk mungkin karena malu."Anak saya wanita baik-baik, bukan dia yang masuk ke rumah tangga orang, tapi orang itulah yang mengajak Salwa untuk masuk
Muhammad Hamdan Alfariki, lelaki tampan yang telah memikat hati ini. Seorang lelaki yang menjadi pelanggan di warung kopiku saat ia mendatangi sebuah pembangunan hotel tepat di seberang jalan depan warungku. Ada debar yang tak bisa ku jelaskan setiap kali bertemu dengannya. Beberapa kali kami sempat beradu pandang, tapi dengan cepat dia memutuskannya seolah sedang menjaga pandangan dan itu semakin membuatku kagum akan sosok dirinya.Tak pernah satu waktu sholat pun ia jalankan dengan terlambat. Setiap kali adzan berkumandang, ia segera menuju musholla yang tak jauh dari gedung yang ia pantau untuk melaksanakan sholat. Diam-diam aku selalu memperhatikan setiap kegiatannya.Entah keberanian dari mana, aku selalu menyelipkan namanya di setiap doaku, berharap dia akan menjadi imam buatku dan ayah dari anak-anakku kelak. Aku memintanya kepada Rabb-ku, berharap menyatukan kami dalam sebuah ikatan pernikahan.Hingga selama beberapa bulan ini, aku tak melihat kehadirannya memantau proyek yang
Angin membelai wajahku dengan lembut, langit yang berhiaskan taburan bintang nan mengelilingi bulan tak membuatku beranjak dari jendela kamar yang sengaja ku buka untuk menghirup udara malam yang damai. Begitu menenangkan hati, meski tak sepenuhnya. Lambaian daun karena diterpa angin membuat suasana semakin terasa sejuk.Tak ada suara, selain suara jangkrik serta detak jarum jam yang bergantian saling bersahutan menambah kesunyian malam yang kini sudah semakin larut. Dua puluh tiga lewat lima puluh menit, arah yang di tunjuk jarum jam yang ada di sisi kanan tempat tidurku.Tiada kantuk yang ku rasakan, mata ini terasa begitu enggan untuk terpejam. Setetes air mata jatuh melewati pipi, segera aku menghapusnya dan menggantikannya dengan senyuman. Berusaha berfikir positif atas apa yang terjadi beberapa hari ini. Berusaha memikirkan alasan yang baik mengapa ia tak pernah menghubungiku selama lima hari ini. Ah, aku merindukannya, merindukan suami yang tak lagi seutuhnya milikku. Suami yan
Kamu pantas mendapatkan itu, karena kamu manusia yang tidak tahu diri!" ujar Kinan dengan penuh emosi. "Pergi sebelum aku memanggil satpam untuk mengusirmu! Jangan sampai atasanku keluar dan memberimu sanksi atas keributan yang kau lakukan. Jangan pernah ganggu hidupku lagi. Jangan pernah ikut campur urusanku lagi. Tante hanyalah orang asing yang kebetulan dinikahi papa karena hamil duluan!" Ucapan pedas Maira membuat Kinan semakin naik pitam. "Heh, semakin kurang ajar kamu ya sama orang tua!" Geram Kinan sambil menjambak rambut Maira dari balik kerudung yang dikenakan wanita itu. "Panggil selingkuhanmu ke sini! Gara-gara dia kamu kehilangan Reno dan gara-gara dia kamu semakin tak bisa diatur!" "Aauuwwhh, sakiiiit! Lepasin, Mak lampir! Dasar Gila!" Maira berusaha melepaskan cekalan ibu tirinya pada rambutnya. Sungguh saat ini kepalanya terasa kebas dan kulit kepalanya terasa mau copot. Sontak saja mereka di hampiri orang beberapa orang termasuk para pelayan di restoran tersebu
"Kenapa anak nakal itu belum juga di temukan?!"Entah kemana perginya Laura yang sesungguhnya, sehingga orang punya kuasa sekuat ayahnya saja tak dapat menemukan keberadaannya. Bahkan detektif handal yang biasanya tak pernah gagal dalam misinya, juga tak dapat menemukan keberadaan wanita muda itu. Jangan menemukan Laura, mendapatkan jejak kepergiannya saja tidak.Tuan Derial mulai ketakutan, ia takut kalau Laura di culik oleh musuhnya. Dia adalah pebisnis yang besar, tentu tak sedikit orang yang membencinya, sisi gelap dalam dunia bisnis salah satunya adalah bersaing dengan kotor, dan itu sudah menjadi rahasia umum."Tapi, siapa yang sudah memanfaatkan Laura demi bisa menyaingi ku? Selama lima bulanan ini tak ada yang berusaha menekan atau menyenggol diriku dengan kepala menunduk, dan satu tangan yang memikat pangkal hidungnya. Ia terlalu pusing memikirkan kemana perginya Laura. Ditambah sang istri yang sering jatuh sakit akibat kepikiran kepada putri mereka satu-satunya.Tak mau piki
"Bil, maafkan aku, gara-gara aku kamu jadi korbannya Reno." Kini Bilal dan Maira tengah duduk di sebuah kursi yang terletak di teras minimarket di seberang restoran. Maira memaksa untuk membantu Bilal mengompres wajah lelaki itu yang memar dan mengobatinya. Saat terjadi adu jotos tadi, teman-teman yang semula hanya menonton kini turun tangan untuk memisahkan Bilal dan Reno, begitupun satpam dan kang ojol yang di pesan Bilal. "Gak papa, Mai. Lagian aku memang geram sama lelaki yang beraninya hanya sama perempuan, apalagi sampai main fisik segala. Beruntunglah kamu sudah bebas dari lelaki seperti itu." Jawab Bilal sambil mengompres wajahnya sendiri, karena ia tak mau jika Maira yang melakukannya. Tentu Bilal masih sangat ingat akan batasan-batasan dalam agamanya. Bilal membantu Maira bukan karena apa, tapi ia tak suka saja melihat kekerasan yang dilakukan oleh lelaki kepada perempuan, apalagi kejadian itu tepat berada di depan matanya. Bilal tak bisa untuk pura-pura tak melihat, apa
Kamu gak ada rencana buat pulang, Nak?" Tanya Nafisah saat menghubungi Bilal."InsyaaAllah awal Ramadhan ini Hamdan pulang, Mi, tapi belum tahu pastinya tanggal berapa." jawab Bilal.Satu bulan lagi sudah memasuki bulan Ramadhan, dan tanpa disadarinya sudah empat bulan Bilal bekerja di restoran."Syukurlah kalau begitu. Abi dan Umi sangat merindukan kamu, Nak." ujar Nafisah dari seberang sana dengan raut wajah yang begitu kentara menatap penuh rindu kepada sang putra."Bilal juga sangat merindukan Abi dan Umi. Kalian sehat-sehat kan di situ?""Alhamdulillah, kami semua sehat, Nak.""Alhamdulillah kalau umi dan Abi sehat semua."Setelah mengobrol lama dengan sang ibu, Bilal mengakhiri panggilannya dikarenakan ia sudah tiba di tempat kerjanya. Bilal turun dari angkot setelah membayar ongkos. Dihalaman depan, Bilal berpapasan dengan beberapa rekannya yang juga baru tiba di restoran. Bilal menyapa dengan ramah, dan mereka juga membalas sapaan Bilal tak kalah ramahnya. Namun, ada satu oran
"Halo, Baby, mau aku temani?" Tanya Salwa dengan suara yang dibuat sesensual mungkin di dekat telinga pada salah satu pengunjung yang kini tengah menenggak anggur merah.Salwa kini tengah berdiri di belakang pria itu sambil mengalungkan tangannya pada leher pria itu. Tubuhnya bergerak bergoyang kesana-kemari mengikuti alunan musik DJ yang berputar."Owwhh, yees babyy." jawab lelaki tersebut sambil menarik tangan Salwa dan mendudukkan Salwa di atas pangkuannya.Semenjak kematian sang putri, lebih tepatnya kematian Riko, Salwa tak memiliki ladang uang lagi. Bukannya menyesal atas apa yang menimpa Alifah, tapi Salwa justru semakin menjadi-jadi. Bahkan kini wanita itu bekerja sebagai kupu-kupu malam di sebuah klub terkenal di ibukota. Tanpa ada sedikitpun rasa risih atau malu mengenakan pakaian yang begitu mini dan mencetak seluruh lekuk tubuhnya itu. Bahkan dengan bangganya ia memamerkan tubuhnya pada setiap pengunjung yang datang. Sekalipun usianya tak lagi muda, tapi bentuk tubuh Salwa
"Ini adalah surat pemecatanmu, silahkan ambil gaji terakhirmu dan juga bonusnya. Maaf saya tak dapat membantumu untuk bertahan dalam pekerjaan ini."Sesuai dengan permintaan tuan Derial, jikalau dalam tiga hari Laura belum juga ditemukan, maka Bilal harus dikeluarkan dari kantor ini. Dan saat ini, dengan berat hati Tuan Xavier memberikan surat pemecatan untuk Bilal. Pernah kemarin tuan Xavier berusaha membela Bilal dan berusaha mempertahankan Bilal di perusahaan, tapi tanpa kata, satu proyek besar mengalami kegagalan dan kekacauan. Dan tentu itu menimbulkan kerugian yang fantastis.Dengan berat hati, Tuan Xavier mengeluarkan surat pemecatan untuk Bilal."Tidak apa-apa, Pak. Jangan mengorbankan banyak orang hanya demi satu orang, saya sungguh tidak apa-apa. Saya bisa mencari pekerjaan di tempat lain." jawab Bilal yang berusaha berlapang dada dengan apa yang diterimanya hari ini.Tuan Xavier semakin menatap iba kepada Bilal, "Tapi, namamu sudah di blacklist di seluruh perusahaan manapun
"Kamu tahu kenapa saya memanggilmu kesini?" Tanya Tuan Xavier yang kini sudah berdiri dari duduknya.Berbeda dengan orang yang duduk di depan meja tuan Xavier yang tetap duduk di tempatnya tapi kursinya ia putar agar bila melihat ke arah Bilal."Tidak, Tuan!" Jawab Bilal sambil menunduk."Ada yang ingin bertemu denganmu." ujar Tuan Xavier sambil melangkahkan kakinya menuju sofa.Bilal sontak mendongak dan menatap seseorang yang baru saja memutar kursinya. Lelaki itu! Ya, Bilal masih sangat ingat siapa lelaki yang sedang menatap tak ramah kepadanya tersebut."Dimana kamu menyembunyikan putriku?" Pertanyaan tanpa basa basi tersebut membuat Bilal menyerukan dahinya.Ya, lelaki itu adalah tuan Derial, orang tua dari Laura, yang seminggu yang lalu membuat Bilal babak belur."Putri Anda? Maksud Anda Laura? Kenapa Anda bertanya pada saya?"Tuan Derial yang tak mendapatkan jawaban atas pertanyaan, dan justru di balas dengan pertanyaan pula, seketika amarahnya semakin memuncak. Tuan Derial ban
Hamdan masih terpaku menatap batu nisan dengan tanah yang masih merah di hadapannya. Sekalipun air matanya tak lagi menetes, tapi kesedihan masihlah tergambar jelas di wajah lelaki yang usianya sudah lebih dari kepala enak tersebut. Jika dilihat lebih dekat lagi, kedua sudut mata Hamdan masih basah oleh sisa-sisa air mata.Sungguh, semua ini masih seperti mimpi buruk bagi Hamdan, lelaki itu sangat berharap ada yang membangunkannya dan membuktikan bahwa semua ini hanyalah mimpi. Namun, rintik-rintik hujan yang semakin deras membasahi bumi dan mengguyur tubuhnya membuat Hamdan tersadar bawa semua ini adalah nyata adanya."Om, ayo pulang, hujannya sudah semakin deras!" Ajak Airi yang sejak tadi setia menemani Hamdan beserta kedua orang tuanya."Iya, mari pulang Pak Hamdan, belajarlah mengikhlaskan Alifah, karena dia sudah tenang di sana." sahut pak Herman, papanya Airi."Kalian pulanglah terlebih dahulu, saya masih ingin disini. Terimakasih sudah menemani saya dari tadi." tolak Hamdan t
"Bu, beli es batunya ya, dua," kata Hamdan saat baru pulang dari pertemuannya dengan papanya Laura.Hamdan membeli es batu di warung dekat kontrakannya untuk mengompres wajahnya yang terasa sakit akibat terkena bogeman dua kali dari nak buah tuan Derial."Ini, Mas, 4000 ribu ya." Ibu pemilik warung menyodorkan satu kantung plastik berisi dua es batu yang terbungkus plastik setengah kilo kepada Bilal.Bilal mengambil uang di dalam dompetnya dan menyerahkan uang pecahan sepuluh ribuan kepada pemilik warung, "Ini, Bu, sisanya beli soklin yang 5000 ya Bu, seribunya kasih permen dah." Bilal teringat jika di kontrakannya sudah tidak ada sabun cuci baju. Ya, Bilal memang terbiasa mencuci bajunya sendiri sejak ia remaja.Si pemilik warung mengambilkan pesanan Bilal dan menyerahkannya kepada si empunya. "Itu kenapa wajahnya, Mas? Habis berantem ya?""Gak apa-apa, Bu, ini cuma terjadi kesalahpahaman saja tadi.""Walahh.. Mau heran tapi ini Jakarta, Mas Bilal harus terbiasa ya sama kerasnya kota