Aku tak mempedulikan Najma yang terus saja meminta turun, aku segera membawanya ke kamar agar ia bisa segera istirahat. Soal Salwa, aku harap dia bisa memaklumi apa yang aku lakukan kepada Najma di hadapannya tadi. Setelah meletakkan Najma di kamar, aku keluar untuk mengambil minum di dapur buat Najma. ku lihat beberapa tetangga datang untuk menjenguk istriku. Mereka duduk di ruang tamu di temani ibu. Mereka tak datang dengan tangan kosong, masing-masing dari mereka membawa bungkusan plastik putih transparan yang terlihat jelas isinya. Ada yang membawa roti tawar beserta susu, ada yang membawa camilan, dan ada juga yang membawa buah-buahan. Aku tak heran, karena memang istriku pun melakukan hal yang sama ketika ada tetangga yang sedang sakit. Aku menyampaikan kepada Najma kalau ada para tetangga, tapi aku melarangnya keluar karena harus istirahat. Aku yakin mereka pasti mengerti dan memaklumi jika Najma tak menemui mereka. Sayangnya Najma memaksa untuk tetap menemui mereka. Dia tur
"Ummi lagi masak apa?" tanyaku pada istri keduaku yang ku lihat sedang memotong bawang merah dan bawang putih."Astagfirullah, Abah. Bikin kaget saja!" Seketika Salwa menghentikan kegiatannya, laku mengusap dadanya karena kaget."Maaf, Ummi." Sesalku, "Ummi lagi masak apa?" tanyaku sambil melingkarkan tanganku pada kedua pinggulnya.Dia mengangguk,"Mau buat sup ayam." lalu Salwa berusaha melepaskan tanganku yang melingkar di perutnya, "Jangan seperti ini Abah, nggak enak entar kalau di lihat ibu ataupun mbak Najma.""Oh, iya, ibu kemana?" aku bertanya lagi tanpa melepaskan pelukanku."Ibu lagi ke warung mau beli penyedap rasa katanya udah nggak ada.""Ummi, maafkan Abah ya, dari pagi Abah mengabaikan Ummi." ujarku sambil mencium pipinya."Nggak apa-apa, Abah. Ummi ngerti kok." jawabnya sambil menunduk menyembunyikan rona merah jambu di pipinya"Semoga disini juga segera tumbuh buah hati kita," kataku sambil mengusap perut rata Salwa."Aamiin,""Aamiin,"Setelah Salwa mengaminkan ucapa
Setelahnya aku pun pergi menuju rumah istri keduaku. Tak butuh waktu lama, hanya butuh waktu sekitaran lima menit untuk aku sampai di rumah Salwa. Saat tiba di persimpangan di depan rumah Salwa, aku melihat di sana terparkir sebuah mobil yang tidak aku ketahui siapa pemiliknya.Seorang wanita paruh baya bersama seorang pemuda berdiri di depan pintu sedang menunjuk-nunjuk Salwa. Bahkan di sekitaran mereka ada beberapa ibu-ibu yang menontonnya. Ada apa ini? Aku memilih turun dari mobil dan mendekat ke arah mereka. Tampaknya tak ada yang menyadari kehadiranku, perlahan aku mulai mendengar perbincangan mereka"Jadi ini alasan kamu menolak anak saya? Di lamar bujang nggak mau, maunya nikah sama orang yang sudah beristri. Kamu itu tak ubahnya hanya seorang pelakor, Salwa!" Makian ibu-ibu itu membuat Salwa menunduk mungkin karena malu."Anak saya wanita baik-baik, bukan dia yang masuk ke rumah tangga orang, tapi orang itulah yang mengajak Salwa untuk masuk
Muhammad Hamdan Alfariki, lelaki tampan yang telah memikat hati ini. Seorang lelaki yang menjadi pelanggan di warung kopiku saat ia mendatangi sebuah pembangunan hotel tepat di seberang jalan depan warungku. Ada debar yang tak bisa ku jelaskan setiap kali bertemu dengannya. Beberapa kali kami sempat beradu pandang, tapi dengan cepat dia memutuskannya seolah sedang menjaga pandangan dan itu semakin membuatku kagum akan sosok dirinya.Tak pernah satu waktu sholat pun ia jalankan dengan terlambat. Setiap kali adzan berkumandang, ia segera menuju musholla yang tak jauh dari gedung yang ia pantau untuk melaksanakan sholat. Diam-diam aku selalu memperhatikan setiap kegiatannya.Entah keberanian dari mana, aku selalu menyelipkan namanya di setiap doaku, berharap dia akan menjadi imam buatku dan ayah dari anak-anakku kelak. Aku memintanya kepada Rabb-ku, berharap menyatukan kami dalam sebuah ikatan pernikahan.Hingga selama beberapa bulan ini, aku tak melihat kehadirannya memantau proyek yang
Angin membelai wajahku dengan lembut, langit yang berhiaskan taburan bintang nan mengelilingi bulan tak membuatku beranjak dari jendela kamar yang sengaja ku buka untuk menghirup udara malam yang damai. Begitu menenangkan hati, meski tak sepenuhnya. Lambaian daun karena diterpa angin membuat suasana semakin terasa sejuk.Tak ada suara, selain suara jangkrik serta detak jarum jam yang bergantian saling bersahutan menambah kesunyian malam yang kini sudah semakin larut. Dua puluh tiga lewat lima puluh menit, arah yang di tunjuk jarum jam yang ada di sisi kanan tempat tidurku.Tiada kantuk yang ku rasakan, mata ini terasa begitu enggan untuk terpejam. Setetes air mata jatuh melewati pipi, segera aku menghapusnya dan menggantikannya dengan senyuman. Berusaha berfikir positif atas apa yang terjadi beberapa hari ini. Berusaha memikirkan alasan yang baik mengapa ia tak pernah menghubungiku selama lima hari ini. Ah, aku merindukannya, merindukan suami yang tak lagi seutuhnya milikku. Suami yan
Satu jam, dua jam, bahkan sudah lima jam suamiku tak kunjung datang. Berkali-kali aku membuang napas kasar, berharap bisa sedikit saja mengurangi sesak yang semakin menghimpit dada. Membuat ibu jadi geram dan memutuskan untuk menelpon mas Hamdan. Aku sudah melarangnya karena ini sudah malam, tapi ibu tetep kekeuh ingin menelpon anak semata wayangnya tersebut.Tak hanya aku yang menunggu, tapi masakan kesukaannya yang berada di atas meja tetap utuh tak tersentuh menunggu sang pemilik makanan datang untuk menghabiskannya."Assalamualaikum, Bu." sapa mas Hamdan di sebrang sana."Waalaikum salam," jawab ibu ketus."Kenapa, Bu?" tanya mas Hamdan dengan suara serak mungkin dia sudah tidur."Hamdan, kamu masih nanya kenapa ibu menelponmu?" kata ibu sedikit menaikkan nada suaranya.Aku mengelus lengan ibu guna meredam emosinya."Apakah Hamdan berbuat kesalahan?" Tak adakah dia merasa bersalah pada diri yang sudah berjam-jam menunggunya,
POV 3 "Jangan ulangi kesalahan kamu lagi, Hamdan! Kamu harus bisa menjaga perasaan istrimu. Jangan terlalu sering menyakiti Najma!" Ibu menunjuk-nunjuk Hamdan seiring tatapan tajam yang ibu layangkan kepada anak semata wayangnya tersebut pertanda ia begitu marah akan apa yang dilakukan sang putra. Setelahnya, ia menghela napas berat, "Beruntung Najma sudah mau menyatukan kamu dengan wanita yang sudah mengotori pikiranmu dan membuatmu tak bisa menjaga pandangan. Jangan karena keikhlasan Najma akan pernikahan keduamu ini, kamu jadi seenaknya mengabaikan istri pertamamu begitu saja. Bahkan kamu sampai tak pernah menghubunginya sama sekali," Ibu menggelengkan kepalanya dan berusaha mengatur nafasnya yang memburu, ia begitu marah kepada Hamdan karena sikapnya selama seminggu ini yang mengabaikan Najma dan berniat untuk tak pulang melebihi waktunya. Bukan maksud ibu untuk ikut campur akan urusan rumah tangga anaknya, tapi dia hanya tak mau nantinya sang anak yang menjalani poligami menjadi
Mobil yang dikemudikan Hamdan membelah jalanan yang tak begitu cerah karena sang mentari masih sembunyi di balik awan yang mendung. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan.Hamdan mengendarai mobilnya memasuki area supermarket dan memarkirkan mobilnya. Ia melihat Najma sedang duduk di sebuah kursi yang tersedia di teras supermarket dengan di temani satu cup ice cream rasa vanila kesukaannya. Ia mengumpulkan keberaniannya untuk bertemu Najma. Rasa bersalah yang begitu besar membuat Hamdan merasa begitu malu untuk bertemu sang istri. Setelah berkali-kali menarik dan membuang nafasnya dengan perlahan, Hamdan pun turun dari mobil dan mulai menghampiri istri pertamanya tersebut yang terlihat begitu menikmati ice cream yang ada di hadapannya."Assalamualaikum, Umma," salam Hamdan ketika menghampiri Najma dan duduk di kursi di seberang meja Najma."Waalaikum salam, Abah,""Si mbok kemana Umma?""Lagi di dalam, belum selesai belanjanya. Umma nggak di
Kamu pantas mendapatkan itu, karena kamu manusia yang tidak tahu diri!" ujar Kinan dengan penuh emosi. "Pergi sebelum aku memanggil satpam untuk mengusirmu! Jangan sampai atasanku keluar dan memberimu sanksi atas keributan yang kau lakukan. Jangan pernah ganggu hidupku lagi. Jangan pernah ikut campur urusanku lagi. Tante hanyalah orang asing yang kebetulan dinikahi papa karena hamil duluan!" Ucapan pedas Maira membuat Kinan semakin naik pitam. "Heh, semakin kurang ajar kamu ya sama orang tua!" Geram Kinan sambil menjambak rambut Maira dari balik kerudung yang dikenakan wanita itu. "Panggil selingkuhanmu ke sini! Gara-gara dia kamu kehilangan Reno dan gara-gara dia kamu semakin tak bisa diatur!" "Aauuwwhh, sakiiiit! Lepasin, Mak lampir! Dasar Gila!" Maira berusaha melepaskan cekalan ibu tirinya pada rambutnya. Sungguh saat ini kepalanya terasa kebas dan kulit kepalanya terasa mau copot. Sontak saja mereka di hampiri orang beberapa orang termasuk para pelayan di restoran tersebu
"Kenapa anak nakal itu belum juga di temukan?!"Entah kemana perginya Laura yang sesungguhnya, sehingga orang punya kuasa sekuat ayahnya saja tak dapat menemukan keberadaannya. Bahkan detektif handal yang biasanya tak pernah gagal dalam misinya, juga tak dapat menemukan keberadaan wanita muda itu. Jangan menemukan Laura, mendapatkan jejak kepergiannya saja tidak.Tuan Derial mulai ketakutan, ia takut kalau Laura di culik oleh musuhnya. Dia adalah pebisnis yang besar, tentu tak sedikit orang yang membencinya, sisi gelap dalam dunia bisnis salah satunya adalah bersaing dengan kotor, dan itu sudah menjadi rahasia umum."Tapi, siapa yang sudah memanfaatkan Laura demi bisa menyaingi ku? Selama lima bulanan ini tak ada yang berusaha menekan atau menyenggol diriku dengan kepala menunduk, dan satu tangan yang memikat pangkal hidungnya. Ia terlalu pusing memikirkan kemana perginya Laura. Ditambah sang istri yang sering jatuh sakit akibat kepikiran kepada putri mereka satu-satunya.Tak mau piki
"Bil, maafkan aku, gara-gara aku kamu jadi korbannya Reno." Kini Bilal dan Maira tengah duduk di sebuah kursi yang terletak di teras minimarket di seberang restoran. Maira memaksa untuk membantu Bilal mengompres wajah lelaki itu yang memar dan mengobatinya. Saat terjadi adu jotos tadi, teman-teman yang semula hanya menonton kini turun tangan untuk memisahkan Bilal dan Reno, begitupun satpam dan kang ojol yang di pesan Bilal. "Gak papa, Mai. Lagian aku memang geram sama lelaki yang beraninya hanya sama perempuan, apalagi sampai main fisik segala. Beruntunglah kamu sudah bebas dari lelaki seperti itu." Jawab Bilal sambil mengompres wajahnya sendiri, karena ia tak mau jika Maira yang melakukannya. Tentu Bilal masih sangat ingat akan batasan-batasan dalam agamanya. Bilal membantu Maira bukan karena apa, tapi ia tak suka saja melihat kekerasan yang dilakukan oleh lelaki kepada perempuan, apalagi kejadian itu tepat berada di depan matanya. Bilal tak bisa untuk pura-pura tak melihat, apa
Kamu gak ada rencana buat pulang, Nak?" Tanya Nafisah saat menghubungi Bilal."InsyaaAllah awal Ramadhan ini Hamdan pulang, Mi, tapi belum tahu pastinya tanggal berapa." jawab Bilal.Satu bulan lagi sudah memasuki bulan Ramadhan, dan tanpa disadarinya sudah empat bulan Bilal bekerja di restoran."Syukurlah kalau begitu. Abi dan Umi sangat merindukan kamu, Nak." ujar Nafisah dari seberang sana dengan raut wajah yang begitu kentara menatap penuh rindu kepada sang putra."Bilal juga sangat merindukan Abi dan Umi. Kalian sehat-sehat kan di situ?""Alhamdulillah, kami semua sehat, Nak.""Alhamdulillah kalau umi dan Abi sehat semua."Setelah mengobrol lama dengan sang ibu, Bilal mengakhiri panggilannya dikarenakan ia sudah tiba di tempat kerjanya. Bilal turun dari angkot setelah membayar ongkos. Dihalaman depan, Bilal berpapasan dengan beberapa rekannya yang juga baru tiba di restoran. Bilal menyapa dengan ramah, dan mereka juga membalas sapaan Bilal tak kalah ramahnya. Namun, ada satu oran
"Halo, Baby, mau aku temani?" Tanya Salwa dengan suara yang dibuat sesensual mungkin di dekat telinga pada salah satu pengunjung yang kini tengah menenggak anggur merah.Salwa kini tengah berdiri di belakang pria itu sambil mengalungkan tangannya pada leher pria itu. Tubuhnya bergerak bergoyang kesana-kemari mengikuti alunan musik DJ yang berputar."Owwhh, yees babyy." jawab lelaki tersebut sambil menarik tangan Salwa dan mendudukkan Salwa di atas pangkuannya.Semenjak kematian sang putri, lebih tepatnya kematian Riko, Salwa tak memiliki ladang uang lagi. Bukannya menyesal atas apa yang menimpa Alifah, tapi Salwa justru semakin menjadi-jadi. Bahkan kini wanita itu bekerja sebagai kupu-kupu malam di sebuah klub terkenal di ibukota. Tanpa ada sedikitpun rasa risih atau malu mengenakan pakaian yang begitu mini dan mencetak seluruh lekuk tubuhnya itu. Bahkan dengan bangganya ia memamerkan tubuhnya pada setiap pengunjung yang datang. Sekalipun usianya tak lagi muda, tapi bentuk tubuh Salwa
"Ini adalah surat pemecatanmu, silahkan ambil gaji terakhirmu dan juga bonusnya. Maaf saya tak dapat membantumu untuk bertahan dalam pekerjaan ini."Sesuai dengan permintaan tuan Derial, jikalau dalam tiga hari Laura belum juga ditemukan, maka Bilal harus dikeluarkan dari kantor ini. Dan saat ini, dengan berat hati Tuan Xavier memberikan surat pemecatan untuk Bilal. Pernah kemarin tuan Xavier berusaha membela Bilal dan berusaha mempertahankan Bilal di perusahaan, tapi tanpa kata, satu proyek besar mengalami kegagalan dan kekacauan. Dan tentu itu menimbulkan kerugian yang fantastis.Dengan berat hati, Tuan Xavier mengeluarkan surat pemecatan untuk Bilal."Tidak apa-apa, Pak. Jangan mengorbankan banyak orang hanya demi satu orang, saya sungguh tidak apa-apa. Saya bisa mencari pekerjaan di tempat lain." jawab Bilal yang berusaha berlapang dada dengan apa yang diterimanya hari ini.Tuan Xavier semakin menatap iba kepada Bilal, "Tapi, namamu sudah di blacklist di seluruh perusahaan manapun
"Kamu tahu kenapa saya memanggilmu kesini?" Tanya Tuan Xavier yang kini sudah berdiri dari duduknya.Berbeda dengan orang yang duduk di depan meja tuan Xavier yang tetap duduk di tempatnya tapi kursinya ia putar agar bila melihat ke arah Bilal."Tidak, Tuan!" Jawab Bilal sambil menunduk."Ada yang ingin bertemu denganmu." ujar Tuan Xavier sambil melangkahkan kakinya menuju sofa.Bilal sontak mendongak dan menatap seseorang yang baru saja memutar kursinya. Lelaki itu! Ya, Bilal masih sangat ingat siapa lelaki yang sedang menatap tak ramah kepadanya tersebut."Dimana kamu menyembunyikan putriku?" Pertanyaan tanpa basa basi tersebut membuat Bilal menyerukan dahinya.Ya, lelaki itu adalah tuan Derial, orang tua dari Laura, yang seminggu yang lalu membuat Bilal babak belur."Putri Anda? Maksud Anda Laura? Kenapa Anda bertanya pada saya?"Tuan Derial yang tak mendapatkan jawaban atas pertanyaan, dan justru di balas dengan pertanyaan pula, seketika amarahnya semakin memuncak. Tuan Derial ban
Hamdan masih terpaku menatap batu nisan dengan tanah yang masih merah di hadapannya. Sekalipun air matanya tak lagi menetes, tapi kesedihan masihlah tergambar jelas di wajah lelaki yang usianya sudah lebih dari kepala enak tersebut. Jika dilihat lebih dekat lagi, kedua sudut mata Hamdan masih basah oleh sisa-sisa air mata.Sungguh, semua ini masih seperti mimpi buruk bagi Hamdan, lelaki itu sangat berharap ada yang membangunkannya dan membuktikan bahwa semua ini hanyalah mimpi. Namun, rintik-rintik hujan yang semakin deras membasahi bumi dan mengguyur tubuhnya membuat Hamdan tersadar bawa semua ini adalah nyata adanya."Om, ayo pulang, hujannya sudah semakin deras!" Ajak Airi yang sejak tadi setia menemani Hamdan beserta kedua orang tuanya."Iya, mari pulang Pak Hamdan, belajarlah mengikhlaskan Alifah, karena dia sudah tenang di sana." sahut pak Herman, papanya Airi."Kalian pulanglah terlebih dahulu, saya masih ingin disini. Terimakasih sudah menemani saya dari tadi." tolak Hamdan t
"Bu, beli es batunya ya, dua," kata Hamdan saat baru pulang dari pertemuannya dengan papanya Laura.Hamdan membeli es batu di warung dekat kontrakannya untuk mengompres wajahnya yang terasa sakit akibat terkena bogeman dua kali dari nak buah tuan Derial."Ini, Mas, 4000 ribu ya." Ibu pemilik warung menyodorkan satu kantung plastik berisi dua es batu yang terbungkus plastik setengah kilo kepada Bilal.Bilal mengambil uang di dalam dompetnya dan menyerahkan uang pecahan sepuluh ribuan kepada pemilik warung, "Ini, Bu, sisanya beli soklin yang 5000 ya Bu, seribunya kasih permen dah." Bilal teringat jika di kontrakannya sudah tidak ada sabun cuci baju. Ya, Bilal memang terbiasa mencuci bajunya sendiri sejak ia remaja.Si pemilik warung mengambilkan pesanan Bilal dan menyerahkannya kepada si empunya. "Itu kenapa wajahnya, Mas? Habis berantem ya?""Gak apa-apa, Bu, ini cuma terjadi kesalahpahaman saja tadi.""Walahh.. Mau heran tapi ini Jakarta, Mas Bilal harus terbiasa ya sama kerasnya kota