Share

6. Suara Hati Najma

Author: Sheila FR
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Aku pulang bersama Abi dan Umi menuju kediamanku selama ini.

Kutarik nafas sepanjang-panjangnya merasakan ada yang mendesak keluar di kedua netraku ini. Tak lama, kuhembuskan perlahan nafas ini seiring buliran bening yang menetes begitu saja melewati pipiku. Segera aku menghapusnya agar umi tak mengetahuinya.

Aku memang ikhlas. Namun, bukan berarti aku tak akan menangis saat melihat suamiku bersanding dengan wanita lain. Aku tak akan sanggup membendung air mataku lagi jika aku tetap berada di sana menyaksikan suamiku bak raja dan ratu bersama istri mudanya. Tak apa, aku baik-baik saja, dan akan tetap baik-baik saja.

 "Abi yakin putri Abi adalah wanita yang kuat."

Perkataan Abi sontak membuatku mengalihkan pandanganku kepada lelaki cinta pertamaku ini. Aku berikan senyuman tulus ku kepada Abi untuk membenarkan ucapan beliau kalau aku wanita yang kuat.

"Najma kuat kok, Abi," ucapku dengan yakin.

"Abi percaya, Nak," ujar Abi sambil mengusap kepalaku yang tertutup Khimar.

Setibanya di rumah, kami segera turun dari taksi yang tadi membawa kami pulang. Ada beberapa ibu-ibu yang berkumpul di posko dekat dengan rumahku.

"Neng Najma, kok sudah pulang?" tanya Bu Wati.

"Iya, Bu. Mau bantu umi dan Abi siap-siap karena besok pagi mau pulang."

"Nggak nunggu Mas Hamdannya selesai dulu, Neng?" tanya Bu Sinta

Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Bu Sinta. Namun, ketenanganku itu malah dibalas dengan gosip oleh mereka.

"Nggak kuat kali lihat suaminya bersanding dengan wanita lain," bisik seorang ibu-ibu yang masih mampu aku dengar.

"Mungkin karena nggak hamil-hamil juga makanya si Hamdan cari lagi," ucap yang lain tanpa memikirkan perasaanku yang begitu terluka akan perkataannya.

"Huss, jangan ngomong begitu, nggak baik!"

Aku yang masih menunggu Abi mengambil kembaliannya dari supir taksi mendengar ibu-ibu di belakangku membicarakan diriku. Aku berusaha mengabaikan saja ucapan mereka.

"Emm, Neng Najma, boleh tanya nggak?" Seseibu tiba-tiba memanggilku, hingga menbuatku menolehkan kepalaku kepadanya.

"Silakan, Bu."

"Udah isi apa belom?" tanyaya menatap serius ke arahku.

"Doakan saja, ya," kataku dengan seulas senyum yang ku sunggingkan.

"Iya, Neng, tapi kayaknya makin susah deh," ujarnya, tapi sesaat kemudian ibu itu menutup mulutnya.

"Kenapa, Bu?" tanyaku berusaha tenang.

"Soalnya udah ada yang baru," balasnya.

"Astagfirullah, ya Allah," gumamku tanpa sadar. Namun, mereka hanya senyum-senyum saja.

"Ya sudah, kami masuk dulu ya ibu-ibu, mari, assalamualaikum," ucap umi tiba-tiba. Ia segera menghampiriku dan berpamitan kepada ibu-ibu tersebut tanpa memberikan waktu untu seseibu bicara. Padahal, tadi tampak seseorang sudah hampir membuka mulutnya yang terpaksa ia tutup lagi.

"Waalaikumsalam," balas mereka sebagai gantinya.

Tanpa basa-basi, Umi segera menarik tanganku meninggalkan ibu-ibu itu dan segera memasuki rumah. Beliau mengusap-usap punggungku berusaha menenangkan diriku.

"Najma nggak apa-apa, Umi. Najma baik-baik saja," ucapnya.

"Nak, sepandai-pandainya kamu menyembunyikan perasaanmu di hadapan semua orang, tapi kamu tak bisa menyembunyikannya dari umi, Nak. Umi tahu apa yang kamu rasakan."

Umi pun menatapku dengan mata berkaca-kaca. Aku tahu, hati ibu mana yang tak terluka ketika melihat anaknya diduakan?   

"Terima kasih umi sudah mengerti perasaan Najma," ucapku, "doakan Najma umi agar Najma tetap baik-baik saja."

"Selalu, sayang. Doa umi selalu menyertaimu. Jadilah putri Abi dan Umi yang kuat, yang pantang menyerah." Umi tersenyum tapi air matanya menetes di pipi  yang sudah mulai terlihat keriputnya.

"InsyaaAllah, Umi."

Umi mengangguk, "Jadilah wanita yang memiliki kesabaran dan keikhlasan seluas samudera. Jika kau ikhlas, ridho dan sabar, InsyaaAllah syurga Allah akan kau dapatkan, Putriku."

"Aamiin, doakan Najma umi agar bisa seperti itu."

"Tentu, Nak. Ya sudah, sekarang mandilah, kita sholat berjamaah bersama Abi di musholla, sudah lama kau tak ikut berjamaah bersama umi dan Abi."

Umi mengapus jejak air matanya meskipun air mata itu kembali menetes dan terus menetes. Sebenarnya, aku tak tahan melihat melihat umi menangisi nasibku, tapi sebisa mungkin aku berusaha kuat agar umi tak semakin sedih dan kepikiran akan nasibku. 

"Baiklah, Umi. Najma mandi dulu," pamitku.

******

Selesai sholat berjamaah, aku dan umi memutuskan untuk memasak buat makan malam nanti. Sudah lama juga rasanya aku tidak masak berdua seperti ini bersama umi. Terasa indah sekali kebersamaan kami saat ini. Terasa seperti dulu---saat aku masih belum menikah dan menjadi putri abi dan umi satu-satunya.

"Umi mau nggak malam ini tidur bareng Najma?" tanyaku pada umi saat kami duduk santai di ruang keluarga.

"Kenapa harus tidur sama Umi?"

"Najma kangen pengen di peluk Umi kalau tidur." ujarku yang memang merindukan dekapan hangat sang ibu ketika tidur, akupun ingin mencari ketenangan hati dalam pelukan umi. 

"Terus Abi tidurnya sama siapa?"

"Ih, Abi, masak nggak mau ngalah sih sama anak sendiri!?" Aku pura-pura cemberut menatap Abi

"Kamu udah besar, udah punya suami nggak usah lagi manja minta tidur sama Umi, Umi tidurnya sudah ada Abi."

'Punya suami, tapi suamiku sedang menikmati malam pengantin dengan istri mudanya,'

Dan pada akhirnya, aku hanya tidur seorang diri di kamar ini, tidur sendirian sebagai kali pertama setelah aku menikah dengan mas Hamdan. Mungkin, seterusnya aku akan sering tidur seorang diri di kamar bernuansa biru donker ini. Ah, aku tak apa, aku baik-baik saja dan akan selalu baik-baik saja.

Aku sudah mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan ini sejak setahun yang lalu, agar aku siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang ada. Namun, seberapapun aku menyiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan yang telah aku pikirkan, nyatanya aku tak se-siap itu. Aku sakit,  dan aku tak menyangka kalau pada kenyataannya rasanya sungguh teramat sangat menyakitkan.

Tak apa!

Aku baik-baik saja!

Ikhlas belum tentu tak ada luka, tapi jika kita menerima luka dengan ikhlas, InsyaaAllah kita bisa menghadapinya dengan tenang.

"Ya, aku akan baik-baik saja dan akan tetap seperti ini," lirihku.

"Allah, bantu aku untuk selalu kuat selalu terlihat kuat di hadapan siapapun."

Dia memang pernah mengajak berjuang untuk membantunya melupakan semua perasaan itu, dan itu sedikit mengobati lukaku. Namun, takdir berkata lain, perasaan itu tetap utuh hingga aku menyerah untuk membantunya menghapus perasaannya. Dalam setiap sujud siang dan malam, aku selalu meminta kepada sang Khalik, agar cintanya hanya untukku, tapi Allah rasanya tak mengabulkan doaku, Allah tetapkan perasaan itu mungkin untuk menguji keimanan serta kesetiaan kami. 

Hingga pada akhirnya, aku mengalah, aku memintanya untuk menikahi wanita itu. Menjadikannya adik maduku mungkin bisa membuat suamiku merasa bahagia.

Aku melakukan ini atas nama cinta, aku mencintainya sehingga aku rela melakukan ini untuknya. 

Cinta dan luka, mungkin itu yang aku rasakan. Aku terluka karena mencintainya, tapi sudah ku katakan aku baik-baik saja dan akan tetap baik-baik saja. Aku sudah berdamai dengan luka ini, aku tak ingin memiliki dendam karena luka ini. Aku tak ingin luka ini menjadi panghalang untuk baktiku kepada suamiku. 

Tak ada rasa benci untuknya maupun untuk istri barunya, aku ikhlas dan ridho. Aku harap rumah tangga kami baik-baik saja, hidup dalam rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warohmah.

Aku melirik jam yang bertengger di atas nakas, jam dua dini hari, ternyata selama ini aku susah memejamkan mataku, aku bangkit menuju kamar mandi untuk melaksanakan sholat tahajjud, meminta untuk semakin di tingkatkan rasa sabar dan ikhlas di hati ini. Hujan mengguyur bumi malam ini, entah sejak kapan aku tak menyadarinya. Angin kencang membuat tirai-tirai kamarku beterbangan seiring dengan suara derasnya air hujan yang tak kunjung reda. 

Dinginnya malam serta dinginnya hujan merasuki tubuhku menebus pori-pori kulit ini. Begitu dingin dan hampir membuatku menggigil. Aku tak pedulikan dinginnya malam ini, aku tetap melanjutkan langkah menuju kamar mandi untuk berwudhu, setelahnya aku segera menggelar sajadah dan mengenakan mukenah berharap mukenah ini bisa menjadi penghangat bagi tubuh yang kedinginan ini.

"Ya Allah, beri hambamu ini ketegaran hati."

Comments (6)
goodnovel comment avatar
Puput Assyfa
km terlihat kuat dan tegar aslinya km rapuh Namja
goodnovel comment avatar
Priscilla Sumarni
Sudah memutuskan suami boleh poligami ya nggak usah ngeluh sama TUHAN lah. Memang nya ALLAH mendukung poligami?? Manusia nya aja yg bikin aturan sendiri menurut hawa nafsunya, sembunyi pada agama. Mana ada ALLAH nurut sama aturan manusia.
goodnovel comment avatar
Makandolu Effy
munafik juga ternyata
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Luka di Balik Senyum Istriku   7. Mengantar Kepulangan Abi dan Umi

    Selesai solat subuh berjamaah bersama Salwa dan ibu, aku segera bersiap-siap untuk pulang ke rumahku bersama Najma. Meskipun Najma melarang, tapi aku akan tetap mengantar Abi dan Umi ke bandara. Sedangkan ibuku sudah pulang sejak semalam bersama budhe Kiki. Bagaimana mungkin aku tak mengantar kepulangan mereka karena aku baru menikah, sedangkan mereka saja rela jauh-jauh datang dari Jawa timur ke Jakarta demi menghadiri pernikahan keduaku, yang mungkin kebanyakan mertua tak akan merestui pernikahan kedua menantunya."Mas, kenapa kamu terlihat sangat terburu-buru, mau kemana?" tanya Salwa menghampiriku yang tengah berganti pakaian. "Dik, hari ini mas harus pulang ke rumah Najma, mas mau mengantarkan umi dan Abi ke bandara." "Bukankah mbak Najma melarang mu untuk mengantar mereka dan mengatakan akan mengantar sendiri Abi dan Umi?" Terlihat wajah istri baruku ini tampak tak suka mendengar perkataanku barusan. "Dik, tak elok rasanya membiarkan Najma sendirian mengantar kepulangan Ab

  • Luka di Balik Senyum Istriku   8. Panggilan Tak Terjawab

    "Ummi, Abah sudah carikan rumah buat ummi yang dekat dengan rumah Abah dan Umma Najma. InsyaaAllah Minggu depan sudah bisa ditempati." "Alhamdulillah kalau begitu Abah, ummi nurut saja sama Abah. Apakah Abah sudah bilang ke mbak Najma?" "Belum, Ummi. Tak enak jika membahas hal seperti ini hanya melalui sambungan telepon. Besok Abah akan bilang sama Umma Najma." Ini adalah malam ketujuhku bersama Salwa, yang artinya besok sudah waktunya aku kembali bersama istri pertamaku. Aku sudah sangat merindukannya, ini adalah kali pertama aku berjauhan dengannya selama seminggu. Biasanya hanya sehari dua hari aku tidak bertemu dengannya jika ada kegiatan luar kota, dan itupun jarang karena aku lebih memilih mengutus asistenku untuk keluar kota karena tak mau meninggalkan istriku seorang diri. Saat ini aku sedang berada di dalam kamar tidur kami, sebelum tidur kami biasakan diri untuk mengobrol agar lebih mendekatkan diri satu sama lain. Aku memilih membelikan rumah untuk Salwa di kompleks per

  • Luka di Balik Senyum Istriku   9. Kabar Bahagia

    "Mbak Najma pingsan, segeralah pulang!" Begitu isi pesan yang aku terima dari mbak Hanifah, gegas aku menghubungi nomor ponsel Mbak Hanifah. Pada dering ke tiga barulah panggilan bisa tersambung ke nomor tujuan. "Assalamualaikum, Mbak. Ada dimana Najma sekarang?" "Wa'alaikum salam, Mas Hamdan, mbak Najma sedang di rawat di rumah sakit Pelita. Segeralah kemari!" "Baik, Mbak. Saya akan segera kesana, assalamualaikum," "Waalaikum salam," Aku segera menuju mobilku dan melajukannya meninggalkan rumah, tak lupa aku mengunci pintu terlebih dahulu. Aku mengendarai mobil dengan kecepatan diatas rata-rata, aku begitu khawatir terhadap istriku. Apa yang terjadi dengannya hingga ia sampai pingsan? Apakah istriku sedang sakit? Ya Allah, selamatkanlah istriku. Setibanya di rumah sakit, selesai memakirkan mobil aku segera berlari menuju resepsionis untuk menanyakan dimana ruang rawat istriku. Setelah mengetahui di mana ruang rawat umma Najma. Aku berlari kecil menyusuri koridor rumah sakit

  • Luka di Balik Senyum Istriku   10. Hasil Pemeriksaan

    Wa'alaikum salam, Ibu."Kami menjawab salam wanita paruh baya yang telah melahirkan ku ke dunia ini."Bagaimana keadaanmu, Nak?" Tanya ibu kepada istriku."Alhamdulillah sudah mendingan, Bu." jawab Najma sambil mencium tangan ibu."Ibu bahagia dan bersyukur banget denger kalian akan memberikan ibu cucu, selamat ya,""Alhamdulillah, Bu. Allah masih mempercayakan kami untuk dititipkan amanahnya." jawabku dengan penuh binar kebahagian."Ibu sama siapa kesini? Tahu dari mana kalau Najma ada disini?""Ibu sama ...""Assalamualaikum,"Kami kembali menoleh saat mendengar salam dari arah pintu, di sana istri mudaku dengan membawa parsel buah ditangannya. Wanita itu menghampiriku lalu mencium tanganku, setelahnya dia bercipika-cipiki dengan Najma."Aku turut bahagia, Mbak dengar kabar baik itu," "Terimakasih, Adikku.""Selamat ya, Mas, Mbak.""Iya, sekali lagi terimakasih.""Ini, ibu sama Salwa. Tadi ibu ke rumah kalian, mau bawakan pepes ikan tuna buat Najma, tapi kata Hanifah dari kemaren

  • Luka di Balik Senyum Istriku   11. Dia (tidak) Baik-baik Saja

    Aku tak mempedulikan Najma yang terus saja meminta turun, aku segera membawanya ke kamar agar ia bisa segera istirahat. Soal Salwa, aku harap dia bisa memaklumi apa yang aku lakukan kepada Najma di hadapannya tadi. Setelah meletakkan Najma di kamar, aku keluar untuk mengambil minum di dapur buat Najma. ku lihat beberapa tetangga datang untuk menjenguk istriku. Mereka duduk di ruang tamu di temani ibu. Mereka tak datang dengan tangan kosong, masing-masing dari mereka membawa bungkusan plastik putih transparan yang terlihat jelas isinya. Ada yang membawa roti tawar beserta susu, ada yang membawa camilan, dan ada juga yang membawa buah-buahan. Aku tak heran, karena memang istriku pun melakukan hal yang sama ketika ada tetangga yang sedang sakit. Aku menyampaikan kepada Najma kalau ada para tetangga, tapi aku melarangnya keluar karena harus istirahat. Aku yakin mereka pasti mengerti dan memaklumi jika Najma tak menemui mereka. Sayangnya Najma memaksa untuk tetap menemui mereka. Dia tur

  • Luka di Balik Senyum Istriku   12. Kejadian di Dapur

    "Ummi lagi masak apa?" tanyaku pada istri keduaku yang ku lihat sedang memotong bawang merah dan bawang putih."Astagfirullah, Abah. Bikin kaget saja!" Seketika Salwa menghentikan kegiatannya, laku mengusap dadanya karena kaget."Maaf, Ummi." Sesalku, "Ummi lagi masak apa?" tanyaku sambil melingkarkan tanganku pada kedua pinggulnya.Dia mengangguk,"Mau buat sup ayam." lalu Salwa berusaha melepaskan tanganku yang melingkar di perutnya, "Jangan seperti ini Abah, nggak enak entar kalau di lihat ibu ataupun mbak Najma.""Oh, iya, ibu kemana?" aku bertanya lagi tanpa melepaskan pelukanku."Ibu lagi ke warung mau beli penyedap rasa katanya udah nggak ada.""Ummi, maafkan Abah ya, dari pagi Abah mengabaikan Ummi." ujarku sambil mencium pipinya."Nggak apa-apa, Abah. Ummi ngerti kok." jawabnya sambil menunduk menyembunyikan rona merah jambu di pipinya"Semoga disini juga segera tumbuh buah hati kita," kataku sambil mengusap perut rata Salwa."Aamiin,""Aamiin,"Setelah Salwa mengaminkan ucapa

  • Luka di Balik Senyum Istriku   13. Musibah yang Menimpa Istri Mudaku

    Setelahnya aku pun pergi menuju rumah istri keduaku. Tak butuh waktu lama, hanya butuh waktu sekitaran lima menit untuk aku sampai di rumah Salwa. Saat tiba di persimpangan di depan rumah Salwa, aku melihat di sana terparkir sebuah mobil yang tidak aku ketahui siapa pemiliknya.Seorang wanita paruh baya bersama seorang pemuda berdiri di depan pintu sedang menunjuk-nunjuk Salwa. Bahkan di sekitaran mereka ada beberapa ibu-ibu yang menontonnya. Ada apa ini? Aku memilih turun dari mobil dan mendekat ke arah mereka. Tampaknya tak ada yang menyadari kehadiranku, perlahan aku mulai mendengar perbincangan mereka"Jadi ini alasan kamu menolak anak saya? Di lamar bujang nggak mau, maunya nikah sama orang yang sudah beristri. Kamu itu tak ubahnya hanya seorang pelakor, Salwa!" Makian ibu-ibu itu membuat Salwa menunduk mungkin karena malu."Anak saya wanita baik-baik, bukan dia yang masuk ke rumah tangga orang, tapi orang itulah yang mengajak Salwa untuk masuk

  • Luka di Balik Senyum Istriku   14. Aku Bukan Pelakor (Salwa POV)

    Muhammad Hamdan Alfariki, lelaki tampan yang telah memikat hati ini. Seorang lelaki yang menjadi pelanggan di warung kopiku saat ia mendatangi sebuah pembangunan hotel tepat di seberang jalan depan warungku. Ada debar yang tak bisa ku jelaskan setiap kali bertemu dengannya. Beberapa kali kami sempat beradu pandang, tapi dengan cepat dia memutuskannya seolah sedang menjaga pandangan dan itu semakin membuatku kagum akan sosok dirinya.Tak pernah satu waktu sholat pun ia jalankan dengan terlambat. Setiap kali adzan berkumandang, ia segera menuju musholla yang tak jauh dari gedung yang ia pantau untuk melaksanakan sholat. Diam-diam aku selalu memperhatikan setiap kegiatannya.Entah keberanian dari mana, aku selalu menyelipkan namanya di setiap doaku, berharap dia akan menjadi imam buatku dan ayah dari anak-anakku kelak. Aku memintanya kepada Rabb-ku, berharap menyatukan kami dalam sebuah ikatan pernikahan.Hingga selama beberapa bulan ini, aku tak melihat kehadirannya memantau proyek yang

Latest chapter

  • Luka di Balik Senyum Istriku   23. RASA YANG SAMA. END

    Kamu pantas mendapatkan itu, karena kamu manusia yang tidak tahu diri!" ujar Kinan dengan penuh emosi. "Pergi sebelum aku memanggil satpam untuk mengusirmu! Jangan sampai atasanku keluar dan memberimu sanksi atas keributan yang kau lakukan. Jangan pernah ganggu hidupku lagi. Jangan pernah ikut campur urusanku lagi. Tante hanyalah orang asing yang kebetulan dinikahi papa karena hamil duluan!" Ucapan pedas Maira membuat Kinan semakin naik pitam. "Heh, semakin kurang ajar kamu ya sama orang tua!" Geram Kinan sambil menjambak rambut Maira dari balik kerudung yang dikenakan wanita itu. "Panggil selingkuhanmu ke sini! Gara-gara dia kamu kehilangan Reno dan gara-gara dia kamu semakin tak bisa diatur!" "Aauuwwhh, sakiiiit! Lepasin, Mak lampir! Dasar Gila!" Maira berusaha melepaskan cekalan ibu tirinya pada rambutnya. Sungguh saat ini kepalanya terasa kebas dan kulit kepalanya terasa mau copot. Sontak saja mereka di hampiri orang beberapa orang termasuk para pelayan di restoran tersebu

  • Luka di Balik Senyum Istriku   22. Playing Victim

    "Kenapa anak nakal itu belum juga di temukan?!"Entah kemana perginya Laura yang sesungguhnya, sehingga orang punya kuasa sekuat ayahnya saja tak dapat menemukan keberadaannya. Bahkan detektif handal yang biasanya tak pernah gagal dalam misinya, juga tak dapat menemukan keberadaan wanita muda itu. Jangan menemukan Laura, mendapatkan jejak kepergiannya saja tidak.Tuan Derial mulai ketakutan, ia takut kalau Laura di culik oleh musuhnya. Dia adalah pebisnis yang besar, tentu tak sedikit orang yang membencinya, sisi gelap dalam dunia bisnis salah satunya adalah bersaing dengan kotor, dan itu sudah menjadi rahasia umum."Tapi, siapa yang sudah memanfaatkan Laura demi bisa menyaingi ku? Selama lima bulanan ini tak ada yang berusaha menekan atau menyenggol diriku dengan kepala menunduk, dan satu tangan yang memikat pangkal hidungnya. Ia terlalu pusing memikirkan kemana perginya Laura. Ditambah sang istri yang sering jatuh sakit akibat kepikiran kepada putri mereka satu-satunya.Tak mau piki

  • Luka di Balik Senyum Istriku   21. Berakhirnya Kehidupan Salwa

    "Bil, maafkan aku, gara-gara aku kamu jadi korbannya Reno." Kini Bilal dan Maira tengah duduk di sebuah kursi yang terletak di teras minimarket di seberang restoran. Maira memaksa untuk membantu Bilal mengompres wajah lelaki itu yang memar dan mengobatinya. Saat terjadi adu jotos tadi, teman-teman yang semula hanya menonton kini turun tangan untuk memisahkan Bilal dan Reno, begitupun satpam dan kang ojol yang di pesan Bilal. "Gak papa, Mai. Lagian aku memang geram sama lelaki yang beraninya hanya sama perempuan, apalagi sampai main fisik segala. Beruntunglah kamu sudah bebas dari lelaki seperti itu." Jawab Bilal sambil mengompres wajahnya sendiri, karena ia tak mau jika Maira yang melakukannya. Tentu Bilal masih sangat ingat akan batasan-batasan dalam agamanya. Bilal membantu Maira bukan karena apa, tapi ia tak suka saja melihat kekerasan yang dilakukan oleh lelaki kepada perempuan, apalagi kejadian itu tepat berada di depan matanya. Bilal tak bisa untuk pura-pura tak melihat, apa

  • Luka di Balik Senyum Istriku   20. Baku hantam

    Kamu gak ada rencana buat pulang, Nak?" Tanya Nafisah saat menghubungi Bilal."InsyaaAllah awal Ramadhan ini Hamdan pulang, Mi, tapi belum tahu pastinya tanggal berapa." jawab Bilal.Satu bulan lagi sudah memasuki bulan Ramadhan, dan tanpa disadarinya sudah empat bulan Bilal bekerja di restoran."Syukurlah kalau begitu. Abi dan Umi sangat merindukan kamu, Nak." ujar Nafisah dari seberang sana dengan raut wajah yang begitu kentara menatap penuh rindu kepada sang putra."Bilal juga sangat merindukan Abi dan Umi. Kalian sehat-sehat kan di situ?""Alhamdulillah, kami semua sehat, Nak.""Alhamdulillah kalau umi dan Abi sehat semua."Setelah mengobrol lama dengan sang ibu, Bilal mengakhiri panggilannya dikarenakan ia sudah tiba di tempat kerjanya. Bilal turun dari angkot setelah membayar ongkos. Dihalaman depan, Bilal berpapasan dengan beberapa rekannya yang juga baru tiba di restoran. Bilal menyapa dengan ramah, dan mereka juga membalas sapaan Bilal tak kalah ramahnya. Namun, ada satu oran

  • Luka di Balik Senyum Istriku   19. Tempat Kerja Baru

    "Halo, Baby, mau aku temani?" Tanya Salwa dengan suara yang dibuat sesensual mungkin di dekat telinga pada salah satu pengunjung yang kini tengah menenggak anggur merah.Salwa kini tengah berdiri di belakang pria itu sambil mengalungkan tangannya pada leher pria itu. Tubuhnya bergerak bergoyang kesana-kemari mengikuti alunan musik DJ yang berputar."Owwhh, yees babyy." jawab lelaki tersebut sambil menarik tangan Salwa dan mendudukkan Salwa di atas pangkuannya.Semenjak kematian sang putri, lebih tepatnya kematian Riko, Salwa tak memiliki ladang uang lagi. Bukannya menyesal atas apa yang menimpa Alifah, tapi Salwa justru semakin menjadi-jadi. Bahkan kini wanita itu bekerja sebagai kupu-kupu malam di sebuah klub terkenal di ibukota. Tanpa ada sedikitpun rasa risih atau malu mengenakan pakaian yang begitu mini dan mencetak seluruh lekuk tubuhnya itu. Bahkan dengan bangganya ia memamerkan tubuhnya pada setiap pengunjung yang datang. Sekalipun usianya tak lagi muda, tapi bentuk tubuh Salwa

  • Luka di Balik Senyum Istriku   18. Mengenang masa Lalu

    "Ini adalah surat pemecatanmu, silahkan ambil gaji terakhirmu dan juga bonusnya. Maaf saya tak dapat membantumu untuk bertahan dalam pekerjaan ini."Sesuai dengan permintaan tuan Derial, jikalau dalam tiga hari Laura belum juga ditemukan, maka Bilal harus dikeluarkan dari kantor ini. Dan saat ini, dengan berat hati Tuan Xavier memberikan surat pemecatan untuk Bilal. Pernah kemarin tuan Xavier berusaha membela Bilal dan berusaha mempertahankan Bilal di perusahaan, tapi tanpa kata, satu proyek besar mengalami kegagalan dan kekacauan. Dan tentu itu menimbulkan kerugian yang fantastis.Dengan berat hati, Tuan Xavier mengeluarkan surat pemecatan untuk Bilal."Tidak apa-apa, Pak. Jangan mengorbankan banyak orang hanya demi satu orang, saya sungguh tidak apa-apa. Saya bisa mencari pekerjaan di tempat lain." jawab Bilal yang berusaha berlapang dada dengan apa yang diterimanya hari ini.Tuan Xavier semakin menatap iba kepada Bilal, "Tapi, namamu sudah di blacklist di seluruh perusahaan manapun

  • Luka di Balik Senyum Istriku   17. Ancaman Untuk Bilal

    "Kamu tahu kenapa saya memanggilmu kesini?" Tanya Tuan Xavier yang kini sudah berdiri dari duduknya.Berbeda dengan orang yang duduk di depan meja tuan Xavier yang tetap duduk di tempatnya tapi kursinya ia putar agar bila melihat ke arah Bilal."Tidak, Tuan!" Jawab Bilal sambil menunduk."Ada yang ingin bertemu denganmu." ujar Tuan Xavier sambil melangkahkan kakinya menuju sofa.Bilal sontak mendongak dan menatap seseorang yang baru saja memutar kursinya. Lelaki itu! Ya, Bilal masih sangat ingat siapa lelaki yang sedang menatap tak ramah kepadanya tersebut."Dimana kamu menyembunyikan putriku?" Pertanyaan tanpa basa basi tersebut membuat Bilal menyerukan dahinya.Ya, lelaki itu adalah tuan Derial, orang tua dari Laura, yang seminggu yang lalu membuat Bilal babak belur."Putri Anda? Maksud Anda Laura? Kenapa Anda bertanya pada saya?"Tuan Derial yang tak mendapatkan jawaban atas pertanyaan, dan justru di balas dengan pertanyaan pula, seketika amarahnya semakin memuncak. Tuan Derial ban

  • Luka di Balik Senyum Istriku   16. Duka Hamdan untuk Kesekian Kali

    Hamdan masih terpaku menatap batu nisan dengan tanah yang masih merah di hadapannya. Sekalipun air matanya tak lagi menetes, tapi kesedihan masihlah tergambar jelas di wajah lelaki yang usianya sudah lebih dari kepala enak tersebut. Jika dilihat lebih dekat lagi, kedua sudut mata Hamdan masih basah oleh sisa-sisa air mata.Sungguh, semua ini masih seperti mimpi buruk bagi Hamdan, lelaki itu sangat berharap ada yang membangunkannya dan membuktikan bahwa semua ini hanyalah mimpi. Namun, rintik-rintik hujan yang semakin deras membasahi bumi dan mengguyur tubuhnya membuat Hamdan tersadar bawa semua ini adalah nyata adanya."Om, ayo pulang, hujannya sudah semakin deras!" Ajak Airi yang sejak tadi setia menemani Hamdan beserta kedua orang tuanya."Iya, mari pulang Pak Hamdan, belajarlah mengikhlaskan Alifah, karena dia sudah tenang di sana." sahut pak Herman, papanya Airi."Kalian pulanglah terlebih dahulu, saya masih ingin disini. Terimakasih sudah menemani saya dari tadi." tolak Hamdan t

  • Luka di Balik Senyum Istriku   15. Tidak Selamat

    "Bu, beli es batunya ya, dua," kata Hamdan saat baru pulang dari pertemuannya dengan papanya Laura.Hamdan membeli es batu di warung dekat kontrakannya untuk mengompres wajahnya yang terasa sakit akibat terkena bogeman dua kali dari nak buah tuan Derial."Ini, Mas, 4000 ribu ya." Ibu pemilik warung menyodorkan satu kantung plastik berisi dua es batu yang terbungkus plastik setengah kilo kepada Bilal.Bilal mengambil uang di dalam dompetnya dan menyerahkan uang pecahan sepuluh ribuan kepada pemilik warung, "Ini, Bu, sisanya beli soklin yang 5000 ya Bu, seribunya kasih permen dah." Bilal teringat jika di kontrakannya sudah tidak ada sabun cuci baju. Ya, Bilal memang terbiasa mencuci bajunya sendiri sejak ia remaja.Si pemilik warung mengambilkan pesanan Bilal dan menyerahkannya kepada si empunya. "Itu kenapa wajahnya, Mas? Habis berantem ya?""Gak apa-apa, Bu, ini cuma terjadi kesalahpahaman saja tadi.""Walahh.. Mau heran tapi ini Jakarta, Mas Bilal harus terbiasa ya sama kerasnya kota

DMCA.com Protection Status