Siang menjelang sore, kami masih beristirahat di ruang keluarga sebelum nanti sore hingga malam akan mengadakan resepsi. Kami sekeluarga duduk lesehan di lantai beralaskan karpet yang sengaja di gelar untuk acara ijab qobul tadi. Namun, bayang-bayang Najma menangis masih menghantuiku.
"Hamdan, jadilah suami yang adil bagi kedua istrimu, perlakukan mereka dengan sama. Jangan pernah bedakan mereka. Janganlah kamu membandingkan antara istrimu yang satu dengan istrimu yang lain," Abi membuka percakapan diantara kami dengan memberikan nasihat kepadaku yang akan aku dengar dan berusaha menjalankan nasihat Abi.
"Jangan pernah menegur satu istrimu di depan satu istrimu yang lain, karena itu bisa menimbulkan rasa iri, dengki, dendam bahkan sombong di hati istri-istri mu. Nasehati mereka dengan tutur kata yang baik, tegur mereka dengan kalimat yang bijak. Jangan memberitahukan kekurangan satu istrimu kepada istrimu yang lain. Jika ingin menegur, tegurlah saat kalian sedang berdua saja."
Abi menjeda ucapannya, beliau menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan memberikan nasihat kepada kami.
"Istri adalah pakaian bagi seorang suami, begitupun sebaliknya. Jadi sudah seharusnya dan sudah wajib bagi kalian untuk saling melindungi, menasehati dan menjaga. Jangan mengambil keputusan secara sepihak, musyawarahkan dulu bersama untuk mencapai keputusan yang sama-sama di setujui. Berilah mereka waktu untuk mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian carilah jalan tengahnya."
"Memiliki dua istri bukanlah hal yang mudah, tapi Abi harap kamu bisa adil dalam membagi waktu untuk mereka berdua. Berusahalah bersikap adil dalam segala hal."
"InsyaaAllah, Hamdan akan berusaha adil kepada istri-istri Hamdan, Abi," ucapku tenang.
Abi menatap anak mantunya satu persatu, lalu pandangannya berhenti pada Najma sembari berkata, "Najma, putriku. Sekarang engkau bukanlah satu-satunya istri Hamdan, ada Salwa yang akan engkau bagi suamimu dalam segala hal, baik lahir maupun batin. Perluaslah keikhlasanmu menerima adik madumu, terima dia dengan lapang dada." Abi menyeka sudut matanya bergantian.
"Ajari Salwa segala hal tentang suami kalian, tentang apa yang disukai maupun yang tidak disukai suami kalian. Nasehati jika dia salah, jangan sekali-kali menghakiminya. Meskipun engkau istri pertama janganlah merasa engkau lebih berhak segalanya atas diri Hamdan dan hartanya. Kedudukan kalian sama, status kalian sama, sama-sama istri Hamdan. Jadilah kakak yang baik buat adikmu." Abi tak bisa menyembunyikan tatapan sendunya kepada seorang putri yang sangat ia sayangi tersebut. Bahkan berkali-kali Abi menghapus cairan bening di sudut netranya.
'Maafkan Hamdan, Bi. Maaf karena Hamdan sudah membuat Abi bersedih,'
"InsyaaAllah, Abi." Najma menunduk, tak berani menatap wajah sang ayahanda yang begitu kentara akan kesedihannya.
Lalu kepada Salwa Abi juga memberikan petuahnya. Namun, sebelum beliau berkata, beliau menarik nafas terlebih dahulu, "Salwa, sebelumnya aku tak mengenal dirimu siapa, tapi karena Hamdan menikahimu, maka kini kau sudah kami anggap sebagai putri kami juga. Kamu disini sebagai istri kedua dari Hamdan, janganlah berkecil hati karena posisi itu, karena sejatinya kedudukan kalian itu sama. Janganlah sungkan untuk bertanya jika ada hal yang tak kamu fahami tentang suamimu kepada Najma. Jadilah kalian partner yang baik, yang saling mendukung, melindungi, menasehati dan saling menjaga."
"InsyaaAllah, terima kasih, paman," jawab Salwa
"Panggil Abi saja, seperti mereka memanggilku," pinta Abi kepada salwa
"Baik, Abi."
"Ya sudah, Abi mau langsung pulang. Akur-akurlah kalian," ucap Abi. Beliau dan Umi pun segera bangkit dan berpamitan kepada ibuku juga kepada ibu Salwa.
"Saya pulang duluan ya, Bu," pamit umi kepada ibuku.
"Nggak mau nunggu resepsi dulu Bu Nyai, pak Kyai?" tanya ibu.
Meskipun mereka sudah menjadi besan, tetap saja ibuku selalu memanggil umi dan Abah dengan sebutan Bu nyai dan pak Kyai, karena beliau begitu takdzim kepada kyai tersohor di Jawa timur tersebut.
Namun, keduanya tampak menggeleng, "Maaf ya, Bu, kita nggak bisa nunggu sampai acara selesai. Kami harus segera kembali ke Jawa timur, nggak bisa lama-lama meninggalkan pesantren."
"Baiklah. Bu Nyai, Pak Kyai, sekali lagi saya benar-benar minta maaf atas apa yang terjadi kini. Maafkan anak saya yang sudah menyakiti putri kalian," ini adalah permintaan maaf dari ibu kepada Umi dan Abi untuk kesekian kalinya. Meskipun Umi sudah mengatakan tak apa, tapi tetap saja ibu merasa begitu bersalah dan begitu malu kepada besannya karena diriku.
"Bu besan, sudah berapa kali saya katakan saya dan keluarga insyaallah ikhlas sebagaimana Najma yang ikhlas akan semua ini. Mungkin ini adalah takdir anak-anak kita. Kita doakan saja agar mereka senantiasa selalu bahagia." ujar Umi sambil mengelus lengan ibu.
"Saya tetap merasa malu kepada njenengan, Bu Nyai."
"Sudah, tak usah di pikirin. Saya pamit dulu ya,"
"Iya, hati-hati, Bu Nyai, pak Kyai." balas ibuku sembari mengangguk.
"Iya, mari, assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Kami lantas mengantarkan Abi dan Umi sampai teras rumah. Mereka akan pulang ke rumahku menggunakan taksi yang sudah Najma pesankan untuk mereka.
"Abah, Umma juga mau pulang bersama Abi dan ummi."
Lantas aku menolehkan kepalaku ke arah wanitaku yang ada di samping kananku ini.
"Kenapa harus ikut pulang Umma?" tanyaku.
"Abah, Umma mau bantu umi dan Abi buat siap-siap, besok pagi mereka sudah mau pulang."
"Umma, tak bisakah di sini sampai malam nanti?"
"Maaf, Abah," kata istriku sambil tersenyum manis.
'Sadarlah Hamdan! Istri mana yang sanggup melihat suaminya duduk di pelaminan bersama madunya. Sudah untung kamu diizinkan menikah lagi, jadi jangan ngelunjak!'
"Baiklah, hati-hati di jalan, InsyaaAllah besok pagi abah akan antar umi dan Abi ke bandara."
"Tak usah, Abah. Biar umma saja yang antar mereka, Abah di sini saja hingga beberapa hari kedepan," ucap Najma.
"Tapi, Umma ..."
"Abah, Salwa sudah menjadi istri Abah, dia pasti ingin merasakan momen-momen pengantin baru bersamamu dua empat jam full. Abah disini saja," potongnya, memberi pengertian.
Aku terdiam, lalu mengangguk, "Baiklah, Umma."
"Ya sudah, Umma pulang dulu," ucapnya.
Dia mencium tanganku dengan takdzim, kemudian aku mencium keningnya cukup lama sebagai tanda bahwa aku masih mencintainya dan akan selalu mencintainya.
Aku tak tahu apakah dia mengerti sinyalku. Yang jelas, Najma kemudian memeluk Salwa sambil berkata, "Berbahagialah adikku."
"Maafkan aku dan terimakasih, Mbak."
Terdengar balasan dari Salwa yang dibalas anggukan oleh Najma. Lagi-lagi, senyuman itu tak pernah luntur di wajahnya.
"Ibu, Najma pulang ya," pamitnya pada ibu yang berdiri di samping ibu Salwa.
"Hati-hati, Nak," pesan ibu kepada menantu pertamanya tersebut.
"InsyaaAllah, Bu."
"Ibu, Najma pulang, ya, titip mertua sama suami Najma, kalau Mas Hamdan jahatin Salwa marahin saja dia, kalau perlu ibu pukul." Najma melontarkan candaan ketika ia berpamitan kepada ibu dari Salwa.
"Iya, Nak, kamu ini bisa saja."
"Ya sudah, Najma pulang, assalamualaikum," ucapnya.
"Wa'alaikum salam," balas kami.
Dia memasuki taksi yang di dalamnya sudah ada Umi dan Abah. Kemudian dia membuka kaca mobil dan melambaikan tangannya seiring taksi tersebut menjauh dan perlahan menghilang dari pandangan mata.
Aku pulang bersama Abi dan Umi menuju kediamanku selama ini.Kutarik nafas sepanjang-panjangnya merasakan ada yang mendesak keluar di kedua netraku ini. Tak lama, kuhembuskan perlahan nafas ini seiring buliran bening yang menetes begitu saja melewati pipiku. Segera aku menghapusnya agar umi tak mengetahuinya. Aku memang ikhlas. Namun, bukan berarti aku tak akan menangis saat melihat suamiku bersanding dengan wanita lain. Aku tak akan sanggup membendung air mataku lagi jika aku tetap berada di sana menyaksikan suamiku bak raja dan ratu bersama istri mudanya. Tak apa, aku baik-baik saja, dan akan tetap baik-baik saja. "Abi yakin putri Abi adalah wanita yang kuat." Perkataan Abi sontak membuatku mengalihkan pandanganku kepada lelaki cinta pertamaku ini. Aku berikan senyuman tulus ku kepada Abi untuk membenarkan ucapan beliau kalau aku wanita yang kuat. "Najma kuat kok, Abi," ucapku dengan yakin. "Abi percaya, Nak," ujar Abi sambil mengusap kepalaku yang tertutup Khimar. Setibanya
Selesai solat subuh berjamaah bersama Salwa dan ibu, aku segera bersiap-siap untuk pulang ke rumahku bersama Najma. Meskipun Najma melarang, tapi aku akan tetap mengantar Abi dan Umi ke bandara. Sedangkan ibuku sudah pulang sejak semalam bersama budhe Kiki. Bagaimana mungkin aku tak mengantar kepulangan mereka karena aku baru menikah, sedangkan mereka saja rela jauh-jauh datang dari Jawa timur ke Jakarta demi menghadiri pernikahan keduaku, yang mungkin kebanyakan mertua tak akan merestui pernikahan kedua menantunya."Mas, kenapa kamu terlihat sangat terburu-buru, mau kemana?" tanya Salwa menghampiriku yang tengah berganti pakaian. "Dik, hari ini mas harus pulang ke rumah Najma, mas mau mengantarkan umi dan Abi ke bandara." "Bukankah mbak Najma melarang mu untuk mengantar mereka dan mengatakan akan mengantar sendiri Abi dan Umi?" Terlihat wajah istri baruku ini tampak tak suka mendengar perkataanku barusan. "Dik, tak elok rasanya membiarkan Najma sendirian mengantar kepulangan Ab
"Ummi, Abah sudah carikan rumah buat ummi yang dekat dengan rumah Abah dan Umma Najma. InsyaaAllah Minggu depan sudah bisa ditempati." "Alhamdulillah kalau begitu Abah, ummi nurut saja sama Abah. Apakah Abah sudah bilang ke mbak Najma?" "Belum, Ummi. Tak enak jika membahas hal seperti ini hanya melalui sambungan telepon. Besok Abah akan bilang sama Umma Najma." Ini adalah malam ketujuhku bersama Salwa, yang artinya besok sudah waktunya aku kembali bersama istri pertamaku. Aku sudah sangat merindukannya, ini adalah kali pertama aku berjauhan dengannya selama seminggu. Biasanya hanya sehari dua hari aku tidak bertemu dengannya jika ada kegiatan luar kota, dan itupun jarang karena aku lebih memilih mengutus asistenku untuk keluar kota karena tak mau meninggalkan istriku seorang diri. Saat ini aku sedang berada di dalam kamar tidur kami, sebelum tidur kami biasakan diri untuk mengobrol agar lebih mendekatkan diri satu sama lain. Aku memilih membelikan rumah untuk Salwa di kompleks per
"Mbak Najma pingsan, segeralah pulang!" Begitu isi pesan yang aku terima dari mbak Hanifah, gegas aku menghubungi nomor ponsel Mbak Hanifah. Pada dering ke tiga barulah panggilan bisa tersambung ke nomor tujuan. "Assalamualaikum, Mbak. Ada dimana Najma sekarang?" "Wa'alaikum salam, Mas Hamdan, mbak Najma sedang di rawat di rumah sakit Pelita. Segeralah kemari!" "Baik, Mbak. Saya akan segera kesana, assalamualaikum," "Waalaikum salam," Aku segera menuju mobilku dan melajukannya meninggalkan rumah, tak lupa aku mengunci pintu terlebih dahulu. Aku mengendarai mobil dengan kecepatan diatas rata-rata, aku begitu khawatir terhadap istriku. Apa yang terjadi dengannya hingga ia sampai pingsan? Apakah istriku sedang sakit? Ya Allah, selamatkanlah istriku. Setibanya di rumah sakit, selesai memakirkan mobil aku segera berlari menuju resepsionis untuk menanyakan dimana ruang rawat istriku. Setelah mengetahui di mana ruang rawat umma Najma. Aku berlari kecil menyusuri koridor rumah sakit
Wa'alaikum salam, Ibu."Kami menjawab salam wanita paruh baya yang telah melahirkan ku ke dunia ini."Bagaimana keadaanmu, Nak?" Tanya ibu kepada istriku."Alhamdulillah sudah mendingan, Bu." jawab Najma sambil mencium tangan ibu."Ibu bahagia dan bersyukur banget denger kalian akan memberikan ibu cucu, selamat ya,""Alhamdulillah, Bu. Allah masih mempercayakan kami untuk dititipkan amanahnya." jawabku dengan penuh binar kebahagian."Ibu sama siapa kesini? Tahu dari mana kalau Najma ada disini?""Ibu sama ...""Assalamualaikum,"Kami kembali menoleh saat mendengar salam dari arah pintu, di sana istri mudaku dengan membawa parsel buah ditangannya. Wanita itu menghampiriku lalu mencium tanganku, setelahnya dia bercipika-cipiki dengan Najma."Aku turut bahagia, Mbak dengar kabar baik itu," "Terimakasih, Adikku.""Selamat ya, Mas, Mbak.""Iya, sekali lagi terimakasih.""Ini, ibu sama Salwa. Tadi ibu ke rumah kalian, mau bawakan pepes ikan tuna buat Najma, tapi kata Hanifah dari kemaren
Aku tak mempedulikan Najma yang terus saja meminta turun, aku segera membawanya ke kamar agar ia bisa segera istirahat. Soal Salwa, aku harap dia bisa memaklumi apa yang aku lakukan kepada Najma di hadapannya tadi. Setelah meletakkan Najma di kamar, aku keluar untuk mengambil minum di dapur buat Najma. ku lihat beberapa tetangga datang untuk menjenguk istriku. Mereka duduk di ruang tamu di temani ibu. Mereka tak datang dengan tangan kosong, masing-masing dari mereka membawa bungkusan plastik putih transparan yang terlihat jelas isinya. Ada yang membawa roti tawar beserta susu, ada yang membawa camilan, dan ada juga yang membawa buah-buahan. Aku tak heran, karena memang istriku pun melakukan hal yang sama ketika ada tetangga yang sedang sakit. Aku menyampaikan kepada Najma kalau ada para tetangga, tapi aku melarangnya keluar karena harus istirahat. Aku yakin mereka pasti mengerti dan memaklumi jika Najma tak menemui mereka. Sayangnya Najma memaksa untuk tetap menemui mereka. Dia tur
"Ummi lagi masak apa?" tanyaku pada istri keduaku yang ku lihat sedang memotong bawang merah dan bawang putih."Astagfirullah, Abah. Bikin kaget saja!" Seketika Salwa menghentikan kegiatannya, laku mengusap dadanya karena kaget."Maaf, Ummi." Sesalku, "Ummi lagi masak apa?" tanyaku sambil melingkarkan tanganku pada kedua pinggulnya.Dia mengangguk,"Mau buat sup ayam." lalu Salwa berusaha melepaskan tanganku yang melingkar di perutnya, "Jangan seperti ini Abah, nggak enak entar kalau di lihat ibu ataupun mbak Najma.""Oh, iya, ibu kemana?" aku bertanya lagi tanpa melepaskan pelukanku."Ibu lagi ke warung mau beli penyedap rasa katanya udah nggak ada.""Ummi, maafkan Abah ya, dari pagi Abah mengabaikan Ummi." ujarku sambil mencium pipinya."Nggak apa-apa, Abah. Ummi ngerti kok." jawabnya sambil menunduk menyembunyikan rona merah jambu di pipinya"Semoga disini juga segera tumbuh buah hati kita," kataku sambil mengusap perut rata Salwa."Aamiin,""Aamiin,"Setelah Salwa mengaminkan ucapa
Setelahnya aku pun pergi menuju rumah istri keduaku. Tak butuh waktu lama, hanya butuh waktu sekitaran lima menit untuk aku sampai di rumah Salwa. Saat tiba di persimpangan di depan rumah Salwa, aku melihat di sana terparkir sebuah mobil yang tidak aku ketahui siapa pemiliknya.Seorang wanita paruh baya bersama seorang pemuda berdiri di depan pintu sedang menunjuk-nunjuk Salwa. Bahkan di sekitaran mereka ada beberapa ibu-ibu yang menontonnya. Ada apa ini? Aku memilih turun dari mobil dan mendekat ke arah mereka. Tampaknya tak ada yang menyadari kehadiranku, perlahan aku mulai mendengar perbincangan mereka"Jadi ini alasan kamu menolak anak saya? Di lamar bujang nggak mau, maunya nikah sama orang yang sudah beristri. Kamu itu tak ubahnya hanya seorang pelakor, Salwa!" Makian ibu-ibu itu membuat Salwa menunduk mungkin karena malu."Anak saya wanita baik-baik, bukan dia yang masuk ke rumah tangga orang, tapi orang itulah yang mengajak Salwa untuk masuk
Kamu pantas mendapatkan itu, karena kamu manusia yang tidak tahu diri!" ujar Kinan dengan penuh emosi. "Pergi sebelum aku memanggil satpam untuk mengusirmu! Jangan sampai atasanku keluar dan memberimu sanksi atas keributan yang kau lakukan. Jangan pernah ganggu hidupku lagi. Jangan pernah ikut campur urusanku lagi. Tante hanyalah orang asing yang kebetulan dinikahi papa karena hamil duluan!" Ucapan pedas Maira membuat Kinan semakin naik pitam. "Heh, semakin kurang ajar kamu ya sama orang tua!" Geram Kinan sambil menjambak rambut Maira dari balik kerudung yang dikenakan wanita itu. "Panggil selingkuhanmu ke sini! Gara-gara dia kamu kehilangan Reno dan gara-gara dia kamu semakin tak bisa diatur!" "Aauuwwhh, sakiiiit! Lepasin, Mak lampir! Dasar Gila!" Maira berusaha melepaskan cekalan ibu tirinya pada rambutnya. Sungguh saat ini kepalanya terasa kebas dan kulit kepalanya terasa mau copot. Sontak saja mereka di hampiri orang beberapa orang termasuk para pelayan di restoran tersebu
"Kenapa anak nakal itu belum juga di temukan?!"Entah kemana perginya Laura yang sesungguhnya, sehingga orang punya kuasa sekuat ayahnya saja tak dapat menemukan keberadaannya. Bahkan detektif handal yang biasanya tak pernah gagal dalam misinya, juga tak dapat menemukan keberadaan wanita muda itu. Jangan menemukan Laura, mendapatkan jejak kepergiannya saja tidak.Tuan Derial mulai ketakutan, ia takut kalau Laura di culik oleh musuhnya. Dia adalah pebisnis yang besar, tentu tak sedikit orang yang membencinya, sisi gelap dalam dunia bisnis salah satunya adalah bersaing dengan kotor, dan itu sudah menjadi rahasia umum."Tapi, siapa yang sudah memanfaatkan Laura demi bisa menyaingi ku? Selama lima bulanan ini tak ada yang berusaha menekan atau menyenggol diriku dengan kepala menunduk, dan satu tangan yang memikat pangkal hidungnya. Ia terlalu pusing memikirkan kemana perginya Laura. Ditambah sang istri yang sering jatuh sakit akibat kepikiran kepada putri mereka satu-satunya.Tak mau piki
"Bil, maafkan aku, gara-gara aku kamu jadi korbannya Reno." Kini Bilal dan Maira tengah duduk di sebuah kursi yang terletak di teras minimarket di seberang restoran. Maira memaksa untuk membantu Bilal mengompres wajah lelaki itu yang memar dan mengobatinya. Saat terjadi adu jotos tadi, teman-teman yang semula hanya menonton kini turun tangan untuk memisahkan Bilal dan Reno, begitupun satpam dan kang ojol yang di pesan Bilal. "Gak papa, Mai. Lagian aku memang geram sama lelaki yang beraninya hanya sama perempuan, apalagi sampai main fisik segala. Beruntunglah kamu sudah bebas dari lelaki seperti itu." Jawab Bilal sambil mengompres wajahnya sendiri, karena ia tak mau jika Maira yang melakukannya. Tentu Bilal masih sangat ingat akan batasan-batasan dalam agamanya. Bilal membantu Maira bukan karena apa, tapi ia tak suka saja melihat kekerasan yang dilakukan oleh lelaki kepada perempuan, apalagi kejadian itu tepat berada di depan matanya. Bilal tak bisa untuk pura-pura tak melihat, apa
Kamu gak ada rencana buat pulang, Nak?" Tanya Nafisah saat menghubungi Bilal."InsyaaAllah awal Ramadhan ini Hamdan pulang, Mi, tapi belum tahu pastinya tanggal berapa." jawab Bilal.Satu bulan lagi sudah memasuki bulan Ramadhan, dan tanpa disadarinya sudah empat bulan Bilal bekerja di restoran."Syukurlah kalau begitu. Abi dan Umi sangat merindukan kamu, Nak." ujar Nafisah dari seberang sana dengan raut wajah yang begitu kentara menatap penuh rindu kepada sang putra."Bilal juga sangat merindukan Abi dan Umi. Kalian sehat-sehat kan di situ?""Alhamdulillah, kami semua sehat, Nak.""Alhamdulillah kalau umi dan Abi sehat semua."Setelah mengobrol lama dengan sang ibu, Bilal mengakhiri panggilannya dikarenakan ia sudah tiba di tempat kerjanya. Bilal turun dari angkot setelah membayar ongkos. Dihalaman depan, Bilal berpapasan dengan beberapa rekannya yang juga baru tiba di restoran. Bilal menyapa dengan ramah, dan mereka juga membalas sapaan Bilal tak kalah ramahnya. Namun, ada satu oran
"Halo, Baby, mau aku temani?" Tanya Salwa dengan suara yang dibuat sesensual mungkin di dekat telinga pada salah satu pengunjung yang kini tengah menenggak anggur merah.Salwa kini tengah berdiri di belakang pria itu sambil mengalungkan tangannya pada leher pria itu. Tubuhnya bergerak bergoyang kesana-kemari mengikuti alunan musik DJ yang berputar."Owwhh, yees babyy." jawab lelaki tersebut sambil menarik tangan Salwa dan mendudukkan Salwa di atas pangkuannya.Semenjak kematian sang putri, lebih tepatnya kematian Riko, Salwa tak memiliki ladang uang lagi. Bukannya menyesal atas apa yang menimpa Alifah, tapi Salwa justru semakin menjadi-jadi. Bahkan kini wanita itu bekerja sebagai kupu-kupu malam di sebuah klub terkenal di ibukota. Tanpa ada sedikitpun rasa risih atau malu mengenakan pakaian yang begitu mini dan mencetak seluruh lekuk tubuhnya itu. Bahkan dengan bangganya ia memamerkan tubuhnya pada setiap pengunjung yang datang. Sekalipun usianya tak lagi muda, tapi bentuk tubuh Salwa
"Ini adalah surat pemecatanmu, silahkan ambil gaji terakhirmu dan juga bonusnya. Maaf saya tak dapat membantumu untuk bertahan dalam pekerjaan ini."Sesuai dengan permintaan tuan Derial, jikalau dalam tiga hari Laura belum juga ditemukan, maka Bilal harus dikeluarkan dari kantor ini. Dan saat ini, dengan berat hati Tuan Xavier memberikan surat pemecatan untuk Bilal. Pernah kemarin tuan Xavier berusaha membela Bilal dan berusaha mempertahankan Bilal di perusahaan, tapi tanpa kata, satu proyek besar mengalami kegagalan dan kekacauan. Dan tentu itu menimbulkan kerugian yang fantastis.Dengan berat hati, Tuan Xavier mengeluarkan surat pemecatan untuk Bilal."Tidak apa-apa, Pak. Jangan mengorbankan banyak orang hanya demi satu orang, saya sungguh tidak apa-apa. Saya bisa mencari pekerjaan di tempat lain." jawab Bilal yang berusaha berlapang dada dengan apa yang diterimanya hari ini.Tuan Xavier semakin menatap iba kepada Bilal, "Tapi, namamu sudah di blacklist di seluruh perusahaan manapun
"Kamu tahu kenapa saya memanggilmu kesini?" Tanya Tuan Xavier yang kini sudah berdiri dari duduknya.Berbeda dengan orang yang duduk di depan meja tuan Xavier yang tetap duduk di tempatnya tapi kursinya ia putar agar bila melihat ke arah Bilal."Tidak, Tuan!" Jawab Bilal sambil menunduk."Ada yang ingin bertemu denganmu." ujar Tuan Xavier sambil melangkahkan kakinya menuju sofa.Bilal sontak mendongak dan menatap seseorang yang baru saja memutar kursinya. Lelaki itu! Ya, Bilal masih sangat ingat siapa lelaki yang sedang menatap tak ramah kepadanya tersebut."Dimana kamu menyembunyikan putriku?" Pertanyaan tanpa basa basi tersebut membuat Bilal menyerukan dahinya.Ya, lelaki itu adalah tuan Derial, orang tua dari Laura, yang seminggu yang lalu membuat Bilal babak belur."Putri Anda? Maksud Anda Laura? Kenapa Anda bertanya pada saya?"Tuan Derial yang tak mendapatkan jawaban atas pertanyaan, dan justru di balas dengan pertanyaan pula, seketika amarahnya semakin memuncak. Tuan Derial ban
Hamdan masih terpaku menatap batu nisan dengan tanah yang masih merah di hadapannya. Sekalipun air matanya tak lagi menetes, tapi kesedihan masihlah tergambar jelas di wajah lelaki yang usianya sudah lebih dari kepala enak tersebut. Jika dilihat lebih dekat lagi, kedua sudut mata Hamdan masih basah oleh sisa-sisa air mata.Sungguh, semua ini masih seperti mimpi buruk bagi Hamdan, lelaki itu sangat berharap ada yang membangunkannya dan membuktikan bahwa semua ini hanyalah mimpi. Namun, rintik-rintik hujan yang semakin deras membasahi bumi dan mengguyur tubuhnya membuat Hamdan tersadar bawa semua ini adalah nyata adanya."Om, ayo pulang, hujannya sudah semakin deras!" Ajak Airi yang sejak tadi setia menemani Hamdan beserta kedua orang tuanya."Iya, mari pulang Pak Hamdan, belajarlah mengikhlaskan Alifah, karena dia sudah tenang di sana." sahut pak Herman, papanya Airi."Kalian pulanglah terlebih dahulu, saya masih ingin disini. Terimakasih sudah menemani saya dari tadi." tolak Hamdan t
"Bu, beli es batunya ya, dua," kata Hamdan saat baru pulang dari pertemuannya dengan papanya Laura.Hamdan membeli es batu di warung dekat kontrakannya untuk mengompres wajahnya yang terasa sakit akibat terkena bogeman dua kali dari nak buah tuan Derial."Ini, Mas, 4000 ribu ya." Ibu pemilik warung menyodorkan satu kantung plastik berisi dua es batu yang terbungkus plastik setengah kilo kepada Bilal.Bilal mengambil uang di dalam dompetnya dan menyerahkan uang pecahan sepuluh ribuan kepada pemilik warung, "Ini, Bu, sisanya beli soklin yang 5000 ya Bu, seribunya kasih permen dah." Bilal teringat jika di kontrakannya sudah tidak ada sabun cuci baju. Ya, Bilal memang terbiasa mencuci bajunya sendiri sejak ia remaja.Si pemilik warung mengambilkan pesanan Bilal dan menyerahkannya kepada si empunya. "Itu kenapa wajahnya, Mas? Habis berantem ya?""Gak apa-apa, Bu, ini cuma terjadi kesalahpahaman saja tadi.""Walahh.. Mau heran tapi ini Jakarta, Mas Bilal harus terbiasa ya sama kerasnya kota