Setelah dua puluh menit akhirnya mereka sampai di tempat latihan balet Kim. Harry memberi saran supaya Kim mau bergabung dengan kawan-kawannya yang lain untuk berlatih balet. Tentu saja Kim menolak, namun setelah perdebatan panjang mereka Kim akhirnya setuju. Ya, dia butuh patner dan teman juga.
Sebenarnya Kim punya teman, namanya Sandra Lee. Wanita campuran Asia yang menyukai balet juga. Dengan jarak 3 meter dari bangku mereka banyak yang memperhatikan Kim sedang bercakap-cakap dengan pemuda tampan dan keren. Kehadiran Harry menarik perhatian kaum hawa di tempat itu.
Harry yang sedang asyik mengobrol dengan Kim tiba-tiba dihampiri Megan yang tersenyum pada Harry dan pemuda itu membalas senyumnya.
"Hai Harry. Aku kira kau tidak akan ke tempat seperti ini," Ucap Megan dengan senyum menggoda. Ia tersenyum senang memandang wajah Harry yang cerah.
"Waktuku kosong, tak apa menemani Kim." Jawab Harry.
Kim yang melihat Megan ingin menggoda Harry memasang wajah jutek. "Kenapa ya ada orang yang selalu saja mengganggu."
Megan berdecak. "Kenapa kau sewot? Aku datang untuk Harry." Ujarnya. Lalu dia duduk di tengah-tengah Kim dan Harry memaksa. Sontak Kim mendorongnya tapi Harry dengan sigap menahan tubuh Megan agar tidak jatuh.
"Kim, you crazy?!" Bisa-bisanya Harry menolong Megan dan membentaknya.
Sumpah Kim kesal atas sikap Harry. Dia duduk memunggungi Harry dan Megan. Dari arah depan teman Kim menghampiri dengan wajah terpesona melihat Harry.
"Kim... Aku kaget melihatmu ada di sini bersama kami," ujar Sandra menyentuh bahu Kim dari belakang. "Kenalkan padaku, pria yang bersamamu dari tadi," bisik Sandra. Melihat postur atlentis dan wajah tampan Harry Sandra langsung terpikat. Ya... sayangnya Harry bukan tipe ramah senyum. Lupakan, begini saja dia cukup menggoda.
"Aku sarankan jangan. Harry punya sifat yang aneh." Balasnya berbisik.
"Aneh tak apa yang penting tampan."
Mendengar itu Kim geram juga pada Sandra. Dia menoleh pada Harry. "Harry," panggil Kim malas. "Kenalkan ini Sandra temanku." Ucapnya. Sandra dengan tidak tahu malu menjulurkan tangannya.
"Harry--"
"Aku tahu. Semua media memasang wajah Harry," ucap Sandra dengan mata terkagum. Sandra tidak mau melepaskan tangan Harry, dia terus menatap pemuda tampan itu. Membuat Kim jengah begitu juga Megan yang berusaha mendekati Harry.
"Lihatkan aku punya teman," ujar Kim pada Harry. Sandra cantik, walaupun sedikit centil. Setidaknya dia tidak seperti Megan yang angkuh dan banyak gaya.
"Hanya satu." Megan mengingatkan. Kim berdecak tak perduli.
"Senang berkenalan dengan kalian." Suara Harry berat dan terdengar seksi di telinga kaum hawa.
"Tampan sekali. Sangat tampan." Ujar Sandra. Beberapa anak lain ikut menyalam Harry tidak mau ketinggalan.
Tidak lama bunyi suara musik terdengar, instruktur mereka bertepuk tangan tanda mereka berkumpul. Megan dan Sandra berlari ke arah tengah, sebelum pergi mereka menyempatkan diri tersenyum pada Harry. Senyum penuh pengharapan. Sebagian sudah berbaris di depan Mrs. Veronika.
"Kenapa wajahmu cemberut seperti itu?" Harry mengelus pipi yang ada tahi lalat Kim.
"Kau menemaniku ke sini pasti berniat tebar pesona, kan? Kau tahu tempat ini penuh dengan wanita berbaju ketat, itu kenapa kau menyuruhku latihan bersama mereka."
Harry mengedarkan pandangan pada teman-teman Kim yang berbaju ballet. Siapa yang tidak suka dengan wanita cantik yang menari bak angsa cantik. Kim mencubit lengan Harry dengan ekpresi marah.
"Jangan antar aku lagi jika niatmu ingin memanjakan mata."
"Memangnya salah? Lagipula kau yang meminta kutemani kan." Ucap Harry. Kim sangat posesif bila Harry di dekat wanita. Melihat Kim berwajah kesal, Harry semakin ingin menggodanya. "Kau lihat instruktur kalian itu. Sangat cantik dan tubuhnya seksi," bisik Harry. Mengalihkan matanya pada Veronika, gadis itu dari tadi melihat padanya.
"Dia jelek!" Kata Kim keras.
"Pelankan suaramu, Kimi.
"Kim!" teriak Sandra dari barisannya. Kim menoleh sebentar melihat Sandra, ia tidak suka Harry bicara pada orang lain karena ia merasa dilupakan.
"Pergilah, jangan tekuk wajah nanti terlihat kusut." Harry mengelus puncak rambut Kim lembut. "Jangan berpikir aneh-aneh. Tidak ada satu pun temanmu yang menarik perhatianku." Ucapnya.
Kim malah mengerutkan wajahnya. "Apa kau tidak normal?" Kim pura-pura bergidik, membuat Harry berdecak kesal. "Jangan kemana-mana tunggu aku." Kim berlari dengan kostum leotardnya memberi pemandangan tersendiri di mata Harry.
Harry Zayn adalah pria yang sangat tampan. Sosoknya sangat maskulin dan gagah. Siapa pun wanita yang memandangnya akan terpesona. Sikapnya yang dingin dan datar membuat banyak wanita semakin penasaran. Kim jadi bertanya-tanya bagaimana Harry di kampusnya, di sini saja teman-teman Kim sangat menggilai Harry.
"Kenapa kau lama sekali, Kim? Apa yang kalian bicarakan, apakah kakakmu menyebut namaku?" ucap Sandra di cela pergerakannya.
"Katanya kau terlihat gemuk dengan pakaian leotard itu." Ujar Kim. "Jangan dimasukkan ke hati Sandra, Harry suka asal berbicara." Kim berharap setelah ini Sandra berhenti menggoda Harry.
"Kakakmu benar Kim, aku juga merasa baju ini mulai sempit." Sandra menekuk wajahnya. "Dimana dia kuliah? Nanti saat aku masuk kuliah aku mau kuliah di tempat yang sama dengan Harry."
Kim tercengang mendengar balasan Sandra. Kemudian matanya melihat Harry yang berjalan keluar aula, mungkin dia bosan.
🌹🌹🌹
"Kau terlalu memanjakan dia," suara Martin terdengar menyebalkan di telinganya, dan sekarang Harry menyesal mengangkat telponnya. "Aku yakin kau seperti robot menatap gadis-gadis belia itu tanpa bisa menyentuh. Kau bodoh Harry! Harusnya kau ikut denganku."
"Kau tidak akan mendapatkan wanita jika terus di dekat adikmu itu. Hari-harimu akan suram Harry."
Harry duduk di bangku yang berada di belakang gedung. Taman itu sepi membuat Harry tenang menghisap rokoknya sambil mendengar celotehan Martin tanpa berniat menjawabnya. Selalu saja Martin protes jika tahu ia selalu menemani Kim kemanapun. Martin belum pernah bertemu Kim, kalau saja pernah Martin akan berhenti mencelap Kim-nya. Tapi Harry tidak akan membuat mereka bertemu, sumpah ia tidak akan rela Kim di tatap mata mesum itu.
"Kapan kau kembali?" tanya Martin.
"Belum tahu."
"Ayolah Harry! Jangan buang-buang waktumu di sana. Di sini banyak wanita yang sedang menunggumu, mereka akan memberikan apa pun untukmu." Ucap dari seberang. "Aku kesepian kalau kau tidak ada di asrama."
"Berhentilah bicara hal aneh Martin." Gerutu Harry sambil menghisap rokoknya.
Martin teman satu asrama dan satu kampus. Mereka teman satu genk nongkrong dan suka balapan liar bersama. Martin terlihat normal dengan catatan suka meniduri wanita yang berkencan bersamanya. Tetapi jika Harry tidak ada dia seperti kehilangan soulmate-nya.
"Aku serius Harry. Cepat pulang, Genk DARK menantang kita balap liar minggu depan. Aku dan yang lain sudah menyetujuinya." Kata Martin dengan nada serius.
Hening.
Harry belum puas lagi menghabiskan waktunya bersama Kim. Dia terus mendengarkan suara Martin tapi pikirannya pada Kim-nya. Tanpa dia sadari wanita itu kini telah berada di dekatnya dengan dahi mengkerut.
"Harry, kau punya kehidupan sendiri. Lakukan apa yang kau mau." Ujar Martin.
"Harry? Kau menelpon siapa?"
Suara Kim terdengar di belakang Harry. Pemuda itu dengan santai mematikan rokoknya di tanah dan tersenyum pada Kim. Menatap wanita itu seperti seorang pria pada wanita.
"Suara siapa itu? Kim kah? Dia selalu mengganggu-mu, Man?"
"Kim! Kau tahu aku di sini?" Suara Harry lembut. Ekpresinya berubah saat melihat wajah Kim-nya, berbinar dan tersenyum.
"Dia pacarmu? Tapi suaranya seperti laki-laki." Kim menaikkan satu alisnya mendengar suara itu. Harry tergelak dan memutuskan pangggilan ponsel-nya begitu saja.
"Populasi wanita belum punah, Kim. Hingga aku harus berpacaran dengan pria," ujar Harry seraya mencubit hidung mancung Kim. Kulitnya begitu halus. Membuat aliran darah Harry seperti tersengat listrik.
"Siapa yang tahu, kau kan tidak pernah menceritakan pacarmu," Kata Kim, tangannya mengusap hidungnya. "Jangan menyentuhku jika tanganmu bau rokok! BAU!"
Harry tertawa, Kim membuka tasnya dan mengambil tisu basah lalu mengelap tangan Harry dengan tisu basah, sesekali ia mengendus seperti anjing pada tangan Harry. Setelah merasa aroma rokok hilang ia menghentikan kegiatannya.
"Bagaimana kalau kau dapat pacar perokok?" tanya Harry iseng.
"Aku tidak akan berciuman dengannya. Aku suka bau mint yang segar. Jadi aku akan standby banyak permen di tasku, kalau keadaan urgent," jawab Kim santai. Harry terdiam, pembicaraan yang melukai hatinya.
"Harry kau dengar?"
"Ya, aku dengar. Tidak ada pria yang tidak merokok Kim," ujar Harry.
"Ada," jawab Kim. "Sean Kingston, dia tetangga kita. Cowok paling tampan seantero ini. Aku harap kau akan mengenalnya. Aku pernah melihatnya di belakang sekolah dengan teman-temannya. Di saat yang lain merokok dan minum dia tidak."
Harry mengetatkan rahangnya, menatap mata biru-hijau itu berbinar menyebut nama Sean Kingston.
"Kau berciuman dengannya?" Tanya Harry.
Kim menggeleng. "Aku belum pernah berciuman dengan siapa pun." Harry tersenyum mendengar jawaban Kim. Angin yang berhembus meniup rambut Kim. Dengan lembut Harry merapikan rambut Kim.
"Kau tidak mau mencari tahu bagaimana rasa ciuman?" Kata Harry. Kim melihatnya tanpa ekpresi. "Itu seperti memberi nafas buatan. Mau coba?"
Benarkah seperti memberikan CPR? Tapi teman-temannya bercerita hal ciuman mereka seperti magnet yang ingin terus menempel. Kalau di lihat dari gugupnya, Harry yakin Kim terpengaruh dengan ucapannya. Sebelum kembali ke asrama Harry ingin menyentuh bibir Kim untuk kenang-kenangan. Jemari Harry menyentuh bibir bawah Kim dengan lembut.
"Ini adalah pelajaran untukmu, agar kau tidak terlihat bodoh nanti saat berciuman."
Kim bingung lalu bertanya. "Bagaimana rasanya?"
"Tidak bisa menjelaskannya. Kau harus merasakan sendiri agar bisa berekspetasi." Ucap Harry sambil ibu jarinya memainkan bibir Kim secara sensual. Kim meneguk ludahnya, dia merasa di posisi yang tidak bisa menolak karena Harry terus menyentuh bibirnya. Memaksa untuk masuk ke mulut Kim menyentuh lidahnya.
Ini sudah waktunya pulang, semua sudah meninggalkan gedung. Tapi Harry dan Kim masih berdiri di dekat bangku yang bersender pada pohon besar. Angin bertium memainkan rambut Kim yang sebahu. Aroma rokok yang dihisap Harry bisa di hirup hidung Kim saat Harry berbicara terlalu dekat debgannya."Kalau kau tidak keberatan biar aku yang mmengajarimu nafas buatan." Harry menatap bibir Kim tak berkedip. Ibu jarinya merasakan kelembapan bibir Kim.Tubuh Harry menegang saat Kim membuka mulutnya. Mengecup ibu jari Harry seperti permen lolipop. Apakah karena rasa manis bekas rokok? Tapi Kim sudah mengelap tangannya.Kemudian Harry mengangkat tubuh Kim menempel di pohon besar itu. Kim tidak memberontak, bahkan terkesan seperti menertawakan sikap Harry."Kata Megan ciuman itu hanya berlaku pada wanita dan pria--" Kim terdiam Harry kan laki-laki? Alisnya naik ingin menolak. Tapi melihat bibir Harry yan
"Emmi, apa yang kau lakukan di sini?" Kim berjongkok di depan adiknya yang terlihat murung. Mata Emmi tertunduk melihat ke lantai."Ayo bangun, kita sarapan." Kim tersenyum mengelus rambut pirang adiknya. Ia menarik tangan Emmi tapi gadis kecil itu tidak bergerak, ia merasa Emmi menjadi pendiam. "Kenapa Emi?"Dari sisi lain Harry yang melihat Kim menarik-narik tangan Emi dipikirnya Kim mengganggu Emi. Harry bergegas menghampiri mereka."Kim? Kau mengganggu Emi lagi?" suara Harry dari belakang. Kim menoleh dengan raut kaget. Oh, ya Tuhan. Kim kenapa sekarang sangat malu di depan Harry. Kim mulia memperhatikan lekukan wajah Harry. Bagaimana bisa Harry memiliki wajah setampan Hardin Scott idolanya.Kim mengangkat bahunya gugup. "Aku tidak tau. Aku datang Emi sudah seperti ini."Harry menyentuh dahi Emmi, dingin seperti es. Wajah gadis itu pucat, tangannya gemetaran. Ma
"Harry, sampai kapan kau di sini?" Suara itu dari Nyonya Minerva yang menatap Harry dengan tatapan merendahkan. Seperti biasa. "Kau tidak ingin kembali ke asrama?""Ya GrandMa. Lusa aku akan kembali ke Asrama." Jawab Harry dengan sopan.Nyonya Minerva memperhatikan cara berpakaian Harry. Masih suka memakai celana jeans yang robek di lutut, jaket kulit hitam. "Harry? Apa kau tidak pernah berpikir Leon dan Amber orang yang sangat berpengaruh? Kau tidak bisa menunjukkan penampilan yang lebih baik dari pada seperti ini, seperti anak jalanan."Dengan tatapan dingin Nyonya Minerva memandang Harry. "Kau harusnya bersyukur dari pinggir jalan Leon mengambilmu. Jadi ubah cara berpakaianmu."Nyonya Minerva meninggi Harry yang masih berdiri tanpa ekpresi. Dia menenteng tas Hermes-nya berjalan angkuh. Di belakangnya Dolores mengikuti, dia sedikit melirik Harry dengan prihatin.
Kim menyipitkan mata agar bisa jelas melihat orang yang ada di mobil. "Harry..." suaranya bergidik saat mobil balap Harry berkecepatan tinggi mengarah pada mereka. Sean pun melihat dengan mata membulat besar. Apakah Harry benar-benar akan menabrak mereka?"Wow! Siapa dia?" tanya Sean dengan tergugup lalu menelan saliva susah payah. Kim tidak menjawab, dia yakin Harry tidak akan menabraknya tapi Sean? Dia tidak yakin Harry bermurah hati melepas Sean.Suara drum mobil Harry seperti denting-denting piano di film horor. Sangat menakutkan. Saat mobil semakin mendekat Sean melompat seperti tupai yang lincah namun sayangnya dia tergelincir. Lalu mobil itu berhenti di depan Kim yang sedang menolong Sean dengan wajah cemas."Harry! Apa yang kau lakukan?" Teriak Kim dengan geram. Sean masih dengan keterkejutannya, dia tahu Harry tapi untuk saat ini Sean tidak bisa berkenalan dengan ramah pada Harry."Hei, bro! Apa k
"Kau membuatku marah kurang ajar!" Serang Harry begitu motor gedenya di senggol motor di belakangnya. Raut wajahnya terlihat kesal penuh amarah. Mata abu-abunya menyala-menyala merah saat menghampiri pria itu."Motormu yang menghalangiku! Harusnya aku yang marah!" ketus pria itu. Harry yang memang dari rumah sudah kesal melampiaskan kekesalannya pada pria berjaket kulit itu, satu tangannya langsung menonjok rahang pria itu.Setelah berulangkali dia memukuli rambut pirang itu, suaranya tajam berkata. "Coba katakan lagi!" Tangan Harry menarik kerah baju pria."Fuck you Harry! Jangan berani kau berbuat ulah di kawasanku!" suara dari belakang membuat Harry menoleh. Beberapa orang dengan senjata tajam berjejer melihat Harry. Namun tidak ada ketakutan di mata Harry, dia menghempaskan tangannya dari si rambut pirang lalu berdecak sinis pada mereka."Ternyata kau, Jacob. Kau ketua mereka?" Harry tertawa s
Harry mencoba membuang jauh-jauh obsesinya pada Kim dengan berbagai cara. Bertemu wanita dan berkencan dengan berganti-ganti setiap minggunya. Bukan hanya itu Harry juga melakukan hal gila bersama teman-temannya. Balap liar di jalan raya dan membuat kekacauan.Seperti sekarang, membawa motor gedenya dengan brutal di bawah langit malam yang cerah dengan beberapa bintang yang berkelip. Tampak motor-motor itu berlomba untuk mencapai garis finis."Yeah... Kau menang lagi. Taruhan kali ini sangat besar. Kita untung banyak. " Martin tersenyum lebar. Harry menoleh sambil membuka helm hitamnya. Tatapannya datar tanpa ekspresi, tubuhnya yang berbalut jaket kulit dengan rambut yang dibiarkan berantakan terkesan tangguh dan macho."Bayangkan saja semua bersorak untukmu, kau seperti pembalap kelas dunia," kata Martin lagi dengan mata berbinar.Pengaruh Kim sangat besar dalam hidup Harry. Han
"Aahhhh!!!" Suara jeritan Kim menggema di kamarnya. Di tambah suara petir menggelegar bersahutan. New York diguyur hujan sejak sore tadi hingga malam ini belum ada kepastian kapan hujan akan berhenti. Gadis berambut hitam itu sudah terduduk lemas di atas lantai dengan mata terkejut dan tubuhnya sudah gemetar melihat kepala boneka yang berdarah bertengger di atas tempat tidurnya. Entah siapa yang meletakkan boneka itu. Angin berhembus kencang menyapu tirai jendela, ia lupa menguncinya tadi. Tapi sekarang Kim tidak punya cukup keberanian untuk melangkah ke arah jendela. "Daddy! Mommy!" teriakannya tercekat di tenggorokan, mata boneka itu seakan sedang menatapnya. Kamarnya di lantai paling atas, mustahil orangtunya mendengar. Dengan tangan yang sudah berpeluh, Kim meraih ponselnya yang tidak jauh dari
Harry menapakkan kakinya di Yellowstone setelah 3 jam 40 menit, dan itu adalah waktu tercepat mengingat sepanjang perjalanan dia ditemani hujan dan petir yang membuat perjalanannya tidaknyaman. Hanya dengan jeritan Kim mampu menggerakkan Harry untuk cepat datang ke sini. Padahal ia ingin menghindari Kim, lebih tepatnya sampai perasaannya berubah pada Kim. Tanpa menyapa orang rumah Harry langsung memeriksa keadaan sekeliling rumah dan utamanya di belakang kamar Kim. Sialan siapa yang mengerjai Kim hingga gadis itu ketakutan. Apalagi sampai memakai darah, yang ayahnya katakan itu adalah darah ayam. Sumpah Harry akan membuat orang itu mengeluarkan darah karena berani mengganggu Kim-nya."Ini tidak masuk akal," ujar Harry, dia sedikit tidak percaya. Wajahnya matanya melihat layar CCTV dengan termenung. Belum pernah kejadian seperti ini. "Coba kau perik
Tiga jam kemudian Kim sudah berada di depan pintu kamar 301 milik Harry. Wanita itu tampak begitu gugup, satu tangannya sudah bersedia untuk mengetuk pintu tapi selalu ia urungkan.Tiba-tiba, seseorang membuka pintu itu. Harry hanya melotot, kaget melihat wanita yang selama ini ia cari kini berada di depannya. Rasanya ingin menarik tubuh Kim ke dalam pelukannya. Namun, mata Harry teralih pada tangan Kim yang menggenggam tangan anak kecil laki-laki. Anak itu yang ia selamatkan sore tadi.Setelah hening beberapa saat Kim berkata, "Boleh aku masuk?""Untuk apa kau datang? Ohh, ayahmu itu pasti sudah memberitahu pertemuan kami, kan," Kata Harry, "Sayangnya aku ada urusan, aku harus pergi." Harry pura-pura sibuk dengan melihat jam tangannya."Sebentar saja," ujar Kim lembut.Harry menelan ludahnya, ia membuang nafasnya sebelum memiringkan tubuhnya ke samping agar Kim bisa masuk."Sam ucapkan salam." Kim menundukkan kepalanya mel
Malam harinya Kim menikmati makan malam di ruang makan bersama ayahnya. Hubungan mereka beberapa tahun belakangan ini sangat baik dan terlihat dekat. Kim selalu menyempatkan diri untuk berkumpul dengan ayahnya sekedar bercerita hal yang mereka lakukan hati ini atau Kim akan meminta masukan tentang pekerjaanya."Dad, aku sudah menghubungi orang properti dan pengacara untuk menjual Skyhouse," kata Kim."Kau yang bilang kita tidak perlu menjual tempat ini," sahut Leon meliat ke arah Kim, "apa ada wartawan lagi mengawasi rumah ini?""Meskipun kita mengganti nama pemilik Skyhouse, tetap saja mereka pasti bebal. Tidak percaya Skyhouse telah di jual, apalagi dia melihat Daddy mundar-mandir di sini. "Leon menghela nafas, ia telah menghabiskan sepiring steak sapi, "Waktu cepat sekali berlalu.""Kenapa wajahmu muram seperti itu, Dad? Kita sudah berjanji untuk tidak mengenang masa lalu lagi," ucap Kim pelan.Leon mengalihkan pe
"SAM! Are you okay?" suara pria tua itu sangat kuat. Ia mengambil Sam dari gendongan pemuda itu tanpa melihat wajah orang itu, "Thank God! Kau baik-baik saja my little boy." Suara pria itu lemah."Kakek..."Harry hampir tidak percaya orang itu adalah Leon Parker. Dia memperhatikan kedua orang yang sedang berpelukan itu.Apa katanya kakek?Setelah mengamati wajah anak kecil itu, tidak salah lagi mata itu mirip Kim-nya. Mata hijau biru yang mampu membuatnya terhipnotis.Kerutan muncul di dahi Harry, "Anak siapa ini?" tanyanya. Leon menoleh dengan wajah tak kalah kaget. Ia mengeratkan pelukannya, "Mengapa kau begitu ceroboh membiarkan anak sekecil ini tanpa pengawasan? Hanya karena hobi memancingmu.""Ya. Aku minta maaf," kata Leon bingung. Begitu saja ia mengucapkan maaf. Harry menghela nafas, merasa sudah keterlaluan bicara."Dia tidak apa-apa Tubuhnya tidak ada yang lecet."Harry memusatkan perhatiannya
Pagi sebelum matahari menyapa, Kim sudah bangun dan membuat sarapan. Hari ini jadwalnya sangat penuh tapi Kim berhasil mengaturnya. Wanita berambut sebahu itu terlihat lihai membuat sarapan kesukaan anaknya."Biar aku yang memandikan si kecil. Pergilah bersiap-siap nanti kau terlambat," seorang wanita baru saja datang ke dapur."Dia ada jadwal ke dokter gigi siang ini. Aku minta tolong antarkan dia ya, hati ini aku sibuk sekali." Kata Kim yang sedang memindahkan potongan roti ke piring dan mengolesinya dengan selai coklat."Kau memberinya sarapan roti coklat padahal dia ada jadwal ke dokter gigi? Yang benar saja, Kim?" cetus Naresh heranKim menatap wanita yang sudah dia anggap seperti kakak kandungnya sendiri dan tersenyum, "Hanya periksa gigi bulanan, Naresh. Makan coklat tidak akan membuatnya sakit gigi.""Kau terlalu memanjakan jagoanmu." Ujar Naresh tersenyum, "Baiklah aku yang mengan
Harry akhirnya sampai di Singapure. Wajah tegang di sekitarnya ketika ia berjalan kaki untuk mencapai Skyhouse. Lorong telah berubah, lukisan yang dulu menghiasi di depan apartemen mewah itu telah dibersihkan. Banyak perubahan besar di sini, dia jadi bingung. Apakah mungkin dia salah tempat?Orang yang melihat Harry mengerutkan kening padanya. Harry menghela nafas. Ia tahu betapa tampan wajahnya. Tapi tentu saja bukan karena itu mereka melihat Harry."Hei, enyah dari situ!""Aku sedang mencari seseorang orang." Ucap Harry kepada pria bertampang garang itu."Aku tidak peduli, jangan berdiri di situ! Pergi sana!"Harry mengumpat pelan, dia tidak mau membuat keributan dan memilih pergi.Waktu menunjukkan pukul 1 siang, Harry belum makan apa pun setibanya dia di bandara tadi. Ia memutuskan untuk singgah makan, di sekitar tempat itu ada kedai pizza. Ia berjalan meny
Empat tahun kemudian."Polisi baru saja menggerebek bagasi kita di bengkel Vernon. Sepertinya keadaan kita tidak aman lagi." Ujar pria berkepala botak, "Mereka sedang mengincar kita, jadi kita kita harus berpencar untuk bersembunyi.""Kalau bukan karena ulah Thomas, kita tidak akan diincar polisi," ujar Juan. "Merepotkan saja." Dia mundar-mandir gelisah memikirkan perkara itu."Jika salah satu diantara kita ada yang tertangkap, maka semua harus menyerahkan diri." Ucap Harry kepada mereka. Semua mengangguk pasrah. "Seandainya Thomas tidak menusuknya. Aku sendiri yang akan mematahkan leher Jacob.""Dia pasti dendam karena kita menjebaknya waktu itu." Gerald mengingat waktu mereka memasukkan narkoba ke mobil Jacib.Tiga hari lalu mereka melakukan tindakan gila di California ketika melakukan balapan liar. Thomas menusuk Jacob dengan kaca botol minuman. Itu karena orang itu menggoda Jelena dan
Memasukkan ke penjara tidak semudah itu.Leon berkata santai, "Kita lihat saja nanti siapa yang menang." Ucapnya kepada Natalie. Lalu ia melihat Harry dengan lekat. Terlihat ekspresi sedih di wajah Leon. Entah mengapa, tiba-tiba Leon merindukan keluarganya yang dulu. Di saat Amber dan Emily masih hidup dan Harry bersama mereka. Mungkin Kim tidak akan membencinya seperti sekarang ini. Jika saja Leon tidak melakukan kesalahan fatal.Wajah Natalie tampak dingin seperti es batu, dia bicara dengan nada penuh penekanan, "Aku memberikanmu pilihan Tuan Leon Parker, pertama menyerahkan diri ke kantor polisi, akui kesalahanmu. Atau aku akan membuat keluargamu bangkrut."Leon tidak berkata apa-apa, dia hanya menatap Natalie dan bertanya-tanya kenapa wanita itu memberinya kesempatan. Apakah mungkin karena berterimakasih telah merawat Harry hingga besar?"Kurasa kau bicara seperti itu karena kau tidak punya bukti yang kuat untuk membuat suamiku di penjara.
"Harry..." gumam Kim tanpa sadar seraya mengusap sudut matanya yang basah. Ia masih shock melihat hasil test pack di tangannya.Sudah seminggu ia merasakan gejala tidak menyenangkan dan juga merasa aneh, tidak biasanya Kim telat datang bulan. Naresh orang yang terdekat dengannya di Yellowstone mengetahui hubungan Kim dan Harry sudah sejauh apa. Wanita itu berinisiatif membelikan test pack dan hasilnya."Oh My Gosh..." desis Naresh tidak kalah kaget. Ia menyentuh bahu Kim mencoba menenangkan wanita itu. "Apa yang akan kau lakukan sekarang, apa kau akan mengatakannya kepada Harry?""Kimberley?""Aku tidak tahu... aku tidak tahu, Naresh." Ucap Kim frustasi. Rasa panik mulai melanda. Bagaimana kalau ayahnya tahu? Dollores dan Megan... mereka pasti akan membuatnya dalam kesusahan."Tolong aku Naresh," Kim memegang tangan wanita berbadan tegap itu. "Jangan katakan pada siapapun tentang kehamilanku. Bersikaplah seperti biasa.""Apa rencanamu?
Jelena mundur dari pelukan Harry, membuat Harry bingung. Apakah wanita itu tidak menikmati permainannya? Ternyata wanita itu meraba resleting gaunnya ke bawah. Dan dengan lancar ia menarik gaunnya ke atas dan membuka semuanya. Harry menatapnya dengan tersenyum."Kau perlu bantuan?""Aku bisa. "Harry memandangi Jelena yang sedang berusaha melepaskan bra brendanya berwarna putih. Kemudian melonggar ikatan dan melepaskan benda itu hingga akhirnya ia mengekspos seluruh buah dadanya kepada Harry.Harry menatapnya sejenak dan menikmati pemandangan indah itu. Tapi, jujur ia lebih menyukai milik Kim yang bulat dan penuh. Harry menangkup keduanya dan meremasnya membuat Jelena tersentak oleh kenikmatan itu. Bibir Harry memasukkan ujung dada milik Jelena ke dalam mulutnya dan bermain-main di sana. Menghisap dan menggigitnya ujung yang mengeras itu.Pria itu tampan... Jelena mengakui itu. Ia sangat t