Ini sudah waktunya pulang, semua sudah meninggalkan gedung. Tapi Harry dan Kim masih berdiri di dekat bangku yang bersender pada pohon besar. Angin bertium memainkan rambut Kim yang sebahu. Aroma rokok yang dihisap Harry bisa di hirup hidung Kim saat Harry berbicara terlalu dekat debgannya.
"Kalau kau tidak keberatan biar aku yang mmengajarimu nafas buatan." Harry menatap bibir Kim tak berkedip. Ibu jarinya merasakan kelembapan bibir Kim.
Tubuh Harry menegang saat Kim membuka mulutnya. Mengecup ibu jari Harry seperti permen lolipop. Apakah karena rasa manis bekas rokok? Tapi Kim sudah mengelap tangannya.
Kemudian Harry mengangkat tubuh Kim menempel di pohon besar itu. Kim tidak memberontak, bahkan terkesan seperti menertawakan sikap Harry.
"Kata Megan ciuman itu hanya berlaku pada wanita dan pria--" Kim terdiam Harry kan laki-laki? Alisnya naik ingin menolak. Tapi melihat bibir Harry yang penuh dia pun penasaran.
"Hanya sebentar bagaimana?"
Bibir Harry menempel lembut pada bibir Kim. Astaga... akhirnya ia bisa merasai bibir Kim yang lembut. Dia merasakan tubuhnya gemetar ketika mengemud bibir bawah Kim.
Untuk sejenak Kim panik, berkonsentrasi pada rasa yang diberikan Harry. Kedua tangannya mencengkram bahu Harry kuat. Ini kah yang dirasakan Megan saat mencium Tom saat itu. Menyenangkan.
Harry takut Kim berubah pikiran dan mendorongnya. Maka Harry tidak menunjukkan nafsu, dia melakukan dengan niat Kim menikmati ciumannya tanpa membalas. Menahan tangannya yang ingin menyentuh buah dada Kim yang masih kecil. Dia yakin jika sering diremas maka buah dada itu akan membesar. Kim sudah memasuki masa pertumbuhan menjadi wanita remaja.
"Masih mau dilanjutkan?" Nada suara Harry ringan melepaskan bibirnya. Kemudian kembali menjilat bibir Kim dengan ujung lidahnya. Kim mengedipkan bulu mata merasakan sensasi yang dikirimkan Harry.
Kim mengangguk dengan wajah serius. Dia semakin penasaran kenapa ia menjadi ketagihan begini. Kali ini Kim membuka bibirnya membiarkan lidah Harry masuk mengabsen rongga di mulutnya. Anehnya, Kim yang seorang penjijk tidak keberatan saat menelan ludah Harry.
Kim bingung. Batinnya bertanya-tanya, "Bagaimana mungkin rasanya seenak ini?"
Harry melepaskan bibirnya. "Wajahmu merah Kim." Komentarnya. Kim segera membelakangi tubuh Harry seperti anak kecil. Oh astaga... Padahal ini hanya latihan pernafasan, pikirnya.
"Ayok kita pulang." Harry menepuk bahu Kim seperti tidak ada yang terjadi diantara mereka. Kim menepuk pipinya merasakan pipinya menghangat, dia berjalan di belakang Harry.
🌹🌹🌹
Kamar tidur bernuansa cream itu terlihat sunyi. Si pemilik terlihat tidur dengan pulasnya. Bibir merah pucat itu terbuka kecil. Jauh dari kata elegan saat Kim tidur, tapi tidak mengurangi kecantikannya. Wajahnya sangat damai seperti bayi mungil. Menggemaskan. Seseorang tampak menikmati pemandangan wajah polos itu.
"Wake up princess!" Harry menggoyangkan-goyangkan tubuh Kim. Gadis itu tidak terpengaruh sama sekali, ia masih menutup matanya.
"Kim, bangun!"
"Harry, aku masih mengantuk. Lima menit lagi ya," jawab Kim menarik selimutnya semakin ke atas. Oh, dia malu melihat Harry karena ciuman itu.
"Kim kalau kau tidak bangun, jangan salahkan kalau aku akan menggendongmu lalu ku lempar ke kolam ikan," ucap Harry bernada mengancam.
Kim tidak menjawabnya, rasa malu dan malas membuatnya betah berlama-lama di tempat tidur. Tiba-tiba gorden dibuka lebar oleh Harry membuat mata Kim silau karena cahaya.
"Harry kau pengganggu." Ucap Kim dengan mata tertutup.
Dengan terpaksa Kim membuka selimutnya sembari melihat Harry dengan malu-malu. Lama-lama melihat Harry bisa kena serangan jantung dia.
"Ayok bangun. Biar ku gendong ke kamar mandi."
Kim mendorong tubuh Harry menjauh, jantungnya berdegup kuat. Belum pernah ia bersikap seperti ini pada Harry. Tetapi Harry tersenyum melihat Kim meletakkan tangannya di depan dada. Apakah Kim sedang salah tingkah padanya?
"Ada apa? Tidak biasanya kau menolak kugendong." Harry memeluk Kim dengan rasa bersalah sekaligus bergairah.
"Harry--""Cepat bangun dan mandi!"
Bagaimana bisa Harry sesantai ini setelah membuat jantungnya tidak karuan. Jadi dia tidak punya alasan untuk menyimpan rasa aneh itu terlalu lama di hatinya. Kim berusaha bersikap biasa.
"Aku akan mandi dan kau tidak perlu ikut lagi mengantarku latihan ballet."
Satu alis Harry naik. "Bagus! Aku juga sibuk." Harry meletakkan satu tangannya ke pinggang dengan tatapan preman.
"Yaudah pergi sana kalau sibuk. Aku juga sibuk." Balas Kim. Dia mencoba sebisa mungkin untuk mengendalikan dirinya. Ah, gila! Ciuman itu benar-benar mempengaruhinya.
Harry mendesis kesal dengan wajah geramnya. "Okeh kalau begitu! Jangan menelponku kalau aku jarang pulang."
"Heii, kenapa kau jadi pemarah sih?" Kim menimpali dengan suara dibuat-buat marah.
"Aku tidak marah... Aku memang harus segera kembali ke asrama. Banyak kegiatan yang menungguku di sana."
Kim meliriknya kesal. "Aku tidak tahu kau belajar dari mana keras kepala begitu." Ketika Kim berdiri dia atas ranjang. Tangannya meminta agar Harry menggendongnya. "Gendong." Akhirnya dia kalah.
"Tidak akan!"
Adegan di pohon besar itu terulang kembali di ingatan Hari. Entah mengapa itu membuatnya lemah. Dia berjongkok agar Kim naik ke punggungnya. "Kau memang menyusahkan. Cepat naik," dengan senang hati Harry akan menggendong Kim kemanapun, jika perlu seharian penuh. Tapi itu tidak mungkin. Kim melompat ke belakang Harry, lalu melingkarkan tangannya ke leher Harry.
Ia terkikik geli di pundak Harry, dan berbisik. "Apa ada yang aneh dariku?" Tanya Kim.
"Tidak." Jawab Harry. Malah dia yang merasa dirinya aneh. Tidak menyadari bahwa kepala Kim terlalu dekat dengan pipinya.
Harry menganggap Kim wanita yang lugu dan masih bersih. Sama sekali tidak berpikiran jelekkah setelah mereka melakukan adegan ciuman.
Pada kenyataannya, hal yang mereka lakukan adalah kesalahan. Leon dan Amber pasti akan kecewa padanya. Harusnya dari awal Harry tidak melakukan hal itu dengan Kim. Tapi Harry juga merasa senang telah mencicipi bibir Kim.
🌹🌹🌹
"Lepaskan aku, kau tidak sopan!" Dolores menghempaskan tangan kekar Leon, lalu berjalan ke arah pintu. Namun langkahnya dihentikan Leon.
"Kau menolakku? Kau pikir kau siapa, hm? Aku tahu, kau merindukanku di atas ranjangmu. Berharap aku mendatangimu tengah malam untuk men--"
PLAK!
Tangan Dolores melayang ke pipi Leon, suara nyaring tamparannya itu membuat Leon menatapnya tajam sambil mengelus pipinya. Sejujurnya, Dolores juga terkejut dengan gerakannya yang spontan. Tapi waktu tidak bisa diputar ke belakang.
"Good job, Dolores." Leon tersenyum sinis. "Aku yakin setelah ini kau akan mengemis padaku. Tapi jangan berharap aku mau menidurimu walaupun kau bertelanjang di depanku."
Kata-kata sinis dan frontal Leon seperti menginjak harga dirinya. Membuat perasaannya bercampur aduk. Jujur saja, sebenarnya Dolores sangat mendamba sentuhan Leon padanya. Membuat ia lupa diri dan tidak sadar akan posisinya di rumah ini.
"Bicaramu seperti orang mabuk. Dengar, kau pria kurang ajar yang pernah aku temui. Kalau bukan karena Ibumu menyuruhku menyediakan keperluanmu, aku tidak akan datang ke sini."
Dalam satu hentakan Leon menarik lengan Dolores, hingga jatuh ke dadanya yang keras. Leon menutup mulut Dolores dengan bibirnya. Ia mencium wanita itu dengan agresif, tidak memperdulikan tubuh Dolores yang meronta-ronta. Namun, ciuman Leon perlahan berubah lembut, merayu wanita itu. Akhirnya Dolores terhanyut. Mereka saling membalas ciuman, menikmati gairah yang merajai diri mereka.
"Leon..." Desis Dollores merasakan lidah Leon di lehernya. Tangannya dengan posesif menekan tengkuk Leon untuk semakin dalam.
Sama-sama terhanyut. Melupakan rasa malu, melupakan siapa diri mereka. Leon mencium leher Dolores, tangannya meremas dua bukit kembar milik wanita itu. Dolores memejamkan matanya menikmati sentuhan tangan Leon. Laki-laki itu menghempaskan tubuh Dolores ke atas tempat tidur dengan gairah yang memuncak.
Bunyi gerakan pintu membuat aktivitas mereka terhenti. Dolores dengan cepat mendorong tubuh Leon dari atasnya, lalu ia bangkit berdiri. Merapikan baju dan rambutnya yang berantakan.
Tapi saat Leon memeriksa, tidak ada siapapun di situ. Merasa aman Leon ingin melanjutkan aktivitas mereka yang terhenti. Tapi Dolores sudah lebih dulu keluar dari kamar. Bahkan laki-laki itu tidak memanggilnya.
Dolores yakin ada yang melihat adegan itu. Ia meruntuki dirinya yang tidak bisa mengendalikan diri jika berhadapan dengan Leon. Pria tampan dan berwibawa, seorang ahli waris dalam keluarga. Memiliki apa pun yang ia inginkan, tapi tidak bisa membuatnya jadi satu-satunya wanita dalam hidup Leon Parker.
Leon menikahi Amber Fawson, wanita yang memiliki kesetaraan kasta. Wanita yang sangat dikagumi Leon. Lalu dirinya apa? Dolores pasrah mengecam pahitnya kehidupan dengan tinggal di kediaman keluarga Parker karena hutang keluarganya. Ia harus kuat melihat keluarga bahagia itu.
"Dolores, kenapa wajahmu pucat sekali," sapa Amber melihat Dolores. Dolores hampir tersedak melihat kedatangan Amber.
Dolores meremas tangannya di belakang, mencoba menenangkan pikiran dan tubuhnya. "Kau kenapa kembali? Bukanya tadi kau sudah pergi." Ucap Dolores gugup.
"Emi menelponku, katanya dia mau ikut. Tapi lihatlah anak itu menghilang entah kemana," keluh Amber kesal.
Dolores menatap keseluruhan Amber. Bagaimana dia bersaing dengan wanita secantik Amber? Dolores membangunkan dirinya dari mimpi yang tidak akan bisa ia gapai.
"Mungkin di kamar Kim, kau sudah memeriksanya? Jangan khawatir Emi bukan balita atau anak kecil lagi, Amber." Dollores tidak bicara formal pada Amber, mereka sudah seperti kakak-beradik. Dengan kenyataan Amber istri Leon sedangkan dirinya tidak lebih seperti pesuruh. Walaupun Minerva bilang ia termasuk orang penting di rumah ini.
"Justru itu, semakin besar Emmi semakin tidak bisa diatur," ujar Amber, mereka berdua beriringan berjalan di koridor rumah. Berniat mencari Emmi.
"Memangnya tadi Emmi bilang ada dimana saat menelponmu?" tanya Dollores penasaran.
"Ke kamar kami, mungkin dia menemui ayahnya." Jawab Amber mengingat-ingat ucapan Emmi di telpon. Dolores menelan ludah, tadi tidak ada siapa pun di sana kecuali dia dan Leon yang sedang berbuat mesum.
"Emmi, apa yang kau lakukan di sini?" Kim berjongkok di depan adiknya yang terlihat murung. Mata Emmi tertunduk melihat ke lantai."Ayo bangun, kita sarapan." Kim tersenyum mengelus rambut pirang adiknya. Ia menarik tangan Emmi tapi gadis kecil itu tidak bergerak, ia merasa Emmi menjadi pendiam. "Kenapa Emi?"Dari sisi lain Harry yang melihat Kim menarik-narik tangan Emi dipikirnya Kim mengganggu Emi. Harry bergegas menghampiri mereka."Kim? Kau mengganggu Emi lagi?" suara Harry dari belakang. Kim menoleh dengan raut kaget. Oh, ya Tuhan. Kim kenapa sekarang sangat malu di depan Harry. Kim mulia memperhatikan lekukan wajah Harry. Bagaimana bisa Harry memiliki wajah setampan Hardin Scott idolanya.Kim mengangkat bahunya gugup. "Aku tidak tau. Aku datang Emi sudah seperti ini."Harry menyentuh dahi Emmi, dingin seperti es. Wajah gadis itu pucat, tangannya gemetaran. Ma
"Harry, sampai kapan kau di sini?" Suara itu dari Nyonya Minerva yang menatap Harry dengan tatapan merendahkan. Seperti biasa. "Kau tidak ingin kembali ke asrama?""Ya GrandMa. Lusa aku akan kembali ke Asrama." Jawab Harry dengan sopan.Nyonya Minerva memperhatikan cara berpakaian Harry. Masih suka memakai celana jeans yang robek di lutut, jaket kulit hitam. "Harry? Apa kau tidak pernah berpikir Leon dan Amber orang yang sangat berpengaruh? Kau tidak bisa menunjukkan penampilan yang lebih baik dari pada seperti ini, seperti anak jalanan."Dengan tatapan dingin Nyonya Minerva memandang Harry. "Kau harusnya bersyukur dari pinggir jalan Leon mengambilmu. Jadi ubah cara berpakaianmu."Nyonya Minerva meninggi Harry yang masih berdiri tanpa ekpresi. Dia menenteng tas Hermes-nya berjalan angkuh. Di belakangnya Dolores mengikuti, dia sedikit melirik Harry dengan prihatin.
Kim menyipitkan mata agar bisa jelas melihat orang yang ada di mobil. "Harry..." suaranya bergidik saat mobil balap Harry berkecepatan tinggi mengarah pada mereka. Sean pun melihat dengan mata membulat besar. Apakah Harry benar-benar akan menabrak mereka?"Wow! Siapa dia?" tanya Sean dengan tergugup lalu menelan saliva susah payah. Kim tidak menjawab, dia yakin Harry tidak akan menabraknya tapi Sean? Dia tidak yakin Harry bermurah hati melepas Sean.Suara drum mobil Harry seperti denting-denting piano di film horor. Sangat menakutkan. Saat mobil semakin mendekat Sean melompat seperti tupai yang lincah namun sayangnya dia tergelincir. Lalu mobil itu berhenti di depan Kim yang sedang menolong Sean dengan wajah cemas."Harry! Apa yang kau lakukan?" Teriak Kim dengan geram. Sean masih dengan keterkejutannya, dia tahu Harry tapi untuk saat ini Sean tidak bisa berkenalan dengan ramah pada Harry."Hei, bro! Apa k
"Kau membuatku marah kurang ajar!" Serang Harry begitu motor gedenya di senggol motor di belakangnya. Raut wajahnya terlihat kesal penuh amarah. Mata abu-abunya menyala-menyala merah saat menghampiri pria itu."Motormu yang menghalangiku! Harusnya aku yang marah!" ketus pria itu. Harry yang memang dari rumah sudah kesal melampiaskan kekesalannya pada pria berjaket kulit itu, satu tangannya langsung menonjok rahang pria itu.Setelah berulangkali dia memukuli rambut pirang itu, suaranya tajam berkata. "Coba katakan lagi!" Tangan Harry menarik kerah baju pria."Fuck you Harry! Jangan berani kau berbuat ulah di kawasanku!" suara dari belakang membuat Harry menoleh. Beberapa orang dengan senjata tajam berjejer melihat Harry. Namun tidak ada ketakutan di mata Harry, dia menghempaskan tangannya dari si rambut pirang lalu berdecak sinis pada mereka."Ternyata kau, Jacob. Kau ketua mereka?" Harry tertawa s
Harry mencoba membuang jauh-jauh obsesinya pada Kim dengan berbagai cara. Bertemu wanita dan berkencan dengan berganti-ganti setiap minggunya. Bukan hanya itu Harry juga melakukan hal gila bersama teman-temannya. Balap liar di jalan raya dan membuat kekacauan.Seperti sekarang, membawa motor gedenya dengan brutal di bawah langit malam yang cerah dengan beberapa bintang yang berkelip. Tampak motor-motor itu berlomba untuk mencapai garis finis."Yeah... Kau menang lagi. Taruhan kali ini sangat besar. Kita untung banyak. " Martin tersenyum lebar. Harry menoleh sambil membuka helm hitamnya. Tatapannya datar tanpa ekspresi, tubuhnya yang berbalut jaket kulit dengan rambut yang dibiarkan berantakan terkesan tangguh dan macho."Bayangkan saja semua bersorak untukmu, kau seperti pembalap kelas dunia," kata Martin lagi dengan mata berbinar.Pengaruh Kim sangat besar dalam hidup Harry. Han
"Aahhhh!!!" Suara jeritan Kim menggema di kamarnya. Di tambah suara petir menggelegar bersahutan. New York diguyur hujan sejak sore tadi hingga malam ini belum ada kepastian kapan hujan akan berhenti. Gadis berambut hitam itu sudah terduduk lemas di atas lantai dengan mata terkejut dan tubuhnya sudah gemetar melihat kepala boneka yang berdarah bertengger di atas tempat tidurnya. Entah siapa yang meletakkan boneka itu. Angin berhembus kencang menyapu tirai jendela, ia lupa menguncinya tadi. Tapi sekarang Kim tidak punya cukup keberanian untuk melangkah ke arah jendela. "Daddy! Mommy!" teriakannya tercekat di tenggorokan, mata boneka itu seakan sedang menatapnya. Kamarnya di lantai paling atas, mustahil orangtunya mendengar. Dengan tangan yang sudah berpeluh, Kim meraih ponselnya yang tidak jauh dari
Harry menapakkan kakinya di Yellowstone setelah 3 jam 40 menit, dan itu adalah waktu tercepat mengingat sepanjang perjalanan dia ditemani hujan dan petir yang membuat perjalanannya tidaknyaman. Hanya dengan jeritan Kim mampu menggerakkan Harry untuk cepat datang ke sini. Padahal ia ingin menghindari Kim, lebih tepatnya sampai perasaannya berubah pada Kim. Tanpa menyapa orang rumah Harry langsung memeriksa keadaan sekeliling rumah dan utamanya di belakang kamar Kim. Sialan siapa yang mengerjai Kim hingga gadis itu ketakutan. Apalagi sampai memakai darah, yang ayahnya katakan itu adalah darah ayam. Sumpah Harry akan membuat orang itu mengeluarkan darah karena berani mengganggu Kim-nya."Ini tidak masuk akal," ujar Harry, dia sedikit tidak percaya. Wajahnya matanya melihat layar CCTV dengan termenung. Belum pernah kejadian seperti ini. "Coba kau perik
Kim menuruni anak tangga terburu-buru. Tidak sabaran ingin bertemu Harry, saat membuka mata Kim langsung teringat dengan Harry dan cepat-cepat menanyakan keberadaan Harry pada pelayan. Sejak pertengkaran mereka waktu itu hubungan mereka sedikit merenggang. Kim dengan nafas tersengal-sengal menuju ruang makan keluarga. Dia berharap hubungan mereka kembali baik-baik seperti dulu, dia rindu menghabiskan waktu bersama Harry dan juga Emily. Begitu kakinya didekat meja makan tatapan kasar Neneknya membuat Kim melangkah pelan. Matanya menangkap Harry yang juga sedang menatapnya. Andaikan mata Nenek tua itu sedang tidak mengawasinya mungkin Kim akan menerjang ke pelukan Harry.Kim duduk di bangku berseberangan dengan Harry. Setiap gerak-geriknya diperhatikan oleh Harry."Kim, apa kau tidak bisa membersihkan dirimu dulu sebelum turun. Kau sangat berantakan?" Wanita tua itu menatap baju t