Harry bermimpi buruk, tapi mimpi itu belum mengarah pada apa. Yang jelas dalam mimpi itu Harry terlihat ketakutan.
"Harry?"
Harry tersentak. Matanya terbuka lebar dan nafasnya naik turun. Dia sedang duduk menunggu Kim hingga tertidur di sofa ruangan itu.
Mimpi itu lagi!
"Ada apa? Duduk saja kau bisa bermimpi." Ucap Kim melihat Harry memakai kemeja putih dan jas hitam mengkilap. Pria itu bersandar pada jok sofa mengambil nafas.
Kim pergi mengambil gelas lalu menuangkan air putih untuk Harry. Di lantai dasar sudah sangat ramai. Alunan music terdengar hingga ke lantai paling atas. Langit-langit rumah itu sudah di decor dengan cantik.
"Ini minum." Harry menerima pemberian Kim. Matanya tampak terkagum melihat Kim memakai gaun yang cantik. Rasa ngantuknya begitu saja hilang.
"Kau jalan sambil tidur ya? Aku mencari dari tadi, ternyata di sini." Kim mengelap keringat Harry dengan sapu tangannya. Aroma parfum Kim membuat jantung Harry berdebar. Bahkan dia melupakan mimpinya tadi.
"Kita harus turun kalau tidak mau GrandMa marah." Kim menarik tangan Harry.
"Aku tidak suka pesta, Kim. Biarkan aku kembali tidur." Tapi Kim tidak berhenti menarik tangan Harry. Dengan malas pria itu meletakkan gelas lalu berjalan di belakang Kim.
Malam ini Yellowstone sangat ramai dan ruangan sesak dipenuhi para undangan. Pesta itu menjadi party dansa, setelah satu jam lebih Harry dan Kim mengikuti Emily seperti baby sister. Mereka memilih duduk di tempat duduk yang nyaman dan mudah menyaksikan orang-orang yang berdansa.
"Hai Harry," sapa Megan menghampiri Harry. Mata Kim menyipit tampak tidak senang dengan kedatangan Megan. Cara berpakaian dan makeup Megan membuatnya tampak seperti berumur 20 padahal dia baru 16 tahun.
Diantara wanita-wanita yang ada di pesta ini menurut Harry hanya Kim yang menarik perhatiannya
" Bagaimana kalau kita menari," ajak Megan. Sikapnya menyenangkan dan pancaran matanya berbinar melihat Harry. Bukan seperti Megan yang biasa ketus pada Kim. Dan Megan mendekati kata sempurna dengan gaun merah itu, cantik dan sexy.
Kim tampak memandangi Harry. Dia takut Harry akan menggandeng tangan Megan dan pergi ke untuk berdansa.
"Maaf aku tidak bisa berdansa." Kim merasa lega mendengar jawaban Harry.
"Aku bisa mengajarimu. Kau akan bosan jika hanya duduk di sini tanpa berbuat apa-apa." Ucap Megan sedikit memaksa. Tidak mungkin pria seperti Harry menolak Megan yang sangat seksi dan menggoda.
"Megan, kau masih punya malu kan? Harry dengan halus menolakmu." Kata Kim dengan suara datar. Megan mencengkram ujung gaunnya dengan ekpresi kesal pada Kim.
"Bilang saja kau takut duduk di sini menjaga Emily kan, Kim?" Ujar Megan. Harry mengangkat alisnya melihat Kim dan Megan mulai berdebat.
"Ayo kita cari tempat lain," ajak Harry. Ia menggendong Emily berjalan melewati kerumunan, ia tersenyum tipis saat menoleh ke samping melihat Kim mengikutinya dengan memegangi ujung jasnya.
Dan Megan hanya bisa menatap kepergian mereka dengan mengerutkan bibirnya.
"Nanti Mommy akan mencari kita," ucap Emi.
"Jangan berisik Emi!"
"Kim." Harry menegurnya karena membentak Emi.
"Habis dia tidak bisa diam."
"Jangan membentak Emi, Kimi. Dia masih kecil tidak mengerti apa-apa."
Mereka terus berjalan dan akhirnya mereka sampai ke lorong dan menaiki tangga ke arah kamar Harry, kamar itu besar dan luas. Emily bisa bersembunyi dimana pun saat mereka bermain petak umpet.
"Aku tidak mau bermain kalau memakai gaun ini. Kalau sampai gaunnya robek Mommy akan marah besar padaku," ucap Kim duduk di atas ranjang Harry.
"Aku tidak susah," ucap Emi menunjukkan gaunnya yang berbahan katun. Harry tertawa memandang keduanya. Dia sendiri telah berganti baju kaus biasa saat masuk ke kamar mandi tadi.
"Tidak akan robek, Kim," ucap Harry. Kau cantik memakai gaun itu, batinnya. Memandang gadis itu lekat.
Namun Kim tetap tidak mau ikut bermain karena gaunnya yang mekar dan bagian dada ketat, membuatnya susah bernafas. Kalau bukan karena permintaan adik bungsu Kim dan Harry tidak akan mau bermain seperti ini.
"Harry... Kim curang. Sekarang giliran dia yang mengejar kita," rengek Emi pada Harry. Kim tidak peduli, dia tetap duduk di tepi ranjang.
"Tidak akan, sebelum ganti baju."
"Pelayan akan tahu kita kabur dari pesta kalau kau keluar, Kim." Ujar Harry. Dia pun melihat Emily sudah duduk di lantai merajuk.
Setelah beberapa lama Harry berfikir, akhirnya ia berjalan ke arah lemarinya dan mengambil kausnya untuk Kim.
"Pakai ini." Harry memberikan kaus putih polosnya pada Kim.
"Kenapa tidak dari tadi," pekik Kim. Tanpa buang waktu dia membalikkan badannya pada Harry. "Tolong bantu buka realsletingnya."
Harry menangani situasi itu dengan wajah tenang. Namun, debar jantungnya kian tak menentu. Jemarinya menurunkan benda itu tanpa sengaja menyentuh kulit Kim membuat kulitnya meremang. Matanya tak berkedip melihat punggung Kim yang mulus, sayangnya Kim menahan gaun pada bagian dada hingga gaun itu tak sampai jatuh ke bawah.
Kim memasukan kaus dari atas bersamaan gaun itu turun kebawah. Suara tegukan ludah Harry terdengar di telinga Kim.
Sekarang Kim memperlihatkan tubuhnya yang mungil memakai kaus oversize itu, tanpa celana yang menutupi pahanya. Harry tertegun, terpesona pada tubuh Kim.
Kim sangat cantik. Dan 5 tahun lagi gadis itu akan semakin menawan.
"One. Two. Three... Aku akan menemukan kalian," teriak Emi. Membuat Harry dan Kim tersentak. Kim dan Harry berlari mencari tempat persembunyian. Tanpa sadar mereka berdua bersembunyi di balik lemari berduaan.
Mata Kim mengintip Emily yang sedang mencari mereka. Mata Ekily yang bulat terbuka melihat sekeliling yang kosong. Derap langkahnya yang pelan menyelusuri tempat yang berpotensi untuk bersembunyi.
Kim tersenyum senang. "Lihat Emi kesusahan mencari kita." Kim berbisik. Mereka berdua berdiri berhadapan, karena tempat itu sempit kedua tangan Kim menyentuh dada Harry dan tangan Harry menahan pinggang Kim.
"Aku sudah lama tidak bermain seperti ini." Kata Kim lagi.
Harry mencium pipi Kim karena gemas, dia berkata dengan suara serak. "Kau suka? Kita akan sering-sering bermain seperti ini kalau kau suka."
Bibir Kim tersenyum lebar, lalu dia mengangguk senang. Dia bisa merasakan lingkaran tangan Harry pada pinggangnya sangat posesif, membuat Kim menahan nafas.
"Kenapa kalian bersembunyi di satu tempat?" Suara Emily terdengar di depan mereka. Dia menangkap Kim dan Harry sekali.
"Wah! Cepat sekali Emi menangkap kita," ucap Harry, raut wajahnya diatur supaya terlihat kecewa, suaranya pun dibuat-buat hingga Emi merasa bangga sudah menemukan mereka.
"GrandMa datang!" pekik Kim tiba-tiba saat melihat ke arah pintu. Harry panik dan mulai gugup. "Dia akan marah kalau kita tidak ikut pesta."
"Dia pasti marah besar melihat kita bermain di kamar?"
"Ya... "
"GrandMa! GrandMa," teriak Emi.
"Jangan berteriak Emi." Ucap Harry. Ia mundar-mandir mencari tempat persembunyian. Bodoh, bukankah ini kamarnya? Lalu untuk apa ia bersembunyi.
Kim mendorong Harry bersembunyi di dalam lemari. "Jangan bersuara Harry. GrandMa akan marah kalau melihat kita sudah tukar baju."
"Kalian bagaimana?"
"Di balik sofa." Lalu Kim membawa Emi bersamanya, bersembunyi di balik sofa dengan senyum lebar.
Semenit
Dua menit
Lima menit
Harry membuka pintu lemari pelan-pelan, tidak ada suara dan tidak ada sosok wanita tua itu di kamarnya. Terlihat sunyi dan kosong.
"Kau menipuku, Kim?" suara Harry kesal. Melihat Kim dan Emi duduk di balik sofa tertawa kecil. Kim melepaskan tangan Emi dan berlari menghindari kejaran Harry. Emily terbahak-bahak melihat kakaknya kejar-kejaran.
"Siapa suruh kau percaya."
"Aku tidak menyangka kau akan berbohong."
"Wajahmu lucu sekali sewaktu masuk ke lemari," ucap Kim dengan nafas tersengal-sengal. Harry tetap mengejarnya merasa di permainkan. Emi bertepuk tangan gembira melihat kedua orang itu kejar-kejaran.
"Lari Kim! Jangan sampai tertangkap." Teriak Emi girang.
"Kau pembohong, Kim. Aku akan menghukummu," suara Harry pura-pura emosi, ia berhasil menangkap Kim dan mengangkat pinggangnya ke arah tempat tidur. Posisi Harry di atas Kim dengan nafas tidak beraturan. Jantungnya berdetak kencang, di posisi seintim itu.
"Tolong jangan menggelitikku," kata Kim memohon. Tapi Harry malah menggelitik di bagian bawah ketiaknya.
"Hahhaha... Geli Harry! Stop! Stop!"
"Katakan ampun!"
"No!"
Harry semakin menggelitik hingga tubuh Kim meronta-ronta, matanya sudah berair karena tertawa dan geli yang bercampur.
"Rasakan Kim!"
"Ampun-ampun!"
Harry menghentikan gelitikkannya dan menatap bola mata biru-hijau itu. Tangannya menahan tangan Kim yang ingin melawan.
Kim berusaha menghentikan gelak tawanya, dadanya naik turun karena lelah akibat ulah Harry.
"Ayolah Harry... Itu hanya permainan." Ucap Kim masih di bawah Harry.
"Lalu bagaimana kalau aku tidak bisa bernafas di lemari?"
"Aku akan berteriak memanggil semua orang untuk menolongmu. Atau meninggalkanmu saja sendiri di lemari itu."
Tanpa sadar posisi tangan Harry berada di sekitar area buah dada Kim, terasa di jari Harry bagian kenyal itu. Bagaimana bisa dia menahan ini?
"Dasar anak nakal." Harry menggelitiknya tidak ada ampun.
"Sungguh aku lelah! Please stop... "
Harry tersenyum penuh kemenangan. Tangan kanannya mengelap dahi Kim yang berkeringat, mata dan bibir itu seakan tersenyum hanya untuknya. Jantungnya memompa sangat kuat mengikuti alunan dada Kim yang naik turun.
"Apa yang kalian lakukan?"
Suara tegas itu membuat Harry dan Kim meloncat dari tempat tidur. Melihat Nyonya Minerva yang mereka takuti sudah berada di ambang pintu. Dia menatap Kim dan Harry dengan mata mengintimidasi.
Harry yang mengetahui situasinya tidak aman, dia buru-buru turun dari atas Kim lalu membantu Kim untuk bangun.
"Kami tidak melakukan apapun, GrandMa," Ucap Harry.
"Kau pikir aku sudah rabun? Aku melihat kau berada di atas tubuh Kim!" bentak Minerva dengan mata memelototi Harry. Suasana menjadi kacau karena Nenek tua itu berteriak-teriak.
"Kami hanya bermain GrandMa." Kim menjelaskan. Namun Minerva sudah lebih dulu memperhatikan pakaian mereka dan adegan terakhir mereka adalah tidak lazim menurutnya.
Amber datang karena mendengar suara ribut-ribut, dia menatap Kim, Harry, dan Emi yang berantakan. Kamar ini juga berantakan. Gaun Kim tergeletak di atas sofa.
"Kenapa kalian di sini bukan di pesta?" Tanya Amber.
"Lihat sendiri kelakuan anakmu!" kata Minerva pada Amber. "Wanita dan pria satu kamar di atas kasur. Dunia semakin gila." Ucapnya.
Harry menatap Amber, berharap wanita itu tidak berfikir negatif. Tidak! Harry memang sudah berfikir melebihi batas seorang kakak.
"Mereka kakak-beradik, Mom. Tidak ada yang salah satu kamar bersama. Mungkin mereka masih terbiasa karena mereka dulu sering tidur bersama di Skyhouse." Ucap Amber.
"Tapi Kim bukan lagi balita. Dia sudah beranjak remaja begitu juga Harry." Kata Minerva membuat suasana semakin tegang. "Dan siapa bilang mereka kakak-adik?" Matanya tajam. "Harry tidak lahir dari rahimmu, ingat itu."
"Mommy... Kami hanya bermain petak umpet di sini dan Kim bermain curang pada Harry. Jangan marahi mereka ya." Emily merengkuh dipelukan Amber dengan takut. Suara kuat orang dewasa itu membuat Emi ketakutan.
Nyonya Minerva menghela nafas. "Jika Harry membuat masalah lagi aku sendiri yang akan mengusirnya." Suaranya pelan di dekat Amber. Lalu dia menjauh dari kamar itu bersama Megan yang dari tadi menonton di situ.
🌹🌹🌹Kim masuk ke kamar Harry, tadi malam benar-benar membuatnya takut dan merasa kasihan pada Harry yang dimarahi GrandMa. Pagi ini dia berinisiatif untuk membangunkan Harry dan mengajaknya sarapan. Yang pertama dia harus membangunkan Harry lebih dulu.
Kimberley melihat tubuh Harry tengkurap di atas tempat tidur. Matanya terpejam dan terdengar hembusan nafas pelan. Di atas meja ia melihat kotak rokok, pasti tadi malam Harry merokok karena moodnya tidak baik.
Kim menyikirkan pakaian kotor Harry yang berserakan di atas kasur. Kim mendekat lalu dia naik ke atas punggung Harry yang tidak memakai baju.
Harry melirik Kim tapi ia tidak perduli, bibirnya menarik satu garis tipis.
"Harry kau tidak mau bangun? Apa kau marah karena GrandMa memarahimu?" tanya Kim. Gadis itu merasa sedih kalau Harry benar-benar marah padanya. "Maafkan aku Harry." Harry merasa tenggelam mendengar suara Kim yang sedih.
Kim merebahkan dirinya di atas tubuh Harry. Pundak itu sangat lebar membuat kepalanya yang bersandar di pundak itu sangat nyaman. "Harry jangan marah padaku, jangan pergi. Aku minta maaf."
"Harry, katakan sesuatu. Kau marah? Aku kan sudah minta maaf," ucap Kim. Air matanya menetes dan mengalir di pundak Harry.
Harry tercekat. Kim menangis? Ia membalikkan tubuhnya perlahan namun tidak mengubah posisi Kim, sekarang posisi mereka seperti berpelukan di atas kasur dan Kim di atasnya. Oh Tuhan! Please maafkan aku.
Berada dengan posisi menempel seperti ini membuat Harry bisa mencium aroma cherry dari tubuh Kim. Harry sering memangku Kim dulu, tapi ia sadar setiap kali Kim duduk di pangkuannya ia merasa tersiksa.
"Jangan menangis cengeng. Kau mengganggu tidurku," ucap Harry mengusap rambut Kim dan mengecupnya.
Rasanya sangat menyiksa. Harry menahan nafas kuat-kuat supaya debar jantungnya tidak terdengar oleh Kim, kulit Harry seakan naik suhunya. Ia terangsang secara seksual. Ia menjaga tangannya supaya tidak masuk ke dalam baju Kim dan merabanya.
"Kau marah padaku?"
Dengan santai Harry meletakkan tangannya di pinggul Kim, tanpa sadar dia menekannya. "Aku tidak marah."
Kim yang polos masih tetap di posisinya dengan tubuh yang tegang. Matanya menatap ke arah mata abu-abu Harry dengan cemas karena sesuatu yang mengeras dari Harry menekan bagiannya.
"Aku mau latihan ballet. Apa kau mau mengantarku?"
"Ya." Ucapnya mengangguk.
Setelah dua puluh menit akhirnya mereka sampai di tempat latihan balet Kim. Harry memberi saran supaya Kim mau bergabung dengan kawan-kawannya yang lain untuk berlatih balet. Tentu saja Kim menolak, namun setelah perdebatan panjang mereka Kim akhirnya setuju. Ya, dia butuh patner dan teman juga.Sebenarnya Kim punya teman, namanya Sandra Lee. Wanita campuran Asia yang menyukai balet juga. Dengan jarak 3 meter dari bangku mereka banyak yang memperhatikan Kim sedang bercakap-cakap dengan pemuda tampan dan keren. Kehadiran Harry menarik perhatian kaum hawa di tempat itu.Harry yang sedang asyik mengobrol dengan Kim tiba-tiba dihampiri Megan yang tersenyum pada Harry dan pemuda itu membalas senyumnya."Hai Harry. Aku kira kau tidak akan ke tempat seperti ini," Ucap Megan dengan senyum menggoda. Ia tersenyum senang memandang wajah Harry yang cerah."Waktuku kosong, tak apa menemani Kim." Jawab Harry.
Ini sudah waktunya pulang, semua sudah meninggalkan gedung. Tapi Harry dan Kim masih berdiri di dekat bangku yang bersender pada pohon besar. Angin bertium memainkan rambut Kim yang sebahu. Aroma rokok yang dihisap Harry bisa di hirup hidung Kim saat Harry berbicara terlalu dekat debgannya."Kalau kau tidak keberatan biar aku yang mmengajarimu nafas buatan." Harry menatap bibir Kim tak berkedip. Ibu jarinya merasakan kelembapan bibir Kim.Tubuh Harry menegang saat Kim membuka mulutnya. Mengecup ibu jari Harry seperti permen lolipop. Apakah karena rasa manis bekas rokok? Tapi Kim sudah mengelap tangannya.Kemudian Harry mengangkat tubuh Kim menempel di pohon besar itu. Kim tidak memberontak, bahkan terkesan seperti menertawakan sikap Harry."Kata Megan ciuman itu hanya berlaku pada wanita dan pria--" Kim terdiam Harry kan laki-laki? Alisnya naik ingin menolak. Tapi melihat bibir Harry yan
"Emmi, apa yang kau lakukan di sini?" Kim berjongkok di depan adiknya yang terlihat murung. Mata Emmi tertunduk melihat ke lantai."Ayo bangun, kita sarapan." Kim tersenyum mengelus rambut pirang adiknya. Ia menarik tangan Emmi tapi gadis kecil itu tidak bergerak, ia merasa Emmi menjadi pendiam. "Kenapa Emi?"Dari sisi lain Harry yang melihat Kim menarik-narik tangan Emi dipikirnya Kim mengganggu Emi. Harry bergegas menghampiri mereka."Kim? Kau mengganggu Emi lagi?" suara Harry dari belakang. Kim menoleh dengan raut kaget. Oh, ya Tuhan. Kim kenapa sekarang sangat malu di depan Harry. Kim mulia memperhatikan lekukan wajah Harry. Bagaimana bisa Harry memiliki wajah setampan Hardin Scott idolanya.Kim mengangkat bahunya gugup. "Aku tidak tau. Aku datang Emi sudah seperti ini."Harry menyentuh dahi Emmi, dingin seperti es. Wajah gadis itu pucat, tangannya gemetaran. Ma
"Harry, sampai kapan kau di sini?" Suara itu dari Nyonya Minerva yang menatap Harry dengan tatapan merendahkan. Seperti biasa. "Kau tidak ingin kembali ke asrama?""Ya GrandMa. Lusa aku akan kembali ke Asrama." Jawab Harry dengan sopan.Nyonya Minerva memperhatikan cara berpakaian Harry. Masih suka memakai celana jeans yang robek di lutut, jaket kulit hitam. "Harry? Apa kau tidak pernah berpikir Leon dan Amber orang yang sangat berpengaruh? Kau tidak bisa menunjukkan penampilan yang lebih baik dari pada seperti ini, seperti anak jalanan."Dengan tatapan dingin Nyonya Minerva memandang Harry. "Kau harusnya bersyukur dari pinggir jalan Leon mengambilmu. Jadi ubah cara berpakaianmu."Nyonya Minerva meninggi Harry yang masih berdiri tanpa ekpresi. Dia menenteng tas Hermes-nya berjalan angkuh. Di belakangnya Dolores mengikuti, dia sedikit melirik Harry dengan prihatin.
Kim menyipitkan mata agar bisa jelas melihat orang yang ada di mobil. "Harry..." suaranya bergidik saat mobil balap Harry berkecepatan tinggi mengarah pada mereka. Sean pun melihat dengan mata membulat besar. Apakah Harry benar-benar akan menabrak mereka?"Wow! Siapa dia?" tanya Sean dengan tergugup lalu menelan saliva susah payah. Kim tidak menjawab, dia yakin Harry tidak akan menabraknya tapi Sean? Dia tidak yakin Harry bermurah hati melepas Sean.Suara drum mobil Harry seperti denting-denting piano di film horor. Sangat menakutkan. Saat mobil semakin mendekat Sean melompat seperti tupai yang lincah namun sayangnya dia tergelincir. Lalu mobil itu berhenti di depan Kim yang sedang menolong Sean dengan wajah cemas."Harry! Apa yang kau lakukan?" Teriak Kim dengan geram. Sean masih dengan keterkejutannya, dia tahu Harry tapi untuk saat ini Sean tidak bisa berkenalan dengan ramah pada Harry."Hei, bro! Apa k
"Kau membuatku marah kurang ajar!" Serang Harry begitu motor gedenya di senggol motor di belakangnya. Raut wajahnya terlihat kesal penuh amarah. Mata abu-abunya menyala-menyala merah saat menghampiri pria itu."Motormu yang menghalangiku! Harusnya aku yang marah!" ketus pria itu. Harry yang memang dari rumah sudah kesal melampiaskan kekesalannya pada pria berjaket kulit itu, satu tangannya langsung menonjok rahang pria itu.Setelah berulangkali dia memukuli rambut pirang itu, suaranya tajam berkata. "Coba katakan lagi!" Tangan Harry menarik kerah baju pria."Fuck you Harry! Jangan berani kau berbuat ulah di kawasanku!" suara dari belakang membuat Harry menoleh. Beberapa orang dengan senjata tajam berjejer melihat Harry. Namun tidak ada ketakutan di mata Harry, dia menghempaskan tangannya dari si rambut pirang lalu berdecak sinis pada mereka."Ternyata kau, Jacob. Kau ketua mereka?" Harry tertawa s
Harry mencoba membuang jauh-jauh obsesinya pada Kim dengan berbagai cara. Bertemu wanita dan berkencan dengan berganti-ganti setiap minggunya. Bukan hanya itu Harry juga melakukan hal gila bersama teman-temannya. Balap liar di jalan raya dan membuat kekacauan.Seperti sekarang, membawa motor gedenya dengan brutal di bawah langit malam yang cerah dengan beberapa bintang yang berkelip. Tampak motor-motor itu berlomba untuk mencapai garis finis."Yeah... Kau menang lagi. Taruhan kali ini sangat besar. Kita untung banyak. " Martin tersenyum lebar. Harry menoleh sambil membuka helm hitamnya. Tatapannya datar tanpa ekspresi, tubuhnya yang berbalut jaket kulit dengan rambut yang dibiarkan berantakan terkesan tangguh dan macho."Bayangkan saja semua bersorak untukmu, kau seperti pembalap kelas dunia," kata Martin lagi dengan mata berbinar.Pengaruh Kim sangat besar dalam hidup Harry. Han
"Aahhhh!!!" Suara jeritan Kim menggema di kamarnya. Di tambah suara petir menggelegar bersahutan. New York diguyur hujan sejak sore tadi hingga malam ini belum ada kepastian kapan hujan akan berhenti. Gadis berambut hitam itu sudah terduduk lemas di atas lantai dengan mata terkejut dan tubuhnya sudah gemetar melihat kepala boneka yang berdarah bertengger di atas tempat tidurnya. Entah siapa yang meletakkan boneka itu. Angin berhembus kencang menyapu tirai jendela, ia lupa menguncinya tadi. Tapi sekarang Kim tidak punya cukup keberanian untuk melangkah ke arah jendela. "Daddy! Mommy!" teriakannya tercekat di tenggorokan, mata boneka itu seakan sedang menatapnya. Kamarnya di lantai paling atas, mustahil orangtunya mendengar. Dengan tangan yang sudah berpeluh, Kim meraih ponselnya yang tidak jauh dari