Pertama kalinya Harry menapakkan kakinya di kediaman keluarga Parker yang megah. Selama ini Nyonya Minerva melarang Harry yang bukan keluarga Parker untuk tinggal di sana. Tapi sekarang Leon rasa sudah waktunya Harry berkunjung ke rumah itu.
Sore ini seluruh anggota keluarga sedang berkumpul, kecuali Kim dan Megang yang masih sibuk berlatih ballet di aula sekolah.
"Selamat datang di Yellowstone, Nak" sapaan hangat dari Amber menyambut kedatangan Harry. "Bagaimana sekolahmu?" kata Amber lembut.
"Masih terkendali, Mom." Harry tersenyum. Amber tidak tahu saja kelakuan Harry di kampus dan asrama. Pemberonta dan suka membuat masalah. Dia tidak peduli dengan peraturan.
Amber terlihat riang karena kedatangan Harry, begitu juga Paul dan Elly. Kecuali Nyonya Minerva yang memasang wajah cemberut, membuat Harry merasa tidak diterima di rumah ini. Dia sudah membawa hadiah untuk Grandma itu, sayangnya tidak mendapatkan balasan yang baik dari Nyonya Minerva.
Pada saat Paul ingin membawa Harry ke kamarnya, Nyonya Minerva mencibir. "Paul, katakan pada anak jalanan itu untuk berpakaian yang rapih jika masuk ke rumah ini. Pakaian apa itu? Celana robek dan rambutnya berantakan." Ucap Nyonya Minerva pada anak keduanya. Harry malah tersenyum mendengar cibiran nenek tua itu.
Harry mendekat dan berkata. "Grandma, pakaian seperti ini sedang banyak digemari di kampus."
"Persetan! Kau datang ke keluarga ini hanya untuk membuat malu?" Nyonya Minerva terlihat jijik pada Harry. "Jangan-jangan niatmu hanya untuk menghabiskan uang keluarga Parker saja."
Amber sudah banyak bercerita tentang ibu mertuanya itu. Wanita yang sudah berbau tanah itu sangat cerewet dan banyak peraturan, Minerva Lestrange. Amber mengingatkan Harry untuk berhati-hati pada wanita tua itu.Harry sudah mengepalkan tangannya dibawah menahan geram karena Nyonya Minerva mengejeknya dengan kasar, kalau bukan karena Amber menatapnya dengan memelas, mungkin dia akan pergi dari tempat itu.
Namun, Harry juga tidak bisa mengabaikan keluarga ini. Leon sudah berbaik hati membawanya dari jalanan. Kehidupannya jauh sekali dibandingkan sewaktu dia tinggal luntang-lantung di jalanan seperti pengemis.
Amber menuangkan teh cina kesukaan ibu mertuanya sambil berkata. "Nilai akademi Harry sangat bagus, Mom. Jangan khawatir. Dia pasti bisa diandalkan untuk membantu ayahnya perusahaan nantinya."
Nyonya Minerva menatap Amber. "Hanya membantu bukan? Aku tidak mau dia menjadi ahli waris Leon."
Leon menghela nafas karena sikap ibunya. "Mom, Harry punya hak! Dia sekarang anakku."
Mata Nyonya Minerva merah karena amarah. "Kuingatkan. Dia hanya orang luar... Tidak akan mendapat sepeserpun uang keluarga Parker." Ucapnya terang-terangan. "Jika dia inginkan bagian, dia harus bekerja dan membayar pengeluaran yang telah dia habiskan semasa tinggal dengan keluarga Parker."
Paul bersuara. "Mom, jangan keterlaluan!"
"Kenapa? Kau juga ingin berpihak pada anak jalanan itu?" Nyonya Minerva menatap anaknya.
Harry mulai jengah. Dia pun tidak mau warisan itu, makanya dia ikut balap liar yang membuatnya mendapatkan uang banyak. Meski taruhannya nyawa.
Elly yang dari tadi diam saja, mendekat pada Harry. "Kau tidak mau bertemu Emily? Dia sekarang sedang belajar di kamar." Harry pun menurut, dia memilih mengikuti Tantenya ke kamar Emily, adik Kim. Termasuk adiknya juga.
🌹🌹🌹
"Harryy!"
"Aku menangkapmu princess!" Harry mengangkat tubuh kecil Emily yang ringan dengan tawa renyah. Orangtuanya sering membawa Emily saat mereka mengunjunginya di asrama, dan rasanya Emily cepat bertumbuh.
Melihat Emily, Harry merasa terhibur. Dia masih kepikiran dengan ucapan Nyonya Minerva tadi, bahwa wanita tua itu tidak akan pernah menerimanya masuk ke keluarga Parker karena berasal dari jalanan.
Emily kegirangan melihat Harry, dia terus saja mencium wajah tampan Harry dengan tawa riangnya.
Harry tertawa geli. "Kau sangat bersemangat Emi. Katakan apa yang sedang kau kerjakan?" Harry menatap buku-buku di meja belajarnya.
"Aoa tidak ada hadiah untukku?" Bukannya menjawab, dia malah meminta dengan wajah cemberut.
"Aku lupa. Sorry..." Harry berjongkok menurunkan Emily dari gendongannya.
"Aku tidak mau alasan."
Harry mengusap kepala Emily. "Aku janji nanti kita beli es cream." Ucapnya lembut. "Sekarang katakan dimana Kim?" Tanya Harry. Dari tadi matanya menatap ke segala penjuru tapi Kim belum nampak.
"Kim pasti masih latihan Ballet." Emily mulai bercerita. "Aku pernah menonton Kim menari di pertunjukan sekolah. Banyak sekali pria yang bertepuk tangan untuk Kim. Nanti kalau sudah besar aku ingin seperti Kim."
Harry tersenyum sebaliknya. "Katakan sebanyak apa pria yang tersenyum pada Kim?
"Aku tidak bisa menghitung. Tapi setiap aku tidur dengannya, banyak pria yang menelpon Kim tiap malam.... Aku pun bingung kenapa." Emily membuang nafas banyak.
Wajah Harry mengeras seketika mendengar cerita Emily. Dia sudah tidak konsentrasi lagi mendengarkan cerita Emily. Harry yang terlanjur jatuh cinta pada Kim yang seharusnya menjadi adik angkatnya. Tapi Harry tak dapat melarang pria mana pun mendekati Kim-nya.
🌹🌹🌹
Kim ingin menjadi ballerina kenamaan di New York, atau mungkin ia bisa menjadi ballerina ternama di dunia. Sejak umur 4 tahun Kim sudah belajar ballet, ibunya memilih instruktur ballet profesional untuk Kim. Tapi sayangnya, Kim tidak punya teman untuk mendukungnya. Semua menjauhinya, entah mengapa.
Tanpa Kim tahu Harry berada di ambang pintu, memperhatikan gerakan Kim.
Rambutnya yang di cepol ke atas memperlihatkan kulit lehernya, leotard yang menempel di tubuh Kim membuat postur tubuh Kim terlihat dengan jelas ketika ia melakukan gerakan ballet. Pakaian itu memiliki bentuk seperti pakaian renang yang menutup dari atas dan menyambung sampai pantat tetapi terbuka dari paha ke bawah.
Kim sangat cantik, Harry menggeleng. Tidak! Ini bukan pikiran seorang kakak untuk adiknya.
Tapi Harry tak bisa mengendalikan pikirannya untuk Kim. Dia menginginkan Kim ke atas ranjangnya dan membuat gadis itu menjadi miliknya. Ini pikiran gila sebenarnya.
Tiba-tiba mata Harry bertemu dengan mata biru-hijau itu, mata yang memikat, cukup mengapresiasinya dari kejauhan dan tersesat di dalam pancarannya.
"Oh my God... Harry!!" teriakan Kim terdengar nyaring. Gadis itu berlari dengan cepat lalu meloncat ke pelukan Harry. Pemuda itu menahan kedua paha Kim dengan tangannya. Sentuhan yang membuat aliran darahnya berhenti, kulit yang halus dan lembut.
"I Miss you Kimi!" Ia akan refleks mencium Kim dan mendapati aromanya begitu wangi. Lembut dan menyenangkan setiap kali menghirupnya. Seperti bau bayi.
"Kau jahat sekali datang tidak bilang padaku, kalau tahu kau akan datang aku pasti sudah pulang dari tadi."
"Tidak ada yang memberitahumu?"
Kim menggeleng kuat. "Tidak ada."
"Benarkah?" Harry menaikan satu alisnya.
"Aku memang marah padamu, karena kau tidak menghubungiku tapi bukan berarti aku tidak perduli."
"Okeh! Baiklah aku percaya. Tapi bisakah kau turun, Kimi. Badanmu semakin besar, sangat berat Kimi."
Kim semakin mengeratkan kedua tangannya di leher Harry dan kakinya menjepit pinggang laki-laki itu semakin keras. Matanya terus memandang mata abu-abu Harry.
"Aku lelah karena terus latihan ballet. Kau lihat sendiri kan?" Ucap Kim tak dapat menyembunyikan rasa senangnya. "Kenapa kau mengeluh saat menggendongku? Tapi tidak saat menggendong Emi."
Karena kau menyiksaku Kimi, sekarang.
"Karena kau gemuk, sangat berat." Hina Harry. Kim tidak peduli.
Dengan menggendong Kim di depan. Harry bisa melihat ukuran dada Kim dibalik leotard itu. Ukuran pinggul Kim juga lebih besar dengan pinggang yang kecil.
"Dari mana kau tahu aku di sini?" tanya Kim. Harry tersadar dari pikirannya, ia menatap mata indah itu dan membawa Kim duduk di lantai dengan posisi tubuh mereka yang tak berubah.
Jemari Harry terulur ke pipi Kim dengan lembut. "Dari Emi." Ucapnya. Lalu kembali berkata. "Aku ingin melihat sejelek apa tarianmu." Ejek Harry sinis.
"Terima kasih atas pujiannya."
Harry tersenyum melihat gadis manja itu merajuk. Dia menatap Kim dengan penuh cinta, tapi Kim tidak akan sadar itu. Kim turun dari pangkuan Harry, ia membereskan barang-barangnya.
"Kenapa kau latihan sendiri?" tanya Harry, dari tadi ia tidak melihat orang lain di situ.
"Guru balletku pulang lebih awal. Aku terbiasa menambah jam latihan sendiri," Ucap Kim dengan tidak peduli.
"Bukan itu maksudku. Teman-temanmu?"
"Oh, mereka... Em, mereka akan pulang kalau guru ballet kami sudah pulang. Hanya aku yang paling rajin." Pujinya dengan sombongnya.
"Sangat rajin?" puji Harry sedikit mencibir.
Kim meninggalkan Harry sendiri dengan membawa rancelnya. Harry bisa melihat tulisan toilet saat Kim masuk ke sana, setelah beberapa menit Kim datang dengan pakaian oversize-nya. Dan itu melegakan. Mereka berjalan beriringan di lorong kampus,
Namun mereka tidak bisa berlama-lama menikmati kebersamaan itu, di setiap jalan banyak yang menatap penuh kekaguman pada Harry. Tersenyum dan melambaikan tangan pada pemuda itu.
Awalnya Kim bangga melihat Harry banyak yang mengagumi, tapi lama-lama ia risih karena gadis-gadis itu terlalu berlebihan. Tapi kejengkelan Kim terbayar dengan wajah Harry yang menunjukkan ketidaktertarikan.
Kim berbicara dengan dingin. "Jangan tanggapi anak perempuan di sini. Mereka selalu terpesona setiap melihat pria tampan."
"Kenapa rupanya? Itu berarti aku tampan. Aku tidak masalah mereka membuatku sebagai idola."
"Kau sejenis pria hidung belang juga rupanya." Decak Kim. Harry merangkul Kim sambil berjalan ke parkiran. "Kenapa kebanyakan pria suka dengan wanita yang seksi, hidung mancung, rambut lurus, putih mulus, dan payudara yang besar."
"Ohoh... Untuk yang terakhir aku tidak suka." Ucap Harry melirik milik Kim yang terlihat berukuran biasa. Awalnya Kim mengangguk mendengar pendapat Kim, tapi melihat ke arah mana mata Harry. Kim meninju perut Harry kuat.
"AH!" Ringisnya pura-pura. "Biar ku laporkan pada Emi kau memukul kakak kesayangannya." Ucap Harry sambil menahan tawa gelinya.
"Dasar sinting!" Maki Kim.
Harry tergelak lalu merangkul Kim lagi. "Kau tahu? Tidak ada pria yang tertarik dengan tubuhmu yang seperti triplek ini."
"Aku juga tidak tertarik dengan pria mesum." Meski kesal Kim tidak melepaskan rangkulan Harry.
"Okeh! Kita lihat saja nanti." Balas Harry yang sudah semakin gemas dengan Kim-nya.
Harry bermimpi buruk, tapi mimpi itu belum mengarah pada apa. Yang jelas dalam mimpi itu Harry terlihat ketakutan."Harry?"Harry tersentak. Matanya terbuka lebar dan nafasnya naik turun. Dia sedang duduk menunggu Kim hingga tertidur di sofa ruangan itu.Mimpi itu lagi!"Ada apa? Duduk saja kau bisa bermimpi." Ucap Kim melihat Harry memakai kemeja putih dan jas hitam mengkilap. Pria itu bersandar pada jok sofa mengambil nafas.Kim pergi mengambil gelas lalu menuangkan air putih untuk Harry. Di lantai dasar sudah sangat ramai. Alunan music terdengar hingga ke lantai paling atas. Langit-langit rumah itu sudah di decor dengan cantik."Ini minum." Harry menerima pemberian Kim. Matanya tampak terkagum melihat Kim memakai gaun yang cantik. Rasa ngantuknya begitu saja hilang."Kau jalan sambil tidur ya? Aku mencari dari tadi, ternyata di sini." Kim mengelap kerin
Setelah dua puluh menit akhirnya mereka sampai di tempat latihan balet Kim. Harry memberi saran supaya Kim mau bergabung dengan kawan-kawannya yang lain untuk berlatih balet. Tentu saja Kim menolak, namun setelah perdebatan panjang mereka Kim akhirnya setuju. Ya, dia butuh patner dan teman juga.Sebenarnya Kim punya teman, namanya Sandra Lee. Wanita campuran Asia yang menyukai balet juga. Dengan jarak 3 meter dari bangku mereka banyak yang memperhatikan Kim sedang bercakap-cakap dengan pemuda tampan dan keren. Kehadiran Harry menarik perhatian kaum hawa di tempat itu.Harry yang sedang asyik mengobrol dengan Kim tiba-tiba dihampiri Megan yang tersenyum pada Harry dan pemuda itu membalas senyumnya."Hai Harry. Aku kira kau tidak akan ke tempat seperti ini," Ucap Megan dengan senyum menggoda. Ia tersenyum senang memandang wajah Harry yang cerah."Waktuku kosong, tak apa menemani Kim." Jawab Harry.
Ini sudah waktunya pulang, semua sudah meninggalkan gedung. Tapi Harry dan Kim masih berdiri di dekat bangku yang bersender pada pohon besar. Angin bertium memainkan rambut Kim yang sebahu. Aroma rokok yang dihisap Harry bisa di hirup hidung Kim saat Harry berbicara terlalu dekat debgannya."Kalau kau tidak keberatan biar aku yang mmengajarimu nafas buatan." Harry menatap bibir Kim tak berkedip. Ibu jarinya merasakan kelembapan bibir Kim.Tubuh Harry menegang saat Kim membuka mulutnya. Mengecup ibu jari Harry seperti permen lolipop. Apakah karena rasa manis bekas rokok? Tapi Kim sudah mengelap tangannya.Kemudian Harry mengangkat tubuh Kim menempel di pohon besar itu. Kim tidak memberontak, bahkan terkesan seperti menertawakan sikap Harry."Kata Megan ciuman itu hanya berlaku pada wanita dan pria--" Kim terdiam Harry kan laki-laki? Alisnya naik ingin menolak. Tapi melihat bibir Harry yan
"Emmi, apa yang kau lakukan di sini?" Kim berjongkok di depan adiknya yang terlihat murung. Mata Emmi tertunduk melihat ke lantai."Ayo bangun, kita sarapan." Kim tersenyum mengelus rambut pirang adiknya. Ia menarik tangan Emmi tapi gadis kecil itu tidak bergerak, ia merasa Emmi menjadi pendiam. "Kenapa Emi?"Dari sisi lain Harry yang melihat Kim menarik-narik tangan Emi dipikirnya Kim mengganggu Emi. Harry bergegas menghampiri mereka."Kim? Kau mengganggu Emi lagi?" suara Harry dari belakang. Kim menoleh dengan raut kaget. Oh, ya Tuhan. Kim kenapa sekarang sangat malu di depan Harry. Kim mulia memperhatikan lekukan wajah Harry. Bagaimana bisa Harry memiliki wajah setampan Hardin Scott idolanya.Kim mengangkat bahunya gugup. "Aku tidak tau. Aku datang Emi sudah seperti ini."Harry menyentuh dahi Emmi, dingin seperti es. Wajah gadis itu pucat, tangannya gemetaran. Ma
"Harry, sampai kapan kau di sini?" Suara itu dari Nyonya Minerva yang menatap Harry dengan tatapan merendahkan. Seperti biasa. "Kau tidak ingin kembali ke asrama?""Ya GrandMa. Lusa aku akan kembali ke Asrama." Jawab Harry dengan sopan.Nyonya Minerva memperhatikan cara berpakaian Harry. Masih suka memakai celana jeans yang robek di lutut, jaket kulit hitam. "Harry? Apa kau tidak pernah berpikir Leon dan Amber orang yang sangat berpengaruh? Kau tidak bisa menunjukkan penampilan yang lebih baik dari pada seperti ini, seperti anak jalanan."Dengan tatapan dingin Nyonya Minerva memandang Harry. "Kau harusnya bersyukur dari pinggir jalan Leon mengambilmu. Jadi ubah cara berpakaianmu."Nyonya Minerva meninggi Harry yang masih berdiri tanpa ekpresi. Dia menenteng tas Hermes-nya berjalan angkuh. Di belakangnya Dolores mengikuti, dia sedikit melirik Harry dengan prihatin.
Kim menyipitkan mata agar bisa jelas melihat orang yang ada di mobil. "Harry..." suaranya bergidik saat mobil balap Harry berkecepatan tinggi mengarah pada mereka. Sean pun melihat dengan mata membulat besar. Apakah Harry benar-benar akan menabrak mereka?"Wow! Siapa dia?" tanya Sean dengan tergugup lalu menelan saliva susah payah. Kim tidak menjawab, dia yakin Harry tidak akan menabraknya tapi Sean? Dia tidak yakin Harry bermurah hati melepas Sean.Suara drum mobil Harry seperti denting-denting piano di film horor. Sangat menakutkan. Saat mobil semakin mendekat Sean melompat seperti tupai yang lincah namun sayangnya dia tergelincir. Lalu mobil itu berhenti di depan Kim yang sedang menolong Sean dengan wajah cemas."Harry! Apa yang kau lakukan?" Teriak Kim dengan geram. Sean masih dengan keterkejutannya, dia tahu Harry tapi untuk saat ini Sean tidak bisa berkenalan dengan ramah pada Harry."Hei, bro! Apa k
"Kau membuatku marah kurang ajar!" Serang Harry begitu motor gedenya di senggol motor di belakangnya. Raut wajahnya terlihat kesal penuh amarah. Mata abu-abunya menyala-menyala merah saat menghampiri pria itu."Motormu yang menghalangiku! Harusnya aku yang marah!" ketus pria itu. Harry yang memang dari rumah sudah kesal melampiaskan kekesalannya pada pria berjaket kulit itu, satu tangannya langsung menonjok rahang pria itu.Setelah berulangkali dia memukuli rambut pirang itu, suaranya tajam berkata. "Coba katakan lagi!" Tangan Harry menarik kerah baju pria."Fuck you Harry! Jangan berani kau berbuat ulah di kawasanku!" suara dari belakang membuat Harry menoleh. Beberapa orang dengan senjata tajam berjejer melihat Harry. Namun tidak ada ketakutan di mata Harry, dia menghempaskan tangannya dari si rambut pirang lalu berdecak sinis pada mereka."Ternyata kau, Jacob. Kau ketua mereka?" Harry tertawa s
Harry mencoba membuang jauh-jauh obsesinya pada Kim dengan berbagai cara. Bertemu wanita dan berkencan dengan berganti-ganti setiap minggunya. Bukan hanya itu Harry juga melakukan hal gila bersama teman-temannya. Balap liar di jalan raya dan membuat kekacauan.Seperti sekarang, membawa motor gedenya dengan brutal di bawah langit malam yang cerah dengan beberapa bintang yang berkelip. Tampak motor-motor itu berlomba untuk mencapai garis finis."Yeah... Kau menang lagi. Taruhan kali ini sangat besar. Kita untung banyak. " Martin tersenyum lebar. Harry menoleh sambil membuka helm hitamnya. Tatapannya datar tanpa ekspresi, tubuhnya yang berbalut jaket kulit dengan rambut yang dibiarkan berantakan terkesan tangguh dan macho."Bayangkan saja semua bersorak untukmu, kau seperti pembalap kelas dunia," kata Martin lagi dengan mata berbinar.Pengaruh Kim sangat besar dalam hidup Harry. Han
Tiga jam kemudian Kim sudah berada di depan pintu kamar 301 milik Harry. Wanita itu tampak begitu gugup, satu tangannya sudah bersedia untuk mengetuk pintu tapi selalu ia urungkan.Tiba-tiba, seseorang membuka pintu itu. Harry hanya melotot, kaget melihat wanita yang selama ini ia cari kini berada di depannya. Rasanya ingin menarik tubuh Kim ke dalam pelukannya. Namun, mata Harry teralih pada tangan Kim yang menggenggam tangan anak kecil laki-laki. Anak itu yang ia selamatkan sore tadi.Setelah hening beberapa saat Kim berkata, "Boleh aku masuk?""Untuk apa kau datang? Ohh, ayahmu itu pasti sudah memberitahu pertemuan kami, kan," Kata Harry, "Sayangnya aku ada urusan, aku harus pergi." Harry pura-pura sibuk dengan melihat jam tangannya."Sebentar saja," ujar Kim lembut.Harry menelan ludahnya, ia membuang nafasnya sebelum memiringkan tubuhnya ke samping agar Kim bisa masuk."Sam ucapkan salam." Kim menundukkan kepalanya mel
Malam harinya Kim menikmati makan malam di ruang makan bersama ayahnya. Hubungan mereka beberapa tahun belakangan ini sangat baik dan terlihat dekat. Kim selalu menyempatkan diri untuk berkumpul dengan ayahnya sekedar bercerita hal yang mereka lakukan hati ini atau Kim akan meminta masukan tentang pekerjaanya."Dad, aku sudah menghubungi orang properti dan pengacara untuk menjual Skyhouse," kata Kim."Kau yang bilang kita tidak perlu menjual tempat ini," sahut Leon meliat ke arah Kim, "apa ada wartawan lagi mengawasi rumah ini?""Meskipun kita mengganti nama pemilik Skyhouse, tetap saja mereka pasti bebal. Tidak percaya Skyhouse telah di jual, apalagi dia melihat Daddy mundar-mandir di sini. "Leon menghela nafas, ia telah menghabiskan sepiring steak sapi, "Waktu cepat sekali berlalu.""Kenapa wajahmu muram seperti itu, Dad? Kita sudah berjanji untuk tidak mengenang masa lalu lagi," ucap Kim pelan.Leon mengalihkan pe
"SAM! Are you okay?" suara pria tua itu sangat kuat. Ia mengambil Sam dari gendongan pemuda itu tanpa melihat wajah orang itu, "Thank God! Kau baik-baik saja my little boy." Suara pria itu lemah."Kakek..."Harry hampir tidak percaya orang itu adalah Leon Parker. Dia memperhatikan kedua orang yang sedang berpelukan itu.Apa katanya kakek?Setelah mengamati wajah anak kecil itu, tidak salah lagi mata itu mirip Kim-nya. Mata hijau biru yang mampu membuatnya terhipnotis.Kerutan muncul di dahi Harry, "Anak siapa ini?" tanyanya. Leon menoleh dengan wajah tak kalah kaget. Ia mengeratkan pelukannya, "Mengapa kau begitu ceroboh membiarkan anak sekecil ini tanpa pengawasan? Hanya karena hobi memancingmu.""Ya. Aku minta maaf," kata Leon bingung. Begitu saja ia mengucapkan maaf. Harry menghela nafas, merasa sudah keterlaluan bicara."Dia tidak apa-apa Tubuhnya tidak ada yang lecet."Harry memusatkan perhatiannya
Pagi sebelum matahari menyapa, Kim sudah bangun dan membuat sarapan. Hari ini jadwalnya sangat penuh tapi Kim berhasil mengaturnya. Wanita berambut sebahu itu terlihat lihai membuat sarapan kesukaan anaknya."Biar aku yang memandikan si kecil. Pergilah bersiap-siap nanti kau terlambat," seorang wanita baru saja datang ke dapur."Dia ada jadwal ke dokter gigi siang ini. Aku minta tolong antarkan dia ya, hati ini aku sibuk sekali." Kata Kim yang sedang memindahkan potongan roti ke piring dan mengolesinya dengan selai coklat."Kau memberinya sarapan roti coklat padahal dia ada jadwal ke dokter gigi? Yang benar saja, Kim?" cetus Naresh heranKim menatap wanita yang sudah dia anggap seperti kakak kandungnya sendiri dan tersenyum, "Hanya periksa gigi bulanan, Naresh. Makan coklat tidak akan membuatnya sakit gigi.""Kau terlalu memanjakan jagoanmu." Ujar Naresh tersenyum, "Baiklah aku yang mengan
Harry akhirnya sampai di Singapure. Wajah tegang di sekitarnya ketika ia berjalan kaki untuk mencapai Skyhouse. Lorong telah berubah, lukisan yang dulu menghiasi di depan apartemen mewah itu telah dibersihkan. Banyak perubahan besar di sini, dia jadi bingung. Apakah mungkin dia salah tempat?Orang yang melihat Harry mengerutkan kening padanya. Harry menghela nafas. Ia tahu betapa tampan wajahnya. Tapi tentu saja bukan karena itu mereka melihat Harry."Hei, enyah dari situ!""Aku sedang mencari seseorang orang." Ucap Harry kepada pria bertampang garang itu."Aku tidak peduli, jangan berdiri di situ! Pergi sana!"Harry mengumpat pelan, dia tidak mau membuat keributan dan memilih pergi.Waktu menunjukkan pukul 1 siang, Harry belum makan apa pun setibanya dia di bandara tadi. Ia memutuskan untuk singgah makan, di sekitar tempat itu ada kedai pizza. Ia berjalan meny
Empat tahun kemudian."Polisi baru saja menggerebek bagasi kita di bengkel Vernon. Sepertinya keadaan kita tidak aman lagi." Ujar pria berkepala botak, "Mereka sedang mengincar kita, jadi kita kita harus berpencar untuk bersembunyi.""Kalau bukan karena ulah Thomas, kita tidak akan diincar polisi," ujar Juan. "Merepotkan saja." Dia mundar-mandir gelisah memikirkan perkara itu."Jika salah satu diantara kita ada yang tertangkap, maka semua harus menyerahkan diri." Ucap Harry kepada mereka. Semua mengangguk pasrah. "Seandainya Thomas tidak menusuknya. Aku sendiri yang akan mematahkan leher Jacob.""Dia pasti dendam karena kita menjebaknya waktu itu." Gerald mengingat waktu mereka memasukkan narkoba ke mobil Jacib.Tiga hari lalu mereka melakukan tindakan gila di California ketika melakukan balapan liar. Thomas menusuk Jacob dengan kaca botol minuman. Itu karena orang itu menggoda Jelena dan
Memasukkan ke penjara tidak semudah itu.Leon berkata santai, "Kita lihat saja nanti siapa yang menang." Ucapnya kepada Natalie. Lalu ia melihat Harry dengan lekat. Terlihat ekspresi sedih di wajah Leon. Entah mengapa, tiba-tiba Leon merindukan keluarganya yang dulu. Di saat Amber dan Emily masih hidup dan Harry bersama mereka. Mungkin Kim tidak akan membencinya seperti sekarang ini. Jika saja Leon tidak melakukan kesalahan fatal.Wajah Natalie tampak dingin seperti es batu, dia bicara dengan nada penuh penekanan, "Aku memberikanmu pilihan Tuan Leon Parker, pertama menyerahkan diri ke kantor polisi, akui kesalahanmu. Atau aku akan membuat keluargamu bangkrut."Leon tidak berkata apa-apa, dia hanya menatap Natalie dan bertanya-tanya kenapa wanita itu memberinya kesempatan. Apakah mungkin karena berterimakasih telah merawat Harry hingga besar?"Kurasa kau bicara seperti itu karena kau tidak punya bukti yang kuat untuk membuat suamiku di penjara.
"Harry..." gumam Kim tanpa sadar seraya mengusap sudut matanya yang basah. Ia masih shock melihat hasil test pack di tangannya.Sudah seminggu ia merasakan gejala tidak menyenangkan dan juga merasa aneh, tidak biasanya Kim telat datang bulan. Naresh orang yang terdekat dengannya di Yellowstone mengetahui hubungan Kim dan Harry sudah sejauh apa. Wanita itu berinisiatif membelikan test pack dan hasilnya."Oh My Gosh..." desis Naresh tidak kalah kaget. Ia menyentuh bahu Kim mencoba menenangkan wanita itu. "Apa yang akan kau lakukan sekarang, apa kau akan mengatakannya kepada Harry?""Kimberley?""Aku tidak tahu... aku tidak tahu, Naresh." Ucap Kim frustasi. Rasa panik mulai melanda. Bagaimana kalau ayahnya tahu? Dollores dan Megan... mereka pasti akan membuatnya dalam kesusahan."Tolong aku Naresh," Kim memegang tangan wanita berbadan tegap itu. "Jangan katakan pada siapapun tentang kehamilanku. Bersikaplah seperti biasa.""Apa rencanamu?
Jelena mundur dari pelukan Harry, membuat Harry bingung. Apakah wanita itu tidak menikmati permainannya? Ternyata wanita itu meraba resleting gaunnya ke bawah. Dan dengan lancar ia menarik gaunnya ke atas dan membuka semuanya. Harry menatapnya dengan tersenyum."Kau perlu bantuan?""Aku bisa. "Harry memandangi Jelena yang sedang berusaha melepaskan bra brendanya berwarna putih. Kemudian melonggar ikatan dan melepaskan benda itu hingga akhirnya ia mengekspos seluruh buah dadanya kepada Harry.Harry menatapnya sejenak dan menikmati pemandangan indah itu. Tapi, jujur ia lebih menyukai milik Kim yang bulat dan penuh. Harry menangkup keduanya dan meremasnya membuat Jelena tersentak oleh kenikmatan itu. Bibir Harry memasukkan ujung dada milik Jelena ke dalam mulutnya dan bermain-main di sana. Menghisap dan menggigitnya ujung yang mengeras itu.Pria itu tampan... Jelena mengakui itu. Ia sangat t