Leon tersenyum saat membaca pesan di ponselnya. Anak buahnya telah melakukan apa yang di perintahkannya. Bahkan mereka mengirim foto rumah yang mereka bakar.
"Daddy... "
"Diam dulu Kim!" Suara Leon tampak kesal. Kim mengganggunya saat ingin mengirim balasan pesan itu. Mereka yang duduk di meja itu kaget Leon membentak Kim.
"Kim? Diantara makanan ini mana yang paling enak?" Harry mencairkan suasana. Kim tidak sempat menangis, dia langsung girang karena Harry.
Gadis kecil berambut hitam itu terus saja mengikuti langkah Harry kemanapun dan tak melepaskan telunjuk Harry untuk ia genggam. Sekali-kali ia berceloteh dan membuat Harry kesal lalu tertawa.
"Jangan masukkan lagi makananmu ke piringku, Kim!" Walaupun makanan terlihat enak tak membuat Harry kaget dengan makanan itu. Dia seperti sudah terbiasa dengan makanan lezat dan kehidupan orang kaya.
Kadang Amber pun bingung. Harry bisa menggunakan laptop seperti sudah sering memainkan. Melihat benda-benda mahal tak membuat anak itu takjub. Seolah Harry adalah pangeran yang menyamar jadi pengemis.
"Tadi kau bilang ingin makan yang enak. Sekarang kau malah menolak," ucap Kim meletakkan sosisnya ke piring Harry.
"Baiklah. Tapi ini yang terakhir."
Kim menutup bibirnya dengan tangan dan tergelak mendengar gerutuan Harry. Melihat itu Amber tersenyum, dia sedikit kaget melihat tingkah Leon yang aneh.
"Mommy, aku tidak akan melakukannya lagi. Aku benci di foto-foto," cetus Kim, memutar bola matanya. Ia duduk di samping Harry. Pada saat acara sesi foto waktu itu banyak yang memuji Kim.
"Kenapa? Semua menyukaimu, Kim, kau cantik dan imut. Semua memujimu. Dan Harry banyak mendapat sambutan. Next kau ikut lagi dengan Mommy."
"Amber." Leon menatap dingin pada Amber. Istrinya seperti terobsesi melihat anak-anaknya berada di cover majalah terkenal.
"Bagaimana dengan sekolah Harry, apa sudah diurus" Tanya Paul. Amber dan Leon saling menatap.
"Apakah aku dan Harry satu sekolah?" tanya Kim dengan polosnya.
"Maaf sayang. Harry sekolah di asrama milik uncle Paul. Kalian tidak bisa satu sekolah." Amber berucap dengan sangat lembut, supaya Kim bisa menerimanya.
Kim berlari kepelukan Leon, lalu terdengar suara tangis yang memilukan dari bibir mungilnya. Leon mengusap bahu Kim memberi ketenangan. Harry tercekat di tempatnya. Tak menyangka Kim akan menangisi kepergiannya.
"Why Daddy? Aku tidak mau berpisah."
"No, sugar. Kalian tidak berpisah. Kalian hanya beda sekolah. Setelah besar kalian akan satu sekolah." Leon mengusap air mata Kim yang terus-menerus mengalir.
🌹🌹🌹
Juilliard, New York
New York sangat panas benar-benar panas pada musim ini. Sampai-sampai baju pun basah di tubuh seperti bermandikan hujan. Keringat Kim menetes dari dahinya hingga ke mata, padahal tempat itu full AC. Kim menari bagai seekor angsa yang memiliki sayap diiringi lagu let it go.
Tak terasa waktu terlalu cepat berlalu, Harry yang tinggal di asrama jarang pulang karena GrandMa tidak mengizinkan. Neneknya itu masih belum terima dengan keberadaan Harry karena Harry berasal dari jalanan.
"Musim panas yang menyenangkan Kim." Seorang gadis mematikan music lalu bersandar di dinding dengan kedua tangan di depan dada melihat Kim.
Kim mengabaikan Megan dan tetap menari.
"Apa kau tahu sudah jam berapa sekarang?" ucap wanita berambut gelombang itu dengan sinis. Dia Megan Stubbs, katanya dia adalah sepupu Kim dan entah sudah berapa lama mereka tinggal satu rumah.
"Aku tidak menyuruhmu menungguku, Megan. Kau bisa pulang sesuka hatimu." Jawab Kim dingin.
"Oh my Gosh!" desis Megan. "Kau tahu? Seluruh manusia di Yellowstone menyuruhku menjagamu. Mereka pikir aku baby sistermu." Ejek Megan, lalu bersedekap dada lagi melihat Kim.
Kim memutar bola matanya. Ia mengepak barangnya lalu berjalan ke ruang ganti. Meninggalkan Megan sendiri. Tapi Megan malah mengikutinya dari belakang.
"Usiamu sudah bukan 6 tahun Kimberley, wanita seusia kita harusnya sudah mengenal laki-laki, tapi kau? Jangankan laki-laki, teman wanita pun tidak punya." Megan tertawa remeh.
Kim tidak perduli ucapan Megan, karena baginya gadis itu hanya wanita sinting yang banyak bicara. Terakhir kalau tidak salah ingat, Megan menyebar rumor di sekolah mereka bahwa Kim gadis aneh yang penyendiri.
"Beda denganku. Selalu mendapatkan banyak surat cinta." Megan memamerkan amplop-amplop pink muda dari tasnya. "Itu sebabnya kau mengganggu musim panasku!" Dengan pandangan menghinanya.
Hanya laki-laki bodoh yang mau denganmu Megan.
"Apa kau akan terus menonton tubuhku yang bertelanjang?" tanya Kim melihat wanita itu.
Megan mendengus kesal lalu keluar dari ruang ganti itu.
Megan benar sekarang mereka bukan anak kecil lagi. Tapi tidak ada yang spesial pada kehidupannya kecuali bagian fisiknya yang mulai berubah.
Kim menyentuh bagian dadanya. Ia sempat bingung karena putingnya membatu, tidak lama setelah itu bagian sekitarnya membesar. Tetapi bagian kanan dan kiri tidak sama besar. Dan yang membuat Kim terkejut bagian sensitifnya mengeluarkan darah, kejadian itu membuat ibunya kegirangan. Kim pubertas dan sudah menstruasi.
Setelah mengganti baju baletnya dengan kaus dan celana jeans, Kim berjalan keluar. Matanya menangkap Megan sedang bicara dengan laki-laki berkulit putih di depan mobil mereka. Gadis itu sangat ramah pada setiap pemuda yang menyapanya.
"Sorry Tom, aku harus pergi. Next time kita sambung lagi obrolan kita. Tuan Putri sudah datang." Megan melirik Kim yang melihatnya.
Kim bisa mendengar itu, tapi ia lebih memilih diam dan masuk mobil. Dan betapa lancarnya bibir Megan mendarat pada bibir laki-laki berkulit putih itu.
"Megan!" Teriak Kim dari dalam mobil. Ia tak menyangka Megan segampang itu berciuman dengan pria.
"Iya! Iya... Sabar kenapa!" teriak Megan pada Kim. "Bye Tom, see you." Megan masuk ke mobil dan duduk di samping Kim. Mobil mereka meninggalkan parkiran Juilliard School.
"Kau tahu apa yang dikatakan Tom padaku?" Ucap Megan dengan centil.
"Aku tidak perduli," sahut Kim dingin.
"Dia bilang banyak yang protes kau memakai aula itu seorang diri. Lalu aku bilang saja, jangankan orang lain. Aku saja tidak berani berlatih ballet denganmu." Kata Megan dengan wajah menyebalkan. Meskipun mereka telah lama tinggal serumah, tidak membuat kedua wanita itu akrab.
"What? Kapan aku melarangmu?" Kim melotot pada Megan.
"Kau tidak mengajakku, tentu saja aku berpikir seperti itu. Apa aku salah?" Kata Megan tanpa dosa.
"Aku malas berdebat denganmu!"
"Aku malah suka. Dan Kim, harusnya kau tahu aula balet itu untuk umum. Kau tidak pernah mau berbaur dengan teman-temanmu, dasar payah." Cibirnya.
Oh Mom... Kenapa kau membiarkan orang seperti ini di sampingku, batin Kim. Ia melipat kedua tangannya ke dada dan matanya melihat keluar.
Tidak sampai di situ. Megan terus saja berceloteh yang menyakiti Kim. Dia seperti tidak tahu berterima kasih telah tinggal di rumah keluarga Kim.
"Dengar Kim, aku bukan ingin memanasimu, tapi satu sekolah banyak yang menggosip tentangmu. Ternyata jadi wanita kaya raya tidak selalu di sukai banyak orang ya?" Megan terkekeh di tempatnya.
Kim menutup matanya. Berharap wanita itu menutup mulutnya. Demi Tuhan Kim ingin sekali menendangnya keluar dari mobil ini. Tapi ia takut dosa. Ia berdoa semoga mulut gadis itu diam.
Sepertinya keadaan tak seperti yang Kim harapkan, Megan masih saja bicara tanpa henti.
"Sekarang kau tahu kan kenapa kau tidak punya teman." Megan berkata dengan sinis. "Tapi aku punya solusinya. Yaitu dengan kau sering-sering mentraktir teman sekelasmu. Jika kau tidak punya malu membeli teman dengan ATM-mu."
Sambil memejamkan mata, tangan Kim mengepal. Membayangkan tangannya mengacak-acak rambut pirang Megan dan mencabik wajah gadis itu.
"Nona, apa kau ingin mendengarkan music?" suara Naresh Yogi terdengar. Wanita tomboi itu bodyguard Kim, tatapannya dingin dan tajam. Tubuhnya tegap menandakan dirinya tidak kalah dengan kaum pria.
"Tidak perlu Naresh. Sudah ada music yang berputar sendiri," sahut Kim. Membuka matanya lalu melihat keluar.
"Maksudmu aku? Dasar sialan!" Maki Megan, tersinggung.
"Megan. Tolong jaga ucapanmu." Tegur Naresh.
"Apa? Kau ingin melemparku keluar jika masih bersuara?" Ketus Megan dengan tidak sopan.
"Akan kulakukan jika itu perlu."
Megan menelan salivanya. Bibirnya tertutup rapat. Jarak mereka masih jauh dari Yellowstone, dia tidak mau jalan kaki atau menghentikan taxi di tengah jalan.
🌹🌹🌹
"Kau menolak Rose? Sampai kapan kau betah sendiri, Harry?"
Harry tidak peduli dengan protesan temannya itu. Banyak gadis yang mengejar dirinya, tapi Harry seperti mati rasa pada wanita-wanita di kampusnya.
Tidak ada yang tahu bahwa Harry sebenarnya sangat mencintai Kim. Cintanya begitu dalam, sedalam lautan. Tapi sayang, dia hanya bisa memendam perasaannya.
Jika suatu hari Harry berpacaran dengan gadis lain. Percayalah itu karena terpaksa.
"Martin tolong jangan ganggu aku!"
"Kau butuh pencerahan, Man! Kita ke club mencari wanita untuk dikencani. Juniormu harus di sentuh agar kau kembali normal."
"Ayolah Harry! Aku yakin jika kau ikut banyak wanita yang bisa kita dapatkan malam ini." Ujar Gery teman sekamarnya. Dari nafas pemuda itu tercium bau rokok yang kuat.
"Jangan paksa aku, okeh!" Tegas Harry geram. "Aku sudah bilang hari ini aku harus pulang."
"Kau akan menyesal Mr Parker."
"Jangan menyebutku seperti itu!" bentak Harry.
"Sorry lidahku terpeleset."
Hanya orang-orang terdekat yang tahu tentang kehidupan Harry, tapi bukan kisah cintanya. Tentu saja Harry tidak mau disebut 'Parker' karena dia mencintai wanita 'Parker' Meskipun terlihat tenang. Sebenarnya Harry sangat tempramental. Dia sangat di segani di kampus juga digilai banyak wanita.
"Untuk apa pulang? Bukankah lebih bebas di asrama. Kita bisa meronda sampai pagi di club malam." Kata Gery. Dia orang kedua di genk Harry yang juga digilai banyak wanita. Mulutnya penuh rayuan manis jika bicara dengan wanita.
Harry tidak bisa menjelaskan pada teman-temannya alasan kepulangannya karena Kim. Dia sangat merindukan wanita itu sangat. Sudah lama Harry menantikan hari ini.
"Jangan paksa lagi, Gery! Biarkan Harry jadi anak rumahan kali ini." Ujar Martin. "Nanti juga dia akan bosan tanpa wanita." Martin menepuk bahu Harry. "Harusnya kau belajar dari Gery, berapa banyak wanita yang berhasil di kencaninya. Hidupnya sangat menyenangkan."
Di hati Harry hanya Kim. Hanya wanita itu.
Harry merasa sangat kesal jika teman-temannya memaksa untuk pergi. Alih-alih ingin bersenang-senang dengan minuman. Mereka malah menyodorkan wanita untuk ditiduri. Kalau di hitung, setengah dari wanita di kampus ini adalah korban genk Harry yang suka mempermainkan wanita.
"Kalau kau masih sayang nyawamu, tutup mulutmu, baik." kata Harry penuh ancaman.
Gery tertawa puas. "Kau yang bilang jangan paksa. Tapi kau sendiri yang tidak membiarkan Harry liburan di rumahnya... sayangi nyawamu, Martin."
Martin mendengus. "Lihat saja nanti... kalau kau ikut balapan liar aku tidak akan membayar taruhan untuk namamu."
Harry tidak peduli, dia hanya melakukan hobby balapan bukan untuk uang. Tapi karena menantang adrenalin. Dia punya uang, apa pun yang diinginkan dipenuhi oleh keluarga Parker.
"Harry... " Sebuah suara yang membuat Harry menoleh. Julie, gadis berbaju fress body itu melangkah ke arah Harry dan duduk di depannya.
Julie sangat cantik dengan wajah Asianya. Gadis itu membusungkan dadanya memberi akses mata Harry melihat betapa hebatnya dada di balik kausnya. Pemuda itu memalingkan wajahnya. Ia lebih tertarik melihat Alice Quiza, gadis pendiam si kutu buku.
"Hei... Apa kau benar-benar tidak bisa melihat kalau tidak memakai kacamata?" tanya Harry pada Alice. Wajah gadis itu tampak merona di sapa Harry, first time.
"Matanya aneh itu kenapa Alice pakai kacamata," tutur Julie. Tidak suka Harry mengabaikannya. "Harry nanti malam kau sibuk? Aku ingin jalan denganmu." Julie sangat menginginkan pemuda itu. Terlepas dari Harry pria kaya. Harry sangat sexy baginya. Dan semoga ia menjadi gadis pertama pria itu. Rumor mengatakan Harry tidak pernah jalan dengan wanita manapun.
Semoga saja dia normal.
"Aku sibuk. Sangat sibuk." Tolak Harry.
Ya... Bisa jadi Harry tidak normal. Menolak Julie... semua laki-laki ingin dekat dengannya. Tubuhnya padat dengan bokong yang menonjol. Bagian dadanya yang mengintip di balik kausnya terlihat besar. Siapapun yang melihat pasti terangsang. Tapi tidak untuk Harry.
Martin tertawa. "Harry menyukai gadis pendiam yang tidak agresif, Julie." Cetusnya. "Menurutnya lebih manis." Tidak tahu saja Martin yang menyukai Alice.
"Martin!" desis Harry. Julie melihat Martin kesal, lalu melirik gadis di sampingnya. Harusnya ia tidak membawa Alice jika ingin bertemu dengan Harry. Menyebalkan.
"Ayo kita pergi Alice!" Julie menarik tangan Alice menjauh. Tatapan Alice terpaku pada Harry seperti tidak rela berjauhan dengan pria itu.
"Dia pasti sangat kesal." Martin terkikik. Tapi dia pun curiga. Normal kah Harry ini. "Jujur Harry. Apa kau sudah mimpi basah? Aku curiga padamu." Dan Harry menggeleng. Lalu Martin tertawa meledak setengah tidak percaya.
Kemungkinan besar Harry berbohong.
"Man what's you doing? Aku bahkan sudah pernah membuka segel wanita," kata Martin dengan bangganya. Ia tidak perduli ucapannya memancing tatapan sekitarnya.
"Itu adalah hal terindah Harry. Kau akan menyesal tidak merasakan surga dunia." Kata Martin dengan bangga. Grey tiba-tiba menepuk bahu Martin melihat bidadari sekolah mereka sedang berjalan. Jelena Kathryn Walton, hanya pria beruntung yang bisa berkencan dengan gadis itu. Martin bersiul saat Jelena melewati mereka.
"Dia bukan hanya cantik, tapi juga seksi. Apa kau tidak penasaran apa dibalik bajunya?" kata Martin dengan tatapan mesumnya melihat tubuh Jelena seperti gitar spanyol. Lekukan tubuhnya sangat indah, seperti model. Jemari kuku-kukunya bercat biru elektrik terlihat berkilau.
Gadis itu berani sekali tampil beda.
"Sama sekali tidak tertarik." Jawab Harry. "Lebih baik aku pergi sebelum kau mencuci otakku. "
Gery dan Martin saling berpandangan. Jangan sampai genk mereka yang terkenal kuat dan pemberontak digosipkan tentang Harry yang tidak tertarik dengan wanita.
"Kau seperti anak di bawah umur saja," Celetuk Martin. "Cium, sentuh, raba, seks... Itu hal biasa bukan? Atau---"
Tangan Harry reflek mengusap wajah Martin kasar. Tentu saja Harry pernah melakukan itu pada wanita lain, tapi tidak menggunakan perasaan. Dan saat ia melakukan hal itu, Harry membayangkan Kim yang sedang ia sentuh.
Pertama kalinya Harry menapakkan kakinya di kediaman keluarga Parker yang megah. Selama ini Nyonya Minerva melarang Harry yang bukan keluarga Parker untuk tinggal di sana. Tapi sekarang Leon rasa sudah waktunya Harry berkunjung ke rumah itu.Sore ini seluruh anggota keluarga sedang berkumpul, kecuali Kim dan Megang yang masih sibuk berlatih ballet di aula sekolah. "Selamat datang di Yellowstone, Nak" sapaan hangat dari Amber menyambut kedatangan Harry. "Bagaimana sekolahmu?" kata Amber lembut. "Masih terkendali, Mom." Harry tersenyum. Amber tidak tahu saja kelakuan Harry di kampus dan asrama. Pemberonta dan suka membuat masalah. Dia tidak peduli dengan peraturan.Amber terlihat riang karena kedatangan Harry, begitu juga Paul dan Elly. Kecuali Nyonya Minerva yang memasang wajah cemberut, membuat Harry merasa tidak diterima di rumah ini. Dia sudah me
Harry bermimpi buruk, tapi mimpi itu belum mengarah pada apa. Yang jelas dalam mimpi itu Harry terlihat ketakutan."Harry?"Harry tersentak. Matanya terbuka lebar dan nafasnya naik turun. Dia sedang duduk menunggu Kim hingga tertidur di sofa ruangan itu.Mimpi itu lagi!"Ada apa? Duduk saja kau bisa bermimpi." Ucap Kim melihat Harry memakai kemeja putih dan jas hitam mengkilap. Pria itu bersandar pada jok sofa mengambil nafas.Kim pergi mengambil gelas lalu menuangkan air putih untuk Harry. Di lantai dasar sudah sangat ramai. Alunan music terdengar hingga ke lantai paling atas. Langit-langit rumah itu sudah di decor dengan cantik."Ini minum." Harry menerima pemberian Kim. Matanya tampak terkagum melihat Kim memakai gaun yang cantik. Rasa ngantuknya begitu saja hilang."Kau jalan sambil tidur ya? Aku mencari dari tadi, ternyata di sini." Kim mengelap kerin
Setelah dua puluh menit akhirnya mereka sampai di tempat latihan balet Kim. Harry memberi saran supaya Kim mau bergabung dengan kawan-kawannya yang lain untuk berlatih balet. Tentu saja Kim menolak, namun setelah perdebatan panjang mereka Kim akhirnya setuju. Ya, dia butuh patner dan teman juga.Sebenarnya Kim punya teman, namanya Sandra Lee. Wanita campuran Asia yang menyukai balet juga. Dengan jarak 3 meter dari bangku mereka banyak yang memperhatikan Kim sedang bercakap-cakap dengan pemuda tampan dan keren. Kehadiran Harry menarik perhatian kaum hawa di tempat itu.Harry yang sedang asyik mengobrol dengan Kim tiba-tiba dihampiri Megan yang tersenyum pada Harry dan pemuda itu membalas senyumnya."Hai Harry. Aku kira kau tidak akan ke tempat seperti ini," Ucap Megan dengan senyum menggoda. Ia tersenyum senang memandang wajah Harry yang cerah."Waktuku kosong, tak apa menemani Kim." Jawab Harry.
Ini sudah waktunya pulang, semua sudah meninggalkan gedung. Tapi Harry dan Kim masih berdiri di dekat bangku yang bersender pada pohon besar. Angin bertium memainkan rambut Kim yang sebahu. Aroma rokok yang dihisap Harry bisa di hirup hidung Kim saat Harry berbicara terlalu dekat debgannya."Kalau kau tidak keberatan biar aku yang mmengajarimu nafas buatan." Harry menatap bibir Kim tak berkedip. Ibu jarinya merasakan kelembapan bibir Kim.Tubuh Harry menegang saat Kim membuka mulutnya. Mengecup ibu jari Harry seperti permen lolipop. Apakah karena rasa manis bekas rokok? Tapi Kim sudah mengelap tangannya.Kemudian Harry mengangkat tubuh Kim menempel di pohon besar itu. Kim tidak memberontak, bahkan terkesan seperti menertawakan sikap Harry."Kata Megan ciuman itu hanya berlaku pada wanita dan pria--" Kim terdiam Harry kan laki-laki? Alisnya naik ingin menolak. Tapi melihat bibir Harry yan
"Emmi, apa yang kau lakukan di sini?" Kim berjongkok di depan adiknya yang terlihat murung. Mata Emmi tertunduk melihat ke lantai."Ayo bangun, kita sarapan." Kim tersenyum mengelus rambut pirang adiknya. Ia menarik tangan Emmi tapi gadis kecil itu tidak bergerak, ia merasa Emmi menjadi pendiam. "Kenapa Emi?"Dari sisi lain Harry yang melihat Kim menarik-narik tangan Emi dipikirnya Kim mengganggu Emi. Harry bergegas menghampiri mereka."Kim? Kau mengganggu Emi lagi?" suara Harry dari belakang. Kim menoleh dengan raut kaget. Oh, ya Tuhan. Kim kenapa sekarang sangat malu di depan Harry. Kim mulia memperhatikan lekukan wajah Harry. Bagaimana bisa Harry memiliki wajah setampan Hardin Scott idolanya.Kim mengangkat bahunya gugup. "Aku tidak tau. Aku datang Emi sudah seperti ini."Harry menyentuh dahi Emmi, dingin seperti es. Wajah gadis itu pucat, tangannya gemetaran. Ma
"Harry, sampai kapan kau di sini?" Suara itu dari Nyonya Minerva yang menatap Harry dengan tatapan merendahkan. Seperti biasa. "Kau tidak ingin kembali ke asrama?""Ya GrandMa. Lusa aku akan kembali ke Asrama." Jawab Harry dengan sopan.Nyonya Minerva memperhatikan cara berpakaian Harry. Masih suka memakai celana jeans yang robek di lutut, jaket kulit hitam. "Harry? Apa kau tidak pernah berpikir Leon dan Amber orang yang sangat berpengaruh? Kau tidak bisa menunjukkan penampilan yang lebih baik dari pada seperti ini, seperti anak jalanan."Dengan tatapan dingin Nyonya Minerva memandang Harry. "Kau harusnya bersyukur dari pinggir jalan Leon mengambilmu. Jadi ubah cara berpakaianmu."Nyonya Minerva meninggi Harry yang masih berdiri tanpa ekpresi. Dia menenteng tas Hermes-nya berjalan angkuh. Di belakangnya Dolores mengikuti, dia sedikit melirik Harry dengan prihatin.
Kim menyipitkan mata agar bisa jelas melihat orang yang ada di mobil. "Harry..." suaranya bergidik saat mobil balap Harry berkecepatan tinggi mengarah pada mereka. Sean pun melihat dengan mata membulat besar. Apakah Harry benar-benar akan menabrak mereka?"Wow! Siapa dia?" tanya Sean dengan tergugup lalu menelan saliva susah payah. Kim tidak menjawab, dia yakin Harry tidak akan menabraknya tapi Sean? Dia tidak yakin Harry bermurah hati melepas Sean.Suara drum mobil Harry seperti denting-denting piano di film horor. Sangat menakutkan. Saat mobil semakin mendekat Sean melompat seperti tupai yang lincah namun sayangnya dia tergelincir. Lalu mobil itu berhenti di depan Kim yang sedang menolong Sean dengan wajah cemas."Harry! Apa yang kau lakukan?" Teriak Kim dengan geram. Sean masih dengan keterkejutannya, dia tahu Harry tapi untuk saat ini Sean tidak bisa berkenalan dengan ramah pada Harry."Hei, bro! Apa k
"Kau membuatku marah kurang ajar!" Serang Harry begitu motor gedenya di senggol motor di belakangnya. Raut wajahnya terlihat kesal penuh amarah. Mata abu-abunya menyala-menyala merah saat menghampiri pria itu."Motormu yang menghalangiku! Harusnya aku yang marah!" ketus pria itu. Harry yang memang dari rumah sudah kesal melampiaskan kekesalannya pada pria berjaket kulit itu, satu tangannya langsung menonjok rahang pria itu.Setelah berulangkali dia memukuli rambut pirang itu, suaranya tajam berkata. "Coba katakan lagi!" Tangan Harry menarik kerah baju pria."Fuck you Harry! Jangan berani kau berbuat ulah di kawasanku!" suara dari belakang membuat Harry menoleh. Beberapa orang dengan senjata tajam berjejer melihat Harry. Namun tidak ada ketakutan di mata Harry, dia menghempaskan tangannya dari si rambut pirang lalu berdecak sinis pada mereka."Ternyata kau, Jacob. Kau ketua mereka?" Harry tertawa s