Pandan Wangi Aditama Perkasa dengan cekatan mengaduk kopi dan teh yang diraciknya dalam waktu yang bersamaan. Pagi-pagi seperti ini sudah menjadi tugasnya untuk menghidangkan minuman bagi para staff dan karyawan PT. INTI GRAHA ANUGRAH. Sudah seminggu ini, ia menjadi OG di perusahaan kontruksi kompetitor kakaknya. Bayangkan, ia yang seorang fashion designer lulusan Parsons School of Design College New York, bekerja menjadi seorang OG. Dan semua ini ia lakukan demi kakaknya, Putra Lautan Aditama Perkasa. Lautan akhir-akhir ini mengeluhkan tentang tender perusahaan yang selalu kalah di akhir eksekusi. Padahal saat presentasi, para client kerap memberi applause atas ide-ide inovatif perusahaan mereka. Namun apabila sudah sampai pada nominal budgeting yang ditawarkan, perusahaan kakaknya selalu dikalahkan oleh PT. INTI GRAHA ANUGRAH ini. Kakaknya curiga kalau ada sesuatu dengan perusahaan ini. Karena angka-angka yang ditawarkan oleh perusahaan kakaknya hanya berselisih tipis di atas kompetitornya ini. Mereka seolah-olah telah mengintip terlebih dahulu, berapa harga-harga yang perusahaan kakaknya tawarkan. Baru perusahaan kompetitor ini menambahi sedikit angka di atasnya.
Untuk itulah, Pandan Wangi menyamar dengan menjadi OG di perusahaan ini. Ide menjadi seorang OG ini sebenarnya ia dapat dari Vanilla. Sahabatnya yang kini sedang bahagia-bahagianya menjadi seorang ibu baru. Menurut Vanilla, menjadi seorang OG adalah jalan pintas agar bisa mendekati semua jajaran di perusahaan tanpa kentara. Karena dari mulai staff kelas teri sampai kelas piranha, semua akan bersinggungan langsung dengannya tanpa ada yang curiga secara berlebihan. Ya, apa berbahayanya seorang OG bukan?
Dan sekarang di sini lah ia berada. Alih-alih bekerja sebagai seorang designer dengan dengan gaun-gaun glamournya, ia malah terdampar di pantry dengan penampilan standar seorang OG. Berkemeja putih polos dan rok hitam kaku sederhana.
"Eh anak baru, lo kalo kerja yang bener dong? Dari tadi gue lihat lo cuma ngaduk-ngaduk kopi doang. Cepetan anterin semua minuman ke meja masing-masing staff. Setelah itu, lo buatin lagi segelas kopi untuk anak Pak Darwis yang baru mulai ngantor hari ini. Ruangannya yang biasa dipake Pak Darwis ya? Awas jangan salah!" Pandan nyaris menjatuhkan gelas segelas kopi. Ia kaget karena diomeli tiba-tiba Mbak Nanik. Salah seorang OG senior di kantor ini. Pandan mengelus dada. Memang nasib anak baru di mana-mana sama saja apapun tingkat jabatannya. Baik itu seorang manager atau OG sekalipun, kalau masih new comer pasti akan ditindas habis-habisan.
Sabar, Ndan. Ini kan demi misi perusahaan. In hale exhale, sabarrr...
Pandan mulai menyusun minuman di atas baki besar dengan cermat. Enam gelas di sisi kanan, dan enam gelas lainnya di sisi kiri agar seimbang. Ia kemudian mengangkat ke dua belas gelas itu dan mulai bergerak membagikan minuman. Terdengar suitan nakal dan gombalan dari para karyawan saat ia melintasi meja-meja mereka. Pandan hanya membalas dengan seulas senyum sopan. Laki-laki di mana-mana sama saja. Melihat kening yang mulus sedikit, pasti sudah sibuk menggoda.
Beberapa staff wanita memperlihatkan ekspresi tidak suka melihat kehadirannya. Pandan tahu, mereka merasa kalah saing dengan dirinya yang hanya seorang OG. Tapi Pandan menanggapinya dengan biasa-biasa saja. Ia tidak mau memusingkan hal-hal yang tidak penting untuk di pikirkan. Buang-buang tenaga saja. Haters gonna hate 'kan kata Mbak Taylor Swift?
Pandan menyisakan satu gelas kopi di baki dan bergegas ke ruangan yang bertuliskan Presiden Direktur. Ia mengetuk beberapa kali, tetapi tidak mendapatkan jawaban. Karena pekerjaannya masih banyak, ia bermaksud meletakkan kopinya di meja anak Pak Darwis saja. Dengan begitu urusannya selesai. Pandan mendorong pintu dengan siku kanan, karena tangan kirinya sedang memegang baki minuman.
Pandan terpaku saat masuk ke dalam ruangan. Ia dihadiahi konten 17 tahun ke atas secara live. Pandan hanya mematung saat melihat seorang pria berpakaian formal sedang berciuman ala french kiss dengan seorang wanita muda yang pakaiannya sudah acak kadul tidak karuan. Kedua orang ini sama-sama tidak dikenali oleh Pandan. Tetapi pemuda yang sedang sibuk bertukar saliva dengan wanita yang duduk di atas pangkuannya itu, wajahnya sebelas dua belas dengan Pak Darwis. Pasti pemuda inilah anak Pak Darwis yang akan menggantikan posisi ayahnya mulai hari ini. Kinerja hari pertama yang luar biasa bukan? Karena kedua orang di depannya ini tidak jua menyadari kehadirannya, Pandan berinisiatif untuk membuat clue. Ia berdehem kecil. Berhasil, kedua kepala di hadapannya ini sontak berpisah.
"Apakah kamu tidak diajarkan sopan-santun oleh orang tuamu tentang adab mengetuk pintu? Anda ini sungguh tidak sopan!" Menyadari kehadirannya, anak Pak Darwis segera menurunkan si wanita dari pangkuannya. Si wanita buru-buru membetulkan penampilannya. Sepertinya si wanita malu karena kepergok sedang melakukan adegan yang tidak senonoh. Di kantor lagi. Pandan mengernyitkan kening kala memperhatikan wanita ini lebih dekat. Astaga! Wanita ini adalah istri dari seorang pengusaha ternama yang baru saja menikah beberapa bulan lalu. Pantas saja wanita ini terkejut. Takut skandalnya terbongkar rupanya. Cuih!
"Kedua orang tua mengajari saya dengan amat sangat baik, Pak. Makanya sebelum masuk tadi, saya telah mengetuk pintu berulang-ulang kali. Karena tidak mendapat jawaban barulah saya membukanya. Bapak mungkin tidak mendengar karena saat itu Bapak sedang sibuk." Sahut Pandan sopan namun dingin.
"Kalau tidak mendapat jawaban, kenapa kamu malah masuk saja. Bukankah kamu tahu kalau ini kantor, heh?" Bentak anak Pak Darwis lagi. Kesabaran Pandan mulai menguap.
"Justru karena ini kantor lah makanya saya berani masuk. Lagi pula saat itu pintu ruangan ini memang sudah sedikit terbuka. Makanya saya berani masuk. Mengenai apa yang sedang berlangsung di dalam ruangan yang Bapak sebutkan sebagai kantor tadi, itu semua di luar pemikiran saya. Karena setahu saya kantor adalah tempat untuk bekerja," tukas Pandan pura-pura polos. Tetapi ia tau kalau anak Pak Darwis ini menangkap sindirannya. Tak kala ia melihat anak Pak Darwis murka, Pandan buru-buru meralat ucapannya. Bagaimana pun ia masih dalam keadaan menjalankan misi. Jadi ia tidak boleh sampai dipecat.
"Tapi kalau menurut Bapak saya bersalah, saya minta maaf. Saya berjanji lain kali saya tidak akan mengulangi perbuatan saya lagi. Permisi."
Pandan meletakkan segelas kopi di atas meja. Membungkuk sopan dan segera berlalu dari ruangan anak Pak Darwis. Ia sadar, untuk ukuran seorang OG, ia sudah terlalu berani. Seharusnya tadi ia bisa sedikit menahan diri.
"Tunggu dulu! Kamu ini hanya seorang OG tapi sudah berani menyindir-nyindir saya. Kamu mau saya pecat?" bentakan anak Pak Darwis ini seketika menghentikan langkah Pandan. Begini ya rupanya menjadi orang kecil? Tidak ada sedikitpun keadilan yang mereka dapatkan. Salah sudah menjadi nama tengah mereka secara permanen.
Dari sudut mata, Pandan memindai si wanita yang serba salah tadi menghampiri anak Pak Darwis sembari berbisik pelan. Anak Pak Darwis mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Si wanita kemudian bergegas pergi seolah-olah tidak melihat Pandan dan tidak ada kejadian apa-apa. Luar biasa!
"Tidak masalah kalau Bapak mau memecat saya? Tetapi maaf, Bapak harus bisa membuktikan kalau saya memang melakukan kesalahan fatal sehingga saya layak untuk dipecat." Jawab Pandan sopan. Namun ada ketegasan dalam setiap suku katanya.
Anak Pak Darwis tiba-tiba saja berdiri dari kursi dan menghampirinya yang sedang berdiri di tengah-tengah ruangan.
"Anda masih berani menyahuti kata-kata saya?" Anak Pak Darwis sekarang menunjuk-nunjuk wajahnya dengan geram. Pandan diam saja. Tetapi benaknya terus berpikir. Ia harus menemukan senjata yang sekiranya yang bisa membungkam anak atasannya ini. Sampai satu clue masuk dalam benaknya.
"Saya bukannya menyahuti kata-kata, Bapak. Saya hanya bertanya apa kesalahan saya sampai saya harus dipecat? Maaf jika kata-kata saya membuat Bapak tersinggung. Sekali lagi, saya minta maaf." Pandan membungkukkan sedikit tubuhnya. Ia pura-pura mengalah demi untuk menaikkan ego anak atasannya. Ia sedang mempraktekkan ilmu tarik ulur yang kerap kali dipraktekkan ayahnya.
"Ingat Nak, kalau menghadapi lawan yang keras, jangan ikuti kekerasannya. Kita harus lentur dan menarik ulur. Tapi beri tekanan pada poin-poin penting yang harus diwaspadainya."
Inilah saatnya anak atasannya ini menyadari poin-poin yang harus ia waspadai.
"Oh ya, kalau tidak salah ibu tadi itu menantunya Pak Hendrawan bukan? Mudah-mudahan saja Pak Hendrawan tidak tahu kalau menantunya sering main ke sini ya, Pak?" Timpal Pandan kalem. Ancaman terselubungnya mulai ia eksekusi. Wajah anak Pak Darwin memucat mendengar kalimat ambigunya. Sepertinya atasannya ini baru sadar akan konsekuensi memiliki affair dengan istri orang.
Rasain lo! Hehehe.
"Kamu ini,"
Tok... tok... tok...
Kalimat anak Pak Darwis diinterupsi oleh ketukan pelan di pintu.
"Siapa?" Auman sang atasan membuat telinga Pandan berdenging. Anak atasannya ini pasti geram sekali karena terintimidasi oleh seorang OG.
"Saya Verina, Pak. Di depan ada teman lama Bapak yang ingin bertemu katanya." Pandan mendengar suara Mbak Rina, menjawab takut-takut. Mungkin Mbak Rina jiper karena mendengar bentakan atasan barunya, yang bahkan belum ia ketahui namanya ini.
"Oh Pak Denver Delacroix Bimantara kan? Suruh beliau masuk saja." Pandan yang mendengar nama Denver disebut beserta nama Delacroix Bimntara di belakangnya seketika gugup. Putra sulung Om Arkansas rupanya teman lama atasannya ini. Ai mak jang, alamat terbongkarlah samarannya ini. Pandan dengan cepat memasang masker. Sebisa mungkin ia menutupi wajahnya agar tidak dikenali. Misinya bisa gagal di tengah jalan kalau Denver sampai membuka penyamarannya sebelum waktunya.
Suara pintu yang dibuka dan ditutup kembali membuat Pandan berkeringat dingin. Ia bermaksud keluar ruangan dan menyelipkan tubuhnya di samping Mbak Verina.
"Mau kemana kamu OG? Urusan kita belum selesai. Buatkan segelas kopi lagi untuk tamu saya. Setelah urusan saya dengan teman saya selesai, baru kita akan menyelesaikan permasalahan kita. Mengerti kamu?" Pandan hanya menganggukkan kepalanya dan buru-buru ngacir ke pantry.
Masalah kita? Lo aja kali. Cuih!
"Selamat." Ucapnya lirih saat berhasil mencapai pantry tanpa dikenali oleh Denver.
"Selamat apa? Kamu cuma disuruh mengantarkan segelas kopi ke ruangan Pak Arsene, malah nyangkut lama di sana. Kamu berniat menggoda si Arsene ya?" celetukan Mbak Nanik membuat Pandan mengelus dada. Ia kaget melihat kemunculan tiba-tiba rekannya.
"Jangan mimpi kamu. Si Arsene itu pacarnya berganti setiap minggu. Kamu jangan kege-eran kalau dirayu-rayunya tadi. Dia itu tidak pernah serius dengan perempuan. Apalagi yang kelasnya jauh di bawahnya seperti kamu. Nanti habis manis sepah, dilepehin kamu. Mengerti?" tegur Mbak Nanik lagi. Pandan buru-buru mengangguk. Ia menyadari walaupun di ucapkan dengan kalimat yang sadis, tapi apa yang di katakan oleh Mbak Nanik itu benar adanya. Orang-orang seperti Pak Arsene, yang namanya baru saja ia ketahui dari Mbak Nanik ini, pasti merasa seperti Tuhan karena memiliki segalanya. Mereka suka mempermainkan perasaan orang sesuai dengan keinginan mereka. Orang-orang seperti ini sangat jarang mengenal kata cinta. Bagi mereka cinta itu adalah saat para wanita beramai-ramai berusaha meraih perhatian mereka. Mereka tidak tau saja bahwa yang dicintai oleh wanita-wanita itu bukan diri mereka pribadi , tapi uangnya. Mereka menganggap orang lain bodoh, padahal mereka sendiri juga bodoh. Kebodohan memang tidak mengenal status bukan?
"Kopi saya masih sama seperti dulu ya, OG yang namanya nyontek nama beras. Hitam pekat tanpa pemanis buatan. Jangan seperti waktu dulu. Kamu mencampurkan garam alih-alih gula." Sebuah suara bariton menyapa pendengarannya. Denver Delacroix Bimantara. Sepertinya Denver telah mengenalinya dan mengikuti hingga ke pantry ini. Kepalang basah, nyebur aja sekalian.
"Tenang saja Bapak yang namanya nyontek nama kota di Amerika sana. Saya tidak akan mencampurkan garam lagi ke dalam kopi, Bapak. Tapi saya hanya akan meneteskan sedikit saliva saya di dalam kopi Bapak, agak Bapak menjadi sedikit penurut pada saya." Sahut pandan kalem. Kadung ketahuan, mau bagaimana lagi?
"Ah, kalau begitu saya ingin mencicipi saliva kamu langsung dari sumbernya saja." Pandan membelalakkan matanya saat Denver memajukan tubuhnya dan semakin mendekati dirinya. Denver ini dari dulu memang gila. Kalau ia sudah punya mau, apapun akan ia terabas. Sifatnya sebelas duabelas dengan ayahnya, Om Arkanas. Pandan mundur-mundur risih hingga punggungnya membentur bak pencuci piring. Namun Denver malah makin dekat dan terus mendekatinya. Tepat pada saat wajah Denver menunduk dan hanya berjarak beberap senti meter dari wajahnya, sebuah suara menginterupsi.
"Eh Den, lo ngapain mepet-mepetin OG gue begitu?" Pandan menarik nafas lega. Untuk pertama kalinya ia bersyukur saat melihat wajah anak atasan songongnya. Dengan cepat ia segera berkelit dan kembali meracik kopinya.
"Mata OG lo kelilipan makanya gue bantu niupin matanya. Ia kan OG? Eh nama kamu siapa?" Denver pura-pura bertanya. Aktingnya juara sekali.
"Nama saya Pandan Wangi, Pak." Jawab Pandan hati-hati. Ia tentu saja tidak menyertakan nama Aditama Perkasa di belakangnya.
"Apakah mata kamu sekarang sudah lebih baik? Kalau belum, apa perlu saya bantu untuk meniupnya sekali lagi?" Tanya Denver sambil tersenyum iblis. Manusia mesum akut satu ini memang menyebalkan!
"Mbak Nik, saya lihat ruang arsip sepertinya kok jarang sekali dibersihkan ya?" Pandan mulai menebar strategi. Saat ini ia dan Nanik sedang mencuci gelas-gelas kotor. Di jam pagi menjelang siang seperti ini, tugas mereka memang sedikit longgar. Para staff biasanya sudah fokus dengan pekerjaan masing-masing. Sehingga jarang sekali mereka minta diantarkan minuman."Karena semua tugas saya sudah selesai, apa boleh saya saja yang membersihkannya?" Pandan menghampiri Mbak Nanik yang terlihat sedang mengelap gelas-gelas yang baru saja mereka cuci."Gue heran ngeliat lo OG baru. Lo ini emang mental babu atau cuma belagak rajin karena pengen naik gaji? Yang mana yang bener?" Mbak Nanik meliriknya sekilas dengan tangan yang tetap cekatan mengelap gelas-gelas."Ya dua-duanya kali, Mbak. Hehehe. Saya memang suka bersih-bersih orangnya. Tapi kalau hal itu ternyata juga bisa membuat saya naik gaji kan alhamdullilah, Mbak." Pandan nye
"Lo pulang kerja bukannya ke rumah dulu, ini malah ke rumah gue. Nggak takut lo ntar diamuk sama Bang Utan?" Vanilla yang baru saja selesai menyusui putrinya, menepuk-nepuk lembut punggung sang bayi. Tidak lama kemudian terdengar suara sendawa dari mulut mungil si bayi yang lucu. Si bayi menggerutu sendiri, sebelum menguap lebar dan memejamkan matanya. Sepertinya bayi Vanilla ini mengantuk karena kekenyangan."Nggak masalah, La. Semua dalam keadaan aman dan terkendali. Gue udah buat laporan khusus ke Bang Utan. Gue bilang kalo lo lagi stress karena terkena sindrom baby blues. Jadi sebagai sahabat yang baik, gue akan selalu ada buat menghibur lo. Gue ini kan selalu main aman setiap mau berbohong. Lo nggak usah khawatir La?"Pandan gantian menepuk-nepuk punggung Vanilla dengan gaya menenangkan. Ia meniru dengan sempurna aksi Vanilla saat menepuk-nepuk punggung bayinya. Tindakannya ini dihadiahi dengusan oleh Vanilla. Pandan hanya t
Pandan baru saja tiba di rumah. Saat turun dari mobil, pandangannya tertuju pada mobil kakaknya yang tidak berpengemudi, tetapi mesin mobilnya dalam keadaan hidup di garasi. Berarti kakaknya akan keluar rumah sebentar lagi. Pandan melanjutkan langkah ke ruang tamu, dan nyaris ditabrak kakaknya yang terlihat sedang terburu-buru. Mau ke mana sih kakaknya ini?"Abang mau kemana sih? Buru-buru amat?" tanya Pandan penasaran. Pandan meneliti penampilan kakaknya yang rapi jali. Kakaknya juga menyandang tas kecil yang biasa ia bawa saat akan menemui client-clientnya."Abang dan Denver mau ke temu beberapa teman lama di club. Mereka selama ini tinggal di luar negeri. Ada beberapa orang dari mereka yang sedang mencari developer untuk membangun apartemen dan perumahan-perumahan exclusive. Abang sekalian mau menawarkan design-design terbaru kantor kita. Siapa tahu mereka tertarik dan mau menjalin kerjasama. Abang jalan dulu ya, Dek." Sahut Lautan terges
"Selamat pagi, Pak Arsene. Silahkan dinikmati kopinya. Permisi," setelah meletakkan secangkir kopi di meja atasannya, Pandan membungkuk sopan dan pamit kembali ke belakang."Mau ke mana kamu? Urusan kita yang kemarin belum selesai," sembur atasan barunya.Masalah sudah menghampiri pagi-pagi.Pandan menghentikan langkah. Menarik napas panjang dan menghitung satu sampai lima sebelum berbalik badan. Bersiapberkonfrotasi dengan atasan barunya."Ya, Pak. Saya siap mendengarkan," ucap Pandan sopan. Sebenarnya bukan sifatnya selalu mengalah saat ditindas dan dipersalahkan atas sesuatu yang bukan salahnya. Tetapi setelah ia pikir-pikir, sepertinya ia harus menerapkan ilmu tarik ulur. Ia boleh sesekali membantah, tetapi harus dengan cara yang sopan. Kalau ia terus melawan sebelum misinya selesai, kemungkinan besar dirinya bisa dipecat. Dan itu tentu saja akan membuat penyelidikan
Pandan terbangun di tengah malam karena mimpi buruk. Ia bermimpi kalau perusahaan mereka bangkrut dan kakaknya masuk penjara. Masih begitu jelas terekam dalam benaknya, kakaknya berteriak-teriak histeris dan mengatakan kalau ia tidak bersalah sebelum beberapa orang polisi meringkusnya. Pandan terduduk tegak di atas tempat tidur. Tubuh terus gemetar dengan keringat dingin yang bercucuran. Mimpi itu begitu nyata. Apalagi saat bagian kakaknya menoleh ke belakang sambil terus meneriakkan kata kalau ia tidak bersalah. Sementara ia berlari mengejar kakaknya. Meminta para polisi itu untuk membebaskan kakaknya. Ia seolah-olah sedang menonton dirinya sendiri di dalam mimpinya.Karena tidak bisa kembali tidur, Pandan turun dari ranjang. Ia bermaksud membuat segelas susu hangat di dapur. Biasanya kalau ia terbangun di tengah malam dan tidak bisa tidur lagi, segelas susu hangat akan membuatnya rileks. Saat akan mendekati dapur, Pandan menjerit kaget melihat ada bayang
Pagi yang rusuh. Pandan dan Mbak Nanik saling berpandang-pandangan saat mendengar suara-suara pertengkaran dari dalam ruangan Pak Arsene. Bentakan-bentakan Pak Arsene yang diiringi dengan tangisan dan juga makian Bu Intan mewarnai pagi di P.T Inti Graha Anugrah. Mbak Nanik mengatakan selama hampir delapan tahun ia bekerja di perusahaan ini, belun pernah ada kasus yang seheboh ini. Biasanya saat ada pemecatan terhadap salah seorang staff, semua prosedur pemecatannya di tangai oleh pihak HRD. Jadi kalau yang bersangkutan tidak puas atau tidak terima bila dipecat, maka urusannya hanya sampai di HRD. Tidak ada yang berani memprotes apalagi sampai memaki-maki seorang Direktur Utama. Bu Intan merupakan satu-satunya staff senior yang berani langsung protes pada pimpinan tertinggi di perusahaan ini."Anda anak bau kencur tidak tahu apa-apa, bisa-bisanya Anda memperlakukan saya seperti ini. Dasar tidak tahu berterima kasih! Kalau tidak ada saya, perusahaan ini sudah kola
"Jelaskan..."Denver melihat staff adminnya yang bernama Indah Pertiwi itu terus saja gemetaran walaupun ia sudah menggunakan nada paling rendah saat menginterogasinya. Duduknya tidak tenang dan kedua tangannya saling meremas satu sama lain. Tatapan matanya tidak fokus pada satu titik dan terus saja memandang kesegala arah kecuali padanya. Denver memberi isyarat pada detektif yang terlihat memegang sebuah amplop coklat. Denver tahu, isi amplop itu pasti hasil penyelidikan menyeluruh dari detektifnya. Setelah membacanya sebentar, is sudah tahu secara gadis besar semua permasalahannya. Ia kemudian memberi kode pada sang detektif untuk keluar. Ia ingin menguliti Indah Pertiwi ini sendirian selapis demi selapis. Sang detektif membuka pintu ruangan dan saat bayangan si detektif menghilang, barulah Indah bersuara."Sa--sa--ya bersalah. Saya minta ma--maaf." Jawab Indah terbata-bata."Bukan itu jawaban yang saya i
Denver melajukan mobil sekencang-kencangnya. Semakin lama pedal gas yang diinjaknya semakin dalam. Ia memerlukan pelampiasan! Sembari menyetir ia memegangi dada kanannya yang terasa sesak. Tidak bisa begini. Ia merasa kesulitan meraih udara. Paru-parunya seakan kolaps. Ia membutuhkan udara segar, atau ia akan mencelakakan dirinya sendiri di jalan raya.Ketika melewati jalan yang sedikit sepi, Denver menyalakan lampu tangan dan menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Dengan segera ia keluar dari mobil seraya menghembuskan napas kasar pendek-pendek dari mulutnya. Ia sudah menduga kalau memang Pandanlah biang keroknya. Toh ia juga telah melihat photo-photo mesra Pandan dengan para calon clientnya. Ia jelas-jelas telah tahu aksi-aksi tidak bermoral Pandan. Tetapi ketika melihat Pandan beraksi dengan mata dan kepalanya sendiri, beda rasanya. Sakitnya merasuk hingga ke tulang sumsumnya. Jujur ia sempat tidak ingin mempercayai penglihatannya. Menerima kenyataan yang ti
"Apa gue kata 'kan, Ndan? Laki mah kalo di luar aja kelihatan keren, macho, laki abis. Coba udah berhubungan dengan perasaan dan isi hati. Lemah coeg! Kayak puding kelebihan air. Ambyar," ejek Vanilla semangat. Ia terus menyindir-nyindir Denver sekaligus menyentil Altan, suaminya sendiri. Bukan apa-apa, rasanya bahagia dan puas sekali bisa menyinyiri dua bapak-bapak muda yang biasanya galak dan macho abis ini. Ia jadi kepingin goyang dumang saat melihat dua laki-laki gahar itu hanya cengar cengir salah tingkah mendengar sindirannya."Udah dong, Sayang. Jangan terus diobok-obok ah kelemahan Abang. Abang 'kan lemahnya sama kamu saja. Itu artinya, Abang cinta banget sama kamu. Iya 'kan, Sayang?" Altan mencoba merayu istri jahilnya agar tidak semakin membuatnya kehilangan muka. Tetapi jujur, ia bahagia juga karena Denver yang gahar pun ternyata sama lemahnya seperti dirinya. Kalau menyangkut orang yang ia sayang, segahar apapun seorang laki-laki akan tetap saj
Pandan terbangun di tengah malam saat merasakan perutnya menegang. Perlahan ia mengelus-elus perut buncitnya. Berharap rasa tegangnya bisa sedikit berkurang. Ia melirik ke sisi kanan ranjang. Denver, suami machonya tengah tertidur pulas. Garis-garis kelelahan tampak membayangi raut wajahnya. Tidak heran Denver kalau suaminya ini sekarang tepar. Tadi pagi baru tiba dari luar kota, ia harus kembali meeting marathon dengan para investor di kantor. Tidak heran kalau saat ini suaminya itu tidur seperti orang mati. Suaminya lelah jiwa raga.Pandan meringis saat merasakan nyeri di perutnya. Sebenarnya sudah sejak tadi pagi, ia merasa kalau tubuhnya tidak nyaman. Perutnya sering terasa tegang tiba-tiba namun hilang juga dengan sendirinya. Menurut buku-buku yang ia baca, mungkin ia tengah mengalami braxton hicks atau kontraksi palsu. Karena rasa kramnya ituhanya terasa di daerah perut atau panggul. Selain itu frekuensi dan pola kontraksinya juga acak dan ti
Pandan dan Denver tersenyum sumringah. Hari ini adalah hari yang paling mereka tunggu-tunggu. Yaitu resepsi pernikahan mereka. Sebenarnya bukan meriahnya acara yang membuat mereka bahagia. Tetapi makna yang tersirat di dalamnya. Resepsi ini adalah seperti pemberitahuan resmi pada khalayak ramai bahwa mereka berdua telah sah menjadi sepasang suami istri. Walaupun sebelumnya mereka berdua telah menikah dan sah secara hukum dan agama, tetapi tidak semua orang mengetahuinya bukan? Bagi orang yang tidak mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, bisa saja kebersamaan mereka dianggap zinah. Oleh karena itulah maka resepsi pernikahan diperlukan.Saat ini ia dan Denver tengah menjadi ratu dan raja sehari. Mereka berdua duduk di pelaminan dan memandangi para tamu yang datang dan pergi silih berganti. Di samping kanan mereka terdapat satu pelaminan lagi. Di sana Tyza dan Elrama lah yang menjadi ratu dan rajanya. Resepsi pernikahannya memang digelar secara bersamaan
Satu setengah jam sebelumnya.Denver merasa ada sesuatu yang tidak beres saat ia tidak bisa menghubungi ponsel Pandan. Ia kemudian menghubungi ponsel ibunya untuk mengetahui keadaan Pandan di rumah. Saat itulah perasaannya menjadi semakin tidak enak. Ibu dan ART-nya sedang berbelanja bulanan di supermaket rupanya. Itu artinya istrinya hanya sendirian saja di rumah. Ia mencoba menghubungi Pak Mul. Hatinya semakin was-was karena untuk pertama kalinya ponsel SATPAM yang menjaga rumahnya itu dalam keadaan tidak aktif. Pasti telah terjadi sesuatu, batinnya. Tanpa membuang waktu, ia meninggalkan kantor dan mengebut pulang ke rumah. Di sepanjang jalan, degup jantungnya semakin tidak berarturan. Ia sangat takut kalau terjadi sesuatu pada istrinya. Apalagi istrinya saat ini tengah berbadan dua.Mendekati pagar rumahnya ia tahu pasti telah terjadi sesuatu. Pintu gerbang rumahnya terbuka lebar sementara sosok Pak Mul tidak terlihat di pos jaga se
Vanilla menarik napas lega saat putrinya akhirnya tertidur juga. Ini adalah kesempatan emas baginya untuk ikut tidur juga barang sejenak. Semenjak mempunyai bayi yang usianya masih dalam hitungan bulan, jadwal tidurnya menjadi berantakan. Ia sudah mirip dengan kelelawar sekarang. Kalau malam ia melek sambil momong anaknya yang tidak mau tidur. Dan kalau pagi seperti ini barulah ia tidur. Sekarang baginya pagi itu adalah malam, dan malam itu adalah pagi. Untung saja matahari dan rembulan tidak ikutan ganti shift seperti dirinya. Coba ikut ganti jadwal juga, bakalan seperti hidup di negeri Thanos lah kita semua.Baru saja ia ingin merebahkan tubuh lelahnya, sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Pandan Wangi, rupanya. Sudah lama sekali sahabatnya ini tidak menghubunginya. Semenjak ia mempunyai bayi, Pandan memang sudah jarang sekali mengajaknya hang out bersama. Ribet katanya. Ya jelaslah, dugem sambil momong bayi itu tidak mudah bambank. Riweuh. Lagian kesia
Denver melambaikan tangan pada Pandan setelah terlebih dahulu memberi kecupan jarak jauh pada istrinya. Seolah-olah kecupan sayang yang baru saja dicercahkannya di kening istrinya tadi, masih belum memuaskannya. Setelah itu baru lah ia masuk ke dalam mobil dan meninggalkan istrinya untuk bekerja. Setiap pagi agendanya memang seperti ini. Pandan akan menemaninya sarapan pagi, mengiringi langkahnya sampai ke teras depan, dan melambaikan tangannya sampai bayangannya tidak tampak lagi. Ritual paginya sungguh membahagiakan.Tapi khusus hari ini ia akan sedikit terlambat untuk pergi ke kantor. Ia akan mengunjungi Irma terlebih dahulu di Rumah Tahana. Ia memang sudah merencanakan hal ini dari minggu lalu. Sebelum Irma dinyatakan bersalah dan resmi menjadi seorang narapidana, ia ingin berbicara dengannya dari hati ke hati terlebih dahulu. Bagaimanapun dulu Irma adalah temannya. Lebih tepatnya teman yang selalu ia lindungi dari masalah perudungan di sekolahnya. Ia ingin
Ziva membeku. Ia sejenak seperti merasa merasa kehilangan orientasi. Ini pendengarannya yang salah atau memang Lautan yang jadi error karena dibodohi Irma bin Puput ya? Bagaimana ia tidak bingung coba, Lautan yang biasanya dingin-dingin coolkas masa mendadak romantis ala ala anak santri begini? Jangan-jangan ada yang tidak beres dalam struktur otaknya."Bang Utan sadar nih ngomong ginian sama Ziva? Inget ya Bang, apa yang sudah diucapkan tidak boleh ditarik lagi kayak petugas BPOM narik makanan kadaluarsa di supermaket. Jangan karena Abang lagi galau makanya Abang jadi iseng gombalin Ziva." Ziva mencebikkan bibirnya. Pura-pura kesal. Padahal dalam hati dia ingin goyang dombret sambil salto-salto di udara saking senangnya. Bayangkan, ia mendapat balasan gombalan syariah dari pria pujaan hatinya."Kamu lihat Abang sedang pingsan tidak?" tanya Lautan. Ziva menggelengkan kepalanya. Ya emang kagak pingsanlah. Kalau pingsan mah orangnya reba
Denver membuka pintu kamar perlahan dan menutupnya kembali dengan hati-hati. Berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Ia tidak ingin Pandan ikut terbangun. Setelah pintu tertutup rapat, ia melanjutkan langkahnya menuju ke taman belakang. Ia memang sengaja mencari tempat yang tenang dan kondusif untuk menelepon Lautan. Mengajak bicara dari hati ke hati. Bagaimanapun pembicaraan mereka ini sangat sensitif. Kalau ia tidak hati-hati, bisa-bisa Lautan salah paham dan menganggapnya memfitnah calon istrinya.Sebenarnya Lautan itu sudah berniat untuk menikah dengan Puput tahun ini juga. Hanya saja Lautan belum memberitahukan niatnya pada keluarganya. Ia ingin membuat kejutan katanya. Keinginan Lautan ini hanya ia seorang yang mengetahuinya. Karena Lautan memintanya untuk merahasiakannya dulu. Makanya saat ini ia begitu resah. Membongkar semua kedok Puput pada Lautan yang tengah sayang-sayangnya, ibarat makan buah simalakana. Ia tidak tega membayangkan betapa kecew
"Terus hubungan Radit sama Irma ini apaan? Kok kesannya si Radit ini ngelindungin si Irma banget? Bukannya saya suuzon sama orang ya, Bang. Tapi Radit itu biasanya nggak pernah mau berteman dengan orang yang maaf, nggak selevel dengannya. Setahu saya sih begitu, Bang," ucap Pandan hati-hati. Bukan apa-apa, Denver ini agak sensitif kalau nama Radit dibawa-bawa. Denver tidak langsung menjawab. Ia malah melipat kedua tangannya ke dada. Bersedekap sambil menyipitkan matanya. Hadeh bau-baunya bakalan disindir-sindir lagi nih."Kenapa kamu ingin tahu sekali mengenai hubungan Radit dan Irma?" ujar Denver kesal.Nah kan, kejadian juga apa yang baru saja ia pikirkan. Kudu pake strategi, puji, angkat, dan umbang-umbang lagi ini sepertinya."Ck, ya karena saya ingin mengungkap kasus sabotase dan teror meneror ini lah, Abangku sayang," rayu Pandan mesra. "Udahan dong Bang, curiga-curigaannya. Kan sudah saya bilang,