"Mbak Nik, saya lihat ruang arsip sepertinya kok jarang sekali dibersihkan ya?" Pandan mulai menebar strategi. Saat ini ia dan Nanik sedang mencuci gelas-gelas kotor. Di jam pagi menjelang siang seperti ini, tugas mereka memang sedikit longgar. Para staff biasanya sudah fokus dengan pekerjaan masing-masing. Sehingga jarang sekali mereka minta diantarkan minuman.
"Karena semua tugas saya sudah selesai, apa boleh saya saja yang membersihkannya?" Pandan menghampiri Mbak Nanik yang terlihat sedang mengelap gelas-gelas yang baru saja mereka cuci.
"Gue heran ngeliat lo OG baru. Lo ini emang mental babu atau cuma belagak rajin karena pengen naik gaji? Yang mana yang bener?" Mbak Nanik meliriknya sekilas dengan tangan yang tetap cekatan mengelap gelas-gelas.
"Ya dua-duanya kali, Mbak. Hehehe. Saya memang suka bersih-bersih orangnya. Tapi kalau hal itu ternyata juga bisa membuat saya naik gaji kan alhamdullilah, Mbak." Pandan nyengir. Pura-pura malu karena niatnya ketahuan.
"Nah kan bener dugaan gue. Gue ini emang paling jago kalo disuruh membaca isi hati orang," imbuh Mbak Nanik dengan jumawa.
Bingo! Kena juga Mbak Nanik dalam jebakannya. Ia memang sengaja mengangkat-angkat Mbak Nanik agar ia bisa semakin dekat dengannya. Kalau ia bisa meraih kepercayaan OG senior ini, maka misinya akan lebih mudah untuk dijalankan. Sambil menyelam minum Xing Fu Tang. Dingin-dingin seger, ya kan?
"Mbak Nanik kayak Roy Kiyoshi deh? Bisa aja membaca isi hati orang. Coba kalo Mbak diberi kesempatan yang sama kayak si Roy. Pasti Mbak bakalan terkenal juga." Rayu Pandan lagi.
"Lebay lo ah!" Omel Mbak Nanik seraya memutar bola matanya.
"Ini gelas-gelasnya mau dikeringkan ya? Biar saya bantuin ya Mbak, dari pada saya nganggur?" Pandan ikut meraih sebuah gelas dan mengelapnya hingga kering. Ia mendengar Mbak Nanik menghela napas panjang.
"Lo kalo mau minta naik gaji yang harus lo baik-baikin itu pemilik perusahaan ini. Bukan gue. Karena sebaik dan serajin apa pun lo sama gue, gue nggak bakalan bisa naikin gaji lo. Karena lo dan gue itu sama-sama kacung kampret di sini. Ngerti lo."
Nah kan, roman-romannya Mbak Nanik mulai sedikit menaruh simpati padanya.
"Oh, jadi saya harus baik-baikin Pak Arsene ya Mbak biar bisa naik gaji?" Tanya Pandan berlagak pilon. "Kalau begitu nanti saya coba deh baik-baikin Pak Arsene. Demi membayar uang kost yang sudah menunggak tiga bulan, apa pun asal saya lakukan asal halal." Pandan menarik napas berulang kali. Ia juga mencoba berimprovisasi dengan menambahkan ekspresi wajah sememelas mungkin. Aktingnya sebelas dua belaslah dengan sinetron-sinetron menantu yang tertindas di stasiun TV sebelah.
"Lo nunggak bayar uang kost?" Kali ini Mbak Nanik menghentikan kegiatannya. Semua gelas telah ia lap bersih dan disusun rapi dalam lemari. Ia sekarang berdiri berhadap-hadapan dengan Pandan. Pandan mengangguk. Kali ini ekspresinya ia usahakan semirip mungkin dengan anak kost di tanggal tua yang tidak diberi utangan mi instan di warung sebelah. Ngenes, coeg!
"Makanya kalo hidup ngekost itu lo harus hemat dan pinter-pinter mengatur keuangan. Ini bulan masih panjang tapi lo udah mikirin utang aja. Lo beneran lagi bokek?" Pandan mengangguk. "Coba gue liat dompet lo?" Mbak Nanik meminta barang bukti. Sepertinya ia belum yakin kalau Pandan memang semiskin itu. Pandan buru-buru mengeluarkan dompet lusuhnya dan memberikannya pada Mbak Nanik. Saat membuka dompetnya, gantian Mbak Nanik yang menghela napas panjang.
"Dompet lo ini belum merdeka rupanya," tukas Mbak Nanik prihatin.
"Belum merdeka? Maksudnya?" Mbak Nanik menggeleng-gelengkan kepalanya. Pandan bingung. Belum merdeka bagaimana maksudnya?
"Lah isi dompet cuma gambar Ibu Tjut Meutia doang. Itu kan artinya lo masih dalam masa perjuangan? Kalo isinya gambar Pak Soekarno dan Pak Hatta, itu baru bisa disebut dompet lo udah merdeka. Kalo masih gambar ginian, artinya lo juga kudu ikut berjuang. Jangan boros-boros jadi orang."
Mbak Nanik mengembalikan dompet lusuh Pandan dengan isi yang juga sama memprihatikannya. Pandan nyengir lagi. Kata-kata Mbak Nanik membuatnya geli. Si Mbak galak ini konyol juga ternyata.
"Gue sekarang mau ngebersihin ruangan arsip. Lo mau ikut kagak? Ruangan arsip itu nggak boleh dimasukin sembarang orang karena sifatnya rahasia. Makanya dibersihinnya cuma seminggu dua kali. Tapi kalo sama gue, lo bisa ikutan. Mau kagak?"
"Wah hanya Mbak Nanik yang boleh. Berarti Mbak Nanik ini orang kepercayaannya Pak Darwis dong ya? Hebat euy!" puji Pandan dengan air muka yang dibuat setakjub mungkin. Mendengar pujiannya, Pandan nyaris bisa melihat lubang hidung Mbak Nanik kembang kempis karena bangga.
"Ya iyalah. Gue kan udah hampir lima belas tahun kerja di sini. Lo mau ikutan nggak?"
Pucuk di cinta ulam pun tiba. Asa ditonjok congcot, euy. Memang inilah tujuan utamanya menjadi OG di kantor ini. Menyelidiki arsip-arsip perusahaan.
"Nggak usah deh, Mbak. Ntar kalo ada apa-apa, Mbak Nanik lagi yang disalahin." Sahut Pandan pura-pura enggan. Padahal dalam hati ia kegirangan. Kesempatan udah ada di depan mata, coeg! Tinggal diemplok aja. Tapi ia harus kelihatan enggan-enggan gimana dulu gitu. Biar Mbak Nanik makin percaya akan makaud baiknya. Aktingnya harus lulus sertifikasi dong. Hehehe.
"Udah nggak apa-apa. Asal jangan kena air aja itu arsip-arsip. Pasti akan aman-aman aja. Ntar habis ini gue pinjemin duit gue dulu buat lo bayar kost-an. Tapi setelah itu inget, iket pinggang lo kenceng-kenceng. Hidup hemat." Mbak Nanik ini judes-judes ternyata hatinya baik juga.
"Ah siyap." Pandan menjawab jenaka seraya mengacungkan kedua jempolnya. Aktingnya benar-benar sebelas dua belas dengan Dian Sastro rupanya.
Misi pertama untuk mendekatkan diri dengan Mbak Nanik sudah hampir bisa dikatakan berhasil. Tinggal beberapa misi lagi yang menunggu untuk ia selesaikan. Ia sudah tidak sabar untuk mengungkap siapa sebenarnya penghianat yang menyebabkan perusahaan keluarganya merugi. Oke, just wait and see.
==================================
"Sebenarnya arsip-arsip tua yang di sebelah sini itu udah nggak begitu penting lagi. Tapi ya mungkin karena nilai sejarahnya, makanya Pak Darwis selalu meminta gue untuk membersihkannya. Menyusunnya dengan rapi sesuai dengan tanggalnya. Lo bersihin yang teliti. Inget, jangan sampai kena air ya? Ntar lembab dan jamuran jadinya."
Pandan mengangguk patuh seraya memperhatikan setiap detail ruang arsip ini dengan seksama. Ruang arsip-arsip lama dan arsip-arsip baru walaupun berada dalam ruangan yang sama, tapi dipisahkan oleh sebuah pintu penghubung. Perbedaan sirkulasi udaranya pun sangat berbeda. Di ruangan arsip lama udaranya lembab dan berdebu karena agak jarang dibersihkan. Sementata ruangan arsip baru udaranya bersih dan segar. Mungkin karena adanya exhausted fan juga di sana. Mbak Nanik membuka pintu penghubung dan membawanya pada sekat arsip-arsip baru.
"Nah, kalau bagian ini semua adalah arsip-arsip baru tahun ini. Pak Darwis melarang keras orang-orang yang tidak berkepentingan untuk menyentuh arsip-arsip ini. Selain gue yang emang petugas kebersihan, hanya Bu Intan, sekretaris Pak Darwis yang mempunyai akses keluar masuk ruangan ini. Gue bersihin yang bagian arsip-arsip baru ini dan lo bersihin arsip-arsip lama. Tapi pintu penghubungnya biarin aja terbuka. Jadi lo nggak sesek napas karena banyak debu-debu di sana." Mbak Nanik menarik tali exhausted fan untuk menyaring sirkulasi udara dalam ruangan.
"Setelah Pak Darwis pensiun, Bu Intan kabarnya juga mau digeser kedudukannya ya, Mbak? Saya taunya sih dari pembicaraan staff-staff sewaktu nganterin minuman tadi. Bukannya saya bermaksud kepo lo." Pandan berusaha mengakrabkan diri dengan Mbak Nanik agar ia bisa lebih mudah untuk mendapatkan info-info terkini di kantor.
"Kayaknya sih. Ya secara Arsene itu kan playboy abis. Mana betah dia kalo kemana-mana ngajak Bu Intan yang umurnya udah tiga puluhan? Pasti dia bakalan nyari yang lebih muda plus seksi supaya bisa dia pake juga. Yah udah jadi rahasia umum sih kalo rata-rata kaum executive muda pada begitu kelakuannya. Ya walaupun nggak semua juga. Tapi nggak semuanya itu juga dikit bangetlah persentasinya. Namanya juga laki. Kalau nggak buaya ya anjin*."
Pandan yang sedang mengelap beberapa arsip melirik Mbak Nanik yang kayaknya dendem banget ngomongin soal laki-laki. Ia tahu sampai diusianya yang sepertinya sudah mencapai angka empat puluhan ini Mbak Nanik masih belum juga menikah. Padahal wajahnya manis juga. Khas indonesiawi banget.
"Mbak kayaknya dendam banget sama laki-laki. Pernah dikecewain ya, Mbak? Eh maaf, jadi kepo saya. Hehehe." Dengan dibukanya pintu penghubung, mereka masih bisa bercakap-cakap walaupun membersihkan bagian yang berbeda.
"Bukannya dendem. Tapi gue udah nggak percaya sama yang namanya laki-laki. Gue udah pernah ditinggalin, dibodohin, dicurangin, dan cuma dianggap kayak tempat sampah untuk buang suntuk. Gue juga pernah diajak balikan kemudian ditinggalin lagi setelah laki-laki yang katanya mencintai gue itu nemu cewek yang lebih muda dan kaya. Jadi gue ilfeel sekarang kalo ngomongin soal laki-laki. Makanya gue milih untuk hidup sendiri aja dari pada sakit hati lagi."
Dari getirnya suara Mbak Nanik, Pandan bisa merasakan betapa Mbak Nanik sudah kehilangan kepercayaan pada laki-laki. Ia tidak bisa menyalahkan Mbak Nanik. Setiap orang mempunyai kisah dan masa lalu sendiri-sendiri. Kita tidak bisa menghakimi seseorang karena perjalanan hidup yang mereka lalui tentu saja berbeda.
Dalam diam mereka berdua bekerja dengan cekatan. Pandan berkali-kali melirik kearah arsip-arsip baru dengan rasa penasaran yang begitu besar. Hanya saja, ia tahu bahwa ia harus bersabar. Ia harus bisa berteman dan mendapat kepercayaan terlebih dahulu dari Mbak Nanik baru ia bisa bergerak. Untuk saat ini progressnya dalam mendekati Mbak Nanik dalam seminggu ini sudah lumayan ada kemajuan. Tinggal sedikit lagi mudah-mudahan semua rahasia bisa diungkap.
Setelah pekerjaannya di ruang arsip selesai, Pandan kembali ke pantry untuk membersihkan diri dari debu-debu ruangan arsip sementara Mbak Nanik dipanggil oleh salah seorang staff untuk memphotocopy beberapa berkas. Pandan menggulung lengan kemejanya hingga sebatas siku. Memutar keran wastafel dan membasuh kedua lengannya di sana.
Karena cuaca yang cukup panas, Pandan yang kegerahan mengangkat ke atas semua rambut panjangnya. Kemudian menggelungnya menjadi satu bagian dipuncak kepalanya. Barulah ia merasa sedikit sejuk dan lega. Saking asyiknya mencuci tangan, Pandan sampai tidak menyadari kalau ada sesosok tubuh yang mendekat.
"Apa sebenarnya niat kamu menyamar sebagai OG begini? Apa Lautan tau kalau kamu sedang bergerilya di sini, hmmm?" kaget Pandan mematikan keran dan melirik ke sumber suara.
Denver tampak berdiri di ambang pintu pantry sambil bersedekap. Memperhatikannya mencuci tangan. Ini manusia sebiji selalu muncul secara tiba-tiba.
"Saya sedang ada misi penting di sini, Bang Denver. Tolong jangan buka dulu penyamaran saya sebelum misi saya completed. Saya mohon, Bang Denver." Pandan memutuskan untuk sedikit menjilat Denver dengan panggilan masa kanak-kanak mereka. Pandan berharap semoga Denver bersedia menutupi penyamarannya minimal sampai misinya selesai. Mudah-mudahan saja si brengsek ini bersedia untuk tutup mulut.
"Boleh saja. Asal kamu cium dulu saya sekali." Jawab Denver kalem.
Nah kan, mesumnya manusia ini memang tidak berubah dari dulu.
"Kenapa? Apa pacar-pacar Abang pada demo dan mogok bermesraan dengan Abang, makanya Abang berharap sekecup ciuman dari saya?" tantang Pandan sinis.
"Tidak. Mereka malah berlomba-lomba ingin memuaskan saya dengan berbagai gaya dan cara. Tidak ada relevansi antara pacar-pacar saja dengan permintaan saya pada kamu. So, kamu ingin misi kamu aman, atau...?" Denver dengan sengaja menggantung kalimatnya. Pandan tahu kalau si Denver ini sebenarnya sedang mengancamnya dengan cara yang halus. Pandan sampai kepengen mengunyah baki saking kesalnya. Tetapi tak urung ia memghampiri Denver dan mengecup juga sekilas pipi kanannya. Si mesum akut ini memang tukang cari kesempatan. Apa boleh buat. Demi misi memancing maling keluar dari sarangnya, terpaksalah ia sedikit berkorban. Anggap saja lagi mencium kucing garong. Masalah selesai. Titik.
"Terima kasih. Saya terima DPnya ya? Nanti pelunasannya saya tunggu di hari-hari berikutnya?" Denver mengedipkan sebelah matanya seraya berjalan kembali menuju ke ruangan atasannya. Dalam posisinya yang sekarang memunggungi Pandan, Dexter tersenyum. Akhirnya kesampaian juga ia memodusi anak Om Revan. Menurut ayahnya, Om Revan dulu sangat suka memodusi ibunya sehingga ayahnya sering naik darah dibuatnya. Sekarang gantian. Ia yang akan sering- sering memodusi anak gadis Om Revan ini. Lihat saja nanti tanggal mainnya. Hehehe.
"Dalam mimpi Abang saja." Pandan berdecih seraya kembali berjalan ke pantry. Sepertinya hari-harinya akan semakin suram karena misinya telah di ketahui Denver. Si Brengsek itu telah mengantongi kartu Asnya. Pandan bingung. Mulai hari ini hidupnya pasti akan sengsara di bawah tekanan manusia gila satu ini.
"Lo pulang kerja bukannya ke rumah dulu, ini malah ke rumah gue. Nggak takut lo ntar diamuk sama Bang Utan?" Vanilla yang baru saja selesai menyusui putrinya, menepuk-nepuk lembut punggung sang bayi. Tidak lama kemudian terdengar suara sendawa dari mulut mungil si bayi yang lucu. Si bayi menggerutu sendiri, sebelum menguap lebar dan memejamkan matanya. Sepertinya bayi Vanilla ini mengantuk karena kekenyangan."Nggak masalah, La. Semua dalam keadaan aman dan terkendali. Gue udah buat laporan khusus ke Bang Utan. Gue bilang kalo lo lagi stress karena terkena sindrom baby blues. Jadi sebagai sahabat yang baik, gue akan selalu ada buat menghibur lo. Gue ini kan selalu main aman setiap mau berbohong. Lo nggak usah khawatir La?"Pandan gantian menepuk-nepuk punggung Vanilla dengan gaya menenangkan. Ia meniru dengan sempurna aksi Vanilla saat menepuk-nepuk punggung bayinya. Tindakannya ini dihadiahi dengusan oleh Vanilla. Pandan hanya t
Pandan baru saja tiba di rumah. Saat turun dari mobil, pandangannya tertuju pada mobil kakaknya yang tidak berpengemudi, tetapi mesin mobilnya dalam keadaan hidup di garasi. Berarti kakaknya akan keluar rumah sebentar lagi. Pandan melanjutkan langkah ke ruang tamu, dan nyaris ditabrak kakaknya yang terlihat sedang terburu-buru. Mau ke mana sih kakaknya ini?"Abang mau kemana sih? Buru-buru amat?" tanya Pandan penasaran. Pandan meneliti penampilan kakaknya yang rapi jali. Kakaknya juga menyandang tas kecil yang biasa ia bawa saat akan menemui client-clientnya."Abang dan Denver mau ke temu beberapa teman lama di club. Mereka selama ini tinggal di luar negeri. Ada beberapa orang dari mereka yang sedang mencari developer untuk membangun apartemen dan perumahan-perumahan exclusive. Abang sekalian mau menawarkan design-design terbaru kantor kita. Siapa tahu mereka tertarik dan mau menjalin kerjasama. Abang jalan dulu ya, Dek." Sahut Lautan terges
"Selamat pagi, Pak Arsene. Silahkan dinikmati kopinya. Permisi," setelah meletakkan secangkir kopi di meja atasannya, Pandan membungkuk sopan dan pamit kembali ke belakang."Mau ke mana kamu? Urusan kita yang kemarin belum selesai," sembur atasan barunya.Masalah sudah menghampiri pagi-pagi.Pandan menghentikan langkah. Menarik napas panjang dan menghitung satu sampai lima sebelum berbalik badan. Bersiapberkonfrotasi dengan atasan barunya."Ya, Pak. Saya siap mendengarkan," ucap Pandan sopan. Sebenarnya bukan sifatnya selalu mengalah saat ditindas dan dipersalahkan atas sesuatu yang bukan salahnya. Tetapi setelah ia pikir-pikir, sepertinya ia harus menerapkan ilmu tarik ulur. Ia boleh sesekali membantah, tetapi harus dengan cara yang sopan. Kalau ia terus melawan sebelum misinya selesai, kemungkinan besar dirinya bisa dipecat. Dan itu tentu saja akan membuat penyelidikan
Pandan terbangun di tengah malam karena mimpi buruk. Ia bermimpi kalau perusahaan mereka bangkrut dan kakaknya masuk penjara. Masih begitu jelas terekam dalam benaknya, kakaknya berteriak-teriak histeris dan mengatakan kalau ia tidak bersalah sebelum beberapa orang polisi meringkusnya. Pandan terduduk tegak di atas tempat tidur. Tubuh terus gemetar dengan keringat dingin yang bercucuran. Mimpi itu begitu nyata. Apalagi saat bagian kakaknya menoleh ke belakang sambil terus meneriakkan kata kalau ia tidak bersalah. Sementara ia berlari mengejar kakaknya. Meminta para polisi itu untuk membebaskan kakaknya. Ia seolah-olah sedang menonton dirinya sendiri di dalam mimpinya.Karena tidak bisa kembali tidur, Pandan turun dari ranjang. Ia bermaksud membuat segelas susu hangat di dapur. Biasanya kalau ia terbangun di tengah malam dan tidak bisa tidur lagi, segelas susu hangat akan membuatnya rileks. Saat akan mendekati dapur, Pandan menjerit kaget melihat ada bayang
Pagi yang rusuh. Pandan dan Mbak Nanik saling berpandang-pandangan saat mendengar suara-suara pertengkaran dari dalam ruangan Pak Arsene. Bentakan-bentakan Pak Arsene yang diiringi dengan tangisan dan juga makian Bu Intan mewarnai pagi di P.T Inti Graha Anugrah. Mbak Nanik mengatakan selama hampir delapan tahun ia bekerja di perusahaan ini, belun pernah ada kasus yang seheboh ini. Biasanya saat ada pemecatan terhadap salah seorang staff, semua prosedur pemecatannya di tangai oleh pihak HRD. Jadi kalau yang bersangkutan tidak puas atau tidak terima bila dipecat, maka urusannya hanya sampai di HRD. Tidak ada yang berani memprotes apalagi sampai memaki-maki seorang Direktur Utama. Bu Intan merupakan satu-satunya staff senior yang berani langsung protes pada pimpinan tertinggi di perusahaan ini."Anda anak bau kencur tidak tahu apa-apa, bisa-bisanya Anda memperlakukan saya seperti ini. Dasar tidak tahu berterima kasih! Kalau tidak ada saya, perusahaan ini sudah kola
"Jelaskan..."Denver melihat staff adminnya yang bernama Indah Pertiwi itu terus saja gemetaran walaupun ia sudah menggunakan nada paling rendah saat menginterogasinya. Duduknya tidak tenang dan kedua tangannya saling meremas satu sama lain. Tatapan matanya tidak fokus pada satu titik dan terus saja memandang kesegala arah kecuali padanya. Denver memberi isyarat pada detektif yang terlihat memegang sebuah amplop coklat. Denver tahu, isi amplop itu pasti hasil penyelidikan menyeluruh dari detektifnya. Setelah membacanya sebentar, is sudah tahu secara gadis besar semua permasalahannya. Ia kemudian memberi kode pada sang detektif untuk keluar. Ia ingin menguliti Indah Pertiwi ini sendirian selapis demi selapis. Sang detektif membuka pintu ruangan dan saat bayangan si detektif menghilang, barulah Indah bersuara."Sa--sa--ya bersalah. Saya minta ma--maaf." Jawab Indah terbata-bata."Bukan itu jawaban yang saya i
Denver melajukan mobil sekencang-kencangnya. Semakin lama pedal gas yang diinjaknya semakin dalam. Ia memerlukan pelampiasan! Sembari menyetir ia memegangi dada kanannya yang terasa sesak. Tidak bisa begini. Ia merasa kesulitan meraih udara. Paru-parunya seakan kolaps. Ia membutuhkan udara segar, atau ia akan mencelakakan dirinya sendiri di jalan raya.Ketika melewati jalan yang sedikit sepi, Denver menyalakan lampu tangan dan menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Dengan segera ia keluar dari mobil seraya menghembuskan napas kasar pendek-pendek dari mulutnya. Ia sudah menduga kalau memang Pandanlah biang keroknya. Toh ia juga telah melihat photo-photo mesra Pandan dengan para calon clientnya. Ia jelas-jelas telah tahu aksi-aksi tidak bermoral Pandan. Tetapi ketika melihat Pandan beraksi dengan mata dan kepalanya sendiri, beda rasanya. Sakitnya merasuk hingga ke tulang sumsumnya. Jujur ia sempat tidak ingin mempercayai penglihatannya. Menerima kenyataan yang ti
"Bagaimana Pandan Wangi Aditama Perkasa? Saya tidak mendengar jawaban kamu. Sudahlah, buang wajah pura-pura kaget kamu itu. Di sini tidak ada siapa-siapa. Jadi sikap sok innocent kamu itu tidak berguna. Jangan membuat saya semakin muak dengan ekspresi wajah munafik kamu itu," cetus Denver dingin.Pandan tidak menjawab sesuku kata pun. Tetapi ia menatap tajam wajah Denver dengan kebencian yang tidak lagi ia sembunyikan. Dasar penghianat manipulatif! Sudah salah tetapi masih saja bersikap playing victim."Kalau saya katakan bahwa saya tidak seperti yang kamu duga. Apakah kamu akan mempercayai kata-kata saya?" ucap Pandan sembari menatap tepat pada netra hitam mata Denver."Tidak," jawab Denver singkat.Pandan menarik napas panjang. Berarti apapun yang akan ia katakan selanjutnya, tidak akan ada gunanya. Denver telah memilih untuk mempercayai asumsinya sendiri. Ia jelaskan sampai mulutnya berbusa-
"Apa gue kata 'kan, Ndan? Laki mah kalo di luar aja kelihatan keren, macho, laki abis. Coba udah berhubungan dengan perasaan dan isi hati. Lemah coeg! Kayak puding kelebihan air. Ambyar," ejek Vanilla semangat. Ia terus menyindir-nyindir Denver sekaligus menyentil Altan, suaminya sendiri. Bukan apa-apa, rasanya bahagia dan puas sekali bisa menyinyiri dua bapak-bapak muda yang biasanya galak dan macho abis ini. Ia jadi kepingin goyang dumang saat melihat dua laki-laki gahar itu hanya cengar cengir salah tingkah mendengar sindirannya."Udah dong, Sayang. Jangan terus diobok-obok ah kelemahan Abang. Abang 'kan lemahnya sama kamu saja. Itu artinya, Abang cinta banget sama kamu. Iya 'kan, Sayang?" Altan mencoba merayu istri jahilnya agar tidak semakin membuatnya kehilangan muka. Tetapi jujur, ia bahagia juga karena Denver yang gahar pun ternyata sama lemahnya seperti dirinya. Kalau menyangkut orang yang ia sayang, segahar apapun seorang laki-laki akan tetap saj
Pandan terbangun di tengah malam saat merasakan perutnya menegang. Perlahan ia mengelus-elus perut buncitnya. Berharap rasa tegangnya bisa sedikit berkurang. Ia melirik ke sisi kanan ranjang. Denver, suami machonya tengah tertidur pulas. Garis-garis kelelahan tampak membayangi raut wajahnya. Tidak heran Denver kalau suaminya ini sekarang tepar. Tadi pagi baru tiba dari luar kota, ia harus kembali meeting marathon dengan para investor di kantor. Tidak heran kalau saat ini suaminya itu tidur seperti orang mati. Suaminya lelah jiwa raga.Pandan meringis saat merasakan nyeri di perutnya. Sebenarnya sudah sejak tadi pagi, ia merasa kalau tubuhnya tidak nyaman. Perutnya sering terasa tegang tiba-tiba namun hilang juga dengan sendirinya. Menurut buku-buku yang ia baca, mungkin ia tengah mengalami braxton hicks atau kontraksi palsu. Karena rasa kramnya ituhanya terasa di daerah perut atau panggul. Selain itu frekuensi dan pola kontraksinya juga acak dan ti
Pandan dan Denver tersenyum sumringah. Hari ini adalah hari yang paling mereka tunggu-tunggu. Yaitu resepsi pernikahan mereka. Sebenarnya bukan meriahnya acara yang membuat mereka bahagia. Tetapi makna yang tersirat di dalamnya. Resepsi ini adalah seperti pemberitahuan resmi pada khalayak ramai bahwa mereka berdua telah sah menjadi sepasang suami istri. Walaupun sebelumnya mereka berdua telah menikah dan sah secara hukum dan agama, tetapi tidak semua orang mengetahuinya bukan? Bagi orang yang tidak mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, bisa saja kebersamaan mereka dianggap zinah. Oleh karena itulah maka resepsi pernikahan diperlukan.Saat ini ia dan Denver tengah menjadi ratu dan raja sehari. Mereka berdua duduk di pelaminan dan memandangi para tamu yang datang dan pergi silih berganti. Di samping kanan mereka terdapat satu pelaminan lagi. Di sana Tyza dan Elrama lah yang menjadi ratu dan rajanya. Resepsi pernikahannya memang digelar secara bersamaan
Satu setengah jam sebelumnya.Denver merasa ada sesuatu yang tidak beres saat ia tidak bisa menghubungi ponsel Pandan. Ia kemudian menghubungi ponsel ibunya untuk mengetahui keadaan Pandan di rumah. Saat itulah perasaannya menjadi semakin tidak enak. Ibu dan ART-nya sedang berbelanja bulanan di supermaket rupanya. Itu artinya istrinya hanya sendirian saja di rumah. Ia mencoba menghubungi Pak Mul. Hatinya semakin was-was karena untuk pertama kalinya ponsel SATPAM yang menjaga rumahnya itu dalam keadaan tidak aktif. Pasti telah terjadi sesuatu, batinnya. Tanpa membuang waktu, ia meninggalkan kantor dan mengebut pulang ke rumah. Di sepanjang jalan, degup jantungnya semakin tidak berarturan. Ia sangat takut kalau terjadi sesuatu pada istrinya. Apalagi istrinya saat ini tengah berbadan dua.Mendekati pagar rumahnya ia tahu pasti telah terjadi sesuatu. Pintu gerbang rumahnya terbuka lebar sementara sosok Pak Mul tidak terlihat di pos jaga se
Vanilla menarik napas lega saat putrinya akhirnya tertidur juga. Ini adalah kesempatan emas baginya untuk ikut tidur juga barang sejenak. Semenjak mempunyai bayi yang usianya masih dalam hitungan bulan, jadwal tidurnya menjadi berantakan. Ia sudah mirip dengan kelelawar sekarang. Kalau malam ia melek sambil momong anaknya yang tidak mau tidur. Dan kalau pagi seperti ini barulah ia tidur. Sekarang baginya pagi itu adalah malam, dan malam itu adalah pagi. Untung saja matahari dan rembulan tidak ikutan ganti shift seperti dirinya. Coba ikut ganti jadwal juga, bakalan seperti hidup di negeri Thanos lah kita semua.Baru saja ia ingin merebahkan tubuh lelahnya, sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Pandan Wangi, rupanya. Sudah lama sekali sahabatnya ini tidak menghubunginya. Semenjak ia mempunyai bayi, Pandan memang sudah jarang sekali mengajaknya hang out bersama. Ribet katanya. Ya jelaslah, dugem sambil momong bayi itu tidak mudah bambank. Riweuh. Lagian kesia
Denver melambaikan tangan pada Pandan setelah terlebih dahulu memberi kecupan jarak jauh pada istrinya. Seolah-olah kecupan sayang yang baru saja dicercahkannya di kening istrinya tadi, masih belum memuaskannya. Setelah itu baru lah ia masuk ke dalam mobil dan meninggalkan istrinya untuk bekerja. Setiap pagi agendanya memang seperti ini. Pandan akan menemaninya sarapan pagi, mengiringi langkahnya sampai ke teras depan, dan melambaikan tangannya sampai bayangannya tidak tampak lagi. Ritual paginya sungguh membahagiakan.Tapi khusus hari ini ia akan sedikit terlambat untuk pergi ke kantor. Ia akan mengunjungi Irma terlebih dahulu di Rumah Tahana. Ia memang sudah merencanakan hal ini dari minggu lalu. Sebelum Irma dinyatakan bersalah dan resmi menjadi seorang narapidana, ia ingin berbicara dengannya dari hati ke hati terlebih dahulu. Bagaimanapun dulu Irma adalah temannya. Lebih tepatnya teman yang selalu ia lindungi dari masalah perudungan di sekolahnya. Ia ingin
Ziva membeku. Ia sejenak seperti merasa merasa kehilangan orientasi. Ini pendengarannya yang salah atau memang Lautan yang jadi error karena dibodohi Irma bin Puput ya? Bagaimana ia tidak bingung coba, Lautan yang biasanya dingin-dingin coolkas masa mendadak romantis ala ala anak santri begini? Jangan-jangan ada yang tidak beres dalam struktur otaknya."Bang Utan sadar nih ngomong ginian sama Ziva? Inget ya Bang, apa yang sudah diucapkan tidak boleh ditarik lagi kayak petugas BPOM narik makanan kadaluarsa di supermaket. Jangan karena Abang lagi galau makanya Abang jadi iseng gombalin Ziva." Ziva mencebikkan bibirnya. Pura-pura kesal. Padahal dalam hati dia ingin goyang dombret sambil salto-salto di udara saking senangnya. Bayangkan, ia mendapat balasan gombalan syariah dari pria pujaan hatinya."Kamu lihat Abang sedang pingsan tidak?" tanya Lautan. Ziva menggelengkan kepalanya. Ya emang kagak pingsanlah. Kalau pingsan mah orangnya reba
Denver membuka pintu kamar perlahan dan menutupnya kembali dengan hati-hati. Berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Ia tidak ingin Pandan ikut terbangun. Setelah pintu tertutup rapat, ia melanjutkan langkahnya menuju ke taman belakang. Ia memang sengaja mencari tempat yang tenang dan kondusif untuk menelepon Lautan. Mengajak bicara dari hati ke hati. Bagaimanapun pembicaraan mereka ini sangat sensitif. Kalau ia tidak hati-hati, bisa-bisa Lautan salah paham dan menganggapnya memfitnah calon istrinya.Sebenarnya Lautan itu sudah berniat untuk menikah dengan Puput tahun ini juga. Hanya saja Lautan belum memberitahukan niatnya pada keluarganya. Ia ingin membuat kejutan katanya. Keinginan Lautan ini hanya ia seorang yang mengetahuinya. Karena Lautan memintanya untuk merahasiakannya dulu. Makanya saat ini ia begitu resah. Membongkar semua kedok Puput pada Lautan yang tengah sayang-sayangnya, ibarat makan buah simalakana. Ia tidak tega membayangkan betapa kecew
"Terus hubungan Radit sama Irma ini apaan? Kok kesannya si Radit ini ngelindungin si Irma banget? Bukannya saya suuzon sama orang ya, Bang. Tapi Radit itu biasanya nggak pernah mau berteman dengan orang yang maaf, nggak selevel dengannya. Setahu saya sih begitu, Bang," ucap Pandan hati-hati. Bukan apa-apa, Denver ini agak sensitif kalau nama Radit dibawa-bawa. Denver tidak langsung menjawab. Ia malah melipat kedua tangannya ke dada. Bersedekap sambil menyipitkan matanya. Hadeh bau-baunya bakalan disindir-sindir lagi nih."Kenapa kamu ingin tahu sekali mengenai hubungan Radit dan Irma?" ujar Denver kesal.Nah kan, kejadian juga apa yang baru saja ia pikirkan. Kudu pake strategi, puji, angkat, dan umbang-umbang lagi ini sepertinya."Ck, ya karena saya ingin mengungkap kasus sabotase dan teror meneror ini lah, Abangku sayang," rayu Pandan mesra. "Udahan dong Bang, curiga-curigaannya. Kan sudah saya bilang,