Pandan baru saja tiba di rumah. Saat turun dari mobil, pandangannya tertuju pada mobil kakaknya yang tidak berpengemudi, tetapi mesin mobilnya dalam keadaan hidup di garasi. Berarti kakaknya akan keluar rumah sebentar lagi. Pandan melanjutkan langkah ke ruang tamu, dan nyaris ditabrak kakaknya yang terlihat sedang terburu-buru. Mau ke mana sih kakaknya ini?
"Abang mau kemana sih? Buru-buru amat?" tanya Pandan penasaran. Pandan meneliti penampilan kakaknya yang rapi jali. Kakaknya juga menyandang tas kecil yang biasa ia bawa saat akan menemui client-clientnya.
"Abang dan Denver mau ke temu beberapa teman lama di club. Mereka selama ini tinggal di luar negeri. Ada beberapa orang dari mereka yang sedang mencari developer untuk membangun apartemen dan perumahan-perumahan exclusive. Abang sekalian mau menawarkan design-design terbaru kantor kita. Siapa tahu mereka tertarik dan mau menjalin kerjasama. Abang jalan dulu ya, Dek." Sahut Lautan tergesa. Kakaknya bilang apa tadi? Sekalian menawarkan design-design terbaru? Sepertinya ia harus hadir di sana untuk sekedar berjaga-jaga dan mengamati keadaan. Siapa tahu akan ada penghianat yang kembali menggunting dalam lipatan. Tapi bagaimana caranya ia bisa ada di sana tanpa diketahui oleh kakaknya?
Ting!
Sebuah ide singgah di kepalanya. Ia segera berlari ke kamar dan mengeluarkan beauty case andalannya. Dengan cepat namun teliti ia merubah wajah cantiknya menjadi sosok seorang pemuda tampan metroseksual. Perubahan struktur garis-garis feminim divwajahnya kini berganti menjadi keras dan tegas. Ia sekarang mirip dengan wajah tampan-tampan cantik ala boyband-boyband korea. Demi semakin menyempurnakan penyamarannya, Pandan memasang wig model pixie cut yang telah diberi pomade dibagian depannya hingga jigrak-jigrak keren. Sekarang tinggal sentuhan terakhir yaitu kostumnya.
Pandan bergegas masuk ke kamar kakaknya dan membuka laci kabinet terbawah. Di sana biasanya kakaknya menempatkan baju-baju lamanya yang sudah tidak terpakai. Setelah mengubek-ubek sebentar, ia menemukan sebuah kemeja garis-garis body fit dan skinny jeans lama kakaknya. Sepertinya pakaian ini adalah pakaian kakaknya zaman SMA. Tetapi tetap saja kebesaran di tubuhnya. Pandan berusaha mengakalinya. Untuk mengatasi pinggang yang kedodoran, ia memasang ikat pinggang buckle double ring. Selain berfungsi untuk menahan jeansnya, bucklenya membuatnya semakin terlihat kekinian. Oke. Misi kedua selesai. Sekarang tinggal misi terakhir. Pandan berlari ke ruang tamu dan meraih tas slempangnya di atas sofa. Dengan segera ia mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang. Panggilannya langsung dijawab pada nada masuk pertama.
"Hallo Vi? Lo tau nggak sekarang kakak lo ada di mana?" Pandan menghubungi Virginia, adik perempuan Denver untuk mengorek informasi. Dengan begitu ia jadi bisa mengetahui di mana kakaknya akan melakukan pertemuan.
"Tumben lo tetiba nanyain soal kakak gue? Biasanya cuma ngedenger nama kakak gue disebut doang, asem lambung lo langsung kambuhkan? Jadi penisirin gue. Hehehehe.
Pandan memutar bola mata. Virginia Delacroix Bimantara ini memang cerdas. Susah sekali untuk mengakalinya. Baiklah, ia terpaksa harus mengeluarkan jurus bohong terselubung demi memuluskan semua rencananya.
"Ck, dompet kakak gue ketinggalan di rumah, Vi. Hapenya juga sibuk terus waktu gue teleponin. Tadi sih kakak gue pamitnya mau ke club sama kakak lo. Cuma ya itu, club di sini kan banyak. Gue kagak tau harus nganterin ini dompet ke mana." Teknik pengalihan terselubung mulai ia praktekkan.
"Oh gitu toh. Tadi sih gue denger kakak gue mau ke Astronomix. Lo susulin aja ke sono."
Astronomix? Noted. Oke ia akan segera meluncur ke sana. Seru juga sepertinya. Ia juga sudah lama tidak refreshing. Pasti suasananya akan jauh berbeda kalau ia menikmati dunia gemerlap sebagai seorang laki-laki tampan alih-alih sebagai seorang perempuan cantik.
========================
Setelah mengerahkan segenap kemampuan balapnya, Pandan tiba di Astronomix hanya dalam waktu dua puluh menit saja. Setelah memarkirkan mobil, ia masuk ke dalam club dengan gaya yang di maskulin-maskulinkan. Ia 'kan sedang menjadi laki-laki sekarang. Telinganya langsung disambut dengan lagu The Middlenya Zedd, Maren Morris, Grey. Irama lagu yang seru membuat tubuhnya otomatis bergoyang-goyang santai. Sembari menikmati musik, pandangan Pandan terus mencari-cari keberadaan kakaknya. Setelah sekian lama mengamati para pengunjung yang sedang have fun, akhirnya Pandan memindai kehadiran kakaknya and the gang juga. Kakaknya terlihat duduk bersebelahan dengan Denver di sudut ruangan. Ada tiga orang laki-laki lainnya juga di meja yang sama. Samar-samar Pandan seperti mengenali dua di antaranya. Yang berbaju biru tua dan berkemeja putih sepertinya teman SMA kakaknya. Hanya saja ia lupa nama-nama mereka. Sementara yang berkaos hitam ia tidak kenal. Sembari terus mengintai, Pandan segera memesan makanan. Perutnya sudah keroncongan sedari tadi. Sambil menunggu makanannya datang, Pandan kembali memperhatikan kakaknya yang sedang mempromosikan design-design terbarunya.
Ada rasa sesak di dadanya kala melihat kakaknya mengeluarkan laptop dan memperlihatkan sesuatu pada teman-teman lamanya. Kakaknya begitu gigih dalam bekerja. Pandan tahu sebenarnya kakaknya itu tidak suka dengan suasana club yang bising seperti ini. Kakaknya itu sesuai dengan namanya, Lautan, memang lebih menyukai tempat refreshing yang bertema alam bebas dan bersentuhan langsung dengan matahari. Kakaknya selalu mengatakan kalau ia akan sakit kepala kalau dipaksa mendengar musik yang diputar kencang dan membuat jantungnya seolah-olah akan melompat keluar. Tetapi hari ini, kakaknya memaksakan diri ke tempat seperti ini demi untuk mempromosikan pekerjaannya. Kakaknya memang seorang pekerja keras. Pandan ikut meringis kala melihat kakaknya berkali-kali mengernyitkan kening sembari memijiat-mijat pelipisnya. Pasti saat ini kakaknya sedang sakit kepala. Kasihan. Pandan terus saja memperhatikan kakaknya sambil mengunyah kebab dan kentang goreng. Ia memang lapar sekali. Lihatlah, dalam waktu sepuluh menit saja semua makanan yang ia pesan sudah pindah ke perutnya tanpa tersisa.
"Hallo Bro, sendirian aja nih? Mau ditemani nggak?" Pandan yang sedang mengamati kakaknya, kaget saat seorang pria tampan macho menepuk ringan bahunya.
Glek. Apa-apaan ini?
"Kalo lo berharap pada sekelompok orang-orang itu," tangan si pria macho menunjuk pada kakaknya and the gang.
"Lo harus siap-siap patah hati. Mereka itu semua pria-pria stright, Bro. Jiwa G- radar gue sudah mendeteksi orientasi seksual mereka. Lo bakalan dimakan mentah dan dicampakkan ke rawa-rawa kalo lo berani mengusik mereka."
Ini orang ngemeng apa sih?
Pandan melongo memperhatikan pria tampan macho buluan ini berbicara. Radarnya kini juga sudah berbicara. Ternyata ia telah didekati oleh seorang gay yang sedang mencari mangsa. Bagaimana populasi dunia perjombloan tidak semakin memprihatinkan kalau pria-pria macho begini ternyata doyan laga batang semua. Naseb... naseb...
"Maaf ya, Bro. Gue juga kebetulan straight. Straight to the point maksudnya." Pandan nyengir. Ia sebenarnya tidak begitu mengetahui soal istilah-istilah dalam dunia pergay-an sebenarnya. Makanya ia menjawab seenak perutnya saja.
"Oh, lo straight? Apa lo nggak mau nyoba-nyoba dunia baru? Pino* gue gede lo. Udah gitu gue ini fleksibel. Bisa jadi top, bottom atau versatile. Tergantung keadaanlah. Mau nggak? Lo cute dan imut begini bisa jadi twink yang digilai Om Bear dan daddy-daddy keren. Mau nggak, Bro?" Gay macho ini masih terus saja berusaha merayunya.
"Lo kira orientasi seksual gue kayak baju, bisa dicoba-coba dulu cocok atau kagak sama lo? Eh lo denger baik-baik ya gay bikini bottom. Gue ini polisi yang sedang nyamar. Kalo lo terus-terusan gangguin gue, bakalan gue tembak beneran bikini bottom lo. Paham lo?" Ancam Pandan kesal. Lama-lama ia gerah juga mendengar istilah-istilah aneh pergay-an di telinganya. Merusak gendang telinga saja.
"Oke... oke, Pak Polisi. Gue akan pergi. Tapi sebelumnya gue mau ngasih tau soal kesalahan-kesalahan lo dalam istilah-istilah gay tadi. Gue ini bisa jadi bottom yang artinya bisa jadi cewek juga. Bukan bikin bottom. Bikini bottom itu adalah kota tempat tinggal sponge Bob dan teman-teman sejenisnya. Tolong lo bedain ya? Nggak masalah kalo lo nggak mau jadi gay. Tapi lo jangan ngerusak istilah-istilah kaum kami ya? Jangan gara-gara kami ini kaum minoritas maka kami jadi terus saja ditindas." Elahhh ini orang ngemeng apa sih?
Setelah si gay macho berhasil ia usir, pandangan Pandan tertumbuk pada pasangan yang baru saja masuk ke dalam club. Wow, Gerhana Putri Alam nyangkut di mari euy! Hebat bener anak seorang jendral keluar masuk club. Eh tapi seperti ada yang aneh di sini. Ngapain itu si Nana malah narik-narik tangan kekar seorang preman tattoan yang sepertinya enggan sekali disentuh oleh si Nana.
Pandan memperhatikan si preman terus saja mengelak untuk bersentuhan dengan Nana. Wuih! Ada apa ini sebenarnya? Pandan yang kepo, segera menghampiri pasangan yang aneh itu. Bagaimana tidak aneh, Nana yang childish dan dengan rambut buntut kuda dan baju kodoknya, terus memegangi lengan pria kekar tattoan yang tampak risih sekali terus saja diikuti oleh anak kecil. Sebenarnya si Nana ini bukan anak kecil. Usia Nana itu sepantaran dengannya. Hanya saja dandanan Nana itu mirip sekali dengan anak remaja belasan tahun. Nana suka berbuntut kuda. Kadang malah ia mengepang rambut panjangnya seperti Elsa The Frozen. Nana dari kecil memang suka didandani manis dan cute oleh Tante Ochi yang dulu memang berprofesi sebagai seorang guru TK.
Pandan terus saja berjalan melewati para eksmud dan pasangan-pasangan muda yang sedang menikmati malam panjang sembari bercengkrama ringan. Setelah mendapatkan posisi yang cukup dekat dengan Nana, ia pun duduk dengan memunggungi mereka berdua. Kedua telinganya ia pasang pada posisi HD. Siap menguping.
"Kamu ngapain terus saja mengikuti saya? Saya mau bekerja."
Ai mak, preman bahasanya kamu saya. Alus pisan euy!
"Saya kan mau menjenguk ibunya Abang. Saya juga mau mengganti gerobak martabak yang tadi tidak sengaja saya tabrak."
"Ibu saya tidak apa-apa. Cuma kaget saja. Lagi pula tadi ibu saya bilang kalau ia sudah memaafkan kamu bukan? Gerobak martabaknya juga sudah saya perbaiki. Saya tidak butuh uang kamu. Jadi kamu tidak usah terus mengikuti saya. Nanti orang-orang mengira kalau saya itu mau memalak kamu lagi!
Wuih, ini preman tattoan. Udah gualak, eh sombong lagi!
"Mana bisa begitu? Kata orang tua saya kalau kata maaf itu berguna, pengadilan itu tidak ada dan penjara bakalan kosong semua. Maaf itu penting, hanya saja ada sanksi yang juga menyertainya. Saya dididik untuk selalu bersikap penuh tanggung jawab. Jadi saya tetap akan mengganti uang perbaikan gerobak dan wajib untuk menjenguk ibunya Abang."
Wuihhh syedap... si Nana kalo ngomong emang copy paste Om Badai dalil-dalilnya. Maklum aja, anak polisi.
Si Preman tattoan yang ehm laki banget itu terlihat membuka mulutnya tetapi akhirnya ia menutupnya lagi. Sepertinya ia sudah kehabisan akal untuk membujuk Nana.
"Ya sudah. Saya akan membawa kamu menemui ibu saya. Setelah itu kamu jangan pernah menampakkan batang hidung kamu lagi di hadapan saya dan ibu saya. Berjumpa dengan kamu membuat kami tertimpa sial saja. Ngomong-ngomong orang tua kamu itu guru agama ya?" Tanya si preman. Wah, belum tahu dia siapa orang tua si Nana.
"Ibu saya dulunya guru TK."
"Pantas saja," si Preman mengangguk maklum.
"Kalau ayah kamu? Guru agama?" tanya si preman lagi.
Satu, dua, tiga!
"Bukan. Ayah saya itu polisi. Nama ayah saya Jendral Badai Putra Alam." Wajah si Nana tampak puas banget bisa menakut-nakuti si preman. Hahahaha. Nana memang nakal.
Jreng... jreng...
"Kalau begitu ayo sekalian saya akan mengantar kamu pulang. Saya akan menemui ayahmu dan memintanya untuk mencabut SIM A kamu. Karena kamu terbukti tidak kompeten dalam menyetir hingga melukai dan merugikan orang lain!"
Nah lo! Wajah si Nana langsung auto pucat. Namun tak urung ia mengikuti juga langkah si preman yang terlihat begitu protektif melindunginya dari tangan-tangan jahil pengunjung club yang sekedar ingin menyentuhnya. Si preman juga membuka jaket kulitnya dan memakaikannya ke tubuh mungil Nana. Baik juga si preman ini ternyata.
Setelah menyaksikan drama satu babak dengan hasil akhir si preman yang mengalah, Pandan kembali menemukan pemandangan yang tidak biasa di sini. Putri Handayani, pacar kakaknya yang alim dan lugu, bagai perawan di sarang penyamun saat memasuki hingar bingar suasana club. Si Putri ini memang bener-bener cari penyakit. Bakalan disate hidup-hidup dia oleh kakaknya, karena berani-beraninya datang ke club seorang diri seperti ini.
Tidak perlu menunggu lama. Dari tempat persembunyiannya ia melihat kakaknya celingungkan sebentar dengan ponsel yang masih ditempelkan di telinga. Sepertinya Puput memang menelepon kakaknya. Bener-bener ular cari pemukul. Menit berikutnya kakaknya terlihat setengah menyeret tangan Puput untuk ia dudukkan tepat di sampingnya.
Setelah menunggu kakaknya hampir setengah jam kemudian, Pandan memutuskan untuk pulang saja. Ia tidak menemukan hal-hal yang mencurigakan di sini. Perut kenyang, hati lapang, membuat matanya mengantuk. Lebih baik ia pulang dan tidur saja.
"Halo Bro, pengunjung baru ya? Sendirian aja. Gue kenalin sama cewek-cewek seksi mau nggak?" seseorang tiba-tiba saja merangkul bahunya akrab. Menilik suara dan aroma yang menguar di tubuh orang ini, Pandan sudah bisa menyimpulkan sesuatu. Ini pasti si mesum akut Denver. Saat ia menoleh ke samping kanan. Dugaannya tepat sekali. Denver Delaroix Bimantara tengah menatapnya tajam dalam jarak hanya sejengkal.
Pandan menahan napas. Ia masih menimbang-nimbang. Apakah Denver ini tahu penyamarannya, ataukah hanya kebetulan saja. Wajar saja sesama pria menawarkan untuk berkenalan dengan wanita bukan? Tetapi Pandan memilih untuk mengambil jalan aman saja. Lebih baik ia tidak berdekatan dengan makhluk mesum ini.
"Maaf, Bro. Gue ini gay. Jadi gue tidak suka sama cewek-cewek seksi. Tapi terima kasih atas tawaran lo, Bro." Pandan berusaha berkelit untuk melepaskan bahunya dari tangan Denver. Tapi sepertinya si empunya tangan keukeuh menahan tangannya di sana.
"Wah sama dong kalo gitu. Gue juga bisa jadi gay kalo lakinya secantik lo. Kita mau mojok di sebelah mana, Bro?" Bisik Denver mesra di telinganya. Pandan yang risih kembali berusaha melepaskan belitan tangan Denver. Kali ini Denver dengan suka rela melepaskan lengannya dari bahunya. Tapi sebagai gantinya ia malah meremas pingangnya dengan mesra. Kedua telapak tangannya makin naik dan naik hingga menyentuh batas bulatan dadanya. Pandan sama sekali tidak menyangka kalau Denver benar-benar berani mengelus sekilas bulatan dada kanannya. Kurang ajar!
"Lain kali kalau ingin menyamar jadi laki-laki, ikat dulu dada seksi kamu dengan benar. Baru tutupi lagi dengan jaket. Kalau cuma memakai kemeja begini, mata kami masih bisa menembusnya. Mengerti kamu?"
Bajirut!
"Selamat pagi, Pak Arsene. Silahkan dinikmati kopinya. Permisi," setelah meletakkan secangkir kopi di meja atasannya, Pandan membungkuk sopan dan pamit kembali ke belakang."Mau ke mana kamu? Urusan kita yang kemarin belum selesai," sembur atasan barunya.Masalah sudah menghampiri pagi-pagi.Pandan menghentikan langkah. Menarik napas panjang dan menghitung satu sampai lima sebelum berbalik badan. Bersiapberkonfrotasi dengan atasan barunya."Ya, Pak. Saya siap mendengarkan," ucap Pandan sopan. Sebenarnya bukan sifatnya selalu mengalah saat ditindas dan dipersalahkan atas sesuatu yang bukan salahnya. Tetapi setelah ia pikir-pikir, sepertinya ia harus menerapkan ilmu tarik ulur. Ia boleh sesekali membantah, tetapi harus dengan cara yang sopan. Kalau ia terus melawan sebelum misinya selesai, kemungkinan besar dirinya bisa dipecat. Dan itu tentu saja akan membuat penyelidikan
Pandan terbangun di tengah malam karena mimpi buruk. Ia bermimpi kalau perusahaan mereka bangkrut dan kakaknya masuk penjara. Masih begitu jelas terekam dalam benaknya, kakaknya berteriak-teriak histeris dan mengatakan kalau ia tidak bersalah sebelum beberapa orang polisi meringkusnya. Pandan terduduk tegak di atas tempat tidur. Tubuh terus gemetar dengan keringat dingin yang bercucuran. Mimpi itu begitu nyata. Apalagi saat bagian kakaknya menoleh ke belakang sambil terus meneriakkan kata kalau ia tidak bersalah. Sementara ia berlari mengejar kakaknya. Meminta para polisi itu untuk membebaskan kakaknya. Ia seolah-olah sedang menonton dirinya sendiri di dalam mimpinya.Karena tidak bisa kembali tidur, Pandan turun dari ranjang. Ia bermaksud membuat segelas susu hangat di dapur. Biasanya kalau ia terbangun di tengah malam dan tidak bisa tidur lagi, segelas susu hangat akan membuatnya rileks. Saat akan mendekati dapur, Pandan menjerit kaget melihat ada bayang
Pagi yang rusuh. Pandan dan Mbak Nanik saling berpandang-pandangan saat mendengar suara-suara pertengkaran dari dalam ruangan Pak Arsene. Bentakan-bentakan Pak Arsene yang diiringi dengan tangisan dan juga makian Bu Intan mewarnai pagi di P.T Inti Graha Anugrah. Mbak Nanik mengatakan selama hampir delapan tahun ia bekerja di perusahaan ini, belun pernah ada kasus yang seheboh ini. Biasanya saat ada pemecatan terhadap salah seorang staff, semua prosedur pemecatannya di tangai oleh pihak HRD. Jadi kalau yang bersangkutan tidak puas atau tidak terima bila dipecat, maka urusannya hanya sampai di HRD. Tidak ada yang berani memprotes apalagi sampai memaki-maki seorang Direktur Utama. Bu Intan merupakan satu-satunya staff senior yang berani langsung protes pada pimpinan tertinggi di perusahaan ini."Anda anak bau kencur tidak tahu apa-apa, bisa-bisanya Anda memperlakukan saya seperti ini. Dasar tidak tahu berterima kasih! Kalau tidak ada saya, perusahaan ini sudah kola
"Jelaskan..."Denver melihat staff adminnya yang bernama Indah Pertiwi itu terus saja gemetaran walaupun ia sudah menggunakan nada paling rendah saat menginterogasinya. Duduknya tidak tenang dan kedua tangannya saling meremas satu sama lain. Tatapan matanya tidak fokus pada satu titik dan terus saja memandang kesegala arah kecuali padanya. Denver memberi isyarat pada detektif yang terlihat memegang sebuah amplop coklat. Denver tahu, isi amplop itu pasti hasil penyelidikan menyeluruh dari detektifnya. Setelah membacanya sebentar, is sudah tahu secara gadis besar semua permasalahannya. Ia kemudian memberi kode pada sang detektif untuk keluar. Ia ingin menguliti Indah Pertiwi ini sendirian selapis demi selapis. Sang detektif membuka pintu ruangan dan saat bayangan si detektif menghilang, barulah Indah bersuara."Sa--sa--ya bersalah. Saya minta ma--maaf." Jawab Indah terbata-bata."Bukan itu jawaban yang saya i
Denver melajukan mobil sekencang-kencangnya. Semakin lama pedal gas yang diinjaknya semakin dalam. Ia memerlukan pelampiasan! Sembari menyetir ia memegangi dada kanannya yang terasa sesak. Tidak bisa begini. Ia merasa kesulitan meraih udara. Paru-parunya seakan kolaps. Ia membutuhkan udara segar, atau ia akan mencelakakan dirinya sendiri di jalan raya.Ketika melewati jalan yang sedikit sepi, Denver menyalakan lampu tangan dan menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Dengan segera ia keluar dari mobil seraya menghembuskan napas kasar pendek-pendek dari mulutnya. Ia sudah menduga kalau memang Pandanlah biang keroknya. Toh ia juga telah melihat photo-photo mesra Pandan dengan para calon clientnya. Ia jelas-jelas telah tahu aksi-aksi tidak bermoral Pandan. Tetapi ketika melihat Pandan beraksi dengan mata dan kepalanya sendiri, beda rasanya. Sakitnya merasuk hingga ke tulang sumsumnya. Jujur ia sempat tidak ingin mempercayai penglihatannya. Menerima kenyataan yang ti
"Bagaimana Pandan Wangi Aditama Perkasa? Saya tidak mendengar jawaban kamu. Sudahlah, buang wajah pura-pura kaget kamu itu. Di sini tidak ada siapa-siapa. Jadi sikap sok innocent kamu itu tidak berguna. Jangan membuat saya semakin muak dengan ekspresi wajah munafik kamu itu," cetus Denver dingin.Pandan tidak menjawab sesuku kata pun. Tetapi ia menatap tajam wajah Denver dengan kebencian yang tidak lagi ia sembunyikan. Dasar penghianat manipulatif! Sudah salah tetapi masih saja bersikap playing victim."Kalau saya katakan bahwa saya tidak seperti yang kamu duga. Apakah kamu akan mempercayai kata-kata saya?" ucap Pandan sembari menatap tepat pada netra hitam mata Denver."Tidak," jawab Denver singkat.Pandan menarik napas panjang. Berarti apapun yang akan ia katakan selanjutnya, tidak akan ada gunanya. Denver telah memilih untuk mempercayai asumsinya sendiri. Ia jelaskan sampai mulutnya berbusa-
Mahater ragu-ragu antara ingin membangunkan Pandan atau menelepon Lautan saat mereka telah tiba di pintu gerbang kediaman Aditama Perkasa. Sebenarnya kalau mau dirunut-runut, keluarga besarnya masih mempunyai hubungan kekeluargaan dengan keluarga Aditama Perkasa, walaupun bukan digariskan melalui hubungan darah. Ibu Pandan adalah adik angkat ayahnya dan mereka dibesarkan bersama sebagai kakak adik. Namun lama kelamaan perasaan cinta persaudaraan mereka berubah rasa menjadi cinta asmara antara seorang laki-laki dan perempuan. Hanya saja karena satu dan lain hal mereka berdua tidak berjodoh. Ibu Pandan akhirnya menikah dengan Revan Aditama Perkasa sementara ayahnya menikahi anak salah satu karyawannya yang bernama Suci Melati, ibunya. Karena masa lalu mereka yang saling terkait satu sama lain, menjadikan hubungan kekeluargaan mereka merenggang. Om Revan tidak menyukai ayahnya begitu juga sebaliknya. Ayahnya selalu mengatakan kalau Om Revan itu tukang tikung. Sementara Om Revan juga me
"Sini kopinya, biar saya saja yang bawa," Bu Fenita, sekretaris baru Pak Arsene, meraih baki yang sedianya akan diantarkan oleh Pandan ke ruangan atasannya. Pandan dan Mbak Nanik saling berpandangan. Tumben sekali Bu Fenita mau bersusah payah mengantarkan kopi untuk tamunya Pak Arsene. Biasanya setelah mengintruksikan ini itu, Bu Fenita segera berlalu dari pantry. Namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Setelah memesan kopi, Bu Fenita menunggu dengan sabar dan sekarang ingin mengantarkan minumannya sendiri. Namun tak urung Pandan memberikan juga bakinya pada Bu Fenita yang segera berlalu dengan langkah bergegas menuju ruangan Pak Arsene."Jiwa kepo gue mendadak meronta-ronta penasaran ngeliat sikap mencurigakan Bu Lemper ini, Ndan. Sebentar ya, gue nyari info dulu. Siapa sih sebenernya tamu Pak Arsene ini sampe Bu Lemper semangat banget nyari perhatiannya?" Mbak Nanik bergegas mengekori langkah Bu Fenita.Pandan hanya menggeleng
"Apa gue kata 'kan, Ndan? Laki mah kalo di luar aja kelihatan keren, macho, laki abis. Coba udah berhubungan dengan perasaan dan isi hati. Lemah coeg! Kayak puding kelebihan air. Ambyar," ejek Vanilla semangat. Ia terus menyindir-nyindir Denver sekaligus menyentil Altan, suaminya sendiri. Bukan apa-apa, rasanya bahagia dan puas sekali bisa menyinyiri dua bapak-bapak muda yang biasanya galak dan macho abis ini. Ia jadi kepingin goyang dumang saat melihat dua laki-laki gahar itu hanya cengar cengir salah tingkah mendengar sindirannya."Udah dong, Sayang. Jangan terus diobok-obok ah kelemahan Abang. Abang 'kan lemahnya sama kamu saja. Itu artinya, Abang cinta banget sama kamu. Iya 'kan, Sayang?" Altan mencoba merayu istri jahilnya agar tidak semakin membuatnya kehilangan muka. Tetapi jujur, ia bahagia juga karena Denver yang gahar pun ternyata sama lemahnya seperti dirinya. Kalau menyangkut orang yang ia sayang, segahar apapun seorang laki-laki akan tetap saj
Pandan terbangun di tengah malam saat merasakan perutnya menegang. Perlahan ia mengelus-elus perut buncitnya. Berharap rasa tegangnya bisa sedikit berkurang. Ia melirik ke sisi kanan ranjang. Denver, suami machonya tengah tertidur pulas. Garis-garis kelelahan tampak membayangi raut wajahnya. Tidak heran Denver kalau suaminya ini sekarang tepar. Tadi pagi baru tiba dari luar kota, ia harus kembali meeting marathon dengan para investor di kantor. Tidak heran kalau saat ini suaminya itu tidur seperti orang mati. Suaminya lelah jiwa raga.Pandan meringis saat merasakan nyeri di perutnya. Sebenarnya sudah sejak tadi pagi, ia merasa kalau tubuhnya tidak nyaman. Perutnya sering terasa tegang tiba-tiba namun hilang juga dengan sendirinya. Menurut buku-buku yang ia baca, mungkin ia tengah mengalami braxton hicks atau kontraksi palsu. Karena rasa kramnya ituhanya terasa di daerah perut atau panggul. Selain itu frekuensi dan pola kontraksinya juga acak dan ti
Pandan dan Denver tersenyum sumringah. Hari ini adalah hari yang paling mereka tunggu-tunggu. Yaitu resepsi pernikahan mereka. Sebenarnya bukan meriahnya acara yang membuat mereka bahagia. Tetapi makna yang tersirat di dalamnya. Resepsi ini adalah seperti pemberitahuan resmi pada khalayak ramai bahwa mereka berdua telah sah menjadi sepasang suami istri. Walaupun sebelumnya mereka berdua telah menikah dan sah secara hukum dan agama, tetapi tidak semua orang mengetahuinya bukan? Bagi orang yang tidak mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, bisa saja kebersamaan mereka dianggap zinah. Oleh karena itulah maka resepsi pernikahan diperlukan.Saat ini ia dan Denver tengah menjadi ratu dan raja sehari. Mereka berdua duduk di pelaminan dan memandangi para tamu yang datang dan pergi silih berganti. Di samping kanan mereka terdapat satu pelaminan lagi. Di sana Tyza dan Elrama lah yang menjadi ratu dan rajanya. Resepsi pernikahannya memang digelar secara bersamaan
Satu setengah jam sebelumnya.Denver merasa ada sesuatu yang tidak beres saat ia tidak bisa menghubungi ponsel Pandan. Ia kemudian menghubungi ponsel ibunya untuk mengetahui keadaan Pandan di rumah. Saat itulah perasaannya menjadi semakin tidak enak. Ibu dan ART-nya sedang berbelanja bulanan di supermaket rupanya. Itu artinya istrinya hanya sendirian saja di rumah. Ia mencoba menghubungi Pak Mul. Hatinya semakin was-was karena untuk pertama kalinya ponsel SATPAM yang menjaga rumahnya itu dalam keadaan tidak aktif. Pasti telah terjadi sesuatu, batinnya. Tanpa membuang waktu, ia meninggalkan kantor dan mengebut pulang ke rumah. Di sepanjang jalan, degup jantungnya semakin tidak berarturan. Ia sangat takut kalau terjadi sesuatu pada istrinya. Apalagi istrinya saat ini tengah berbadan dua.Mendekati pagar rumahnya ia tahu pasti telah terjadi sesuatu. Pintu gerbang rumahnya terbuka lebar sementara sosok Pak Mul tidak terlihat di pos jaga se
Vanilla menarik napas lega saat putrinya akhirnya tertidur juga. Ini adalah kesempatan emas baginya untuk ikut tidur juga barang sejenak. Semenjak mempunyai bayi yang usianya masih dalam hitungan bulan, jadwal tidurnya menjadi berantakan. Ia sudah mirip dengan kelelawar sekarang. Kalau malam ia melek sambil momong anaknya yang tidak mau tidur. Dan kalau pagi seperti ini barulah ia tidur. Sekarang baginya pagi itu adalah malam, dan malam itu adalah pagi. Untung saja matahari dan rembulan tidak ikutan ganti shift seperti dirinya. Coba ikut ganti jadwal juga, bakalan seperti hidup di negeri Thanos lah kita semua.Baru saja ia ingin merebahkan tubuh lelahnya, sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Pandan Wangi, rupanya. Sudah lama sekali sahabatnya ini tidak menghubunginya. Semenjak ia mempunyai bayi, Pandan memang sudah jarang sekali mengajaknya hang out bersama. Ribet katanya. Ya jelaslah, dugem sambil momong bayi itu tidak mudah bambank. Riweuh. Lagian kesia
Denver melambaikan tangan pada Pandan setelah terlebih dahulu memberi kecupan jarak jauh pada istrinya. Seolah-olah kecupan sayang yang baru saja dicercahkannya di kening istrinya tadi, masih belum memuaskannya. Setelah itu baru lah ia masuk ke dalam mobil dan meninggalkan istrinya untuk bekerja. Setiap pagi agendanya memang seperti ini. Pandan akan menemaninya sarapan pagi, mengiringi langkahnya sampai ke teras depan, dan melambaikan tangannya sampai bayangannya tidak tampak lagi. Ritual paginya sungguh membahagiakan.Tapi khusus hari ini ia akan sedikit terlambat untuk pergi ke kantor. Ia akan mengunjungi Irma terlebih dahulu di Rumah Tahana. Ia memang sudah merencanakan hal ini dari minggu lalu. Sebelum Irma dinyatakan bersalah dan resmi menjadi seorang narapidana, ia ingin berbicara dengannya dari hati ke hati terlebih dahulu. Bagaimanapun dulu Irma adalah temannya. Lebih tepatnya teman yang selalu ia lindungi dari masalah perudungan di sekolahnya. Ia ingin
Ziva membeku. Ia sejenak seperti merasa merasa kehilangan orientasi. Ini pendengarannya yang salah atau memang Lautan yang jadi error karena dibodohi Irma bin Puput ya? Bagaimana ia tidak bingung coba, Lautan yang biasanya dingin-dingin coolkas masa mendadak romantis ala ala anak santri begini? Jangan-jangan ada yang tidak beres dalam struktur otaknya."Bang Utan sadar nih ngomong ginian sama Ziva? Inget ya Bang, apa yang sudah diucapkan tidak boleh ditarik lagi kayak petugas BPOM narik makanan kadaluarsa di supermaket. Jangan karena Abang lagi galau makanya Abang jadi iseng gombalin Ziva." Ziva mencebikkan bibirnya. Pura-pura kesal. Padahal dalam hati dia ingin goyang dombret sambil salto-salto di udara saking senangnya. Bayangkan, ia mendapat balasan gombalan syariah dari pria pujaan hatinya."Kamu lihat Abang sedang pingsan tidak?" tanya Lautan. Ziva menggelengkan kepalanya. Ya emang kagak pingsanlah. Kalau pingsan mah orangnya reba
Denver membuka pintu kamar perlahan dan menutupnya kembali dengan hati-hati. Berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Ia tidak ingin Pandan ikut terbangun. Setelah pintu tertutup rapat, ia melanjutkan langkahnya menuju ke taman belakang. Ia memang sengaja mencari tempat yang tenang dan kondusif untuk menelepon Lautan. Mengajak bicara dari hati ke hati. Bagaimanapun pembicaraan mereka ini sangat sensitif. Kalau ia tidak hati-hati, bisa-bisa Lautan salah paham dan menganggapnya memfitnah calon istrinya.Sebenarnya Lautan itu sudah berniat untuk menikah dengan Puput tahun ini juga. Hanya saja Lautan belum memberitahukan niatnya pada keluarganya. Ia ingin membuat kejutan katanya. Keinginan Lautan ini hanya ia seorang yang mengetahuinya. Karena Lautan memintanya untuk merahasiakannya dulu. Makanya saat ini ia begitu resah. Membongkar semua kedok Puput pada Lautan yang tengah sayang-sayangnya, ibarat makan buah simalakana. Ia tidak tega membayangkan betapa kecew
"Terus hubungan Radit sama Irma ini apaan? Kok kesannya si Radit ini ngelindungin si Irma banget? Bukannya saya suuzon sama orang ya, Bang. Tapi Radit itu biasanya nggak pernah mau berteman dengan orang yang maaf, nggak selevel dengannya. Setahu saya sih begitu, Bang," ucap Pandan hati-hati. Bukan apa-apa, Denver ini agak sensitif kalau nama Radit dibawa-bawa. Denver tidak langsung menjawab. Ia malah melipat kedua tangannya ke dada. Bersedekap sambil menyipitkan matanya. Hadeh bau-baunya bakalan disindir-sindir lagi nih."Kenapa kamu ingin tahu sekali mengenai hubungan Radit dan Irma?" ujar Denver kesal.Nah kan, kejadian juga apa yang baru saja ia pikirkan. Kudu pake strategi, puji, angkat, dan umbang-umbang lagi ini sepertinya."Ck, ya karena saya ingin mengungkap kasus sabotase dan teror meneror ini lah, Abangku sayang," rayu Pandan mesra. "Udahan dong Bang, curiga-curigaannya. Kan sudah saya bilang,