"Lo pulang kerja bukannya ke rumah dulu, ini malah ke rumah gue. Nggak takut lo ntar diamuk sama Bang Utan?" Vanilla yang baru saja selesai menyusui putrinya, menepuk-nepuk lembut punggung sang bayi. Tidak lama kemudian terdengar suara sendawa dari mulut mungil si bayi yang lucu. Si bayi menggerutu sendiri, sebelum menguap lebar dan memejamkan matanya. Sepertinya bayi Vanilla ini mengantuk karena kekenyangan.
"Nggak masalah, La. Semua dalam keadaan aman dan terkendali. Gue udah buat laporan khusus ke Bang Utan. Gue bilang kalo lo lagi stress karena terkena sindrom baby blues. Jadi sebagai sahabat yang baik, gue akan selalu ada buat menghibur lo. Gue ini kan selalu main aman setiap mau berbohong. Lo nggak usah khawatir La?"
Pandan gantian menepuk-nepuk punggung Vanilla dengan gaya menenangkan. Ia meniru dengan sempurna aksi Vanilla saat menepuk-nepuk punggung bayinya. Tindakannya ini dihadiahi dengusan oleh Vanilla. Pandan hanya terkekeh saja. Ia memang sengaja singgah ke rumah Vanilla karena kangen dengan bayinya yang lucu. Setelah seharian ngebabu, dia perlu merefresh diri dengan melihat yang imut-imut dulu. Vanilla melotot jengkel.
"Dasar sahabat lucknut lo ya? Gue baik-baik aja malah lo bilang kena sindrom baby blues. Hati-hati lo. Ketahuan Bang Utan semua kebohongan lo, bisa dijadiin serundeng ntar." Vanilla mencoba mengingatkan. Si Pandan ini telah melakukan kebohongan berkali-kali pada Lautan, kakaknya. Pertama Pandan telah berbohong soal pekerjaannya. Pada Lautan ia mengaku berkerja sebagai designer di salah satu butik terkenal. Padahal ia menjadi OG di perusahaan saingan keluarganya. Kedua, Pandan menciptakan image sebagai seorang anak kost yang kere di dekat kantornya. Padahal ia membayar uang kost hanya untuk menitip mobilnya. Pandannya tetap saja pulang ke rumah. Setiap pagi ia keluar rumah dan mengganti pakaian glamournya dengan kostum OG di kost-annya. Setelah itu baru lah ia bekerja. Sepulang kerja juga begitu. Ia mengganti terlebih dahulu kostum OG-nya dengan pakaiannya semula, baru kembali ke rumah. Dan yang ke tiga, ya ini. Pandan menjual namanya agar bisa main ke rumahnya dengan alasan kalau ia sedang terkena sindrom baby blues. Kreatif sekali berbohongnya bukan? Padahal Putra Lautan ini gualaknya nauzubillah. Kalau semua akal-akalan Pandan ketahuan, bakalan dikuliti hidup-hidup itu si Pandan.
"Ya mau gimana lagi, La. Semua ini 'kan gue lakuin untuk menyelamatkan perusahaan keluarga juga. Masa gue diem-diem bae tender-tender gede perusahaan keluarga gue diembat orang terus. Lama-lama bisa rubuh dong itu perusahaan. Intinya gue begini 'kan demi kelangsungan semua klan Aditama Perkasa juga." Seperti biasa Pandan langsung membela diri.
"Tapi kenapa lo mesti bohong sama Bang Utan? Kenapa nggak lo kasih tau aja tujuan lo yang tulus nan mulia itu?" sindir Vanilla sadis.
"Waktu gue nyaranin lo jadi OG, gue pikir Bang Utan tau soal misi lo ini. Makanya gue tenang-tenang aja. Tapi rupanya ini Bang Utan kagak tau apa-apa. Kalo sampai Bang Utan tau gue ikut andil dalam misi terselubung lo ini, bisa abis gue, Ndan!" Keluh Vanilla ngeri. Putra Lautan Aditama Perkasa itu memang galak sekali. Aliya dulu pernah mengatakan kalau Lautan bersin saja bisa keluar becak. Apalagi kalau ia marah bukan? Bisa-bisa yang keluar bukan hanya becak saja. Tapi bajaj, angkot bahkan bus antar kota.
"Makanya lo doain supaya misi gue itu completed sebelum gue ketauan sama Bang Utan. Kalo doa lo khusyu dan sungguh-sungguh, insya allah pasti akan dijabah Allah, La." Rayu Pandan manis. Berusaha meniru ceramah paginya Mama Dedeh.
Pandan kini pindah posisi mendekati bayi Vanilla yang sedang tidur seraya memperhatikan ekspresi si bayi yang berubah-ubah. Sebentar ia tertawa, sebentar kemudian menjebi-jebi seperti mau menangis. Dan sekarang ia mengulet-ulet hingga wajahnya memerah sambil menggerutu. Pandan gemas sekali melihatnya. Lucu banget euy. Duh, jadi pengen punya bayi sendiri. Ups!
"Si Boncel ini lucu banget ya, La? Noh coba lo liat coba ekspresinya. Bisa berubah-ubah gitu. Padahal lagi tidur. Anak lo kira-kira lagi mimpi apaan ya sampe mesem-mesem gitu mukanya?" Pandan mengelus pelan pipi si Boncel dengan gemas.
"Eh ikan dugong! Lo namain apa anak gue tadi? Si Boncel? Gue sama Altan nyari nama-nama bayi yang keren itu sampai berbulan-bulan tahu. Sampai bikin selametan bubur putih bubur merah lagi buat namain si Zeline. Ini lo malah seenaknya aja ngeganti-ganti nama anak orang. Nama anak gue itu Zeline Zakeisha Wijaya Kesuma. Yang artinya anak perempuan penghuni surga yang berwajah cantik seperti emaknya. Bukan si Boncel!" Vanilla ngamuk-ngamuk karena putri cantiknya dipanggil si Boncel oleh Pandan.
"Etdah nama si Bon--eh Zeline ini panjang amir, La? Lo buat namanya bukan pas lagi naik kereta api kan?" Pandan kembali cengengesan saat melihat Vanilla melotot lagi. Pandan merasa Vanilla pasti akan mendebatnya lagi. Semenjak sudah naik pangkat menjadi seorang ibu, jiwa keibuannya mengalir deras bagai tanggul jebol. Tidak bisa dibendung. Belum sempat sahabatnya itu menyela, pintu kamarnya terbuka dan menghadirkan sosok suami tercintanya si Illa yang sepertinya baru pulang kantor. Altan Wijaya Kesuma.
"Sewaktu Tante Embun menamai kamu, si Tante tidak sedang ada di toko grosir beras kan, Ndan?" Sedikit kata-kata, tapi sentilannya ngena banget.
"Kalau tidak salah nama lengkap kamu itu Pandan Wangi Aditama Perkasa, kan? Empat baris kata juga sama seperti Zeline. Tapi kamu lahirnya di rumah sakit 'kan? Bukan di MRT?"
Astaganaga. Altan ngebales ngenyeknya kagak mau rugi banget. Semua dibalesin satu persatu kayak lagi ngereply chat gebetan. Kagak ada yang terlewat satu kata pun coeg!
"Saya cuma bercanda kali, Bang. Jangan diambil hati ya, Bang? Cukup usus dua belas jari aja yang diambil. Biar gampang keluarnya." Pandan lagi-lagi ngeles dengan cara bercanda. Suami jutek si Illa ini cuma mendengus saja. Ish kok bisa ya si Illa betah banget punya laki judes dan tukang itung-itungan begini? Untung ganteng. Eh kaya juga. Eh cinta banget juga sama si centil Illa. Berarti si Illa beruntung dong ya?
Mungkin karena mendengar suara ribut-ribut, si bayi jadi terbangun dan mulai mengeluarkan suara tangisan terkencangnya. Aje gile, desibel suara tangisannya sampai membuat telinganya berdenging. Bibit-bibit bakalan bisa jadi penyanyi rock ini ntar gedenya si Zeline ini.
"Wah anak daddy udah bangun ya? Sini daddy gendong dulu. Duh anak daddy kayaknya belum mandi ini. Bau acem soalnya." Pandan cengo melihat Altan yang biasanya ketus-ketus songong kalau ngomong, bisa berbicara dengan bahasa bayi yang begitu menggemaskan dengan putrinya. Duh si Altan ini bapakable banget ternyata ya?
"Masa bau acem sih, daddy? Orang baru dimandiin juga. Kalau mommynya gimana, Dad? Udah halum atau masih bau acem juga?" Vanilla sekarang ikut-ikutan berbicara dalam bahasa bayi juga. Altan mengikuti permainan Vanilla dengan mengendus-endus gemas leher dan pipinya. Vanilla yang kegelian terkekeh-kekeh kencang diiringi si bayi yang kini juga ikut tertawa terkekeh-kekeh. Ia seolah-olah mengerti kalau ia sedang diajak bermain oleh kedua orang tuanya.
Ebuset, gue cuma dianggap kayak kain hordeng kamar doang di sini yak?
Pandan yang merasa bagai remahan kripik pisang di dalam kaleng Khong Gua*, buru-buru berpamitan. Jiwa jomblo ngenesnya meronta-ronta hebat meminta pelepasan Hak Guna Hati demi mendapatkan sertifikat dihalalin. Naseb... naseb...
========================
Pandan mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedikit di atas rata-rata. Ia lafar pemirsa. Saat ia berkunjung ke rumah Vanilla tadi, ia sudah keburu pulang sebelum ditawari makan malam. Gimana ia tidak minta pulang coba? Itu keluarga kecil tidak menganggap ia sebagai manusia di sana. Mereka berdua terus saja mesra-mesraan dan melupakan seonggok manusia jomblo yang hatinya hancur berkeping-keping, saat melihat pertunjukan live show kasih sayang berbalut cinta. Cih!
Suara orkes melayu mulai terdengar menyayat hati dari perutnya. Sepertinya tingkat laparnya sudah mencapai level maksimal. Pandan menekan kian dalam pedas gasnya. Malangnya ia tidak memperhatikan kala sebuah mobil mewah lainnya yang baru saja keluar dari perempatan jalan, tiba-tiba melintas.
CKITTTT!!!
Pandan buru-buru menginjak rem dan membanting stir ke kiri. Mobil mewah itu juga terlihat agak oleng karena sepertinya juga direm secara mendadak.
Alhamdullilahhh...
Pandan membenamkan wajah pada stir mobil berbantalkan kedua lengannya. Untung saja ia bisa mengerem tepat waktu dan selamat. Kalau tidak, pasti ia akan menghadap penciptaNYA lebih cepat dari pada waktu yang seharusnya. Sejurus kemudian pintu kaca samping mobilnya diketuk oleh seseorang. Ia tidak segera membukanya. Ia menghela napas panjang beberapa kali dan menenangkan perasaannya dulu. Setelah perasaannya agak sedikit tenang, barulah ia menegakkan tubuh dan membuka kaca mobil. Pasti ini adalah pengemudi mobil yang tadi nyaris bertabrakan dengannya.
"Apakah Anda tahu berapa batas kecepatan selama berkendara di jalan raya?" Suara dalam dan gusar seorang laki-laki memasuki pendengarannya.
"Batas kecepatan di jalan bebas hambatan adalah 100 km/jam. Untuk jalan antarkota, kecepatan paling tinggi adalah 80 km/jam. Kawasan perkotaan 50 km/jam, dan kawasan permukiman 30 km/jam. Sudah jelas? Kalau sudah, silihkan minggir, saya mau meneruskan perjalanan."
Pandan yang sesungguhnya masih shock, menjawab pertanyaan si pengemudi asal saja tanpa berniat untuk melihat wajahnya. Ia kini menurunkan rem tangan, menaikkan persnelling ke posisi D dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Gara-gara insiden ini, rasa laparnya menguap sudah. Yang tersisa sekarang adalah rasa letih. Ia ingin secepatnya membaringkan tubuh di ranjang empuknya.
"Pandan Wangi Aditama Perkasa? Pantas saja!" Intonasi dalam suara pria ini semakin tidak enak didengar.
Mendengar nama disebut orang asing ini secara lengkap, sontak membuat Pandan melirik sosok yang berdiri tepat di samping mobilnya. Mahater Depati. Anak Om Rangkayo Depati atau yang biasa disapa Anak Dewa oleh ibunya. Om Anak Dewa ini adalah kakak angkat ibunya sewaktu tinggal di Bukit Dua Belas dulu. Hanya saja hubungan cinta yang bersegi-segi antara Tante Suci, Om Anak Dewa, ayah dan ibunya, membuat hubungan kekeluargaan mereka mendingin. Ayahnya tidak menyukai Om Anak Dewa begitu pun sebaliknya.
"Bang Ather ngapain sih lama-lama di sana? Orangnya masih hidup 'kan? Nggak mati? Ya udah kita jalan lagi. Kebagusan amat ditanya-tanya keadaannya? Kesenangan ntar tuh orang?" Suara nyaring seorang perempuan terdengar dari mobil Mahater yang diparkir sembarang di pinggir jalan. Si Mahater ini sedang bersama pacarnya rupanya.
Kalo gue mati, yang pertama bakalan gue cekek ya, elo. Batin Pandan kesal.
Beberapa orang pengguna jalan dan masyarakat sekitar, yang melihat kejadian tadi mulai mendekat dan menghampiri mobilnya. Saat mereka menanyakan keadaannya, Mahater lah yang menjawab semua pertanyaan-pertanyaan mereka. Pasti si Mahater ini sok baik karena takut dikeroyok massa. Ia juga mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja dan mereka berdua juga saling mengenal dengan baik. Saat Mahater mengatakan bahwa mereka berdua saling mengenal dengan baik, Pandan mencibir. Saling mengenal dengan baik katanya? Hah, saling bermusuhan lebih tepatnya.
"Pantas saja apa? Pantas mati gitu maksud lo? Minggir sana, gue mau lewat. Lagian itu piaraan lo di mobil dikasih sesajen dulu dong, biar nggak ngamuk-ngamuk terus." Pandan yang risih karena menjadi perhatian orang banyak segera mengusir Mahater. Mana itu pacarnya teriak-teriak terus lagi di mobil. Nggak haus apa ya itu cewek dari tadi ngomel-ngomel terus?
"Kamu tidak apa-apa? Wajah kamu pucat sekali. Kamu mau minum dulu barangkali? Di mobil saya ada air mineral baru?" Mahater menahan pergelangan tangannya yang ingin menutup kaca mobil.
"Kagak usah, terima kasih. Gue nggak haus. Lagian lo nggak usah sok baik sama gue. Padahal dalam hati pasti lo nyukurin gue banget kan? Lagu lo sok baik sama gue," gerutu Pandan sebel.
"Bejalan hendak menepi. Supayo idak tepijak kanti. Becakap piaro lidah. Supayo kanti idak meludah."
Pandan terdiam. Soalnya ia sama sekali tidak tahu apa arti kata-kata si Mahater ini. Dia yang dari lahir dan besar di ibukota seperti ini, manalah ia mengerti bahasa daerah Jambi. Lain kalau tadi ibunya yang diberi jawaban berpantun seperti ini. Pasti bisa langsung dibales dengan sama merdunya oleh ibunya. Lah dia ini kan tahu pantun cuma dari acaranya almarhum Olga dan Kang Opick doang. Paling pantun yang melekat di kepalanya itu adalah kata-kata; masak aer biar mateng. Dan dijawab audiens dengan kata; cakeppp. Dah itu aja.
"Maap ye. Supaya gue nggak merusak isi pantun yang indah tapi gue kagak tau artinya itu, gue cuma mau bilang kalo gue nggak kenapa-kenapa dan gue mau pulang sekrang. Titik. Lepasin tangan gue." Pandan berusaha menarik pergelangan tangannya yang dicekal oleh Mahater.
"Pantun itu artinya jika hendak melakukan sesuatu haruslah berhati-hati. Seperti juga tuduhan kamu tadi yang mengatakan kalau saya mengharapkan kamu mati. Jaga lisan kamu. Saya sama sekali tidak mempunyai keinginan seperti itu." Desis Mahater kesal. Kedua alisnya bertaut kencang. Marah rupanya si Mahater ini. Ya sudahlah. Emang gue pikirin!
"Oke. Gue minta maaf kalo itu bisa buat gue lebih cepet nyampe rumah. Lepasin tangan gue, gue bilang!" Pandan menarik paksa tangannya dari cengkraman Mahater. Cengkraman itu akhirnya terurai setelah pacar si Mahater berteriak lagi. Alamat bisa terkena kanker telinga ini si Mahater kalo lama-lama pacaran sama cewek model tarzan begini. Setelah Mahater menggeser tubuhnya, Pandan melajukan kendaraannya dan melewati tubuh Mahater begitu saja. Ia tadi bahkan dengan sengaja bersikap seolah-olah ingin menabraknya. Emang enak berurusan dengan keluarga Aditama Perkasa!
Pandan baru saja tiba di rumah. Saat turun dari mobil, pandangannya tertuju pada mobil kakaknya yang tidak berpengemudi, tetapi mesin mobilnya dalam keadaan hidup di garasi. Berarti kakaknya akan keluar rumah sebentar lagi. Pandan melanjutkan langkah ke ruang tamu, dan nyaris ditabrak kakaknya yang terlihat sedang terburu-buru. Mau ke mana sih kakaknya ini?"Abang mau kemana sih? Buru-buru amat?" tanya Pandan penasaran. Pandan meneliti penampilan kakaknya yang rapi jali. Kakaknya juga menyandang tas kecil yang biasa ia bawa saat akan menemui client-clientnya."Abang dan Denver mau ke temu beberapa teman lama di club. Mereka selama ini tinggal di luar negeri. Ada beberapa orang dari mereka yang sedang mencari developer untuk membangun apartemen dan perumahan-perumahan exclusive. Abang sekalian mau menawarkan design-design terbaru kantor kita. Siapa tahu mereka tertarik dan mau menjalin kerjasama. Abang jalan dulu ya, Dek." Sahut Lautan terges
"Selamat pagi, Pak Arsene. Silahkan dinikmati kopinya. Permisi," setelah meletakkan secangkir kopi di meja atasannya, Pandan membungkuk sopan dan pamit kembali ke belakang."Mau ke mana kamu? Urusan kita yang kemarin belum selesai," sembur atasan barunya.Masalah sudah menghampiri pagi-pagi.Pandan menghentikan langkah. Menarik napas panjang dan menghitung satu sampai lima sebelum berbalik badan. Bersiapberkonfrotasi dengan atasan barunya."Ya, Pak. Saya siap mendengarkan," ucap Pandan sopan. Sebenarnya bukan sifatnya selalu mengalah saat ditindas dan dipersalahkan atas sesuatu yang bukan salahnya. Tetapi setelah ia pikir-pikir, sepertinya ia harus menerapkan ilmu tarik ulur. Ia boleh sesekali membantah, tetapi harus dengan cara yang sopan. Kalau ia terus melawan sebelum misinya selesai, kemungkinan besar dirinya bisa dipecat. Dan itu tentu saja akan membuat penyelidikan
Pandan terbangun di tengah malam karena mimpi buruk. Ia bermimpi kalau perusahaan mereka bangkrut dan kakaknya masuk penjara. Masih begitu jelas terekam dalam benaknya, kakaknya berteriak-teriak histeris dan mengatakan kalau ia tidak bersalah sebelum beberapa orang polisi meringkusnya. Pandan terduduk tegak di atas tempat tidur. Tubuh terus gemetar dengan keringat dingin yang bercucuran. Mimpi itu begitu nyata. Apalagi saat bagian kakaknya menoleh ke belakang sambil terus meneriakkan kata kalau ia tidak bersalah. Sementara ia berlari mengejar kakaknya. Meminta para polisi itu untuk membebaskan kakaknya. Ia seolah-olah sedang menonton dirinya sendiri di dalam mimpinya.Karena tidak bisa kembali tidur, Pandan turun dari ranjang. Ia bermaksud membuat segelas susu hangat di dapur. Biasanya kalau ia terbangun di tengah malam dan tidak bisa tidur lagi, segelas susu hangat akan membuatnya rileks. Saat akan mendekati dapur, Pandan menjerit kaget melihat ada bayang
Pagi yang rusuh. Pandan dan Mbak Nanik saling berpandang-pandangan saat mendengar suara-suara pertengkaran dari dalam ruangan Pak Arsene. Bentakan-bentakan Pak Arsene yang diiringi dengan tangisan dan juga makian Bu Intan mewarnai pagi di P.T Inti Graha Anugrah. Mbak Nanik mengatakan selama hampir delapan tahun ia bekerja di perusahaan ini, belun pernah ada kasus yang seheboh ini. Biasanya saat ada pemecatan terhadap salah seorang staff, semua prosedur pemecatannya di tangai oleh pihak HRD. Jadi kalau yang bersangkutan tidak puas atau tidak terima bila dipecat, maka urusannya hanya sampai di HRD. Tidak ada yang berani memprotes apalagi sampai memaki-maki seorang Direktur Utama. Bu Intan merupakan satu-satunya staff senior yang berani langsung protes pada pimpinan tertinggi di perusahaan ini."Anda anak bau kencur tidak tahu apa-apa, bisa-bisanya Anda memperlakukan saya seperti ini. Dasar tidak tahu berterima kasih! Kalau tidak ada saya, perusahaan ini sudah kola
"Jelaskan..."Denver melihat staff adminnya yang bernama Indah Pertiwi itu terus saja gemetaran walaupun ia sudah menggunakan nada paling rendah saat menginterogasinya. Duduknya tidak tenang dan kedua tangannya saling meremas satu sama lain. Tatapan matanya tidak fokus pada satu titik dan terus saja memandang kesegala arah kecuali padanya. Denver memberi isyarat pada detektif yang terlihat memegang sebuah amplop coklat. Denver tahu, isi amplop itu pasti hasil penyelidikan menyeluruh dari detektifnya. Setelah membacanya sebentar, is sudah tahu secara gadis besar semua permasalahannya. Ia kemudian memberi kode pada sang detektif untuk keluar. Ia ingin menguliti Indah Pertiwi ini sendirian selapis demi selapis. Sang detektif membuka pintu ruangan dan saat bayangan si detektif menghilang, barulah Indah bersuara."Sa--sa--ya bersalah. Saya minta ma--maaf." Jawab Indah terbata-bata."Bukan itu jawaban yang saya i
Denver melajukan mobil sekencang-kencangnya. Semakin lama pedal gas yang diinjaknya semakin dalam. Ia memerlukan pelampiasan! Sembari menyetir ia memegangi dada kanannya yang terasa sesak. Tidak bisa begini. Ia merasa kesulitan meraih udara. Paru-parunya seakan kolaps. Ia membutuhkan udara segar, atau ia akan mencelakakan dirinya sendiri di jalan raya.Ketika melewati jalan yang sedikit sepi, Denver menyalakan lampu tangan dan menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Dengan segera ia keluar dari mobil seraya menghembuskan napas kasar pendek-pendek dari mulutnya. Ia sudah menduga kalau memang Pandanlah biang keroknya. Toh ia juga telah melihat photo-photo mesra Pandan dengan para calon clientnya. Ia jelas-jelas telah tahu aksi-aksi tidak bermoral Pandan. Tetapi ketika melihat Pandan beraksi dengan mata dan kepalanya sendiri, beda rasanya. Sakitnya merasuk hingga ke tulang sumsumnya. Jujur ia sempat tidak ingin mempercayai penglihatannya. Menerima kenyataan yang ti
"Bagaimana Pandan Wangi Aditama Perkasa? Saya tidak mendengar jawaban kamu. Sudahlah, buang wajah pura-pura kaget kamu itu. Di sini tidak ada siapa-siapa. Jadi sikap sok innocent kamu itu tidak berguna. Jangan membuat saya semakin muak dengan ekspresi wajah munafik kamu itu," cetus Denver dingin.Pandan tidak menjawab sesuku kata pun. Tetapi ia menatap tajam wajah Denver dengan kebencian yang tidak lagi ia sembunyikan. Dasar penghianat manipulatif! Sudah salah tetapi masih saja bersikap playing victim."Kalau saya katakan bahwa saya tidak seperti yang kamu duga. Apakah kamu akan mempercayai kata-kata saya?" ucap Pandan sembari menatap tepat pada netra hitam mata Denver."Tidak," jawab Denver singkat.Pandan menarik napas panjang. Berarti apapun yang akan ia katakan selanjutnya, tidak akan ada gunanya. Denver telah memilih untuk mempercayai asumsinya sendiri. Ia jelaskan sampai mulutnya berbusa-
Mahater ragu-ragu antara ingin membangunkan Pandan atau menelepon Lautan saat mereka telah tiba di pintu gerbang kediaman Aditama Perkasa. Sebenarnya kalau mau dirunut-runut, keluarga besarnya masih mempunyai hubungan kekeluargaan dengan keluarga Aditama Perkasa, walaupun bukan digariskan melalui hubungan darah. Ibu Pandan adalah adik angkat ayahnya dan mereka dibesarkan bersama sebagai kakak adik. Namun lama kelamaan perasaan cinta persaudaraan mereka berubah rasa menjadi cinta asmara antara seorang laki-laki dan perempuan. Hanya saja karena satu dan lain hal mereka berdua tidak berjodoh. Ibu Pandan akhirnya menikah dengan Revan Aditama Perkasa sementara ayahnya menikahi anak salah satu karyawannya yang bernama Suci Melati, ibunya. Karena masa lalu mereka yang saling terkait satu sama lain, menjadikan hubungan kekeluargaan mereka merenggang. Om Revan tidak menyukai ayahnya begitu juga sebaliknya. Ayahnya selalu mengatakan kalau Om Revan itu tukang tikung. Sementara Om Revan juga me
"Apa gue kata 'kan, Ndan? Laki mah kalo di luar aja kelihatan keren, macho, laki abis. Coba udah berhubungan dengan perasaan dan isi hati. Lemah coeg! Kayak puding kelebihan air. Ambyar," ejek Vanilla semangat. Ia terus menyindir-nyindir Denver sekaligus menyentil Altan, suaminya sendiri. Bukan apa-apa, rasanya bahagia dan puas sekali bisa menyinyiri dua bapak-bapak muda yang biasanya galak dan macho abis ini. Ia jadi kepingin goyang dumang saat melihat dua laki-laki gahar itu hanya cengar cengir salah tingkah mendengar sindirannya."Udah dong, Sayang. Jangan terus diobok-obok ah kelemahan Abang. Abang 'kan lemahnya sama kamu saja. Itu artinya, Abang cinta banget sama kamu. Iya 'kan, Sayang?" Altan mencoba merayu istri jahilnya agar tidak semakin membuatnya kehilangan muka. Tetapi jujur, ia bahagia juga karena Denver yang gahar pun ternyata sama lemahnya seperti dirinya. Kalau menyangkut orang yang ia sayang, segahar apapun seorang laki-laki akan tetap saj
Pandan terbangun di tengah malam saat merasakan perutnya menegang. Perlahan ia mengelus-elus perut buncitnya. Berharap rasa tegangnya bisa sedikit berkurang. Ia melirik ke sisi kanan ranjang. Denver, suami machonya tengah tertidur pulas. Garis-garis kelelahan tampak membayangi raut wajahnya. Tidak heran Denver kalau suaminya ini sekarang tepar. Tadi pagi baru tiba dari luar kota, ia harus kembali meeting marathon dengan para investor di kantor. Tidak heran kalau saat ini suaminya itu tidur seperti orang mati. Suaminya lelah jiwa raga.Pandan meringis saat merasakan nyeri di perutnya. Sebenarnya sudah sejak tadi pagi, ia merasa kalau tubuhnya tidak nyaman. Perutnya sering terasa tegang tiba-tiba namun hilang juga dengan sendirinya. Menurut buku-buku yang ia baca, mungkin ia tengah mengalami braxton hicks atau kontraksi palsu. Karena rasa kramnya ituhanya terasa di daerah perut atau panggul. Selain itu frekuensi dan pola kontraksinya juga acak dan ti
Pandan dan Denver tersenyum sumringah. Hari ini adalah hari yang paling mereka tunggu-tunggu. Yaitu resepsi pernikahan mereka. Sebenarnya bukan meriahnya acara yang membuat mereka bahagia. Tetapi makna yang tersirat di dalamnya. Resepsi ini adalah seperti pemberitahuan resmi pada khalayak ramai bahwa mereka berdua telah sah menjadi sepasang suami istri. Walaupun sebelumnya mereka berdua telah menikah dan sah secara hukum dan agama, tetapi tidak semua orang mengetahuinya bukan? Bagi orang yang tidak mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, bisa saja kebersamaan mereka dianggap zinah. Oleh karena itulah maka resepsi pernikahan diperlukan.Saat ini ia dan Denver tengah menjadi ratu dan raja sehari. Mereka berdua duduk di pelaminan dan memandangi para tamu yang datang dan pergi silih berganti. Di samping kanan mereka terdapat satu pelaminan lagi. Di sana Tyza dan Elrama lah yang menjadi ratu dan rajanya. Resepsi pernikahannya memang digelar secara bersamaan
Satu setengah jam sebelumnya.Denver merasa ada sesuatu yang tidak beres saat ia tidak bisa menghubungi ponsel Pandan. Ia kemudian menghubungi ponsel ibunya untuk mengetahui keadaan Pandan di rumah. Saat itulah perasaannya menjadi semakin tidak enak. Ibu dan ART-nya sedang berbelanja bulanan di supermaket rupanya. Itu artinya istrinya hanya sendirian saja di rumah. Ia mencoba menghubungi Pak Mul. Hatinya semakin was-was karena untuk pertama kalinya ponsel SATPAM yang menjaga rumahnya itu dalam keadaan tidak aktif. Pasti telah terjadi sesuatu, batinnya. Tanpa membuang waktu, ia meninggalkan kantor dan mengebut pulang ke rumah. Di sepanjang jalan, degup jantungnya semakin tidak berarturan. Ia sangat takut kalau terjadi sesuatu pada istrinya. Apalagi istrinya saat ini tengah berbadan dua.Mendekati pagar rumahnya ia tahu pasti telah terjadi sesuatu. Pintu gerbang rumahnya terbuka lebar sementara sosok Pak Mul tidak terlihat di pos jaga se
Vanilla menarik napas lega saat putrinya akhirnya tertidur juga. Ini adalah kesempatan emas baginya untuk ikut tidur juga barang sejenak. Semenjak mempunyai bayi yang usianya masih dalam hitungan bulan, jadwal tidurnya menjadi berantakan. Ia sudah mirip dengan kelelawar sekarang. Kalau malam ia melek sambil momong anaknya yang tidak mau tidur. Dan kalau pagi seperti ini barulah ia tidur. Sekarang baginya pagi itu adalah malam, dan malam itu adalah pagi. Untung saja matahari dan rembulan tidak ikutan ganti shift seperti dirinya. Coba ikut ganti jadwal juga, bakalan seperti hidup di negeri Thanos lah kita semua.Baru saja ia ingin merebahkan tubuh lelahnya, sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Pandan Wangi, rupanya. Sudah lama sekali sahabatnya ini tidak menghubunginya. Semenjak ia mempunyai bayi, Pandan memang sudah jarang sekali mengajaknya hang out bersama. Ribet katanya. Ya jelaslah, dugem sambil momong bayi itu tidak mudah bambank. Riweuh. Lagian kesia
Denver melambaikan tangan pada Pandan setelah terlebih dahulu memberi kecupan jarak jauh pada istrinya. Seolah-olah kecupan sayang yang baru saja dicercahkannya di kening istrinya tadi, masih belum memuaskannya. Setelah itu baru lah ia masuk ke dalam mobil dan meninggalkan istrinya untuk bekerja. Setiap pagi agendanya memang seperti ini. Pandan akan menemaninya sarapan pagi, mengiringi langkahnya sampai ke teras depan, dan melambaikan tangannya sampai bayangannya tidak tampak lagi. Ritual paginya sungguh membahagiakan.Tapi khusus hari ini ia akan sedikit terlambat untuk pergi ke kantor. Ia akan mengunjungi Irma terlebih dahulu di Rumah Tahana. Ia memang sudah merencanakan hal ini dari minggu lalu. Sebelum Irma dinyatakan bersalah dan resmi menjadi seorang narapidana, ia ingin berbicara dengannya dari hati ke hati terlebih dahulu. Bagaimanapun dulu Irma adalah temannya. Lebih tepatnya teman yang selalu ia lindungi dari masalah perudungan di sekolahnya. Ia ingin
Ziva membeku. Ia sejenak seperti merasa merasa kehilangan orientasi. Ini pendengarannya yang salah atau memang Lautan yang jadi error karena dibodohi Irma bin Puput ya? Bagaimana ia tidak bingung coba, Lautan yang biasanya dingin-dingin coolkas masa mendadak romantis ala ala anak santri begini? Jangan-jangan ada yang tidak beres dalam struktur otaknya."Bang Utan sadar nih ngomong ginian sama Ziva? Inget ya Bang, apa yang sudah diucapkan tidak boleh ditarik lagi kayak petugas BPOM narik makanan kadaluarsa di supermaket. Jangan karena Abang lagi galau makanya Abang jadi iseng gombalin Ziva." Ziva mencebikkan bibirnya. Pura-pura kesal. Padahal dalam hati dia ingin goyang dombret sambil salto-salto di udara saking senangnya. Bayangkan, ia mendapat balasan gombalan syariah dari pria pujaan hatinya."Kamu lihat Abang sedang pingsan tidak?" tanya Lautan. Ziva menggelengkan kepalanya. Ya emang kagak pingsanlah. Kalau pingsan mah orangnya reba
Denver membuka pintu kamar perlahan dan menutupnya kembali dengan hati-hati. Berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Ia tidak ingin Pandan ikut terbangun. Setelah pintu tertutup rapat, ia melanjutkan langkahnya menuju ke taman belakang. Ia memang sengaja mencari tempat yang tenang dan kondusif untuk menelepon Lautan. Mengajak bicara dari hati ke hati. Bagaimanapun pembicaraan mereka ini sangat sensitif. Kalau ia tidak hati-hati, bisa-bisa Lautan salah paham dan menganggapnya memfitnah calon istrinya.Sebenarnya Lautan itu sudah berniat untuk menikah dengan Puput tahun ini juga. Hanya saja Lautan belum memberitahukan niatnya pada keluarganya. Ia ingin membuat kejutan katanya. Keinginan Lautan ini hanya ia seorang yang mengetahuinya. Karena Lautan memintanya untuk merahasiakannya dulu. Makanya saat ini ia begitu resah. Membongkar semua kedok Puput pada Lautan yang tengah sayang-sayangnya, ibarat makan buah simalakana. Ia tidak tega membayangkan betapa kecew
"Terus hubungan Radit sama Irma ini apaan? Kok kesannya si Radit ini ngelindungin si Irma banget? Bukannya saya suuzon sama orang ya, Bang. Tapi Radit itu biasanya nggak pernah mau berteman dengan orang yang maaf, nggak selevel dengannya. Setahu saya sih begitu, Bang," ucap Pandan hati-hati. Bukan apa-apa, Denver ini agak sensitif kalau nama Radit dibawa-bawa. Denver tidak langsung menjawab. Ia malah melipat kedua tangannya ke dada. Bersedekap sambil menyipitkan matanya. Hadeh bau-baunya bakalan disindir-sindir lagi nih."Kenapa kamu ingin tahu sekali mengenai hubungan Radit dan Irma?" ujar Denver kesal.Nah kan, kejadian juga apa yang baru saja ia pikirkan. Kudu pake strategi, puji, angkat, dan umbang-umbang lagi ini sepertinya."Ck, ya karena saya ingin mengungkap kasus sabotase dan teror meneror ini lah, Abangku sayang," rayu Pandan mesra. "Udahan dong Bang, curiga-curigaannya. Kan sudah saya bilang,