"Bagaimana Pandan Wangi Aditama Perkasa? Saya tidak mendengar jawaban kamu. Sudahlah, buang wajah pura-pura kaget kamu itu. Di sini tidak ada siapa-siapa. Jadi sikap sok innocent kamu itu tidak berguna. Jangan membuat saya semakin muak dengan ekspresi wajah munafik kamu itu," cetus Denver dingin.
Pandan tidak menjawab sesuku kata pun. Tetapi ia menatap tajam wajah Denver dengan kebencian yang tidak lagi ia sembunyikan. Dasar penghianat manipulatif! Sudah salah tetapi masih saja bersikap playing victim.
"Kalau saya katakan bahwa saya tidak seperti yang kamu duga. Apakah kamu akan mempercayai kata-kata saya?" ucap Pandan sembari menatap tepat pada netra hitam mata Denver.
"Tidak," jawab Denver singkat.
Pandan menarik napas panjang. Berarti apapun yang akan ia katakan selanjutnya, tidak akan ada gunanya. Denver telah memilih untuk mempercayai asumsinya sendiri. Ia jelaskan sampai mulutnya berbusa-
Mahater ragu-ragu antara ingin membangunkan Pandan atau menelepon Lautan saat mereka telah tiba di pintu gerbang kediaman Aditama Perkasa. Sebenarnya kalau mau dirunut-runut, keluarga besarnya masih mempunyai hubungan kekeluargaan dengan keluarga Aditama Perkasa, walaupun bukan digariskan melalui hubungan darah. Ibu Pandan adalah adik angkat ayahnya dan mereka dibesarkan bersama sebagai kakak adik. Namun lama kelamaan perasaan cinta persaudaraan mereka berubah rasa menjadi cinta asmara antara seorang laki-laki dan perempuan. Hanya saja karena satu dan lain hal mereka berdua tidak berjodoh. Ibu Pandan akhirnya menikah dengan Revan Aditama Perkasa sementara ayahnya menikahi anak salah satu karyawannya yang bernama Suci Melati, ibunya. Karena masa lalu mereka yang saling terkait satu sama lain, menjadikan hubungan kekeluargaan mereka merenggang. Om Revan tidak menyukai ayahnya begitu juga sebaliknya. Ayahnya selalu mengatakan kalau Om Revan itu tukang tikung. Sementara Om Revan juga me
"Sini kopinya, biar saya saja yang bawa," Bu Fenita, sekretaris baru Pak Arsene, meraih baki yang sedianya akan diantarkan oleh Pandan ke ruangan atasannya. Pandan dan Mbak Nanik saling berpandangan. Tumben sekali Bu Fenita mau bersusah payah mengantarkan kopi untuk tamunya Pak Arsene. Biasanya setelah mengintruksikan ini itu, Bu Fenita segera berlalu dari pantry. Namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Setelah memesan kopi, Bu Fenita menunggu dengan sabar dan sekarang ingin mengantarkan minumannya sendiri. Namun tak urung Pandan memberikan juga bakinya pada Bu Fenita yang segera berlalu dengan langkah bergegas menuju ruangan Pak Arsene."Jiwa kepo gue mendadak meronta-ronta penasaran ngeliat sikap mencurigakan Bu Lemper ini, Ndan. Sebentar ya, gue nyari info dulu. Siapa sih sebenernya tamu Pak Arsene ini sampe Bu Lemper semangat banget nyari perhatiannya?" Mbak Nanik bergegas mengekori langkah Bu Fenita.Pandan hanya menggeleng
"Saya sudah selesai, Pandan." Ujar Bu Intan seraya menjejalkan beberapa dokumen lagi ke dalam tas besarnya."Oh sudah ya, Bu. Mari Bu," Pandan mempersilahkan Bu Intan keluar terlebih dahulu agar ia bisa mengunci pintu. Mendekati ambang pintu, Bu Intan mengeluarkan ponsel dan menekan beberapa nomor. Sambil mengunci pintu dalam gerakan yang ia lambat-lambatkan, Pandan menajamkan pendengarannya."Hallo... saya hanya ingin mengingatkan. Tidak masalah buat saya kalau kamu mau menjual informasi-informasi itu kepada Arsene. Hanya saja, saya tidak mau kalau nama saya disangkutpautkan dalam project-project kalian setelahnya. Hubungan masalah pekerjaan kita berdua sudah selesai. Jangan pernah membawa-bawa nama saya lagi dalam hal apapun. Mulai hari ini saya sudah tidak kenal lagi dengan kamu. Titik." Bu Intan kemudian menutup teleponnya.Pandan yang tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mengorek keterangan, buru-buru menah
Sepulang dari tempat kantor, Pandan terus mengurung diri di dalam kamar. Ia tidak bersemangat untuk melakukan apapun. Bayang-bayang ia akan dihabisi oleh ke dua orang tua dan kakaknyabegitu mencekam jiwanya. Ia gentar. Hamil di luar nikah itu konotasi aib yang tidak termaafkan di negara yang paham ketimurannya masih sangat kental. Lain ceritanya kalau ia tinggal di belahan negara barat sana. Masalahnya bukan hanya ia yang akan menanggung malu. Tetapi yang paling disalahkan oleh orang-orang tentu saja kedua orang tuanya. Mereka akan dicap sebagai orang tua yang gagal dalam mendidik anak perempuan mereka. Hal itulah yang paling ia sedihkan. Ia telah mencoreng arang hitam di wajah kedua orang tuanya dan keluarga besarnya. Pandan gamang dan gentar. Terdengar suara ketukan pintu berikut kepala kakaknya yang muncul diambang pintu."Kamu nggak mau makan, Dek? Bu Isah masak rendang jengkol dan kepiting saus Padang kesukaan kamu tuh.""Iya, nan
"Ndan, lo tolong bawain teh anget sama kopi ini ke ruangan Pak Arsene ya? Gue kebelet nih." Mbak Nanik memberikan baki pada Pandan dan langsung ngacir ke toilet. Mbak Nanik tadi ikut-ikutan sarapan lontong Medan pedas. Padahal setahu Pandan, Mbak Nanik itu tidak bisa sarapan pagi makanan yang berlemak dan bersantan. Tetapi si Mbak memaksakan diri karena katanya sayang kalau makanan sudah dibeli malah di buang-buang. Pandan memang membeli dua bungkus karena tidak enak kalau hanya makan sendiri."Jadi Ibu mengizinkan kalau bapak menikah lagi dengan mantan sekretarisnya yang tidak tahu diri itu? Kenapa Ibu dari dulu selalu saja nrimo kalau diperlakukan semena-mena oleh bapak? Sesekali berontak dong, Bu?" Pandan menghentikan langkahnya di depan pintu. Tidak sopan rasanya ia masuk saat Pak Arsene sedang berbicara dengan ibunya. Apalagi pembicaraannya cukup sensitif."Ibu merasa bersalah pada bapakmu, Sene. Bapakmu kan menikahi Ibu karena terpaksa
"Bagaimana keadaannya selama tiga hari ini? Ia sudah sembuh atau masih sakit?""Tiga hari ini Bu Pandan baik-baik saja. Beliau tetap bekerja seperti biasanya. Hanya saja kesehatannya sepertinya belum benar-benar pulih. Bu Pandan sering muntah-muntah akhir-akhir hari ini."Bu Pandan ke kantor naik apa selama tiga hari ini?""Selama tiga hari ini, Bu Pandan naik taksi online dua kali dan naik ojek online satu kali. Bu Pandan tidak pernah membawa mobil sendiri lagi. Sepertinya ia takut kalau penyamarannya ketahuan.""Baik. Saya masih sibuk sampai lusa. Kalian awasi terus dan jaga Bu Pandan hari hal-hal yang membahayakannya. Apakah Bu Pandan ehm, masih keluar masuk hotel?""Selama tiga hari terakhir ini Bu Pandan tidak ke mana-mana, Pak. Saya mengikutinya terus sejak ia keluar rumah di
"Eh udah... udah... jangan pada ribut di sini ya? Malu sama brewok. Masalah-masalah zaman old jangan dibahas-bahas lagi. Kita semua pasti punya aib dan hal-hal yang memalukan di masa lalu," lerai Pandan sok bijaksana.Kayak gue bisa suka sama lo dulu misalnya."Tapi sekarang kita 'kan sudah pada tua. Jaga dong kelakuan kita. Jangan masih kayak anak kecil aja. Norak. Ayo P--Mas Arsene, kita masuk ke dalam."Pandan hampir saja memanggil Bapak pada atasannya. Ia lupa kalau saat ini perannya adalah sebagai pacar atasannya. Bukan OG seperti biasa. Untung saja lidahnya bisa dengan cepat berkelit. Pandan setengah memaksa menyeret atasannya menjauh dari Radit. Ia takut kalau mereka berdua malah ribut dan mengacaukan acara reuni akbar ini. Walaupun atasannya masih terlihat kesal, tapi ia menurut juga ia geret-geret ke meja panitia. Mereka berdua menyerahkan kartu undangan pada panitia yang kemudian menggunting sisi kiri kartu und
Setelah menutup aplikasi Linenya dengan Denver, Pandan mendekati Bu Darwis yang masih saja menangis sesenggukan. Matanya bengkak dan wajahnya basah oleh deraian air mata yang tiada henti. Yang membuat Pandan sedih adalah sorot mata kalah yang terlihat jelas di bola mata tua Bu Darwis. Ia tampak hancur."Kamu tahu tidak, Nak. Ibu menemani bapak dari nol. Dari perusahaan kecil peninggalan orang tuanya, hingga terus berkembang sampai sebesar ini. Begitu bapak sukses dan merasa tidak butuh lagi didampingi, ibu malah dibuang seperti seonggok kotoran," adu Bu Darwis getir."Ibu selalu saja mengalah selama ini. Ibu bahkan rela kalau bapak menikah lagi. Ibu ikhlas illahi ta'ala. Tapi ternyata itu pun masih belum cukup. Bapak meninggalkan Ibu dan berlalu begitu saja dengan istri mudanya. Ibu rasanya seperti mau mati saja, Nak," Bu Darwis kembali menangis pilu."Sudah Bu. Sudah! Untuk apa Ibu menangisi orang yang tidak mengi
"Apa gue kata 'kan, Ndan? Laki mah kalo di luar aja kelihatan keren, macho, laki abis. Coba udah berhubungan dengan perasaan dan isi hati. Lemah coeg! Kayak puding kelebihan air. Ambyar," ejek Vanilla semangat. Ia terus menyindir-nyindir Denver sekaligus menyentil Altan, suaminya sendiri. Bukan apa-apa, rasanya bahagia dan puas sekali bisa menyinyiri dua bapak-bapak muda yang biasanya galak dan macho abis ini. Ia jadi kepingin goyang dumang saat melihat dua laki-laki gahar itu hanya cengar cengir salah tingkah mendengar sindirannya."Udah dong, Sayang. Jangan terus diobok-obok ah kelemahan Abang. Abang 'kan lemahnya sama kamu saja. Itu artinya, Abang cinta banget sama kamu. Iya 'kan, Sayang?" Altan mencoba merayu istri jahilnya agar tidak semakin membuatnya kehilangan muka. Tetapi jujur, ia bahagia juga karena Denver yang gahar pun ternyata sama lemahnya seperti dirinya. Kalau menyangkut orang yang ia sayang, segahar apapun seorang laki-laki akan tetap saj
Pandan terbangun di tengah malam saat merasakan perutnya menegang. Perlahan ia mengelus-elus perut buncitnya. Berharap rasa tegangnya bisa sedikit berkurang. Ia melirik ke sisi kanan ranjang. Denver, suami machonya tengah tertidur pulas. Garis-garis kelelahan tampak membayangi raut wajahnya. Tidak heran Denver kalau suaminya ini sekarang tepar. Tadi pagi baru tiba dari luar kota, ia harus kembali meeting marathon dengan para investor di kantor. Tidak heran kalau saat ini suaminya itu tidur seperti orang mati. Suaminya lelah jiwa raga.Pandan meringis saat merasakan nyeri di perutnya. Sebenarnya sudah sejak tadi pagi, ia merasa kalau tubuhnya tidak nyaman. Perutnya sering terasa tegang tiba-tiba namun hilang juga dengan sendirinya. Menurut buku-buku yang ia baca, mungkin ia tengah mengalami braxton hicks atau kontraksi palsu. Karena rasa kramnya ituhanya terasa di daerah perut atau panggul. Selain itu frekuensi dan pola kontraksinya juga acak dan ti
Pandan dan Denver tersenyum sumringah. Hari ini adalah hari yang paling mereka tunggu-tunggu. Yaitu resepsi pernikahan mereka. Sebenarnya bukan meriahnya acara yang membuat mereka bahagia. Tetapi makna yang tersirat di dalamnya. Resepsi ini adalah seperti pemberitahuan resmi pada khalayak ramai bahwa mereka berdua telah sah menjadi sepasang suami istri. Walaupun sebelumnya mereka berdua telah menikah dan sah secara hukum dan agama, tetapi tidak semua orang mengetahuinya bukan? Bagi orang yang tidak mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, bisa saja kebersamaan mereka dianggap zinah. Oleh karena itulah maka resepsi pernikahan diperlukan.Saat ini ia dan Denver tengah menjadi ratu dan raja sehari. Mereka berdua duduk di pelaminan dan memandangi para tamu yang datang dan pergi silih berganti. Di samping kanan mereka terdapat satu pelaminan lagi. Di sana Tyza dan Elrama lah yang menjadi ratu dan rajanya. Resepsi pernikahannya memang digelar secara bersamaan
Satu setengah jam sebelumnya.Denver merasa ada sesuatu yang tidak beres saat ia tidak bisa menghubungi ponsel Pandan. Ia kemudian menghubungi ponsel ibunya untuk mengetahui keadaan Pandan di rumah. Saat itulah perasaannya menjadi semakin tidak enak. Ibu dan ART-nya sedang berbelanja bulanan di supermaket rupanya. Itu artinya istrinya hanya sendirian saja di rumah. Ia mencoba menghubungi Pak Mul. Hatinya semakin was-was karena untuk pertama kalinya ponsel SATPAM yang menjaga rumahnya itu dalam keadaan tidak aktif. Pasti telah terjadi sesuatu, batinnya. Tanpa membuang waktu, ia meninggalkan kantor dan mengebut pulang ke rumah. Di sepanjang jalan, degup jantungnya semakin tidak berarturan. Ia sangat takut kalau terjadi sesuatu pada istrinya. Apalagi istrinya saat ini tengah berbadan dua.Mendekati pagar rumahnya ia tahu pasti telah terjadi sesuatu. Pintu gerbang rumahnya terbuka lebar sementara sosok Pak Mul tidak terlihat di pos jaga se
Vanilla menarik napas lega saat putrinya akhirnya tertidur juga. Ini adalah kesempatan emas baginya untuk ikut tidur juga barang sejenak. Semenjak mempunyai bayi yang usianya masih dalam hitungan bulan, jadwal tidurnya menjadi berantakan. Ia sudah mirip dengan kelelawar sekarang. Kalau malam ia melek sambil momong anaknya yang tidak mau tidur. Dan kalau pagi seperti ini barulah ia tidur. Sekarang baginya pagi itu adalah malam, dan malam itu adalah pagi. Untung saja matahari dan rembulan tidak ikutan ganti shift seperti dirinya. Coba ikut ganti jadwal juga, bakalan seperti hidup di negeri Thanos lah kita semua.Baru saja ia ingin merebahkan tubuh lelahnya, sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Pandan Wangi, rupanya. Sudah lama sekali sahabatnya ini tidak menghubunginya. Semenjak ia mempunyai bayi, Pandan memang sudah jarang sekali mengajaknya hang out bersama. Ribet katanya. Ya jelaslah, dugem sambil momong bayi itu tidak mudah bambank. Riweuh. Lagian kesia
Denver melambaikan tangan pada Pandan setelah terlebih dahulu memberi kecupan jarak jauh pada istrinya. Seolah-olah kecupan sayang yang baru saja dicercahkannya di kening istrinya tadi, masih belum memuaskannya. Setelah itu baru lah ia masuk ke dalam mobil dan meninggalkan istrinya untuk bekerja. Setiap pagi agendanya memang seperti ini. Pandan akan menemaninya sarapan pagi, mengiringi langkahnya sampai ke teras depan, dan melambaikan tangannya sampai bayangannya tidak tampak lagi. Ritual paginya sungguh membahagiakan.Tapi khusus hari ini ia akan sedikit terlambat untuk pergi ke kantor. Ia akan mengunjungi Irma terlebih dahulu di Rumah Tahana. Ia memang sudah merencanakan hal ini dari minggu lalu. Sebelum Irma dinyatakan bersalah dan resmi menjadi seorang narapidana, ia ingin berbicara dengannya dari hati ke hati terlebih dahulu. Bagaimanapun dulu Irma adalah temannya. Lebih tepatnya teman yang selalu ia lindungi dari masalah perudungan di sekolahnya. Ia ingin
Ziva membeku. Ia sejenak seperti merasa merasa kehilangan orientasi. Ini pendengarannya yang salah atau memang Lautan yang jadi error karena dibodohi Irma bin Puput ya? Bagaimana ia tidak bingung coba, Lautan yang biasanya dingin-dingin coolkas masa mendadak romantis ala ala anak santri begini? Jangan-jangan ada yang tidak beres dalam struktur otaknya."Bang Utan sadar nih ngomong ginian sama Ziva? Inget ya Bang, apa yang sudah diucapkan tidak boleh ditarik lagi kayak petugas BPOM narik makanan kadaluarsa di supermaket. Jangan karena Abang lagi galau makanya Abang jadi iseng gombalin Ziva." Ziva mencebikkan bibirnya. Pura-pura kesal. Padahal dalam hati dia ingin goyang dombret sambil salto-salto di udara saking senangnya. Bayangkan, ia mendapat balasan gombalan syariah dari pria pujaan hatinya."Kamu lihat Abang sedang pingsan tidak?" tanya Lautan. Ziva menggelengkan kepalanya. Ya emang kagak pingsanlah. Kalau pingsan mah orangnya reba
Denver membuka pintu kamar perlahan dan menutupnya kembali dengan hati-hati. Berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. Ia tidak ingin Pandan ikut terbangun. Setelah pintu tertutup rapat, ia melanjutkan langkahnya menuju ke taman belakang. Ia memang sengaja mencari tempat yang tenang dan kondusif untuk menelepon Lautan. Mengajak bicara dari hati ke hati. Bagaimanapun pembicaraan mereka ini sangat sensitif. Kalau ia tidak hati-hati, bisa-bisa Lautan salah paham dan menganggapnya memfitnah calon istrinya.Sebenarnya Lautan itu sudah berniat untuk menikah dengan Puput tahun ini juga. Hanya saja Lautan belum memberitahukan niatnya pada keluarganya. Ia ingin membuat kejutan katanya. Keinginan Lautan ini hanya ia seorang yang mengetahuinya. Karena Lautan memintanya untuk merahasiakannya dulu. Makanya saat ini ia begitu resah. Membongkar semua kedok Puput pada Lautan yang tengah sayang-sayangnya, ibarat makan buah simalakana. Ia tidak tega membayangkan betapa kecew
"Terus hubungan Radit sama Irma ini apaan? Kok kesannya si Radit ini ngelindungin si Irma banget? Bukannya saya suuzon sama orang ya, Bang. Tapi Radit itu biasanya nggak pernah mau berteman dengan orang yang maaf, nggak selevel dengannya. Setahu saya sih begitu, Bang," ucap Pandan hati-hati. Bukan apa-apa, Denver ini agak sensitif kalau nama Radit dibawa-bawa. Denver tidak langsung menjawab. Ia malah melipat kedua tangannya ke dada. Bersedekap sambil menyipitkan matanya. Hadeh bau-baunya bakalan disindir-sindir lagi nih."Kenapa kamu ingin tahu sekali mengenai hubungan Radit dan Irma?" ujar Denver kesal.Nah kan, kejadian juga apa yang baru saja ia pikirkan. Kudu pake strategi, puji, angkat, dan umbang-umbang lagi ini sepertinya."Ck, ya karena saya ingin mengungkap kasus sabotase dan teror meneror ini lah, Abangku sayang," rayu Pandan mesra. "Udahan dong Bang, curiga-curigaannya. Kan sudah saya bilang,