Share

Bad Luck

Penulis: Franciarie
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-06 23:55:33

Rumah adalah tempat paling nyaman. Setelah seharian Gia merasakan siksaan, akhirnya lenyap setelah berada di rumah. Hanya sekadar rebahan sambil nonton tv saja sudah menjadi surga dunia bagi Gia. Sayangnya, hari ini dia tidak bisa menikmati surga dunianya.

Gia baru tiba di rumah saat matahari baru saja tenggelam. Dia langsung mandi, membasuh tubuhnya yang lengket karena keringatnya terlalu banyak seharian. Aroma matahari, keringat, dan sisa parfum diskonan di tubuhnya bercampur sangat memuakkan. Gia sendiri nyaris muntah saat mengecek aroma ketiaknya.

"Baunya mirip sisa janji manismu yang nggak pernah ditepati, busuk banget," celetuk Gia sebelum masuk ke kamar mandi. Dia menghabiskan waktu lumayan lama di dalam kamar mandi. Mungkin di dalam kamar mandi dia sekaligus membangun peradaban baru dunia.

Selesai mandi, perut Gia berontak minta jatah preman. "Bunda masak apa?" tanya Gia yang sudah berada di samping Bunda. Dia membuka kulkas, lalu meraih sekotak susu cokelat. Dengan cepat Gia meneguk habis susu dingin dan manis itu hingga tandas.

"Ini bikin capjay kesukaan kamu," jawab Bunda sambil terus mengaduk masakannya di wajan. "Panggil Ayah sana. Ini udah hampir matang. Kita makan bareng," perintahnya tanpa mengalihkan pandangan.

Gia menurut. Dia memanggil Ayah yang sedang santai di ruang keluarga. Berdua mereka kemudian duduk di ruang makan, menunggu Bunda selesai masak.

"Gimana hari ini, Gi?" tanya Ayah sesaat setelah duduk di kursi. Matanya memandang Gia, penasaran dengan kegiatan pertama anak gadisnya sebagai mahasiswi.

"Gia telat tadi pagi. Jadi kena omel senior, deh. Gia upacaranya baris sendirian di pojokan. Ternyata itu bukan hukuman lho, Yah. Gia kena tambahan hukuman hormat bendera sejam. Panas-panas sendirian coba. Udah kayak barang nggak guna aja gitu. Ikan asin aja dijemur rame-rame, lho, masa Gia yang cakep sendirian?" jawab Gia menceritakan kejadian tadi pagi. Tangannya terus bergerak sebagai penunjang cerita menyedihkannya.

Ayah tertawa mendengar cerita Gia.

"Ih, Ayah malah ketawa. Ini anak gadis kesayangannya sampai gosong gini lho," keluh Gia lalu menunjukkan kedua tangannya yang menghitam. "Belang, deh, mirip kuda zebra." Gia memajukan bibirnya.

"Itu kan kesalahan kamu sendiri, dinikmati ajalah. Besok kalau udah punya anak, kan, bisa jadi cerita," kata Ayah menenangkan.

"Ih, nggak mau, ah, cerita beginian ke anak Gia besok. Gia bisa diledekin nanti," tolak Gia. "Lagian, ya, Yah. Senior Gia tadi, sumpah, mulutnya sadis banget. Itu emaknya kebanyakan julid sama tetangga kali waktu hamil dia." Gia melanjutkan ceritanya. Membayangkan muka sadis kakak seniornya membuat Gia bergidik ngeri.

"Jangan sampe benci dia, lho, Gi. Nanti kamu malah jadi cinta," komentar Bunda, lalu meletakkan semangkuk besar capjay dan ayam goreng buatannya di tengah meja. Bunda mengambil piring dan menyendokkan nasi dan capjay ke piring tersebut, kemudian memberi paha ayam goreng. Bunda menyerahkannya ke Ayah. Ayah tersenyum menerima pemberian Bunda.

Aroma capjay sudah mengganggu hidung Gia. Campuran sayuran, ayam, udang, bakso, dan sosis itu memang menjadi makanan kesukaan Gia. "Eh, bisa gitu ya, Bun, benci jadi cinta? Udah kayak sinetron aja gitu ya," sahut Gia yang segera mengambil nasi lengkap beserta capjay dan ayam goreng.

Ayah dan Bunda tertawa mendengar ocehan Gia. Anak gadisnya itu memang anak ceria yang selalu bisa menghangatkan suasana. Selalu ada celotehan riangnya di meja makan. Bahkan saat Gia bercerita tentang nasib sialnya saja bisa membuat orang lain iba dan tertawa sekaligus.

"Rumah depan kita itu udah laku, ya, Bun?" tanya Ayah, lalu memasukkan sesendok penuh nasi beserta potongan wortel ke mulut. "Rumput liarnya udah bersih." 

"Iya, udah laku. Tadi ada yang beresin rumahnya. Katanya, sih, lusa udah ditempatin," jawab Bunda sambil mengambil ayam goreng.

"Akhirnya punya tetangga baru. Punya anak ganteng nggak, ya? Boleh, tuh, kalau pengin ngapelin deket, kayak lagu dangdut," celetuk Gia dengan mulut penuh makanan. Dia lalu menyanyikan lagu dangdut pacar lima langkah dengan suara cemprengnya.

"Nanti senior galak tadi gimana, dong?" Bunda usil menggoda Gia.

Gia yang mengingat wajah iblis senior jahatnya pun langsung menghentikan nyanyiannya dan manyun. "Ih, Bunda ngapain ngingetin sama senior sadis gitu, sih? Bikin kesel aja, deh."

"Ati-ati jadi cinta, lho," goda Bunda yang membuat Gia semakin melipat wajahnya.

"Besok bangunin Gia pagi-pagi banget ya, Bun," minta Gia sambil masang tampang memelas.

"Tumben?" Bunda mengerutkan keningnya, heran.

"Gia nggak mau telat lagi. Gia udah diancam dapet hukuman yang lebih berat lagi. Hukuman apaan coba yang lebih berat? Angkat sekarung beras? Dorong mobil? Mindahin menara Eiffel ke Bandung? Atau ditinggalin pas lagi sayang-sayangnya?" Gia mengeluh nggak jelas.

Ayah dan Bunda tertawa mendengar kata-kata tidak jelas dari anak gadisnya tersebut.

***

Hari kedua OSPEK. Gia sudah bangun dari subuh, tentu berkat bantuan Bunda.

"Udah wangi. Udah rapi. Udah cantik. Udah kenyang. Siap berangkat," seru Gia riang. Dia yakin hari ini akan jadi hari yang menyenangkan.

Gia memasuki mobil Honda jazz putihnya. Dia meletakkan ransel di kursi sampingnya, lalu duduk dan menyalakan mobil.

"Bunda, Gia berangkat, ya," pamit Gia kepada Bunda yang mengantarnya sampai teras depan.

"Ati-ati, ya, Sayang," nasihat Bunda sambil melambaikan tangan. Gia hanya membalas dengan klakson sambil berlalu.

Gia menyalakan radio dan memilih saluran favoritnya. Lagu Girls Like You milik Maroon 5 feat Cardi B mulai terdengar. Gia pun ikut menyanyi dengan suara rusaknya. Dia berusaha menghilangkan rasa takutnya. Gia takut bertemu senior galak kemarin. Tapi, kali ini Gia yakin kalau tidak akan terjadi masalah.

Sekarang baru jam 6.30 pagi, masih sangat aman untuk berangkat ke kampus. Jalanan macet tidak akan menghalanginya tiba di kampus tepat waktu. Tidak ada kemacetan berarti di jam ini. Masih terlalu pagi bagi Gia untuk datang terlambat.

Gia menghentikan mobilnya di perempatan. Traffic light menunjukkan warna merah, tanda dia harus berhenti. Gia memandang sekeliling sambil merapikan rambutnya yang masih dikuncir dua.

Aturan OSPEK untuk mahasiswi baru di kampusnya adalah kemeja putih, rok hitam, sepatu hitam, dan rambut dikucir dua. Penampilannya sangat simple, tanpa harus menggunakan tambahan ornamen mencolok yang sering dipakai saat OSPEK, misalnya tas dari karung atau rok rumbai dari tali rafia warna-warni.

Gia berterima kasih kepada siapa pun yang menghapus aturan norak OSPEK yang nggak berperikemanusiaan. Sekarang Gia dan teman satu angkatannya bisa merasakan OSPEK yang damai.

Oh, oke. Ospek-nya tidak sepenuhnya damai karena ada satu orang sadis di kampusnya. 

Tidak lama traffic light berubah warna hijau. Gia bersiap menjalankan mobilnya lagi menuju ke kampus. Perjalanannya memang belum ada setengah jalan, tapi masih bisa dilalui dengan santai. Kurang dari sepuluh menit dia sudah berhasil sampai tujuan dengan selamat dan bahagia. Tidak akan ada hukuman lagi untuknya.

Nyatanya, takdir berkata lain.

Mendadak mobil Gia berhenti di tengah jalan. Untungnya tidak sampai terjadi kecelakaan. Mobil-mobil di belakangnya masih sempat mengerem sebelum menyentuh pantat mobil Gia.

Gia masih tenang. Dia mencoba menyalakan kembali mobil Honda jazz yang sudah menjadi miliknya sejak SMA itu. 

Sayangnya, gagal. Mobilnya menolak menyala. Gia berusaha menyalakan lagi. Gagal lagi. Gia mulai cemas. Dia mencoba lagi, tapi masih gagal.

Klakson mobil di belakang mobil Gia mulai bersautan, protes dengan kemacetan yang terjadi. Ini membuat Gia semakin cemas.

Gia berkali-kali meminta maaf dengan mobil yang mendahuluinya. Tidak jarang dia menerima makian. Berulang kali Gia berusaha menyalakan mobil kesayangannya itu. Tapi, hasilnya masih sama. Sama sekali tidak ada tanda-tanda mobilnya akan menyala.

"Ya Allah. Ini kenapa pakai mogok gini sih, ah?"

Sepertinya, hari ini belum menjadi hari yang menyenangkan bagi Gia. Seharusnya dia benar-benar membeli jimat tolak bala.

Bab terkait

  • Love by Choice   Another Tragedy

    "Ayah, gimana, nih? Anak ayah yang paling cantik mobilnya mogok, nggak bisa nyala sama sekali. Mana dari tadi Gia dimaki-maki sama orang. Mereka bukannya bantuin malah ngomel-ngomel. Sungguh krisis simpati dan empati, ya, sekarang ini," keluh Gia panjang lebar begitu panggilannya dijawab oleh Ayah. "Ini Ayah disuruh sedih apa ketawa dulu, Gi?" tanya Ayah menahan tawa. Dia paham sekali kalau sekarang tertawa, Gia akan meledak. Dia akan puasa bicara, sampai benar-benar butuh bantuan Ayah. Biasanya Gia hanya bertahan paling lama lima jam. Tapi, itu sudah bisa membuat Ayah menderita. "Ih, Ayah kenapa malah ngetawain Gia, sih?" sungut Gia kesal. "Ya, kamu kenapa cuma laporan mobil mogok aja harus bikin novel dulu, panjang banget?" omel Ayah gemas dengan tingkah putrinya. Gia mencebik. "Terus ini Gia gimana, dong? Gia udah diomelin mulu sama orang, nih." Gia semakin panik. Suara klakson mobil di belakangnya terus terdengar. Jalanan semakin ramai. Mobil Gia yang mogok menambah macet dan r

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-07
  • Love by Choice   Polongo Polongo

    Gia berharap bertemu kuntilanak daripada harus berurusan dengan senior galak ini lagi. Setidaknya, kuntilanak masih bisa diajak tertawa bersama sambil nongkrong di atas pohon. Senior bermulut cabe ini sama sekali tidak berniat tersenyum pada Gia. Wajahnya kaku, tidak ada tanda-tanda kebahagiaan di sana. "Eh, hai, Bang," sapa Gia mencoba ramah sambil melambaikan tangan dan senyuman tiga jari. "Mana otak manusianya?" tanya lelaki yang paling dihindari Gia hari ini. Suara beratnya terasa menusuk telinga Gia. "Ini ada di dalem sini, Bang," jawab Gia sambil menunjuk kepalanya. "Gue nggak segan-segan bikin gule otak manusia," seru si senior galak. Dia bersuara perlahan dan tajam, tepat di telinga kiri Gia. Gia kaget dan seketika mundur menjauh. Sayangnya, ada dinding yang menghadangnya. Muka Gia sudah nyaris seputih dinding di belakangnya. "Kenapa lo telat?" tanya si senior galak. Tangannya dilipat di depan dada. Kaki kirinya bergeser memperlebar jarak dengan kaki kanannya, membuat aur

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-07
  • Love by Choice   Better Day

    Ini hari ketiga Gia sebagai mahasiswi dan sekaligus hari terakhir OSPEK. Sejak kemarin Gia terus merengek kepada Ayah agar mau mengantarnya ke kampus, dengan risiko Ayah harus melewati jalan yang berlawanan arah dari kantornya. Ayah yang memang selalu memanjakan anak gadisnya itu pun mengiakan. Pagi ini Gia sudah duduk di mobil Ayah. Di bangku kemudi Ayah sedang fokus mengendarai mobil Toyota Camry hitamnya, berusaha secepat mungkin sampai di kampus putrinya. "Ayah tegang banget, sih? Ini cuma nganterin Gia ngampus, bukan bawa Gia ke pelaminan kali," komentar Gia yang gemas dengan wajah serius ayahnya. "Iya, tapi kalau Ayah sampai telat hari ini, kamu bisa-bisa nggak akan sampai ke pelaminan juga, Gi," sahut Ayah masih fokus memandang jalanan di depannya. "Apa hubungannya Ayah telat sama Gia kawin?" tanya Gia bingung. "Ayah ada rapat penting pagi ini. Kalau telat, bisa digantung sama Pak Direktur nanti." Ayah mulai cemas memandang barisan mobil yang mengular di depannya. "Eh, en

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-07
  • Love by Choice   New Neighbor

    Acara terakhir setelah upacara pembubaran OSPEK adalah makan malam bersama. Para senior memanjakan juniornya dengan menyiapkan sendiri nasi liwet yang ditaruh di daun pisang yang berjejer panjang mengitari auditorium. Menu liwetan pun termasuk lengkap. Nasi gurih dengan lauk ayam, tahu, dan tempe goreng aromanya menggoda. Segarnya sayur asem juga membuat liur menetes. Lalapan plus sambel terasi serta kerupuk semakin membuat semua yang ada di auditorium kelaparan. Tidak lupa ada es teh manis sebagai minuman. Menu yang sungguh menggoda selera, apalagi perut memang sudah waktunya diisi. Di depan auditorium, Reza, ketua panitia pelaksana OSPEK dan ketua BEM, mengucapkan terima kasih atas semua bantuan yang membuat acara OSPEK selama tiga hari ini berjalan lancar. Reza juga mengucapkan selamat kepada mahasiswa baru yang sudah resmi menjadi mahasiswa di Universitas Merva. Reza hanya berbicara singkat. Dia paham semua yang ada di dalam auditorium sudah berfokus ke makanan yang tersaji. Jadi,

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-07
  • Love by Choice   His Name

    Gia memandang dirinya di depan cermin besar setinggi dua meter di kamarnya, memastikan penampilannya sudah sempurna. Kemeja Flanel biru menjadi pilihannya hari ini. Bagian lengannya sengaja dilipat sedikit sebatas lengan. Dia memadukannya dengan celana jins hitam yang robek di kedua lutut. Rambut Gia yang dicat warna coklat dikucir bagian atasnya, lalu dicepol asal-asalan, sementara sisa rambut bagian bawah dibiarkan terurai begitu saja. Gia enggan menggunakan mekap berlebih. Seperti biasa, dia hanya memoles bedak bayi di wajah dan pelembab bibir. Gia tersenyum di depan cermin, merasa menjadi wanita tercantik sejagad raya. Setelah penampilannya sempurna, Gia mengambil ransel hitam kecilnya dari meja belajar. Ransel ini menjadi tas kesayangannya, alasan sederhana untuk menutupi kalau sebenarnya Gia malas memindah isi tas ke tas lain. Sekarang, dia siap pergi ke kampus. Di ruang makan, Ayah duduk menunggu Bunda selesai masak sambil membaca koran. Rutinitas ini memang terlalu ketinggal

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-07
  • Love by Choice   Reject

    Gia memasukkan mobil ke garasi rumah. Rumahnya memang tidak besar, tapi dia selalu tenang saat akhirnya tiba di rumah. Penampilan Gia sudah kacau. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, tapi kusut di beberapa bagian. Tidak ada kerapian sama sekali dalam diri Gia sore ini. Wajahnya yang lelah sudah kusut dan berminyak. Kemeja merah dengan motif bunga-bunga yang digunakannya sudah acak-acakan di sana-sini. Kegiatan kampusnya hari ini terasa lumayan menguras tenaga dan pikiran. Ada tiga mata kuliah hari ini, yang sukses membuat otaknya lumayan panas. Berbeda dengan waktu dia masih duduk di bangku sekolah, Gia hanya perlu duduk dan semua materi pelajaran akan diberikan oleh gurunya. Sekarang, Gia harus memahami segala sesuatunya sendiri. Dosen hanya memberikan sedikit gambaran tentang materi yang diberikan. Sisanya akan ada diskusi antar mahasiswa dan diakhiri dengan tugas-tugas. Jadi, baru mulai kuliah, tetapi tugas Gia sudah menumpuk. Saat Gia akan masuk ke dalam rumah, mata Gia mena

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-07
  • Love by Choice   Oldman

    Gia mengikat rambut coklatnya terlebih dahulu sebelum keluar dari mobil. Mendadak dia merasa lebih nyaman dengan rambut yang diikat. Seperti biasa, Gia hanya mengikat rambutnya asal-asalan. Dia tidak terlalu peduli dengan kerapian, yang penting nyaman dan tidak mengganggu aktivitasnya. Selesai urusan rambut, Gia mengambil tas ransel dari kursi samping lalu keluar dari mobil. Parkiran sudah hampir penuh berbagai macam mobil beraneka bentuk dan warna. Showroom mobil akan minder dengan deretan mobil di parkiran kampus FH. Mulai dari mobil klasik sampai mobil mewah keluaran terbaru ada di sini. Gia memandang sekeliling, siapa tahu ada orang yang dikenalnya. Bisa berjalan bersama seseorang sampai kelas jelas lebih menyenangkan daripada sendirian. Sayangnya, tidak ada wajah yang dikenalnya. Yang ada hanya para senior yang Gia tidak tahu namanya. Gia akhirnya melangkahkan kakinya menuju gedung A sendirian. Tangannya memainkan kunci mobil, hanya untuk kesibukan sesaat. "Sendirian aja, Neng?

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-07
  • Love by Choice   Warm Heart

    Hari Senin jadi hari yang sering dicaci maki oleh sebagian besar orang. Hari ini dianggap sebagai hari menyebalkan. Setelah menikmati akhir pekan yang bisa menenangkan pikiran dari kegiatan rutin, seperti kerja atau sekolah, bertemu dengan hari Senin seperti kembali bertemu monster, yang harus dikalahkan dalam waktu satu minggu ke depan. Ini juga yang dirasakan Gia. Sejak pagi Gia sudah malas untuk berangkat kuliah. Gia merasa hari libur selama dua hari itu kurang. Padahal, yang dilakukan Gia di hari Sabtu dan Minggu hanya hibernasi. Dia tidur sepanjang hari dengan alasan mengisi kembali energi yang terkuras habis. "Bundaaa," panggil Gia manja. Gia menarik kursi makan, lalu duduk. Kedua tangannya dilipat di atas meja, lalu kepalanya direbahkan di atasnya. "Kenapa, Gi? Kusut banget mukanya?" tanya Bunda yang sedang bersiap masak sarapan. "Gia bolos, ya?" rengek Gia masih dengan nada manjanya. Posisinya tidak berubah, malah sekarang matanya terpejam. "Kenapa bolos segala?" tanya Bun

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-07

Bab terbaru

  • Love by Choice   Endless Love

    Calon mertua itu menyeramkan. Ibu mertua itu musuh paling nyata bagi istri dari anaknya lelakinya. Bapak mertua adalah pria galak yang tidak akan bisa berbicara santai dengan menantunya. Saudara ipar jelas tidak akan pernah membiarkan hidup istri kakaknya hidup tenang. Isi kepala Gia dipenuhi pikiran buruk tentang orang tua Restu. Tangannya dingin, sedangkan kepala dan hatinya panas karena terus membayangkan suasana mencekam yang menantinya. Bibir bawah Gia bahkan sudah berdarah. Tanpa disadari, Gia terus menggigit bibir bawahnya untuk meredakan gugup. "Kamu tidak perlu cemas, Gi. Orang tua saya bukan drakula yang gemar menghisap darah perawan." Berulang kali Restu mencoba menenangkan, tapi tidak berhasil. Gia justru semakin banyak mengomel. "Om ini nggak tahu gimana rasanya jadi Gia. Ya, gila aja Gia harus ketemu calon mertua. Calon mertua lho ini, Om. Ini menyangkut hidup Gia. Gimana kalau ternyata orang tua Om Restu nggak suka sama Gia? Gimana kalau Gia diusir terus harus pulang

  • Love by Choice   Make Over

    Matahari semakin condong ke barat, menyisakan berkas oranye. Daun-daun bergoyang pelan tanpa ada iringan musik. Tukang siomai berhenti di ujung jalan, berharap ada yang mau membeli dagangannya. Gavin memukul samsak dengan sekuat tenaga berkali-kali. Baju yang digunakannya sudah basah dengan keringat. Dia sudah mulai kehabisan napas. Sudah satu jam dia berlatih boxing hari ini. Restu sedang sangat bersemangat sore ini. Sejak menjemput Gavin di sekolah, dia sudah memintanya langsung tidur siang, agar sorenya memiliki cukup tenaga untuk berlatih. Seperti biasa, Gavin selalu menuruti permintaan sang Papa. "Pukul yang keras, Gav! Perhatikan sasarannya," perintah Restu yang berdiri di belakang Gavin. Gavin lalu memukul samsak lebih kencang lagi. Samsak di depannya bergoyang pelan. "Gavin, sudah dulu latihannya, sudah hampir Magrib. Nggak baik di luar rumah mau Magrib gini, bisa diculik wewe gombel. Iya, kalau itu Wewe Gombel bisa jadi ibu yang baik buat Gavin, sih, nggak masalah. Kalau te

  • Love by Choice   Kneeling

    Gia berlari menjauh dari rumah Restu. Matanya seperti pipa PDAM yang bocor, air matanya mengucur deras. Dadanya seperti disengat puluhan lebah, pedih dan bengkak. Bayangan Restu yang nyaris sempurna hancur sekarang. Gia kecewa kepada Restu. Gia marah, marah pada Restu yang ternyata jahat sekaligus marah pada dirinya sendiri yang bodoh sudah memilih Restu. Ternyata seorang Restu yang dikiranya berpikiran dewasa, tidak jauh berbeda dengan Hugo. Lelaki di mana pun sama, selalu lemah lihat wanita seksi. Belum sempat Gia masuk ke dalam rumah, ada yang menarik tangannya. Gia terpaksa berhenti kalau tidak mau tangannya lepas. Dia masih belum siap tangannya diganti dengan tangan robotik. Selain harganya mahal, berburu upil dengan tangan robotik pasti tidak semenyenangkan dengan tangan asli. Restu berdiri di belakang Gia masih bertelanjang dada. Dia terlihat cemas sampai tidak peduli deretan tahu di perutnya terekspos jelas. "Lepasin!" bentak Gia sambil mencoba melepaskan genggaman tangan R

  • Love by Choice   Moaning

    Kuliah ternyata tidak selalu menyenangkan. Ini sudah hampir di akhir semester pertama Gia. Tumpukan tugas yang harus segera diselesaikan semakin menggunung. Materi pelajaran yang harus dipahami semakin menumpuk. Kepala Gia selalu panas setiap hari. Penjelasan dosen bukannya membuatnya paham, malah semakin membuatnya bertambah pusing. Beruntung, Gia punya Jessica yang dengan sabar, dan bonus sedikit makian, masih mau membagi ilmunya. Walau tidak sempurna, Jessica berhasil membuat Gia sedikit lebih paham dengan pelajaran. Iya, cuma sedikit. Gia terlalu malas belajar, jadi tidak ada perkembangan signifikan dalam nilainya. Hari ini Gia pulang kuliah lebih cepat dari biasanya. Harusnya, dia ada dua mata kuliah lagi. Tapi, dosen pengampu dua mata kuliah itu berhalangan hadir dengan alasan ada tugas ke luar kota. Setelah mendapat kepastian kelas kosong, Gia segera menghubungi Restu. Dia meminta Restu untuk menjemputnya. Siapa tahu hari ini bisa jalan-jalan sebentar, nongkrong di mall atau d

  • Love by Choice   Meaning of Marriage

    Cowok di depan Gia masih berhasil membuatnya salah tingkah. Ada gelitik aneh di dadanya. Rasanya beda dengan debaran yang dulu dia rasakan, waktu masih berharap Hugo bisa membalas cintanya. Rasa ini membuat perasaannya membaik."Ngagetin aja, Bang! Gia kira setan. Kalau jantung Gia copot, gimana? Bang Hugo mau tanggung jawab?" omel Gia mencoba bersikap biasa saja, padahal perasaannya berantakan. Dia sadar sudah salah. Kalau dia terus bersama Hugo, pasti rasa bersalah pada Restu ini akan semakin meningkat."Sebenernya, kalau disuruh tanggungjawab, gue mau aja. Tapi, gue nggak mau ngerebut calon istri orang," sahut Hugo. Dia berkata seperti itu dengan serius. Sengaja dia memberi jeda supaya Gia semakin salah tingkah, lalu tertawa, seakan ini memang hanya ocehan tanpa makna. Nyatanya, Hugo memang berharap menggantikan posisi Restu sebagai calon suami Gia."Bang," panggil Gia pelan, nyaris tidak terdengar Hugo.Hugo memandang Gia sambil tersenyum. "Lo manggil gue?""Ajakin gue ke KUA sekar

  • Love by Choice   Liar

    Matahari sudah tenggelam, saat Gia memasukkan mobil ke dalam garasi rumah. Hari ini tidak seburuk yang Gia bayangkan. Bertemu dengan Hugo setelah beberapa minggu ini dia menghindari Gia, ternyata tidak terlalu buruk. Tadinya, Gia mengira pertemuannya ini akan berakhir dengan kondisi aneh atau bahkan terjadi pertengkaran. Tapi, sebaliknya, Hugo masih tetap Hugo, senior menyebalkan yang berhasil membuat hati Gia berbunga-bunga. Sekarang, Gia sadar bahwa perasaan itu belum sepenuhnya hilang. Hugo masih punya tempat spesial di hati Gia.Baru saja Gia mematikan mesin mobil, ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk. Gia mengurungkan niatnya keluar mobil. Dia meraih ponsel yang disimpannya di dalam tas. Sebuah pesan dari Hugo membuat jantungnya malas berdetak dalam beberapa detik.Senior Galak KesayanganMakasih buat hari ini, Gi. Gue seneng ketemu lo.Gia tersenyum lebar membaca pesan dari Hugo. Apa yang dirasakannya ternyata dirasakan juga oleh Hugo. Mereka dua orang yang saling menikmati pertem

  • Love by Choice   Dating with The Past

    Semenjak Restu nekat memperkenalkan diri sebagai calon suami Gia, Hugo memang terlihat tidak terawat. Rambutnya dibiarkan semakin panjang, bahkan seringkali terlihat acak-acakan. Bajunya beberapa kali nampak kusut. Dari laporan Jessica, Hugo seperti kehilangan semangat. Dia sering mangkir dari jadwal rapat BEM. Hugo bahkan lebih mudah emosi hanya karena hal kecil. Gia pun merasa bersalah. Sayangnya, Hugo tidak pernah memberinya kesempatan untuk berbicara. Dia selalu menghindar. Hugo menolak berada terlalu dekat dengan Gia. "Bang Hugo ngapain di sini?" tanya Gia basa-basi. Gia mencoba tersenyum. Sayang, senyumnya kaku dan malah membuatnya terlihat seperti meremehkan Hugo. "Mau beli buku. Gue kehabisan bahan bacaan," jawab Hugo. "Lo sendirian?" tanya Hugo perlahan. Ada ribuan jarum jahit yang bergerak acak menikam jantungnya. Gia tersenyum lebih tulus. "Iya. Udah mirip anak hilang, ya? Bentar lagi ada yang mau nyulik Gia, nih. Kalau Gia nggak ada kabar besok, laporin polisi, ya, Ban

  • Love by Choice   Ice Cream

    Minggu pagi menjadi waktu yang pas untuk bermalas-malasan. Bangun siang, makan, pipis, eek, dan tidur lagi seharian. Itu yang dilakukan Gia dulu. Gia yang hanya berfikir tentang enaknya sendiri, tidak peduli Bunda sudah mengomel panjang melihat anak gadisnya sudah mirip kain pel bekas—lecek, kucel, kusut, dan bau—tinggal dibuang aja. Gia yang sekarang berbeda. Setelah Restu menunjukkan keikhlasannya melepas Bianca, Gia semakin yakin untuk memperbaiki dirinya. Gia tidak mau Restu menyesal karena dirinya masih sama, tanpa perubahan yang lebih baik. Gia mau Restu juga melihat usahanya. Terlebih lagi, nantinya Gia akan menjadi seorang ibu bagi Gavin. Sebuah tanggungjawab yang jauh lebih besar. Jantungnya selalu berdebar kencang kalau mengingat statusnya akan berubah menjadi istri dan ibu sekaligus, peran baru yang lebih menuntut kedewasaannya. Cahaya matahari mulai masuk dari sela-sela jendela kamar Gia yang masih tertutup gorden. Gia menyibakkan gorden berwarna hijau tua itu. Di seberan

  • Love by Choice   Cemetery

    Jalanan lenggang, tanpa kemacetan yang berarti. Lampu merah memaksa mobil Restu berhenti sejenak. Perjalanan mereka masih butuh beberapa menit lagi sampai tujuan. Tujuan yang sama sekali tidak pernah dibayangkan oleh Gia. Restu terus diam selama perjalanan, sama sekali tidak mencoba mengajak Gia berbicara. Suasana hening di dalam mobil. Tidak ada suara musik yang biasa diputar oleh Gia. Suara deru kendaraan dan sesekali klakson yang saling bersautan di luar cukup membuat Gia merasa semakin resah. Baru pertama kali Gia melihat Restu dalam mode galak begini. Ini bukan Restu yang membuat Gia jatuh hati. Sekarang, Restu terlihat menakutkan. Bukan menakutkan selayaknya genderuwo yang mencari perawan di siang hari. Ya, walaupun antara genderuwo dan Restu sama-sama doyan perawan. Gia merasa yang duduk di sampingnya adalah pria tua yang senang menculik perawan, lalu menjualnya ke pria hidung belang yang berani membayar mahal. Pria-pria seperti ini biasanya sering nekat melakukan kekerasan de

DMCA.com Protection Status