Gia mengikat rambut coklatnya terlebih dahulu sebelum keluar dari mobil. Mendadak dia merasa lebih nyaman dengan rambut yang diikat. Seperti biasa, Gia hanya mengikat rambutnya asal-asalan. Dia tidak terlalu peduli dengan kerapian, yang penting nyaman dan tidak mengganggu aktivitasnya. Selesai urusan rambut, Gia mengambil tas ransel dari kursi samping lalu keluar dari mobil.
Parkiran sudah hampir penuh berbagai macam mobil beraneka bentuk dan warna. Showroom mobil akan minder dengan deretan mobil di parkiran kampus FH. Mulai dari mobil klasik sampai mobil mewah keluaran terbaru ada di sini.
Gia memandang sekeliling, siapa tahu ada orang yang dikenalnya. Bisa berjalan bersama seseorang sampai kelas jelas lebih menyenangkan daripada sendirian. Sayangnya, tidak ada wajah yang dikenalnya. Yang ada hanya para senior yang Gia tidak tahu namanya. Gia akhirnya melangkahkan kakinya menuju gedung A sendirian. Tangannya memainkan kunci mobil, hanya untuk kesibukan sesaat.
"Sendirian aja, Neng?" sapa suara berat dan sedikit serak dari belakang Gia. Suara yang mulai dihapal oleh Gia. Suara menyebalkan yang perlahan mulai membuatnya nyaman.
Gia berhenti dan menoleh ke belakang. Di belakangnya berdiri Hugo. Tatapan tajam yang biasa ditunjukkan Hugo ke Gia saat PKKBM lenyap, berganti menjadi tatapan lembut dan bersahabat. Tidak ada lagi senior galak yang menakutkan. Hugo berubah menjadi senior ramah yang menyenangkan.
"Eh, pagi, Bang. Kuliah pagi?" Gia balas menyapa Hugo.
"Nggak, sih. Cuma ada tugas yang harus dikumpulin nanti siang. Gue butuh referensi lebih, jadi mau nongkrong di perpus dulu," jawab Hugo.
"Kok baru dikerjain sekarang tugasnya?" Gia heran dengan Hugo yang mengerjakan tugas terlalu mepet dengan deadline.
"Gue tim ngerjain tugas SKS alias Sistem Kebut Sejam," jawab Hugo dilanjut tertawa bangga. Dia bangga akan kesesatannya.
Gia ikut tertawa mendengar lelucon konyol Hugo. "Bilang aja males, sok-sokan pakai kebut sejam segala. Kebut-kebutan bisa nabrak nanti. Nabrak jadi luka, terus berdarah. Sakit, deh. Jangan nangis kalau sakit, ya," ejek Gia setelah tawanya mulai reda.
Hugo menggaruk kepalanya. Pangkal hidungnya mengerut. Dia memikirkan alasan yang tepat. "Biasa... anak BEM. Sibuk organisasi, jadi tugas kelupaan." Hugo mencari alasan klasik.
"Dih, segala nyalahin BEM pula. Kalau males, mah, males aja. Kasian BEM nggak salah apa-apa jadi dituduh yang bukan-bukan, lho. Fitnah itu namanya. Dosanya lebih berat dari pembunuhan. Jadi mending bunuh aja itu tugasnya dari pada ngefitnah," omel Gia panjang lebar.
Hugo tertawa mendengar omelan Gia. "Mimpi apa gue semalem? Pagi-pagi gini udah kena omel junior. Junior paling tengil pula," keluh Hugo pura-pura sedih.
"Kalau mau nyindir orang, di belakangnya aja, Bang. Bentar. Gia balik badan dulu," protes Gia sambil membalikkan badannya membelakangi Hugo. "Udah. Sekarang silakan sindir Gia sepuasnya, Bang."
Hugo tertawa terbahak-bahak. Gia memang selalu membuatnya takjub. Celetukannya selalu spontan dan konyol. Hugo senang berbicara dengan adik tingkatnya ini.
"Gia bilang sindir sepuasnya, bukan ketawa sepuasnya, Bang," omel Gia sambil manyun.
"Lo itu emang unik, ya. Gue suka," celetuk Hugo, lalu pergi mendahului Gia.
Gia mematung di tempat. Dia bingung dengan arti kata-kata Hugo barusan. Ada perasaan senang dan malu di hatinya. Debaran jantungnya pun semakin kencang. Tanpa Gia sadari pipinya mulai merah dan panas.
Gia menggelengkan kepalanya. Dia mencoba menghilangkan bayangan Hugo yang terus mengatakan suka pada dirinya.
'Kalau suka, mah, nggak ditinggal sendirian gini kali. Digandeng kek ini tangan. Udah bertahun-tahun nggak digandeng cowok, nih. Udah berjamur tangan gue,' omel Gia dalam hati.
Gia melangkahkan kakinya menuju ruang kelasnya. Selama perjalanan, Gia terus berusaha menyadarkan dirinya kembali ke realita. Hugo tidak mungkin suka padanya.
'Bang Hugo itu cuma suka sama gue sebagai junior, Bego! Nggak usah kepedean, Gi. Dia cuma kagum, bukan jatuh cinta. Liat aja gimana sadisnya Bang Hugo waktu PKKBM.' Gia menasihati dirinya sendiri. Saat mengingat ulah Hugo yang selalu memarahinya dulu, Gia bergidik, ngeri.
'Amit-amit. Jangan sampai gue jatuh cinta sama cowok sadis begitu, deh,' kata Gia sambil memukul-mukul kepalanya pelan, mencoba menolak kesialan. Sialan sudah jatuh cinta sama senior galak yang ganteng, yang mendadak jadi ramah itu.
"Ngapain lo mukul-mukul kepala?" tanya Jessica yang heran dengan ulah Gia sejak masuk kelas. Tatapan mata Gia kosong, kadang menggelengkan kepala, kadang senyum-senyum sendiri, dan sekarang malah memukul-mukul kepala.
"Eh?" Gia bingung. Tanpa dia sadari dirinya sudah sampai di dalam kelas.
"Kesambet penunggu kampus?" tebak Jessica. Dia sedikit ngeri kalau ini benar terjadi.
"Iya, kayaknya, nih. Gue butuh mandi kembang tujuh rupa beneran, deh," keluh Gia dengan muka melas.
Jessica masih penasaran apa yang terjadi dengan Gia. Sayangnya, dosennya sudah masuk kelas terlebih dahulu. Jessica terpaksa menelan kembali pertanyaannya. Dia hanya menatap Gia dengan tatapan penuh tanya, sambil mengeluarkan buku dari tas pinknya.
***
Jam menunjukkan pukul enam sore, saat Gia sampai di rumah. Gia sebenarnya tidak ingin menghabiskan waktu seharian di kampus. Kuliahnya selesai jam satu siang tadi. Tapi, tugas kelompok menahannya lebih lama.
Hanya saja, bukan mengerjakan tugas, Gia dan temen-temen sekelompoknya malah nongkrong di kafe. Mereka membahas berbagai macam hal receh tidak penting, sampai lupa waktu. Hasilnya, tugas mereka belum tersentuh sama sekali. Tapi, badan dan pikiran mereka sudah menolak bekerja sama. Akhirnya, mereka memutuskan mengerjakan tugasnya lain waktu. Itu juga kalau ada niat. Niat yang entah kapan akan muncul kembali. Sungguh pemborosan waktu, tenaga, dan uang.
Gia masuk ke dalam rumah dan melihat Ayah yang sedang nonton TV di ruang keluarga. Seperti biasa, Bunda sedang masak di dapur. Hidup Bunda memang sering dihabiskan di dapur. Kalau bisa, Bunda akan memilih tidur di dapur sekalian. Sayang, Ayah jelas tidak mengizinkan istrinya memeluk panci dan wajan setiap hari.
"Assalamu'alaikum." Gia melemparkan salam kepada Ayah.
"W*'alaikumsalam," sahut Ayah sambil mengalihkan pandangan dari TV. "Eh, baru pulang, Gi? Dari mana aja?" tanya Ayah saat melihat putrinya mendekat.
Gia melemparkan pantatnya ke sofa tepat di sebelah ayah. "Dari menikmati hidup sebagai mahasiswi," jawab Gia.
"Capek, nih, jadi mahasiswi?" tanya Ayah.
"Capek, Yah. Tugas udah numpuk, nih. Gia pusing," jawab Gia, mengeluhkan tugas kuliahnya yang menumpuk.
"Dinikmati aja. Jangan kebanyakan ngeluh. Suatu saat kamu pasti kangen masa-masa ini," nasihat Ayah mencoba memberikan semangat kepada Gia.
Suara ketukan menghentikan obrolan Ayah dan Gia. Mereka saling pandang, penasaran siapa yang bertamu malam-malam. Jarang ada yang datang jam segini, kecuali ada urusan yang mendesak.
Ayah berdiri dan pergi menuju ruang tamu. Gia yang merasa lelah tetap duduk sambil mencuri dengar. Saat ini rasa penasaran terkalahkan dengan tubuhnya yang kehilangan setengah tenaga. Ternyata bersenang-senang justru mampu menghabiskan banyak tenaga yang tidak pernah disadari.
"Selamat malam," sapa sebuah suara lelaki. Suaranya tidak asing di telinga Gia. Tapi, Gia gagal mengenali suara ini.
"Malam. Eh, Restu. Ayo masuk masuk," sambut Ayah mempersilakan tamunya yang ternyata adalah tetangga baru.
"Ini ada sedikit bingkisan." Restu menyerahkan sekotak kue kepada Ayah.
"Wah, kenapa jadi repot-repot bawa kue segala? Makasih, ya," sahut Ayah menerima pemberian Restu. "BUNDA, GIA. ADA TAMU." Ayah memanggil istri dan anaknya untuk ikut menyambut tetangga depan rumah mereka.
"IYA, YAH. TUNGGU SEBENTAR. NANGGUNG DIKIT LAGI MATENG, NIH," balas Bunda dari dapur.
Gia bangkit dari duduknya. Dengan langkah malas dia menuju ruang tamu. Di ruang tamu, Restu dan Gavin duduk bersebelahan di sofa panjang. Ayah duduk di sofa di sebelah kanan Restu, menghadap keluar rumah. Gia tersenyum melihat Gavin yang terus memandang ke luar.
"Hai, Gavin. Apa kabar?" sapa Gia setelah duduk di sofa sebelah kiri Gavin.
Gavin diam, tidak mempedulikan Gia. Entah dia memang tidak mendengar sapaan Gia atau pura-pura tuli. Tatapannya yang tajam masih menatap keluar, ke arah kolam ikan milik Gia yang di malam hari bersinar oleh lampu di sekeliling kolam. Baginya lampu taman jauh lebih menyenangkan dibanding Gia yang tersenyum lebar.
"Kalau ditanya, dijawab, Gavin," perintah Restu tegas.
"Baik," jawab Gavin singkat tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun.
"Maafkan anak saya." Restu meminta maaf dengan ulah anak lelakinya yang dirasa kurang sopan.
"Nggak apa-apa. Nanti juga luluh sama Gia," sahut Gia santai sambil tersenyum penuh keyakinan.
"Eh, ada tamu," seru Bunda yang tiba-tiba muncul setelah menyelesaikan memasak. "Jadi ini tetangga baru kita?" tanya Bunda kepada Ayah.
"Iya. Ini Restu dan ini anaknya, Gavin." Ayah memperkenalkan Restu dan Gavin.
"Wah... ganteng-ganteng, ya," komentar Bunda.
Gia melirik Bunda heran. Biasanya Bunda tidak pernah salah melihat kegantengan seseorang. Gia mengalihkan pandangannya kepada Restu, berusaha menilai level ketampanannya.
Restu mempunyai alis tebal dengan mata tajam. Hidungnya mancung. Bibirnya bergelombang yang dihiasi kumis tipis. Rahangnya tegas. Rambutnya model pompadour yang disisir rapi lengkap dengan tambahan Pomade. Badan Restu juga atletis. Gia yakin di balik bajunya ada roti sobek. Malam ini Restu menggunakan polo shirt biru dongker dan celana jins biru tua. Restu itu ganteng, keren, dan jelas hot daddy. Gia baru sadar dengan pesona seorang Restu. Tapi, tetap saja Restu itu om-om. Restu itu om-om tua beranak satu.
"Loh, istrinya mana? Kok, nggak diajakin?" tanya Bunda setelah duduk di sofa di depan Restu.
"Istri saya sudah meninggal," jawab Restu sambil tersenyum. Senyum tipis itu jelas menunjukkan kepedihan yang mendalam. Ada nada getir dari kata-katanya yang sukses membuat suasana suram.
"Ah, maaf," kata bunda merasa bersalah. "Kalian belum makan, kan? Kebetulan Bunda barusan selesai masak. Makan bareng di sini, ya?" Bunda mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Iya. Gavin makan sini sama Kakak, ya?" ajak Gia kepada Gavin. Dia ikut membantu mencairkan susana yang tidak menyenangkan.
Gavin diam. Dia masih enggan menanggapi. Pandangannya masih terfokus ke luar rumah. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.
"Terima kasih," Restu mengiyakan ajakan makan malam keluarga Gia. Memang bukan makan malam mewah, tapi berkesan untuk Restu.
Hari Senin jadi hari yang sering dicaci maki oleh sebagian besar orang. Hari ini dianggap sebagai hari menyebalkan. Setelah menikmati akhir pekan yang bisa menenangkan pikiran dari kegiatan rutin, seperti kerja atau sekolah, bertemu dengan hari Senin seperti kembali bertemu monster, yang harus dikalahkan dalam waktu satu minggu ke depan. Ini juga yang dirasakan Gia. Sejak pagi Gia sudah malas untuk berangkat kuliah. Gia merasa hari libur selama dua hari itu kurang. Padahal, yang dilakukan Gia di hari Sabtu dan Minggu hanya hibernasi. Dia tidur sepanjang hari dengan alasan mengisi kembali energi yang terkuras habis. "Bundaaa," panggil Gia manja. Gia menarik kursi makan, lalu duduk. Kedua tangannya dilipat di atas meja, lalu kepalanya direbahkan di atasnya. "Kenapa, Gi? Kusut banget mukanya?" tanya Bunda yang sedang bersiap masak sarapan. "Gia bolos, ya?" rengek Gia masih dengan nada manjanya. Posisinya tidak berubah, malah sekarang matanya terpejam. "Kenapa bolos segala?" tanya Bun
Matahari mulai tenggelam. Teletubbies berpamitan, sementara Gia baru bangun dari tidur siangnya. Bisa tidur siang di hari Senin itu salah satu surga dunia. Jarang-jarang ada orang yang bisa dengan enaknya tidur di siang hari selama lebih dari tiga jam. Gia sangat bersyukur menjadi orang terpilih yang bisa menikmati surga dunia hari ini. Pagi tadi Gia mendapatkan pesan kalau dua kuliah untuk hari ini ditiadakan. Dosen pertama meminta penggantian jam dengan alasan yang tidak diberitahu. Setelah berdiskusi dengan kordinator tingkat, akhirnya diputuskan kuliah diganti besok Rabu jam tiga sore. Sementara dosen kedua ada acara keluar kota, belum ada perintah penggantian kelas. Gia merasa bagai mendapat lamaran perjaka tampan, mapan, dan kuat iman. Gia bahagia dunia akhirat. Hari liburnya bertambah satu hari lagi. Selesai sarapan, Gia kembali masuk ke kamar. Dia memandang sekeliling kamar. Di meja belajar, beberapa buku kuliah saling tumpang tindih tidak beraturan. Pulpen, pensil, dan pen
Gia memandang deretan rak buku kayu yang tinggi menjulang berjejer rapi di depannya. Perpustakaan menjadi tempat yang jarang sekali dikunjungi oleh Gia. Tapi, kali ini dia berdiri di sini, sendirian. Bukan sendirian dalam arti sebenarnya. Ada beberapa mahasiswa lain di sana, sibuk dengan diri mereka sendiri. Mereka larut dalam buku atau terlelap dalam mimpi di sudut perpustakaan yang hening. Gia tidak mengenal satu pun dari mereka. Wajah mereka terlalu asing baginya. Gia yakin mereka adalah mahasiswa semester tua yang sibuk cari referensi bahan skripsi. Gia berjalan menyusuri lorong sambil membaca sepintas judul buku yang ada di sana. Tidak ada buku yang menarik. Semuanya tentang hukum. Sampai akhirnya Gia membaca judul buku yang aneh. "Chicken soup?" tanya Gia bingung. "Ini kan perpustakaan kampus hukum. Gimana ceritanya ada buku resep masakan di sini?" Gia mengambil buku chicken soup dari rak buku. Penasaran, Gia membawa buku itu. Dia mengamati sekeliling perpustakaan. Suasana p
Macet. Suara klakson bersautan di antara barisan mobil dan motor di jalanan. Semua orang yang ada di jalan ini lelah dan ingin buru-buru sampai tujuan. Tapi, menekan klakson berkali-kali juga tidak akan mengubah apa pun. Gia yang menyetir di tengah macet dan berisiknya jalanan ini pun mulai emosi. "Ini pada nggak bisa sabar dikit emang? Makanya kalau nggak mau kena macet, tuh, nggak usah sok beli mobil. Cuma mampu kredit doang belagu. Giliran macet emosi sendiri," omel Gia, entah pada siapa. Dia sendirian di mobil. Gia tidak sadar kalau mobilnya sendiri cicilannya juga belum lunas. Ayah masih harus membayar cicilan setidaknya tujuh bulan lagi. Gia merasakan lelah. Seharian di kampus cukup menghabiskan tenaga dan pikirannya. Padahal, Gia hanya perlu menjalankan mobilnya tidak lebih dari seratus meter lagi. Di kiri jalan di depan sana akan terlihat gerbang masuk Diamond Cluster, perumahan Gia berada. Sayangnya, barisan mobil di depan Gia sama sekali tidak bergerak sejak sepuluh menit y
Single bed milik Gia sudah penuh dengan baju. Hampir seluruh isi lemarinya tumpah di sana. Beberapa pakaian bahkan berceceran di lantai dan tersampir di kursi. Pemilik kamar tidak peduli dengan kekacauan yang terjadi. Gia memandang dirinya di depan cermin. Dia berputar ke kanan dan ke kiri, lalu tersenyum melihat dress putih yang digunakannya mengembang. Gia menggunakan midi dress berwarna putih bermotif bunga abu-abu kecil, lehernya berbentuk V, dan lengannya pendek. Salah satu dress terbaik yang dimiliki Gia karena di dalam lemarinya sebagian besar berisi celana jins, kaus dan kemeja. Di dalam sana jarang ada pakaian yang membuatnya terlihat lebih wanita. "Kalau gini, kayaknya gue harus beli dress lagi, nih," keluh Gia setelah melihat semua pakaiannya sudah tersebar ke seluruh penjuru kamar. Ponsel Gia berbunyi. Tanda ada sebuah pesan masuk. Gia mencari sumber suara, tapi ternyata bukan hal yang mudah. Ponselnya entah berada di mana, mungkin tertimbun tumpukan pakaian. Gia memind
Gia sedang asik di dapur sendirian. Dia sibuk memotong-motong wortel menjadi bentuk dadu. Tangannya terampil dan cekatan. Walaupun jarang di dapur, keahlian memasak Gia lumayan. Kalau hanya memasak sup sederhana, dia sudah ahli, tidak perlu diragukan lagi. Sup ayam buatan chef Gia akhirnya jadi. Aroma gurihnya menguar, memenuhi dapur. Perut Gia semakin memberontak. Gia segera memindahkan sup dari panci ke mangkuk. Dibawanya sup buatannya ke meja makan. Hari ini Gia sendirian di rumah. Ayah dan Bunda pergi ke acara family gathering kantor Ayah. Acaranya di puncak selama dua hari semalam. Gia yang merasa sudah dewasa menolak ikut. Dia berniat menghabiskan akhir pekan di rumah atau pergi bersama Jessica nanti. "It's a lazzy time. Hibernasi dua hari semalam tanpa omelan Bunda." Dia berharap saat bangun nanti ada Pangeran Tampan mengajak menikah. Ingatan Gia kembali ke ulah usil Hugo kemarin. Sikap Hugo sukses membuat Gia mirip dispenser, panas dingin. Hugo tanpa beban mengajak anak pe
"Kamu mau minum apa? Saya ada kopi, teh, dan susu." Restu berdiri di samping kulkas. Di tangannya ada toples kopi. Dia baru saja keluar dari kamar Gavin, memastikan anak lelakinya itu sudah benar-benar tertidur. Gavin memaksa Gia ikut ke rumahnya untuk memamerkan robot terbaru miliknya. Baru sebentar mereka bermain, Gavin sudah menguap berkali-kali. Jam baru menunjukkan pukul 8 malam, tapi Gavin sudah lelah. Perang air tadi siang lumayan menguras tenaganya. Gia menoleh ke arah Restu. "Susu cokelat boleh, deh, Om." Gia jelas tidak akan menolak minuman favoritnya. "Panas atau dingin?" tanya Restu sambil melangkah ke rak gelas. "Panas. Soalnya Gia juga hot. Biar kompakan kita," jawab Gia, lalu pindah ke ruang makan. Dia menarik kursi makan dan duduk manis. Dapur Restu cukup minimalis dengan peralatan masak yang tidak terlalu banyak. Restu selesai membuat minuman favorit Gia. Aroma manisnya susu dan pahitnya kopi beradu memenuhi ruangan. Susu cokelat panas untuk Gia, dan kopi hitam t
Sejak Gavin mulai dekat dengan Gia, Restu jadi sering mengajak Gavin main ke rumah Gia. Entah hanya menemani Gavin berbincang dengan Gia atau mereka asik bercanda bertiga. Terkadang Ayah dan Bunda juga ikutan bergabung. Sesekali Gia dan Gavin sibuk bermain, Ayah dan Restu asik bertanding catur. Sekarang, bahkan Gavin sudah sering dititipkan di rumah Gia, jika Restu harus lembur atau keluar kota. Walau Gia tidak selalu di rumah, Gavin akan dengan senang hati sementara waktu tinggal di rumah Gia. Bunda dan Ayah juga sudah jatuh cinta dengan Gavin. Harapan mereka untuk punya anak lelaki seperti terwujud. Mereka merasa punya cucu. Apa pun yang Gavin mau, pasti dituruti. Restu yang tahu diri, saat menjemput Gavin pasti membawakan sesuatu untuk Gia dan keluarganya. Terkadang hanya berupa martabak telur, tapi di lain waktu dia juga membawakan sesuatu sesuai permintaan Gia. Om-om BawelGi, saya dalam perjalan pulang.Adakah yang harus saya beli? Anggiana Praba Kwetiau goreng seafoodnya Ma
Calon mertua itu menyeramkan. Ibu mertua itu musuh paling nyata bagi istri dari anaknya lelakinya. Bapak mertua adalah pria galak yang tidak akan bisa berbicara santai dengan menantunya. Saudara ipar jelas tidak akan pernah membiarkan hidup istri kakaknya hidup tenang. Isi kepala Gia dipenuhi pikiran buruk tentang orang tua Restu. Tangannya dingin, sedangkan kepala dan hatinya panas karena terus membayangkan suasana mencekam yang menantinya. Bibir bawah Gia bahkan sudah berdarah. Tanpa disadari, Gia terus menggigit bibir bawahnya untuk meredakan gugup. "Kamu tidak perlu cemas, Gi. Orang tua saya bukan drakula yang gemar menghisap darah perawan." Berulang kali Restu mencoba menenangkan, tapi tidak berhasil. Gia justru semakin banyak mengomel. "Om ini nggak tahu gimana rasanya jadi Gia. Ya, gila aja Gia harus ketemu calon mertua. Calon mertua lho ini, Om. Ini menyangkut hidup Gia. Gimana kalau ternyata orang tua Om Restu nggak suka sama Gia? Gimana kalau Gia diusir terus harus pulang
Matahari semakin condong ke barat, menyisakan berkas oranye. Daun-daun bergoyang pelan tanpa ada iringan musik. Tukang siomai berhenti di ujung jalan, berharap ada yang mau membeli dagangannya. Gavin memukul samsak dengan sekuat tenaga berkali-kali. Baju yang digunakannya sudah basah dengan keringat. Dia sudah mulai kehabisan napas. Sudah satu jam dia berlatih boxing hari ini. Restu sedang sangat bersemangat sore ini. Sejak menjemput Gavin di sekolah, dia sudah memintanya langsung tidur siang, agar sorenya memiliki cukup tenaga untuk berlatih. Seperti biasa, Gavin selalu menuruti permintaan sang Papa. "Pukul yang keras, Gav! Perhatikan sasarannya," perintah Restu yang berdiri di belakang Gavin. Gavin lalu memukul samsak lebih kencang lagi. Samsak di depannya bergoyang pelan. "Gavin, sudah dulu latihannya, sudah hampir Magrib. Nggak baik di luar rumah mau Magrib gini, bisa diculik wewe gombel. Iya, kalau itu Wewe Gombel bisa jadi ibu yang baik buat Gavin, sih, nggak masalah. Kalau te
Gia berlari menjauh dari rumah Restu. Matanya seperti pipa PDAM yang bocor, air matanya mengucur deras. Dadanya seperti disengat puluhan lebah, pedih dan bengkak. Bayangan Restu yang nyaris sempurna hancur sekarang. Gia kecewa kepada Restu. Gia marah, marah pada Restu yang ternyata jahat sekaligus marah pada dirinya sendiri yang bodoh sudah memilih Restu. Ternyata seorang Restu yang dikiranya berpikiran dewasa, tidak jauh berbeda dengan Hugo. Lelaki di mana pun sama, selalu lemah lihat wanita seksi. Belum sempat Gia masuk ke dalam rumah, ada yang menarik tangannya. Gia terpaksa berhenti kalau tidak mau tangannya lepas. Dia masih belum siap tangannya diganti dengan tangan robotik. Selain harganya mahal, berburu upil dengan tangan robotik pasti tidak semenyenangkan dengan tangan asli. Restu berdiri di belakang Gia masih bertelanjang dada. Dia terlihat cemas sampai tidak peduli deretan tahu di perutnya terekspos jelas. "Lepasin!" bentak Gia sambil mencoba melepaskan genggaman tangan R
Kuliah ternyata tidak selalu menyenangkan. Ini sudah hampir di akhir semester pertama Gia. Tumpukan tugas yang harus segera diselesaikan semakin menggunung. Materi pelajaran yang harus dipahami semakin menumpuk. Kepala Gia selalu panas setiap hari. Penjelasan dosen bukannya membuatnya paham, malah semakin membuatnya bertambah pusing. Beruntung, Gia punya Jessica yang dengan sabar, dan bonus sedikit makian, masih mau membagi ilmunya. Walau tidak sempurna, Jessica berhasil membuat Gia sedikit lebih paham dengan pelajaran. Iya, cuma sedikit. Gia terlalu malas belajar, jadi tidak ada perkembangan signifikan dalam nilainya. Hari ini Gia pulang kuliah lebih cepat dari biasanya. Harusnya, dia ada dua mata kuliah lagi. Tapi, dosen pengampu dua mata kuliah itu berhalangan hadir dengan alasan ada tugas ke luar kota. Setelah mendapat kepastian kelas kosong, Gia segera menghubungi Restu. Dia meminta Restu untuk menjemputnya. Siapa tahu hari ini bisa jalan-jalan sebentar, nongkrong di mall atau d
Cowok di depan Gia masih berhasil membuatnya salah tingkah. Ada gelitik aneh di dadanya. Rasanya beda dengan debaran yang dulu dia rasakan, waktu masih berharap Hugo bisa membalas cintanya. Rasa ini membuat perasaannya membaik."Ngagetin aja, Bang! Gia kira setan. Kalau jantung Gia copot, gimana? Bang Hugo mau tanggung jawab?" omel Gia mencoba bersikap biasa saja, padahal perasaannya berantakan. Dia sadar sudah salah. Kalau dia terus bersama Hugo, pasti rasa bersalah pada Restu ini akan semakin meningkat."Sebenernya, kalau disuruh tanggungjawab, gue mau aja. Tapi, gue nggak mau ngerebut calon istri orang," sahut Hugo. Dia berkata seperti itu dengan serius. Sengaja dia memberi jeda supaya Gia semakin salah tingkah, lalu tertawa, seakan ini memang hanya ocehan tanpa makna. Nyatanya, Hugo memang berharap menggantikan posisi Restu sebagai calon suami Gia."Bang," panggil Gia pelan, nyaris tidak terdengar Hugo.Hugo memandang Gia sambil tersenyum. "Lo manggil gue?""Ajakin gue ke KUA sekar
Matahari sudah tenggelam, saat Gia memasukkan mobil ke dalam garasi rumah. Hari ini tidak seburuk yang Gia bayangkan. Bertemu dengan Hugo setelah beberapa minggu ini dia menghindari Gia, ternyata tidak terlalu buruk. Tadinya, Gia mengira pertemuannya ini akan berakhir dengan kondisi aneh atau bahkan terjadi pertengkaran. Tapi, sebaliknya, Hugo masih tetap Hugo, senior menyebalkan yang berhasil membuat hati Gia berbunga-bunga. Sekarang, Gia sadar bahwa perasaan itu belum sepenuhnya hilang. Hugo masih punya tempat spesial di hati Gia.Baru saja Gia mematikan mesin mobil, ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk. Gia mengurungkan niatnya keluar mobil. Dia meraih ponsel yang disimpannya di dalam tas. Sebuah pesan dari Hugo membuat jantungnya malas berdetak dalam beberapa detik.Senior Galak KesayanganMakasih buat hari ini, Gi. Gue seneng ketemu lo.Gia tersenyum lebar membaca pesan dari Hugo. Apa yang dirasakannya ternyata dirasakan juga oleh Hugo. Mereka dua orang yang saling menikmati pertem
Semenjak Restu nekat memperkenalkan diri sebagai calon suami Gia, Hugo memang terlihat tidak terawat. Rambutnya dibiarkan semakin panjang, bahkan seringkali terlihat acak-acakan. Bajunya beberapa kali nampak kusut. Dari laporan Jessica, Hugo seperti kehilangan semangat. Dia sering mangkir dari jadwal rapat BEM. Hugo bahkan lebih mudah emosi hanya karena hal kecil. Gia pun merasa bersalah. Sayangnya, Hugo tidak pernah memberinya kesempatan untuk berbicara. Dia selalu menghindar. Hugo menolak berada terlalu dekat dengan Gia. "Bang Hugo ngapain di sini?" tanya Gia basa-basi. Gia mencoba tersenyum. Sayang, senyumnya kaku dan malah membuatnya terlihat seperti meremehkan Hugo. "Mau beli buku. Gue kehabisan bahan bacaan," jawab Hugo. "Lo sendirian?" tanya Hugo perlahan. Ada ribuan jarum jahit yang bergerak acak menikam jantungnya. Gia tersenyum lebih tulus. "Iya. Udah mirip anak hilang, ya? Bentar lagi ada yang mau nyulik Gia, nih. Kalau Gia nggak ada kabar besok, laporin polisi, ya, Ban
Minggu pagi menjadi waktu yang pas untuk bermalas-malasan. Bangun siang, makan, pipis, eek, dan tidur lagi seharian. Itu yang dilakukan Gia dulu. Gia yang hanya berfikir tentang enaknya sendiri, tidak peduli Bunda sudah mengomel panjang melihat anak gadisnya sudah mirip kain pel bekas—lecek, kucel, kusut, dan bau—tinggal dibuang aja. Gia yang sekarang berbeda. Setelah Restu menunjukkan keikhlasannya melepas Bianca, Gia semakin yakin untuk memperbaiki dirinya. Gia tidak mau Restu menyesal karena dirinya masih sama, tanpa perubahan yang lebih baik. Gia mau Restu juga melihat usahanya. Terlebih lagi, nantinya Gia akan menjadi seorang ibu bagi Gavin. Sebuah tanggungjawab yang jauh lebih besar. Jantungnya selalu berdebar kencang kalau mengingat statusnya akan berubah menjadi istri dan ibu sekaligus, peran baru yang lebih menuntut kedewasaannya. Cahaya matahari mulai masuk dari sela-sela jendela kamar Gia yang masih tertutup gorden. Gia menyibakkan gorden berwarna hijau tua itu. Di seberan
Jalanan lenggang, tanpa kemacetan yang berarti. Lampu merah memaksa mobil Restu berhenti sejenak. Perjalanan mereka masih butuh beberapa menit lagi sampai tujuan. Tujuan yang sama sekali tidak pernah dibayangkan oleh Gia. Restu terus diam selama perjalanan, sama sekali tidak mencoba mengajak Gia berbicara. Suasana hening di dalam mobil. Tidak ada suara musik yang biasa diputar oleh Gia. Suara deru kendaraan dan sesekali klakson yang saling bersautan di luar cukup membuat Gia merasa semakin resah. Baru pertama kali Gia melihat Restu dalam mode galak begini. Ini bukan Restu yang membuat Gia jatuh hati. Sekarang, Restu terlihat menakutkan. Bukan menakutkan selayaknya genderuwo yang mencari perawan di siang hari. Ya, walaupun antara genderuwo dan Restu sama-sama doyan perawan. Gia merasa yang duduk di sampingnya adalah pria tua yang senang menculik perawan, lalu menjualnya ke pria hidung belang yang berani membayar mahal. Pria-pria seperti ini biasanya sering nekat melakukan kekerasan de