Yeay! Akhirnya Love by Choice selesai juga. Terima kasih buat kalian yang sudah mengikuti kisah ini sampai akhir. Sampai jumpa di cerita saya selanjutnya. Love sekebun buat kalian.
Tidak ada yang tahu pasti siapa psikopat yang membuat aturan OSPEK harus kejam dan menyedihkan. Anggiana Praba mungkin menjadi salah satu korban kekejaman aturan ini. Gia, begitu dia biasa dipanggil, sedang sibuk merapikan rambut panjangnya yang baru saja selesai dikuncir dua. Dia bergegas menggunakan flat shoes warna hitam dan mengambil tas ransel hitamnya dari atas meja. Sebentar dia kembali mematut penampilannya yang mirip sales sedang masa training, lalu bergegas keluar kamar. Dia berlari menuju garasi. Wajahnya panik bukan main. "Gia sarapan dulu!" panggil Bunda dari ruang makan, saat melihat anak gadisnya itu berlari seperti dikejar utang yang tidak mampu dia bayar. "Nggak sempet, Bun," tolak Gia masih sambil berlari. "Gia berangkat. Assalamualaikum," pamitnya buru-buru tanpa menoleh sedikit pun. Segera dinyalakan mobil Honda Jazz putihnya dan memacunya secepat yang dia mampu. Hari ini adalah hari pertama Gia resmi menyandang status mahasiswi Fakultas Hukum di Universitas Mer
Rumah adalah tempat paling nyaman. Setelah seharian Gia merasakan siksaan, akhirnya lenyap setelah berada di rumah. Hanya sekadar rebahan sambil nonton tv saja sudah menjadi surga dunia bagi Gia. Sayangnya, hari ini dia tidak bisa menikmati surga dunianya. Gia baru tiba di rumah saat matahari baru saja tenggelam. Dia langsung mandi, membasuh tubuhnya yang lengket karena keringatnya terlalu banyak seharian. Aroma matahari, keringat, dan sisa parfum diskonan di tubuhnya bercampur sangat memuakkan. Gia sendiri nyaris muntah saat mengecek aroma ketiaknya. "Baunya mirip sisa janji manismu yang nggak pernah ditepati, busuk banget," celetuk Gia sebelum masuk ke kamar mandi. Dia menghabiskan waktu lumayan lama di dalam kamar mandi. Mungkin di dalam kamar mandi dia sekaligus membangun peradaban baru dunia. Selesai mandi, perut Gia berontak minta jatah preman. "Bunda masak apa?" tanya Gia yang sudah berada di samping Bunda. Dia membuka kulkas, lalu meraih sekotak susu cokelat. Dengan cepat Gi
"Ayah, gimana, nih? Anak ayah yang paling cantik mobilnya mogok, nggak bisa nyala sama sekali. Mana dari tadi Gia dimaki-maki sama orang. Mereka bukannya bantuin malah ngomel-ngomel. Sungguh krisis simpati dan empati, ya, sekarang ini," keluh Gia panjang lebar begitu panggilannya dijawab oleh Ayah. "Ini Ayah disuruh sedih apa ketawa dulu, Gi?" tanya Ayah menahan tawa. Dia paham sekali kalau sekarang tertawa, Gia akan meledak. Dia akan puasa bicara, sampai benar-benar butuh bantuan Ayah. Biasanya Gia hanya bertahan paling lama lima jam. Tapi, itu sudah bisa membuat Ayah menderita. "Ih, Ayah kenapa malah ngetawain Gia, sih?" sungut Gia kesal. "Ya, kamu kenapa cuma laporan mobil mogok aja harus bikin novel dulu, panjang banget?" omel Ayah gemas dengan tingkah putrinya. Gia mencebik. "Terus ini Gia gimana, dong? Gia udah diomelin mulu sama orang, nih." Gia semakin panik. Suara klakson mobil di belakangnya terus terdengar. Jalanan semakin ramai. Mobil Gia yang mogok menambah macet dan r
Gia berharap bertemu kuntilanak daripada harus berurusan dengan senior galak ini lagi. Setidaknya, kuntilanak masih bisa diajak tertawa bersama sambil nongkrong di atas pohon. Senior bermulut cabe ini sama sekali tidak berniat tersenyum pada Gia. Wajahnya kaku, tidak ada tanda-tanda kebahagiaan di sana. "Eh, hai, Bang," sapa Gia mencoba ramah sambil melambaikan tangan dan senyuman tiga jari. "Mana otak manusianya?" tanya lelaki yang paling dihindari Gia hari ini. Suara beratnya terasa menusuk telinga Gia. "Ini ada di dalem sini, Bang," jawab Gia sambil menunjuk kepalanya. "Gue nggak segan-segan bikin gule otak manusia," seru si senior galak. Dia bersuara perlahan dan tajam, tepat di telinga kiri Gia. Gia kaget dan seketika mundur menjauh. Sayangnya, ada dinding yang menghadangnya. Muka Gia sudah nyaris seputih dinding di belakangnya. "Kenapa lo telat?" tanya si senior galak. Tangannya dilipat di depan dada. Kaki kirinya bergeser memperlebar jarak dengan kaki kanannya, membuat aur
Ini hari ketiga Gia sebagai mahasiswi dan sekaligus hari terakhir OSPEK. Sejak kemarin Gia terus merengek kepada Ayah agar mau mengantarnya ke kampus, dengan risiko Ayah harus melewati jalan yang berlawanan arah dari kantornya. Ayah yang memang selalu memanjakan anak gadisnya itu pun mengiakan. Pagi ini Gia sudah duduk di mobil Ayah. Di bangku kemudi Ayah sedang fokus mengendarai mobil Toyota Camry hitamnya, berusaha secepat mungkin sampai di kampus putrinya. "Ayah tegang banget, sih? Ini cuma nganterin Gia ngampus, bukan bawa Gia ke pelaminan kali," komentar Gia yang gemas dengan wajah serius ayahnya. "Iya, tapi kalau Ayah sampai telat hari ini, kamu bisa-bisa nggak akan sampai ke pelaminan juga, Gi," sahut Ayah masih fokus memandang jalanan di depannya. "Apa hubungannya Ayah telat sama Gia kawin?" tanya Gia bingung. "Ayah ada rapat penting pagi ini. Kalau telat, bisa digantung sama Pak Direktur nanti." Ayah mulai cemas memandang barisan mobil yang mengular di depannya. "Eh, en
Acara terakhir setelah upacara pembubaran OSPEK adalah makan malam bersama. Para senior memanjakan juniornya dengan menyiapkan sendiri nasi liwet yang ditaruh di daun pisang yang berjejer panjang mengitari auditorium. Menu liwetan pun termasuk lengkap. Nasi gurih dengan lauk ayam, tahu, dan tempe goreng aromanya menggoda. Segarnya sayur asem juga membuat liur menetes. Lalapan plus sambel terasi serta kerupuk semakin membuat semua yang ada di auditorium kelaparan. Tidak lupa ada es teh manis sebagai minuman. Menu yang sungguh menggoda selera, apalagi perut memang sudah waktunya diisi. Di depan auditorium, Reza, ketua panitia pelaksana OSPEK dan ketua BEM, mengucapkan terima kasih atas semua bantuan yang membuat acara OSPEK selama tiga hari ini berjalan lancar. Reza juga mengucapkan selamat kepada mahasiswa baru yang sudah resmi menjadi mahasiswa di Universitas Merva. Reza hanya berbicara singkat. Dia paham semua yang ada di dalam auditorium sudah berfokus ke makanan yang tersaji. Jadi,
Gia memandang dirinya di depan cermin besar setinggi dua meter di kamarnya, memastikan penampilannya sudah sempurna. Kemeja Flanel biru menjadi pilihannya hari ini. Bagian lengannya sengaja dilipat sedikit sebatas lengan. Dia memadukannya dengan celana jins hitam yang robek di kedua lutut. Rambut Gia yang dicat warna coklat dikucir bagian atasnya, lalu dicepol asal-asalan, sementara sisa rambut bagian bawah dibiarkan terurai begitu saja. Gia enggan menggunakan mekap berlebih. Seperti biasa, dia hanya memoles bedak bayi di wajah dan pelembab bibir. Gia tersenyum di depan cermin, merasa menjadi wanita tercantik sejagad raya. Setelah penampilannya sempurna, Gia mengambil ransel hitam kecilnya dari meja belajar. Ransel ini menjadi tas kesayangannya, alasan sederhana untuk menutupi kalau sebenarnya Gia malas memindah isi tas ke tas lain. Sekarang, dia siap pergi ke kampus. Di ruang makan, Ayah duduk menunggu Bunda selesai masak sambil membaca koran. Rutinitas ini memang terlalu ketinggal
Gia memasukkan mobil ke garasi rumah. Rumahnya memang tidak besar, tapi dia selalu tenang saat akhirnya tiba di rumah. Penampilan Gia sudah kacau. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, tapi kusut di beberapa bagian. Tidak ada kerapian sama sekali dalam diri Gia sore ini. Wajahnya yang lelah sudah kusut dan berminyak. Kemeja merah dengan motif bunga-bunga yang digunakannya sudah acak-acakan di sana-sini. Kegiatan kampusnya hari ini terasa lumayan menguras tenaga dan pikiran. Ada tiga mata kuliah hari ini, yang sukses membuat otaknya lumayan panas. Berbeda dengan waktu dia masih duduk di bangku sekolah, Gia hanya perlu duduk dan semua materi pelajaran akan diberikan oleh gurunya. Sekarang, Gia harus memahami segala sesuatunya sendiri. Dosen hanya memberikan sedikit gambaran tentang materi yang diberikan. Sisanya akan ada diskusi antar mahasiswa dan diakhiri dengan tugas-tugas. Jadi, baru mulai kuliah, tetapi tugas Gia sudah menumpuk. Saat Gia akan masuk ke dalam rumah, mata Gia mena
Calon mertua itu menyeramkan. Ibu mertua itu musuh paling nyata bagi istri dari anaknya lelakinya. Bapak mertua adalah pria galak yang tidak akan bisa berbicara santai dengan menantunya. Saudara ipar jelas tidak akan pernah membiarkan hidup istri kakaknya hidup tenang. Isi kepala Gia dipenuhi pikiran buruk tentang orang tua Restu. Tangannya dingin, sedangkan kepala dan hatinya panas karena terus membayangkan suasana mencekam yang menantinya. Bibir bawah Gia bahkan sudah berdarah. Tanpa disadari, Gia terus menggigit bibir bawahnya untuk meredakan gugup. "Kamu tidak perlu cemas, Gi. Orang tua saya bukan drakula yang gemar menghisap darah perawan." Berulang kali Restu mencoba menenangkan, tapi tidak berhasil. Gia justru semakin banyak mengomel. "Om ini nggak tahu gimana rasanya jadi Gia. Ya, gila aja Gia harus ketemu calon mertua. Calon mertua lho ini, Om. Ini menyangkut hidup Gia. Gimana kalau ternyata orang tua Om Restu nggak suka sama Gia? Gimana kalau Gia diusir terus harus pulang
Matahari semakin condong ke barat, menyisakan berkas oranye. Daun-daun bergoyang pelan tanpa ada iringan musik. Tukang siomai berhenti di ujung jalan, berharap ada yang mau membeli dagangannya. Gavin memukul samsak dengan sekuat tenaga berkali-kali. Baju yang digunakannya sudah basah dengan keringat. Dia sudah mulai kehabisan napas. Sudah satu jam dia berlatih boxing hari ini. Restu sedang sangat bersemangat sore ini. Sejak menjemput Gavin di sekolah, dia sudah memintanya langsung tidur siang, agar sorenya memiliki cukup tenaga untuk berlatih. Seperti biasa, Gavin selalu menuruti permintaan sang Papa. "Pukul yang keras, Gav! Perhatikan sasarannya," perintah Restu yang berdiri di belakang Gavin. Gavin lalu memukul samsak lebih kencang lagi. Samsak di depannya bergoyang pelan. "Gavin, sudah dulu latihannya, sudah hampir Magrib. Nggak baik di luar rumah mau Magrib gini, bisa diculik wewe gombel. Iya, kalau itu Wewe Gombel bisa jadi ibu yang baik buat Gavin, sih, nggak masalah. Kalau te
Gia berlari menjauh dari rumah Restu. Matanya seperti pipa PDAM yang bocor, air matanya mengucur deras. Dadanya seperti disengat puluhan lebah, pedih dan bengkak. Bayangan Restu yang nyaris sempurna hancur sekarang. Gia kecewa kepada Restu. Gia marah, marah pada Restu yang ternyata jahat sekaligus marah pada dirinya sendiri yang bodoh sudah memilih Restu. Ternyata seorang Restu yang dikiranya berpikiran dewasa, tidak jauh berbeda dengan Hugo. Lelaki di mana pun sama, selalu lemah lihat wanita seksi. Belum sempat Gia masuk ke dalam rumah, ada yang menarik tangannya. Gia terpaksa berhenti kalau tidak mau tangannya lepas. Dia masih belum siap tangannya diganti dengan tangan robotik. Selain harganya mahal, berburu upil dengan tangan robotik pasti tidak semenyenangkan dengan tangan asli. Restu berdiri di belakang Gia masih bertelanjang dada. Dia terlihat cemas sampai tidak peduli deretan tahu di perutnya terekspos jelas. "Lepasin!" bentak Gia sambil mencoba melepaskan genggaman tangan R
Kuliah ternyata tidak selalu menyenangkan. Ini sudah hampir di akhir semester pertama Gia. Tumpukan tugas yang harus segera diselesaikan semakin menggunung. Materi pelajaran yang harus dipahami semakin menumpuk. Kepala Gia selalu panas setiap hari. Penjelasan dosen bukannya membuatnya paham, malah semakin membuatnya bertambah pusing. Beruntung, Gia punya Jessica yang dengan sabar, dan bonus sedikit makian, masih mau membagi ilmunya. Walau tidak sempurna, Jessica berhasil membuat Gia sedikit lebih paham dengan pelajaran. Iya, cuma sedikit. Gia terlalu malas belajar, jadi tidak ada perkembangan signifikan dalam nilainya. Hari ini Gia pulang kuliah lebih cepat dari biasanya. Harusnya, dia ada dua mata kuliah lagi. Tapi, dosen pengampu dua mata kuliah itu berhalangan hadir dengan alasan ada tugas ke luar kota. Setelah mendapat kepastian kelas kosong, Gia segera menghubungi Restu. Dia meminta Restu untuk menjemputnya. Siapa tahu hari ini bisa jalan-jalan sebentar, nongkrong di mall atau d
Cowok di depan Gia masih berhasil membuatnya salah tingkah. Ada gelitik aneh di dadanya. Rasanya beda dengan debaran yang dulu dia rasakan, waktu masih berharap Hugo bisa membalas cintanya. Rasa ini membuat perasaannya membaik."Ngagetin aja, Bang! Gia kira setan. Kalau jantung Gia copot, gimana? Bang Hugo mau tanggung jawab?" omel Gia mencoba bersikap biasa saja, padahal perasaannya berantakan. Dia sadar sudah salah. Kalau dia terus bersama Hugo, pasti rasa bersalah pada Restu ini akan semakin meningkat."Sebenernya, kalau disuruh tanggungjawab, gue mau aja. Tapi, gue nggak mau ngerebut calon istri orang," sahut Hugo. Dia berkata seperti itu dengan serius. Sengaja dia memberi jeda supaya Gia semakin salah tingkah, lalu tertawa, seakan ini memang hanya ocehan tanpa makna. Nyatanya, Hugo memang berharap menggantikan posisi Restu sebagai calon suami Gia."Bang," panggil Gia pelan, nyaris tidak terdengar Hugo.Hugo memandang Gia sambil tersenyum. "Lo manggil gue?""Ajakin gue ke KUA sekar
Matahari sudah tenggelam, saat Gia memasukkan mobil ke dalam garasi rumah. Hari ini tidak seburuk yang Gia bayangkan. Bertemu dengan Hugo setelah beberapa minggu ini dia menghindari Gia, ternyata tidak terlalu buruk. Tadinya, Gia mengira pertemuannya ini akan berakhir dengan kondisi aneh atau bahkan terjadi pertengkaran. Tapi, sebaliknya, Hugo masih tetap Hugo, senior menyebalkan yang berhasil membuat hati Gia berbunga-bunga. Sekarang, Gia sadar bahwa perasaan itu belum sepenuhnya hilang. Hugo masih punya tempat spesial di hati Gia.Baru saja Gia mematikan mesin mobil, ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk. Gia mengurungkan niatnya keluar mobil. Dia meraih ponsel yang disimpannya di dalam tas. Sebuah pesan dari Hugo membuat jantungnya malas berdetak dalam beberapa detik.Senior Galak KesayanganMakasih buat hari ini, Gi. Gue seneng ketemu lo.Gia tersenyum lebar membaca pesan dari Hugo. Apa yang dirasakannya ternyata dirasakan juga oleh Hugo. Mereka dua orang yang saling menikmati pertem
Semenjak Restu nekat memperkenalkan diri sebagai calon suami Gia, Hugo memang terlihat tidak terawat. Rambutnya dibiarkan semakin panjang, bahkan seringkali terlihat acak-acakan. Bajunya beberapa kali nampak kusut. Dari laporan Jessica, Hugo seperti kehilangan semangat. Dia sering mangkir dari jadwal rapat BEM. Hugo bahkan lebih mudah emosi hanya karena hal kecil. Gia pun merasa bersalah. Sayangnya, Hugo tidak pernah memberinya kesempatan untuk berbicara. Dia selalu menghindar. Hugo menolak berada terlalu dekat dengan Gia. "Bang Hugo ngapain di sini?" tanya Gia basa-basi. Gia mencoba tersenyum. Sayang, senyumnya kaku dan malah membuatnya terlihat seperti meremehkan Hugo. "Mau beli buku. Gue kehabisan bahan bacaan," jawab Hugo. "Lo sendirian?" tanya Hugo perlahan. Ada ribuan jarum jahit yang bergerak acak menikam jantungnya. Gia tersenyum lebih tulus. "Iya. Udah mirip anak hilang, ya? Bentar lagi ada yang mau nyulik Gia, nih. Kalau Gia nggak ada kabar besok, laporin polisi, ya, Ban
Minggu pagi menjadi waktu yang pas untuk bermalas-malasan. Bangun siang, makan, pipis, eek, dan tidur lagi seharian. Itu yang dilakukan Gia dulu. Gia yang hanya berfikir tentang enaknya sendiri, tidak peduli Bunda sudah mengomel panjang melihat anak gadisnya sudah mirip kain pel bekas—lecek, kucel, kusut, dan bau—tinggal dibuang aja. Gia yang sekarang berbeda. Setelah Restu menunjukkan keikhlasannya melepas Bianca, Gia semakin yakin untuk memperbaiki dirinya. Gia tidak mau Restu menyesal karena dirinya masih sama, tanpa perubahan yang lebih baik. Gia mau Restu juga melihat usahanya. Terlebih lagi, nantinya Gia akan menjadi seorang ibu bagi Gavin. Sebuah tanggungjawab yang jauh lebih besar. Jantungnya selalu berdebar kencang kalau mengingat statusnya akan berubah menjadi istri dan ibu sekaligus, peran baru yang lebih menuntut kedewasaannya. Cahaya matahari mulai masuk dari sela-sela jendela kamar Gia yang masih tertutup gorden. Gia menyibakkan gorden berwarna hijau tua itu. Di seberan
Jalanan lenggang, tanpa kemacetan yang berarti. Lampu merah memaksa mobil Restu berhenti sejenak. Perjalanan mereka masih butuh beberapa menit lagi sampai tujuan. Tujuan yang sama sekali tidak pernah dibayangkan oleh Gia. Restu terus diam selama perjalanan, sama sekali tidak mencoba mengajak Gia berbicara. Suasana hening di dalam mobil. Tidak ada suara musik yang biasa diputar oleh Gia. Suara deru kendaraan dan sesekali klakson yang saling bersautan di luar cukup membuat Gia merasa semakin resah. Baru pertama kali Gia melihat Restu dalam mode galak begini. Ini bukan Restu yang membuat Gia jatuh hati. Sekarang, Restu terlihat menakutkan. Bukan menakutkan selayaknya genderuwo yang mencari perawan di siang hari. Ya, walaupun antara genderuwo dan Restu sama-sama doyan perawan. Gia merasa yang duduk di sampingnya adalah pria tua yang senang menculik perawan, lalu menjualnya ke pria hidung belang yang berani membayar mahal. Pria-pria seperti ini biasanya sering nekat melakukan kekerasan de