Ini hari ketiga Gia sebagai mahasiswi dan sekaligus hari terakhir OSPEK. Sejak kemarin Gia terus merengek kepada Ayah agar mau mengantarnya ke kampus, dengan risiko Ayah harus melewati jalan yang berlawanan arah dari kantornya. Ayah yang memang selalu memanjakan anak gadisnya itu pun mengiakan.
Pagi ini Gia sudah duduk di mobil Ayah. Di bangku kemudi Ayah sedang fokus mengendarai mobil Toyota Camry hitamnya, berusaha secepat mungkin sampai di kampus putrinya.
"Ayah tegang banget, sih? Ini cuma nganterin Gia ngampus, bukan bawa Gia ke pelaminan kali," komentar Gia yang gemas dengan wajah serius ayahnya.
"Iya, tapi kalau Ayah sampai telat hari ini, kamu bisa-bisa nggak akan sampai ke pelaminan juga, Gi," sahut Ayah masih fokus memandang jalanan di depannya.
"Apa hubungannya Ayah telat sama Gia kawin?" tanya Gia bingung.
"Ayah ada rapat penting pagi ini. Kalau telat, bisa digantung sama Pak Direktur nanti." Ayah mulai cemas memandang barisan mobil yang mengular di depannya.
"Eh, enak aja mau gantung ayahnya Gia. Gia lempar ke sungai Nil biar dimakan kuda Nil sini," omel Gia asal-asalan.
Ayah sontak memandang Gia. "Di sungai Nil nggak ada kuda Nil kali, Gi. Ngaco aja kamu ini," protes Ayah, lalu tertawa.
"Terus yang ada kuda Nil di mana, dong?"
"Kebun binatang tuh."
"Oh, iya juga. Ongkos ke sana juga lebih murah dari pada ke sungai Nil. Ya, udah. Nanti kalau ada yang berani gantung Ayah, bakal Gia lempar ke kandang kuda Nil di Ragunan." Gia meralat ancamannya, membuat Ayah semakin kencang tertawa.
Jam baru menunjukkan pukul 06.20 saat mobil Ayah memasuki kampus Fakultas Hukum Universitas Merva. Ayah menghentikan mobilnya di depan gerbang, lalu memandang putri kesayangannya. "Sudah sampai, Tuan Putri," kata Ayah sambil tersenyum lebar.
"Wah, pagi banget sampainya. Aman, deh, Gia nggak bakal kena omel senior galak ngeselin itu lagi," sahut Gia sambil meletakkan ransel hitamnya ke punggung kanan.
"Nanti kalau sudah selesai, telepon Ayah, ya. Biar Ayah jemput," perintah Ayah.
"Ayah emang lelaki bertanggung jawab, udah nganterin cewek terus jemput segala. Gia nggak salah, nih, jatuh cinta sama Ayah," puji Gia lalu menggenggam tangan Ayah dan menciumnya.
Ayah mencium puncak kepala Gia, lalu meniupnya sambil membacakan ayat kursi. "Kalau nggak cinta sama Ayah, nggak bakal Ayah kasih uang saku lagi kamu, Gi," ancam Ayah sambil pura-pura pasang tampang galak.
"Gia bakal cinta mati, beneran cinta sampai mati, sama Ayah. Jadi, Ayah harus ngasih uang saku Gia selamanya juga, lho!" kata Gia sambil membuka pintu mobil, lalu keluar. Gia membungkukkan badan, memandang wajah ayahnya yang mulai keriput.
"Sembarangan kamu. Udah sana masuk! Ayah ke kantor dulu, ya," pamit Ayah sambil melambaikan tangan.
Gia mengangguk, lalu menutup pintu mobil. Mobil Ayah segera pergi meninggalkan Gia. Gia melangkahkan kakinya menuju auditorium, tempat dilaksanakannya kegiatan OSPEK terakhir. Selama perjalanan, Gia berpapasan dengan teman seangkatannya. Tidak semua Gia hafal namanya, tapi mereka tau siapa Gia. Ini semua gara-gara si senior galak itu. Gia selalu kesal tiap mengingatnya.
"Eh, udah hari ketiga dan gue belum tau nama senior galak bin ngeselin itu, deh. Ah, bodo amat. Siapa pun namanya, tetep aja dia galak. Senior mulut cabe." Gia berdialog dengan diri sendiri.
"Tumben nggak telat." Sebuah suara berat dan sedikit serak terdengar dari belakang Gia. Suara menyebalkan yang selalu menghantui Gia.
Gia menghentikan langkahnya dan membalikkan badan. Di hadapannya kini berdiri lelaki berbadan tegap dengan kemeja flannel biru yang lengannya digulung sampai sebatas siku. Di lengan kirinya menggantung jas almamater merah. Sang senior galak yang baru saja hadir dalam pikiran Gia sekarang benar-benar hadir dengan senyum miring.
"Eh, pagi, Bang," sapa Gia sambil tersenyum. Entah kenapa Gia ingin sekali menyapanya seramah mungkin.
"Pagi," sahut senior galak, tanpa senyum balasan. Tapi, kali ini wajahnya tidak segarang biasanya, tidak ada aura pembunuh di sana.
"Padahal, gue udah siapin hukuman yang pas kalau lo telat lagi," kata senior galak membuat perasaan Gia hancur seketika.
"Demen banget nyiksa Gia, sih, Bang? Ini anak orang jangan disiksa mulu, disayang aja, kek. Eh, jangan! Abang nanti bisa jatuh cinta lho sama Gia, bisa repot kalau ada senior galak jatuh cinta sama Gia." Mulut Gia mulai berbicara tidak jelas arah tujuannya.
Anehnya, senior galak di hadapan Gia bukan marah, tapi malah tertawa. Gia melotot melihat lelaki yang biasanya hanya bisa marah-marah dengan kata-kata pedasnya itu tertawa. Baru kali ini Gia sadar bahwa senior galaknya itu punya wajah yang lumayan ganteng. Ah, bukan lumayan, tapi dia ganteng banget.
"Lo ngarep banget gue jatuh cinta sama lo, ya?" ejek si senior galak, setelah tawanya berhenti.
Gia manyun.
"Buru ke audit! Kalau sampai telat, gue nggak segan hukum lo lagi," perintah si senior galak, lalu berjalan melewati Gia.
'Ah, nyesel gue udah terpesona tadi. Mulutnya ternyata emang nggak bisa manis, ya. Sedih gue. Lain kali gue suruh ngemut gula jawa aja kali, biar itu mulut berkurang kadar pedesnya.' Gia menyesali perbuatannya, terpesona pada orang yang salah. Kakinya lalu melangkah lebar, menyusul senior galaknya.
OSPEK terkahir ini lebih santai dari biasanya. Seharian para senior hanya mengajak melakukan berbagai macam permainan. Salah satu yang paling seru adalah lomba foto bersama dosen.
Para mahasiswa baru dibagi menjadi beberapa kelompok. Tiap kelompok minimal mengumpulkan sepuluh foto bersama dosen Fakultas Hukum. Gayanya bebas. Kelompok dengan gaya paling kocak yang akan jadi pemenangnya. Para senior sudah mempersiapkan hadiah spesial bagi tiga pemenang.
Setelah mendapat arahan, pasukan hitam putih itu bubar dan pergi berkelompok mencari dosen ke seluruh penjuru kampus. Kelompok Gia tidak mau ketinggalan. Mereka segera menuju ruang dosen pidana yang terletak di gedung A. Sayangnya, hanya ada tiga dosen di sana. Dosen lainnya sedang mengajar karena saat ini memang sedang berlangsung jam pelajaran.
Setelah berhasil mendapatkan foto bersama tiga dosen di ruang dosen pidana, mereka menuju gedung B tepatnya ke ruang dosen perdata yang ada di lantai 1, di sebelah ruang administrasi. Di ruang dosen perdata ternyata lebih sedikit dosen yang tinggal, hanya ada satu dosen.
Gia dan tujuh temannya segera pergi setelah mendapatkan foto bersama dosen perdata tersebut. Mereka menuju ke lantai 2, di mana terdapat ruang sidang. Mereka berharap bisa bertemu dengan dosen yang selesai menguji skripsi mahasiswa.
Setelah menunggu sekitar lima menit, ruang sidang dibuka. Tiga orang dosen keluar.
Berhasil. Kelompok Gia akhirnya sudah mengumpulkan tujuh foto. Kurang tiga foto lagi.
Dewi Fortuna sedang berbaik hati kepada Gia dan teman-temannya hari ini. Baru pergi menjauh dari ruang sidang beberapa langkah, mereka bertemu dengan dua orang dosen. Tidak sampai di situ. Saat akan turun ke lantai 1, mereka berpapasan dengan seorang dosen lagi. Selesai.
Segera mereka kembali ke auditorium dan mengumpulkan foto-foto yang diambil menggunakan ponsel Gia.
Perjuangan kelompok Gia tidak sia-sia. Mereka mendapatkan juara pertama dan memperoleh hadiah kupon makan gratis sebesar lima puluh ribu di LeBlanc Cafe per orang. LeBlanc Cafe adalah satu cafe terfavorit di sekitar kampus Merva ini.
Gia girang bukan main. Dia merasa hari ini sungguh sangat beruntung, setelah dua hari sebelumnya selalu sial. Bahkan hari ini senior galak yang ganteng itu belum memarahinya sama sekali. Gia malah sering melihatnya tersenyum, membuat Gia semakin terpesona dengan wajah gantengnya.
'Mungkin yang pedas memang lebih menantang,' pikir Gia yang terus mengagumi senior mulut cabenya dari jauh.
Acara terakhir setelah upacara pembubaran OSPEK adalah makan malam bersama. Para senior memanjakan juniornya dengan menyiapkan sendiri nasi liwet yang ditaruh di daun pisang yang berjejer panjang mengitari auditorium. Menu liwetan pun termasuk lengkap. Nasi gurih dengan lauk ayam, tahu, dan tempe goreng aromanya menggoda. Segarnya sayur asem juga membuat liur menetes. Lalapan plus sambel terasi serta kerupuk semakin membuat semua yang ada di auditorium kelaparan. Tidak lupa ada es teh manis sebagai minuman. Menu yang sungguh menggoda selera, apalagi perut memang sudah waktunya diisi. Di depan auditorium, Reza, ketua panitia pelaksana OSPEK dan ketua BEM, mengucapkan terima kasih atas semua bantuan yang membuat acara OSPEK selama tiga hari ini berjalan lancar. Reza juga mengucapkan selamat kepada mahasiswa baru yang sudah resmi menjadi mahasiswa di Universitas Merva. Reza hanya berbicara singkat. Dia paham semua yang ada di dalam auditorium sudah berfokus ke makanan yang tersaji. Jadi,
Gia memandang dirinya di depan cermin besar setinggi dua meter di kamarnya, memastikan penampilannya sudah sempurna. Kemeja Flanel biru menjadi pilihannya hari ini. Bagian lengannya sengaja dilipat sedikit sebatas lengan. Dia memadukannya dengan celana jins hitam yang robek di kedua lutut. Rambut Gia yang dicat warna coklat dikucir bagian atasnya, lalu dicepol asal-asalan, sementara sisa rambut bagian bawah dibiarkan terurai begitu saja. Gia enggan menggunakan mekap berlebih. Seperti biasa, dia hanya memoles bedak bayi di wajah dan pelembab bibir. Gia tersenyum di depan cermin, merasa menjadi wanita tercantik sejagad raya. Setelah penampilannya sempurna, Gia mengambil ransel hitam kecilnya dari meja belajar. Ransel ini menjadi tas kesayangannya, alasan sederhana untuk menutupi kalau sebenarnya Gia malas memindah isi tas ke tas lain. Sekarang, dia siap pergi ke kampus. Di ruang makan, Ayah duduk menunggu Bunda selesai masak sambil membaca koran. Rutinitas ini memang terlalu ketinggal
Gia memasukkan mobil ke garasi rumah. Rumahnya memang tidak besar, tapi dia selalu tenang saat akhirnya tiba di rumah. Penampilan Gia sudah kacau. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, tapi kusut di beberapa bagian. Tidak ada kerapian sama sekali dalam diri Gia sore ini. Wajahnya yang lelah sudah kusut dan berminyak. Kemeja merah dengan motif bunga-bunga yang digunakannya sudah acak-acakan di sana-sini. Kegiatan kampusnya hari ini terasa lumayan menguras tenaga dan pikiran. Ada tiga mata kuliah hari ini, yang sukses membuat otaknya lumayan panas. Berbeda dengan waktu dia masih duduk di bangku sekolah, Gia hanya perlu duduk dan semua materi pelajaran akan diberikan oleh gurunya. Sekarang, Gia harus memahami segala sesuatunya sendiri. Dosen hanya memberikan sedikit gambaran tentang materi yang diberikan. Sisanya akan ada diskusi antar mahasiswa dan diakhiri dengan tugas-tugas. Jadi, baru mulai kuliah, tetapi tugas Gia sudah menumpuk. Saat Gia akan masuk ke dalam rumah, mata Gia mena
Gia mengikat rambut coklatnya terlebih dahulu sebelum keluar dari mobil. Mendadak dia merasa lebih nyaman dengan rambut yang diikat. Seperti biasa, Gia hanya mengikat rambutnya asal-asalan. Dia tidak terlalu peduli dengan kerapian, yang penting nyaman dan tidak mengganggu aktivitasnya. Selesai urusan rambut, Gia mengambil tas ransel dari kursi samping lalu keluar dari mobil. Parkiran sudah hampir penuh berbagai macam mobil beraneka bentuk dan warna. Showroom mobil akan minder dengan deretan mobil di parkiran kampus FH. Mulai dari mobil klasik sampai mobil mewah keluaran terbaru ada di sini. Gia memandang sekeliling, siapa tahu ada orang yang dikenalnya. Bisa berjalan bersama seseorang sampai kelas jelas lebih menyenangkan daripada sendirian. Sayangnya, tidak ada wajah yang dikenalnya. Yang ada hanya para senior yang Gia tidak tahu namanya. Gia akhirnya melangkahkan kakinya menuju gedung A sendirian. Tangannya memainkan kunci mobil, hanya untuk kesibukan sesaat. "Sendirian aja, Neng?
Hari Senin jadi hari yang sering dicaci maki oleh sebagian besar orang. Hari ini dianggap sebagai hari menyebalkan. Setelah menikmati akhir pekan yang bisa menenangkan pikiran dari kegiatan rutin, seperti kerja atau sekolah, bertemu dengan hari Senin seperti kembali bertemu monster, yang harus dikalahkan dalam waktu satu minggu ke depan. Ini juga yang dirasakan Gia. Sejak pagi Gia sudah malas untuk berangkat kuliah. Gia merasa hari libur selama dua hari itu kurang. Padahal, yang dilakukan Gia di hari Sabtu dan Minggu hanya hibernasi. Dia tidur sepanjang hari dengan alasan mengisi kembali energi yang terkuras habis. "Bundaaa," panggil Gia manja. Gia menarik kursi makan, lalu duduk. Kedua tangannya dilipat di atas meja, lalu kepalanya direbahkan di atasnya. "Kenapa, Gi? Kusut banget mukanya?" tanya Bunda yang sedang bersiap masak sarapan. "Gia bolos, ya?" rengek Gia masih dengan nada manjanya. Posisinya tidak berubah, malah sekarang matanya terpejam. "Kenapa bolos segala?" tanya Bun
Matahari mulai tenggelam. Teletubbies berpamitan, sementara Gia baru bangun dari tidur siangnya. Bisa tidur siang di hari Senin itu salah satu surga dunia. Jarang-jarang ada orang yang bisa dengan enaknya tidur di siang hari selama lebih dari tiga jam. Gia sangat bersyukur menjadi orang terpilih yang bisa menikmati surga dunia hari ini. Pagi tadi Gia mendapatkan pesan kalau dua kuliah untuk hari ini ditiadakan. Dosen pertama meminta penggantian jam dengan alasan yang tidak diberitahu. Setelah berdiskusi dengan kordinator tingkat, akhirnya diputuskan kuliah diganti besok Rabu jam tiga sore. Sementara dosen kedua ada acara keluar kota, belum ada perintah penggantian kelas. Gia merasa bagai mendapat lamaran perjaka tampan, mapan, dan kuat iman. Gia bahagia dunia akhirat. Hari liburnya bertambah satu hari lagi. Selesai sarapan, Gia kembali masuk ke kamar. Dia memandang sekeliling kamar. Di meja belajar, beberapa buku kuliah saling tumpang tindih tidak beraturan. Pulpen, pensil, dan pen
Gia memandang deretan rak buku kayu yang tinggi menjulang berjejer rapi di depannya. Perpustakaan menjadi tempat yang jarang sekali dikunjungi oleh Gia. Tapi, kali ini dia berdiri di sini, sendirian. Bukan sendirian dalam arti sebenarnya. Ada beberapa mahasiswa lain di sana, sibuk dengan diri mereka sendiri. Mereka larut dalam buku atau terlelap dalam mimpi di sudut perpustakaan yang hening. Gia tidak mengenal satu pun dari mereka. Wajah mereka terlalu asing baginya. Gia yakin mereka adalah mahasiswa semester tua yang sibuk cari referensi bahan skripsi. Gia berjalan menyusuri lorong sambil membaca sepintas judul buku yang ada di sana. Tidak ada buku yang menarik. Semuanya tentang hukum. Sampai akhirnya Gia membaca judul buku yang aneh. "Chicken soup?" tanya Gia bingung. "Ini kan perpustakaan kampus hukum. Gimana ceritanya ada buku resep masakan di sini?" Gia mengambil buku chicken soup dari rak buku. Penasaran, Gia membawa buku itu. Dia mengamati sekeliling perpustakaan. Suasana p
Macet. Suara klakson bersautan di antara barisan mobil dan motor di jalanan. Semua orang yang ada di jalan ini lelah dan ingin buru-buru sampai tujuan. Tapi, menekan klakson berkali-kali juga tidak akan mengubah apa pun. Gia yang menyetir di tengah macet dan berisiknya jalanan ini pun mulai emosi. "Ini pada nggak bisa sabar dikit emang? Makanya kalau nggak mau kena macet, tuh, nggak usah sok beli mobil. Cuma mampu kredit doang belagu. Giliran macet emosi sendiri," omel Gia, entah pada siapa. Dia sendirian di mobil. Gia tidak sadar kalau mobilnya sendiri cicilannya juga belum lunas. Ayah masih harus membayar cicilan setidaknya tujuh bulan lagi. Gia merasakan lelah. Seharian di kampus cukup menghabiskan tenaga dan pikirannya. Padahal, Gia hanya perlu menjalankan mobilnya tidak lebih dari seratus meter lagi. Di kiri jalan di depan sana akan terlihat gerbang masuk Diamond Cluster, perumahan Gia berada. Sayangnya, barisan mobil di depan Gia sama sekali tidak bergerak sejak sepuluh menit y
Calon mertua itu menyeramkan. Ibu mertua itu musuh paling nyata bagi istri dari anaknya lelakinya. Bapak mertua adalah pria galak yang tidak akan bisa berbicara santai dengan menantunya. Saudara ipar jelas tidak akan pernah membiarkan hidup istri kakaknya hidup tenang. Isi kepala Gia dipenuhi pikiran buruk tentang orang tua Restu. Tangannya dingin, sedangkan kepala dan hatinya panas karena terus membayangkan suasana mencekam yang menantinya. Bibir bawah Gia bahkan sudah berdarah. Tanpa disadari, Gia terus menggigit bibir bawahnya untuk meredakan gugup. "Kamu tidak perlu cemas, Gi. Orang tua saya bukan drakula yang gemar menghisap darah perawan." Berulang kali Restu mencoba menenangkan, tapi tidak berhasil. Gia justru semakin banyak mengomel. "Om ini nggak tahu gimana rasanya jadi Gia. Ya, gila aja Gia harus ketemu calon mertua. Calon mertua lho ini, Om. Ini menyangkut hidup Gia. Gimana kalau ternyata orang tua Om Restu nggak suka sama Gia? Gimana kalau Gia diusir terus harus pulang
Matahari semakin condong ke barat, menyisakan berkas oranye. Daun-daun bergoyang pelan tanpa ada iringan musik. Tukang siomai berhenti di ujung jalan, berharap ada yang mau membeli dagangannya. Gavin memukul samsak dengan sekuat tenaga berkali-kali. Baju yang digunakannya sudah basah dengan keringat. Dia sudah mulai kehabisan napas. Sudah satu jam dia berlatih boxing hari ini. Restu sedang sangat bersemangat sore ini. Sejak menjemput Gavin di sekolah, dia sudah memintanya langsung tidur siang, agar sorenya memiliki cukup tenaga untuk berlatih. Seperti biasa, Gavin selalu menuruti permintaan sang Papa. "Pukul yang keras, Gav! Perhatikan sasarannya," perintah Restu yang berdiri di belakang Gavin. Gavin lalu memukul samsak lebih kencang lagi. Samsak di depannya bergoyang pelan. "Gavin, sudah dulu latihannya, sudah hampir Magrib. Nggak baik di luar rumah mau Magrib gini, bisa diculik wewe gombel. Iya, kalau itu Wewe Gombel bisa jadi ibu yang baik buat Gavin, sih, nggak masalah. Kalau te
Gia berlari menjauh dari rumah Restu. Matanya seperti pipa PDAM yang bocor, air matanya mengucur deras. Dadanya seperti disengat puluhan lebah, pedih dan bengkak. Bayangan Restu yang nyaris sempurna hancur sekarang. Gia kecewa kepada Restu. Gia marah, marah pada Restu yang ternyata jahat sekaligus marah pada dirinya sendiri yang bodoh sudah memilih Restu. Ternyata seorang Restu yang dikiranya berpikiran dewasa, tidak jauh berbeda dengan Hugo. Lelaki di mana pun sama, selalu lemah lihat wanita seksi. Belum sempat Gia masuk ke dalam rumah, ada yang menarik tangannya. Gia terpaksa berhenti kalau tidak mau tangannya lepas. Dia masih belum siap tangannya diganti dengan tangan robotik. Selain harganya mahal, berburu upil dengan tangan robotik pasti tidak semenyenangkan dengan tangan asli. Restu berdiri di belakang Gia masih bertelanjang dada. Dia terlihat cemas sampai tidak peduli deretan tahu di perutnya terekspos jelas. "Lepasin!" bentak Gia sambil mencoba melepaskan genggaman tangan R
Kuliah ternyata tidak selalu menyenangkan. Ini sudah hampir di akhir semester pertama Gia. Tumpukan tugas yang harus segera diselesaikan semakin menggunung. Materi pelajaran yang harus dipahami semakin menumpuk. Kepala Gia selalu panas setiap hari. Penjelasan dosen bukannya membuatnya paham, malah semakin membuatnya bertambah pusing. Beruntung, Gia punya Jessica yang dengan sabar, dan bonus sedikit makian, masih mau membagi ilmunya. Walau tidak sempurna, Jessica berhasil membuat Gia sedikit lebih paham dengan pelajaran. Iya, cuma sedikit. Gia terlalu malas belajar, jadi tidak ada perkembangan signifikan dalam nilainya. Hari ini Gia pulang kuliah lebih cepat dari biasanya. Harusnya, dia ada dua mata kuliah lagi. Tapi, dosen pengampu dua mata kuliah itu berhalangan hadir dengan alasan ada tugas ke luar kota. Setelah mendapat kepastian kelas kosong, Gia segera menghubungi Restu. Dia meminta Restu untuk menjemputnya. Siapa tahu hari ini bisa jalan-jalan sebentar, nongkrong di mall atau d
Cowok di depan Gia masih berhasil membuatnya salah tingkah. Ada gelitik aneh di dadanya. Rasanya beda dengan debaran yang dulu dia rasakan, waktu masih berharap Hugo bisa membalas cintanya. Rasa ini membuat perasaannya membaik."Ngagetin aja, Bang! Gia kira setan. Kalau jantung Gia copot, gimana? Bang Hugo mau tanggung jawab?" omel Gia mencoba bersikap biasa saja, padahal perasaannya berantakan. Dia sadar sudah salah. Kalau dia terus bersama Hugo, pasti rasa bersalah pada Restu ini akan semakin meningkat."Sebenernya, kalau disuruh tanggungjawab, gue mau aja. Tapi, gue nggak mau ngerebut calon istri orang," sahut Hugo. Dia berkata seperti itu dengan serius. Sengaja dia memberi jeda supaya Gia semakin salah tingkah, lalu tertawa, seakan ini memang hanya ocehan tanpa makna. Nyatanya, Hugo memang berharap menggantikan posisi Restu sebagai calon suami Gia."Bang," panggil Gia pelan, nyaris tidak terdengar Hugo.Hugo memandang Gia sambil tersenyum. "Lo manggil gue?""Ajakin gue ke KUA sekar
Matahari sudah tenggelam, saat Gia memasukkan mobil ke dalam garasi rumah. Hari ini tidak seburuk yang Gia bayangkan. Bertemu dengan Hugo setelah beberapa minggu ini dia menghindari Gia, ternyata tidak terlalu buruk. Tadinya, Gia mengira pertemuannya ini akan berakhir dengan kondisi aneh atau bahkan terjadi pertengkaran. Tapi, sebaliknya, Hugo masih tetap Hugo, senior menyebalkan yang berhasil membuat hati Gia berbunga-bunga. Sekarang, Gia sadar bahwa perasaan itu belum sepenuhnya hilang. Hugo masih punya tempat spesial di hati Gia.Baru saja Gia mematikan mesin mobil, ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk. Gia mengurungkan niatnya keluar mobil. Dia meraih ponsel yang disimpannya di dalam tas. Sebuah pesan dari Hugo membuat jantungnya malas berdetak dalam beberapa detik.Senior Galak KesayanganMakasih buat hari ini, Gi. Gue seneng ketemu lo.Gia tersenyum lebar membaca pesan dari Hugo. Apa yang dirasakannya ternyata dirasakan juga oleh Hugo. Mereka dua orang yang saling menikmati pertem
Semenjak Restu nekat memperkenalkan diri sebagai calon suami Gia, Hugo memang terlihat tidak terawat. Rambutnya dibiarkan semakin panjang, bahkan seringkali terlihat acak-acakan. Bajunya beberapa kali nampak kusut. Dari laporan Jessica, Hugo seperti kehilangan semangat. Dia sering mangkir dari jadwal rapat BEM. Hugo bahkan lebih mudah emosi hanya karena hal kecil. Gia pun merasa bersalah. Sayangnya, Hugo tidak pernah memberinya kesempatan untuk berbicara. Dia selalu menghindar. Hugo menolak berada terlalu dekat dengan Gia. "Bang Hugo ngapain di sini?" tanya Gia basa-basi. Gia mencoba tersenyum. Sayang, senyumnya kaku dan malah membuatnya terlihat seperti meremehkan Hugo. "Mau beli buku. Gue kehabisan bahan bacaan," jawab Hugo. "Lo sendirian?" tanya Hugo perlahan. Ada ribuan jarum jahit yang bergerak acak menikam jantungnya. Gia tersenyum lebih tulus. "Iya. Udah mirip anak hilang, ya? Bentar lagi ada yang mau nyulik Gia, nih. Kalau Gia nggak ada kabar besok, laporin polisi, ya, Ban
Minggu pagi menjadi waktu yang pas untuk bermalas-malasan. Bangun siang, makan, pipis, eek, dan tidur lagi seharian. Itu yang dilakukan Gia dulu. Gia yang hanya berfikir tentang enaknya sendiri, tidak peduli Bunda sudah mengomel panjang melihat anak gadisnya sudah mirip kain pel bekas—lecek, kucel, kusut, dan bau—tinggal dibuang aja. Gia yang sekarang berbeda. Setelah Restu menunjukkan keikhlasannya melepas Bianca, Gia semakin yakin untuk memperbaiki dirinya. Gia tidak mau Restu menyesal karena dirinya masih sama, tanpa perubahan yang lebih baik. Gia mau Restu juga melihat usahanya. Terlebih lagi, nantinya Gia akan menjadi seorang ibu bagi Gavin. Sebuah tanggungjawab yang jauh lebih besar. Jantungnya selalu berdebar kencang kalau mengingat statusnya akan berubah menjadi istri dan ibu sekaligus, peran baru yang lebih menuntut kedewasaannya. Cahaya matahari mulai masuk dari sela-sela jendela kamar Gia yang masih tertutup gorden. Gia menyibakkan gorden berwarna hijau tua itu. Di seberan
Jalanan lenggang, tanpa kemacetan yang berarti. Lampu merah memaksa mobil Restu berhenti sejenak. Perjalanan mereka masih butuh beberapa menit lagi sampai tujuan. Tujuan yang sama sekali tidak pernah dibayangkan oleh Gia. Restu terus diam selama perjalanan, sama sekali tidak mencoba mengajak Gia berbicara. Suasana hening di dalam mobil. Tidak ada suara musik yang biasa diputar oleh Gia. Suara deru kendaraan dan sesekali klakson yang saling bersautan di luar cukup membuat Gia merasa semakin resah. Baru pertama kali Gia melihat Restu dalam mode galak begini. Ini bukan Restu yang membuat Gia jatuh hati. Sekarang, Restu terlihat menakutkan. Bukan menakutkan selayaknya genderuwo yang mencari perawan di siang hari. Ya, walaupun antara genderuwo dan Restu sama-sama doyan perawan. Gia merasa yang duduk di sampingnya adalah pria tua yang senang menculik perawan, lalu menjualnya ke pria hidung belang yang berani membayar mahal. Pria-pria seperti ini biasanya sering nekat melakukan kekerasan de