Acara terakhir setelah upacara pembubaran OSPEK adalah makan malam bersama. Para senior memanjakan juniornya dengan menyiapkan sendiri nasi liwet yang ditaruh di daun pisang yang berjejer panjang mengitari auditorium. Menu liwetan pun termasuk lengkap. Nasi gurih dengan lauk ayam, tahu, dan tempe goreng aromanya menggoda. Segarnya sayur asem juga membuat liur menetes. Lalapan plus sambel terasi serta kerupuk semakin membuat semua yang ada di auditorium kelaparan. Tidak lupa ada es teh manis sebagai minuman. Menu yang sungguh menggoda selera, apalagi perut memang sudah waktunya diisi.
Di depan auditorium, Reza, ketua panitia pelaksana OSPEK dan ketua BEM, mengucapkan terima kasih atas semua bantuan yang membuat acara OSPEK selama tiga hari ini berjalan lancar. Reza juga mengucapkan selamat kepada mahasiswa baru yang sudah resmi menjadi mahasiswa di Universitas Merva. Reza hanya berbicara singkat. Dia paham semua yang ada di dalam auditorium sudah berfokus ke makanan yang tersaji. Jadi, dia segera mengakhiri kata-katanya dan mempersilakan semuanya makan.
Tanpa menunggu perintah lagi semuanya langsung melahap makanan yang ada di hadapan mereka, termasuk para senior. Mereka bahkan duduk berbaur bersama juniornya. Tidak ada lagi batas antara senior dan Junior. Mereka sama, sama-sama mahasiswa Fakultas Hukum di Universitas Merva.
Gia yang duduk membelakangi Reza membalikkan badan menghadap ke makanan yang terhidang untuknya. Matanya menangkap sosok yang selama dua hari terakhir selalu menghantuinya. Di hadapannya duduk sang senior galak yang ganteng.
Gia yang tadinya akan langsung makan seperti yang lain, menghentikan niatnya. Tangannya mengambang di atas nasi gurih yang aromanya saja sudah membuat perutnya meronta-ronta.
"Kenapa? Itu nasi boleh dimakan lho," kata senior galak sambil tersenyum. Entah kenapa seharian ini aura membunuhnya lenyap. Bukannya bersikap galak, dia justru santai dan menyenangkan. Senyumnya bahkan nyaris nggak lenyap dari bibirnya.
"Eh, i-iya, Bang. Selamat makan," sahut Gia setelah sadar dari kagetnya.
Gia merasa tidak nyaman. Senior galak itu terus memperhatikan Gia menghabiskan makanannya. Gia merasa menjadi penjahat yang sedang diintai, tidak boleh ada gerakan yang luput sedikit pun. Makanan yang harusnya nikmat ini, malah menyiksa Gia. Berkali-kali dia minum untuk meredakan kegelisahan.
Tiba-tiba Gia tersedak makanannya, membuatnya batuk-batuk. Dengan cepat sang senior galak langsung memberikan segelas es teh miliknya kepada Gia. "Minum minum!" serunya panik.
Jessica yang duduk di samping Gia ikut panik. Dia menepuk-nepuk punggung Gia. "Telen, Gi!" serunya.
Gia pun langsung meminum dan menghabiskan es teh. Setelahnya, dia sadar kalau senior galak yang ganteng itu tidak punya minuman lagi. Sementara minumannya sendiri sudah habis setengah gelas, tidak pantas diberikan sebagai pengganti.
"Sorry, Bang, es tehnya abis." Gia meminta maaf.
"Nggak apa-apa, nanti bisa beli di kantin. Abisin makanannya! Gue keluar dulu," sahut sang senior galak memberi perintah, lalu berdiri dan pergi entah ke mana.
'Duh, bikin salah lagi, deh, gue. Ngambek kan itu makhluk galak satu,' runtuk Gia dalam hati. Matanya mengikuti sang senior galak yang keluar auditorium.
Setelah menghabiskan makanan yang dihidangkan spesial oleh senior, semuanya saling membantu membereskan bekas makanan, merapikan auditorium seperti semula. Senior dan junior sama-sama saling membantu, tanpa memikirkan status apa pun. Tidak butuh waktu lama, auditorium bersih tanpa noda. Sampah-sampah makanan sudah dibuang ke tempat sampah di luar auditorium. Lantainya pun sudah disapu dan dipel sampai bersih dan wangi.
Setelah berbasa-basi, Reza sang ketua pun membubarkan kegiatan OSPEK. Segera para pasukan hitam putih keluar auditorium, termasuk Gia. Gia berjalan keluar sambil memegang ponselnya, berusaha menelepon Ayah.
"Ayaaahhhh, Gia udah kelar, nih. Jemput sekarang juga, ya, nggak pakai lama. Badan Gia udah lengket, pengin mandi," kata Gia saat teleponnya dijawab Ayah.
"Nggak pakai teriak-teriak juga kali, Gi. Ya, udah. Ini ayah berangkat dari rumah," sahut Ayah.
"Ih, enak banget, sih, udah di rumah. Anaknya belum pulang bisa banget santai di rumah, ya," omel Gia, lalu duduk di bangku taman kampus.
"Sekali-kalilah, biar bisa pacaran dulu sama Bunda. Masa iya diganggu kamu terus," kata ayah menggoda Gia.
"Bisa dong Gia punya adek kalau gitu?" Gia mengutarakan kembali keinginannya dari dulu.
"Ini jadi dijemput apa mau ngobrol aja, nih?" tanya Ayah mengingatkan niat awal Gia menelepon.
Gia kembali fokus ke tujuan semula. "Ah, iya. Jemput, dong, Ganteng. Nggak pakai lama, ya!" jawab Gia dengan suara centil menggoda.
"Siap, Tuan Putri," sahut Ayah, lalu mengakhiri panggilan.
Gia memasukkan ponselnya ke saku kemeja putih. Matanya menyapu sekeliling. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Kampus di malam hari tidak seseram bayangan Gia. Masih banyak mahasiswa di kampus. Entah apa yang mereka lakukan, Gia tidak paham. Yang pasti, Gia yakin dirinya akan berada dalam posisi mereka nanti. Lembur tugas sampai malam, misalnya.
"Belum pulang?" tanya sang senior galak yang tiba-tiba sudah duduk di hadapan Gia.
"Eh, Bang bikin kaget. Hobi banget, ya, ngagetin? Ini ada jantung di sini, lho. Kalau kaget terus, bisa jebol dia," cerocos Gia sambil menunjuk dadanya.
Si senior galak tergelak. "Nunggu jemputan lagi? Mobil belum beres emang? Rusak apanya, sih?" tanya senior galak.
"Nanya satu-satu dong, Bang. Ujian aja pertanyaannya satu-satu, lho, ada nomornya. Kalau nggak tahu jawabannya bisa dilewati dulu, nunggu sontekan dari temen," sahut Gia seperti biasa, tidak jelas arah pembicaraannya.
"Itu dari pada ngomel, buat jawab pertanyaan gue juga udah kelar kali," omel si senior galak sambil menggeleng, heran dengan dengan kelakuan Gia.
Gia meringis, memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. "Oh, iya juga, ya. Terus masih butuh jawaban nggak, Bang?" tanya Gia dengan muka innocent.
"Nggak," jawab sang senior galak singkat.
"Dih, ngambek. Kalau ngambek, nanti gantengnya ilang, lho. Kalau gantengnya ilang, nanti nggak ada cewek yang suka, lho," ejek Gia.
"Kenapa jadi nggak ada cewek yang suka, deh?"
"Nih, ya, Bang, Gia kasih tau. Abang itu ganteng, tapi galaknya, astagfirullah, bisa bikin singa minder kali. Nah, kalau ngambek itu, bikin Abang nggak ganteng lagi. Mana ada cewek yang mau sama cowok galak dan nggak ganteng, deh? Gia mah ogah!" Gia mencoba menjelaskan pemikirannya.
"Jadi, gue ganteng, ya?" tanya senior galak sambil menaik turunkan kedua alisnya. Senyum tipis tercetak di bibirnya.
"Nggak ganteng lagi, kan, Abang udah ngambek tadi," ejek Gia lagi.
Tiba-tiba ponsel Gia bergetar. Ayah menelepon.
"Pamit, ya, Bang. Udah dijemput, nih," kata Gia, lalu berdiri, melambaikan tangan, dan bergegas pergi.
"Ati-ati, Gia," sahut sang senior galak sambil tersenyum memandang punggung Gia yang semakin menjauh.
Gia segera menghampiri mobil ayah yang berhenti di depan kampus FH. Dia mengetuk kaca mobil dengan kencang, minta dibukakan pintu. Setelah pintu terbuka, Gia masuk dan duduk di samping Ayah. Tanpa menunggu lama lagi, Ayah segera menjalankan mobil menembus jalanan.
Lalu lintas saat malam lebih lenggang dari pada di pagi hari, membuat perjalanan Gia dan Ayah ke rumah lancar tanpa terjebak macet. Sesampainya di rumah, Gia turun dari mobil, lalu menuju teras depan dan duduk di salah satu kursi. Gia melepas sepatu sneaker hitam yang digunakannya seharian. Sementara Ayah memasukkan mobilnya ke dalam garasi.
Mobil pajero sport putih berhenti di seberang jalan, di rumah depan yang sekarang sudah bersih dari rumput liar. Seorang pria turun, lalu membuka bagian belakang mobil dan menurunkan dua tas berukuran besar.
Seorang anak lelaki ikut turun dari mobil dan berjalan pelan menuju ke belakang mobil. Mereka terlihat membicarakan sesuatu. Jarak yang lumayan jauh menghalangi Gia menangkap pembicaraan itu.
Sang pria tiba-tiba memandang ke arah rumah Gia dan menatap Gia yang juga sedang menatap ke arahnya. Pria tersebut lalu tersenyum.
Pria yang diyakini Gia adalah tetangga barunya itu menutup pintu belakang mobil. Dia menggandeng tangan anak lelakinya, lalu berjalan mendekat ke rumah Gia. Gia berdiri dan meletakkan sepatunya ke rak di samping pintu masuk. Ayah yang selesai memasukkan mobil ke garasi berdiri di samping Gia.
"Selamat malam," sapa tetangga baru Gia setelah sampai di teras rumah Gia.
"Selamat malam," sahut Ayah ramah dengan senyum terkembang.
"Perkenalkan, saya Restu dan ini anak saya Gavin." Pria itu memperkenalkan diri sambil menyodorkan tangannya.
"Saya Hendra. Ini anak gadis saya, Gia," sahut Ayah sambil menyambut uluran tangan Restu.
Gia hanya diam memandang Gavin yang terus menunduk.
"Mulai hari ini kami resmi pindah kemari. Salam kenal dari kami. Maaf kami tidak membawakan apa-apa. Lain kali saya akan membawakan sesuatu sebagai salam perkenalan yang lebih pantas," kata Restu sungkan karena berkunjung tanpa membawa apa pun.
"Santai aja, nggak usah repot-repot. Kalau perlu bantuan, jangan sungkan-sungkan bilang, ya." Ayah menyambut perkenalan dengan ramah. "Ayo masuk dulu. Kita ngopi dulu," ajak ayah.
"Lain kali saja. Itu barang-barangnya belum sempat masuk rumah juga," tolak Restu sambil menunjuk barang-barang yang tergeletak di belakang mobilnya. "Kami pamit dulu," lanjutnya sambil tersenyum, lalu berbalik dan pergi.
Pupus sudah harapan Gia untuk mempunyai pacar lima langkah. Anak lelaki tetangganya ternyata baru berusia sepuluh tahun. Gia bukanlah seorang pedofil yang jatuh cinta pada seorang anak kecil. Tapi, Gia yang memang suka dengan anak-anak merasakan ada yang aneh dengan Gavin.
Gia memandang dirinya di depan cermin besar setinggi dua meter di kamarnya, memastikan penampilannya sudah sempurna. Kemeja Flanel biru menjadi pilihannya hari ini. Bagian lengannya sengaja dilipat sedikit sebatas lengan. Dia memadukannya dengan celana jins hitam yang robek di kedua lutut. Rambut Gia yang dicat warna coklat dikucir bagian atasnya, lalu dicepol asal-asalan, sementara sisa rambut bagian bawah dibiarkan terurai begitu saja. Gia enggan menggunakan mekap berlebih. Seperti biasa, dia hanya memoles bedak bayi di wajah dan pelembab bibir. Gia tersenyum di depan cermin, merasa menjadi wanita tercantik sejagad raya. Setelah penampilannya sempurna, Gia mengambil ransel hitam kecilnya dari meja belajar. Ransel ini menjadi tas kesayangannya, alasan sederhana untuk menutupi kalau sebenarnya Gia malas memindah isi tas ke tas lain. Sekarang, dia siap pergi ke kampus. Di ruang makan, Ayah duduk menunggu Bunda selesai masak sambil membaca koran. Rutinitas ini memang terlalu ketinggal
Gia memasukkan mobil ke garasi rumah. Rumahnya memang tidak besar, tapi dia selalu tenang saat akhirnya tiba di rumah. Penampilan Gia sudah kacau. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, tapi kusut di beberapa bagian. Tidak ada kerapian sama sekali dalam diri Gia sore ini. Wajahnya yang lelah sudah kusut dan berminyak. Kemeja merah dengan motif bunga-bunga yang digunakannya sudah acak-acakan di sana-sini. Kegiatan kampusnya hari ini terasa lumayan menguras tenaga dan pikiran. Ada tiga mata kuliah hari ini, yang sukses membuat otaknya lumayan panas. Berbeda dengan waktu dia masih duduk di bangku sekolah, Gia hanya perlu duduk dan semua materi pelajaran akan diberikan oleh gurunya. Sekarang, Gia harus memahami segala sesuatunya sendiri. Dosen hanya memberikan sedikit gambaran tentang materi yang diberikan. Sisanya akan ada diskusi antar mahasiswa dan diakhiri dengan tugas-tugas. Jadi, baru mulai kuliah, tetapi tugas Gia sudah menumpuk. Saat Gia akan masuk ke dalam rumah, mata Gia mena
Gia mengikat rambut coklatnya terlebih dahulu sebelum keluar dari mobil. Mendadak dia merasa lebih nyaman dengan rambut yang diikat. Seperti biasa, Gia hanya mengikat rambutnya asal-asalan. Dia tidak terlalu peduli dengan kerapian, yang penting nyaman dan tidak mengganggu aktivitasnya. Selesai urusan rambut, Gia mengambil tas ransel dari kursi samping lalu keluar dari mobil. Parkiran sudah hampir penuh berbagai macam mobil beraneka bentuk dan warna. Showroom mobil akan minder dengan deretan mobil di parkiran kampus FH. Mulai dari mobil klasik sampai mobil mewah keluaran terbaru ada di sini. Gia memandang sekeliling, siapa tahu ada orang yang dikenalnya. Bisa berjalan bersama seseorang sampai kelas jelas lebih menyenangkan daripada sendirian. Sayangnya, tidak ada wajah yang dikenalnya. Yang ada hanya para senior yang Gia tidak tahu namanya. Gia akhirnya melangkahkan kakinya menuju gedung A sendirian. Tangannya memainkan kunci mobil, hanya untuk kesibukan sesaat. "Sendirian aja, Neng?
Hari Senin jadi hari yang sering dicaci maki oleh sebagian besar orang. Hari ini dianggap sebagai hari menyebalkan. Setelah menikmati akhir pekan yang bisa menenangkan pikiran dari kegiatan rutin, seperti kerja atau sekolah, bertemu dengan hari Senin seperti kembali bertemu monster, yang harus dikalahkan dalam waktu satu minggu ke depan. Ini juga yang dirasakan Gia. Sejak pagi Gia sudah malas untuk berangkat kuliah. Gia merasa hari libur selama dua hari itu kurang. Padahal, yang dilakukan Gia di hari Sabtu dan Minggu hanya hibernasi. Dia tidur sepanjang hari dengan alasan mengisi kembali energi yang terkuras habis. "Bundaaa," panggil Gia manja. Gia menarik kursi makan, lalu duduk. Kedua tangannya dilipat di atas meja, lalu kepalanya direbahkan di atasnya. "Kenapa, Gi? Kusut banget mukanya?" tanya Bunda yang sedang bersiap masak sarapan. "Gia bolos, ya?" rengek Gia masih dengan nada manjanya. Posisinya tidak berubah, malah sekarang matanya terpejam. "Kenapa bolos segala?" tanya Bun
Matahari mulai tenggelam. Teletubbies berpamitan, sementara Gia baru bangun dari tidur siangnya. Bisa tidur siang di hari Senin itu salah satu surga dunia. Jarang-jarang ada orang yang bisa dengan enaknya tidur di siang hari selama lebih dari tiga jam. Gia sangat bersyukur menjadi orang terpilih yang bisa menikmati surga dunia hari ini. Pagi tadi Gia mendapatkan pesan kalau dua kuliah untuk hari ini ditiadakan. Dosen pertama meminta penggantian jam dengan alasan yang tidak diberitahu. Setelah berdiskusi dengan kordinator tingkat, akhirnya diputuskan kuliah diganti besok Rabu jam tiga sore. Sementara dosen kedua ada acara keluar kota, belum ada perintah penggantian kelas. Gia merasa bagai mendapat lamaran perjaka tampan, mapan, dan kuat iman. Gia bahagia dunia akhirat. Hari liburnya bertambah satu hari lagi. Selesai sarapan, Gia kembali masuk ke kamar. Dia memandang sekeliling kamar. Di meja belajar, beberapa buku kuliah saling tumpang tindih tidak beraturan. Pulpen, pensil, dan pen
Gia memandang deretan rak buku kayu yang tinggi menjulang berjejer rapi di depannya. Perpustakaan menjadi tempat yang jarang sekali dikunjungi oleh Gia. Tapi, kali ini dia berdiri di sini, sendirian. Bukan sendirian dalam arti sebenarnya. Ada beberapa mahasiswa lain di sana, sibuk dengan diri mereka sendiri. Mereka larut dalam buku atau terlelap dalam mimpi di sudut perpustakaan yang hening. Gia tidak mengenal satu pun dari mereka. Wajah mereka terlalu asing baginya. Gia yakin mereka adalah mahasiswa semester tua yang sibuk cari referensi bahan skripsi. Gia berjalan menyusuri lorong sambil membaca sepintas judul buku yang ada di sana. Tidak ada buku yang menarik. Semuanya tentang hukum. Sampai akhirnya Gia membaca judul buku yang aneh. "Chicken soup?" tanya Gia bingung. "Ini kan perpustakaan kampus hukum. Gimana ceritanya ada buku resep masakan di sini?" Gia mengambil buku chicken soup dari rak buku. Penasaran, Gia membawa buku itu. Dia mengamati sekeliling perpustakaan. Suasana p
Macet. Suara klakson bersautan di antara barisan mobil dan motor di jalanan. Semua orang yang ada di jalan ini lelah dan ingin buru-buru sampai tujuan. Tapi, menekan klakson berkali-kali juga tidak akan mengubah apa pun. Gia yang menyetir di tengah macet dan berisiknya jalanan ini pun mulai emosi. "Ini pada nggak bisa sabar dikit emang? Makanya kalau nggak mau kena macet, tuh, nggak usah sok beli mobil. Cuma mampu kredit doang belagu. Giliran macet emosi sendiri," omel Gia, entah pada siapa. Dia sendirian di mobil. Gia tidak sadar kalau mobilnya sendiri cicilannya juga belum lunas. Ayah masih harus membayar cicilan setidaknya tujuh bulan lagi. Gia merasakan lelah. Seharian di kampus cukup menghabiskan tenaga dan pikirannya. Padahal, Gia hanya perlu menjalankan mobilnya tidak lebih dari seratus meter lagi. Di kiri jalan di depan sana akan terlihat gerbang masuk Diamond Cluster, perumahan Gia berada. Sayangnya, barisan mobil di depan Gia sama sekali tidak bergerak sejak sepuluh menit y
Single bed milik Gia sudah penuh dengan baju. Hampir seluruh isi lemarinya tumpah di sana. Beberapa pakaian bahkan berceceran di lantai dan tersampir di kursi. Pemilik kamar tidak peduli dengan kekacauan yang terjadi. Gia memandang dirinya di depan cermin. Dia berputar ke kanan dan ke kiri, lalu tersenyum melihat dress putih yang digunakannya mengembang. Gia menggunakan midi dress berwarna putih bermotif bunga abu-abu kecil, lehernya berbentuk V, dan lengannya pendek. Salah satu dress terbaik yang dimiliki Gia karena di dalam lemarinya sebagian besar berisi celana jins, kaus dan kemeja. Di dalam sana jarang ada pakaian yang membuatnya terlihat lebih wanita. "Kalau gini, kayaknya gue harus beli dress lagi, nih," keluh Gia setelah melihat semua pakaiannya sudah tersebar ke seluruh penjuru kamar. Ponsel Gia berbunyi. Tanda ada sebuah pesan masuk. Gia mencari sumber suara, tapi ternyata bukan hal yang mudah. Ponselnya entah berada di mana, mungkin tertimbun tumpukan pakaian. Gia memind
Calon mertua itu menyeramkan. Ibu mertua itu musuh paling nyata bagi istri dari anaknya lelakinya. Bapak mertua adalah pria galak yang tidak akan bisa berbicara santai dengan menantunya. Saudara ipar jelas tidak akan pernah membiarkan hidup istri kakaknya hidup tenang. Isi kepala Gia dipenuhi pikiran buruk tentang orang tua Restu. Tangannya dingin, sedangkan kepala dan hatinya panas karena terus membayangkan suasana mencekam yang menantinya. Bibir bawah Gia bahkan sudah berdarah. Tanpa disadari, Gia terus menggigit bibir bawahnya untuk meredakan gugup. "Kamu tidak perlu cemas, Gi. Orang tua saya bukan drakula yang gemar menghisap darah perawan." Berulang kali Restu mencoba menenangkan, tapi tidak berhasil. Gia justru semakin banyak mengomel. "Om ini nggak tahu gimana rasanya jadi Gia. Ya, gila aja Gia harus ketemu calon mertua. Calon mertua lho ini, Om. Ini menyangkut hidup Gia. Gimana kalau ternyata orang tua Om Restu nggak suka sama Gia? Gimana kalau Gia diusir terus harus pulang
Matahari semakin condong ke barat, menyisakan berkas oranye. Daun-daun bergoyang pelan tanpa ada iringan musik. Tukang siomai berhenti di ujung jalan, berharap ada yang mau membeli dagangannya. Gavin memukul samsak dengan sekuat tenaga berkali-kali. Baju yang digunakannya sudah basah dengan keringat. Dia sudah mulai kehabisan napas. Sudah satu jam dia berlatih boxing hari ini. Restu sedang sangat bersemangat sore ini. Sejak menjemput Gavin di sekolah, dia sudah memintanya langsung tidur siang, agar sorenya memiliki cukup tenaga untuk berlatih. Seperti biasa, Gavin selalu menuruti permintaan sang Papa. "Pukul yang keras, Gav! Perhatikan sasarannya," perintah Restu yang berdiri di belakang Gavin. Gavin lalu memukul samsak lebih kencang lagi. Samsak di depannya bergoyang pelan. "Gavin, sudah dulu latihannya, sudah hampir Magrib. Nggak baik di luar rumah mau Magrib gini, bisa diculik wewe gombel. Iya, kalau itu Wewe Gombel bisa jadi ibu yang baik buat Gavin, sih, nggak masalah. Kalau te
Gia berlari menjauh dari rumah Restu. Matanya seperti pipa PDAM yang bocor, air matanya mengucur deras. Dadanya seperti disengat puluhan lebah, pedih dan bengkak. Bayangan Restu yang nyaris sempurna hancur sekarang. Gia kecewa kepada Restu. Gia marah, marah pada Restu yang ternyata jahat sekaligus marah pada dirinya sendiri yang bodoh sudah memilih Restu. Ternyata seorang Restu yang dikiranya berpikiran dewasa, tidak jauh berbeda dengan Hugo. Lelaki di mana pun sama, selalu lemah lihat wanita seksi. Belum sempat Gia masuk ke dalam rumah, ada yang menarik tangannya. Gia terpaksa berhenti kalau tidak mau tangannya lepas. Dia masih belum siap tangannya diganti dengan tangan robotik. Selain harganya mahal, berburu upil dengan tangan robotik pasti tidak semenyenangkan dengan tangan asli. Restu berdiri di belakang Gia masih bertelanjang dada. Dia terlihat cemas sampai tidak peduli deretan tahu di perutnya terekspos jelas. "Lepasin!" bentak Gia sambil mencoba melepaskan genggaman tangan R
Kuliah ternyata tidak selalu menyenangkan. Ini sudah hampir di akhir semester pertama Gia. Tumpukan tugas yang harus segera diselesaikan semakin menggunung. Materi pelajaran yang harus dipahami semakin menumpuk. Kepala Gia selalu panas setiap hari. Penjelasan dosen bukannya membuatnya paham, malah semakin membuatnya bertambah pusing. Beruntung, Gia punya Jessica yang dengan sabar, dan bonus sedikit makian, masih mau membagi ilmunya. Walau tidak sempurna, Jessica berhasil membuat Gia sedikit lebih paham dengan pelajaran. Iya, cuma sedikit. Gia terlalu malas belajar, jadi tidak ada perkembangan signifikan dalam nilainya. Hari ini Gia pulang kuliah lebih cepat dari biasanya. Harusnya, dia ada dua mata kuliah lagi. Tapi, dosen pengampu dua mata kuliah itu berhalangan hadir dengan alasan ada tugas ke luar kota. Setelah mendapat kepastian kelas kosong, Gia segera menghubungi Restu. Dia meminta Restu untuk menjemputnya. Siapa tahu hari ini bisa jalan-jalan sebentar, nongkrong di mall atau d
Cowok di depan Gia masih berhasil membuatnya salah tingkah. Ada gelitik aneh di dadanya. Rasanya beda dengan debaran yang dulu dia rasakan, waktu masih berharap Hugo bisa membalas cintanya. Rasa ini membuat perasaannya membaik."Ngagetin aja, Bang! Gia kira setan. Kalau jantung Gia copot, gimana? Bang Hugo mau tanggung jawab?" omel Gia mencoba bersikap biasa saja, padahal perasaannya berantakan. Dia sadar sudah salah. Kalau dia terus bersama Hugo, pasti rasa bersalah pada Restu ini akan semakin meningkat."Sebenernya, kalau disuruh tanggungjawab, gue mau aja. Tapi, gue nggak mau ngerebut calon istri orang," sahut Hugo. Dia berkata seperti itu dengan serius. Sengaja dia memberi jeda supaya Gia semakin salah tingkah, lalu tertawa, seakan ini memang hanya ocehan tanpa makna. Nyatanya, Hugo memang berharap menggantikan posisi Restu sebagai calon suami Gia."Bang," panggil Gia pelan, nyaris tidak terdengar Hugo.Hugo memandang Gia sambil tersenyum. "Lo manggil gue?""Ajakin gue ke KUA sekar
Matahari sudah tenggelam, saat Gia memasukkan mobil ke dalam garasi rumah. Hari ini tidak seburuk yang Gia bayangkan. Bertemu dengan Hugo setelah beberapa minggu ini dia menghindari Gia, ternyata tidak terlalu buruk. Tadinya, Gia mengira pertemuannya ini akan berakhir dengan kondisi aneh atau bahkan terjadi pertengkaran. Tapi, sebaliknya, Hugo masih tetap Hugo, senior menyebalkan yang berhasil membuat hati Gia berbunga-bunga. Sekarang, Gia sadar bahwa perasaan itu belum sepenuhnya hilang. Hugo masih punya tempat spesial di hati Gia.Baru saja Gia mematikan mesin mobil, ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk. Gia mengurungkan niatnya keluar mobil. Dia meraih ponsel yang disimpannya di dalam tas. Sebuah pesan dari Hugo membuat jantungnya malas berdetak dalam beberapa detik.Senior Galak KesayanganMakasih buat hari ini, Gi. Gue seneng ketemu lo.Gia tersenyum lebar membaca pesan dari Hugo. Apa yang dirasakannya ternyata dirasakan juga oleh Hugo. Mereka dua orang yang saling menikmati pertem
Semenjak Restu nekat memperkenalkan diri sebagai calon suami Gia, Hugo memang terlihat tidak terawat. Rambutnya dibiarkan semakin panjang, bahkan seringkali terlihat acak-acakan. Bajunya beberapa kali nampak kusut. Dari laporan Jessica, Hugo seperti kehilangan semangat. Dia sering mangkir dari jadwal rapat BEM. Hugo bahkan lebih mudah emosi hanya karena hal kecil. Gia pun merasa bersalah. Sayangnya, Hugo tidak pernah memberinya kesempatan untuk berbicara. Dia selalu menghindar. Hugo menolak berada terlalu dekat dengan Gia. "Bang Hugo ngapain di sini?" tanya Gia basa-basi. Gia mencoba tersenyum. Sayang, senyumnya kaku dan malah membuatnya terlihat seperti meremehkan Hugo. "Mau beli buku. Gue kehabisan bahan bacaan," jawab Hugo. "Lo sendirian?" tanya Hugo perlahan. Ada ribuan jarum jahit yang bergerak acak menikam jantungnya. Gia tersenyum lebih tulus. "Iya. Udah mirip anak hilang, ya? Bentar lagi ada yang mau nyulik Gia, nih. Kalau Gia nggak ada kabar besok, laporin polisi, ya, Ban
Minggu pagi menjadi waktu yang pas untuk bermalas-malasan. Bangun siang, makan, pipis, eek, dan tidur lagi seharian. Itu yang dilakukan Gia dulu. Gia yang hanya berfikir tentang enaknya sendiri, tidak peduli Bunda sudah mengomel panjang melihat anak gadisnya sudah mirip kain pel bekas—lecek, kucel, kusut, dan bau—tinggal dibuang aja. Gia yang sekarang berbeda. Setelah Restu menunjukkan keikhlasannya melepas Bianca, Gia semakin yakin untuk memperbaiki dirinya. Gia tidak mau Restu menyesal karena dirinya masih sama, tanpa perubahan yang lebih baik. Gia mau Restu juga melihat usahanya. Terlebih lagi, nantinya Gia akan menjadi seorang ibu bagi Gavin. Sebuah tanggungjawab yang jauh lebih besar. Jantungnya selalu berdebar kencang kalau mengingat statusnya akan berubah menjadi istri dan ibu sekaligus, peran baru yang lebih menuntut kedewasaannya. Cahaya matahari mulai masuk dari sela-sela jendela kamar Gia yang masih tertutup gorden. Gia menyibakkan gorden berwarna hijau tua itu. Di seberan
Jalanan lenggang, tanpa kemacetan yang berarti. Lampu merah memaksa mobil Restu berhenti sejenak. Perjalanan mereka masih butuh beberapa menit lagi sampai tujuan. Tujuan yang sama sekali tidak pernah dibayangkan oleh Gia. Restu terus diam selama perjalanan, sama sekali tidak mencoba mengajak Gia berbicara. Suasana hening di dalam mobil. Tidak ada suara musik yang biasa diputar oleh Gia. Suara deru kendaraan dan sesekali klakson yang saling bersautan di luar cukup membuat Gia merasa semakin resah. Baru pertama kali Gia melihat Restu dalam mode galak begini. Ini bukan Restu yang membuat Gia jatuh hati. Sekarang, Restu terlihat menakutkan. Bukan menakutkan selayaknya genderuwo yang mencari perawan di siang hari. Ya, walaupun antara genderuwo dan Restu sama-sama doyan perawan. Gia merasa yang duduk di sampingnya adalah pria tua yang senang menculik perawan, lalu menjualnya ke pria hidung belang yang berani membayar mahal. Pria-pria seperti ini biasanya sering nekat melakukan kekerasan de