Share

Love by Choice
Love by Choice
Author: Franciarie

First Day

Author: Franciarie
last update Last Updated: 2021-04-06 23:35:31

Tidak ada yang tahu pasti siapa psikopat yang membuat aturan OSPEK harus kejam dan menyedihkan. Anggiana Praba mungkin menjadi salah satu korban kekejaman aturan ini.

Gia, begitu dia biasa dipanggil, sedang sibuk merapikan rambut panjangnya yang baru saja selesai dikuncir dua. Dia bergegas menggunakan flat shoes warna hitam dan mengambil tas ransel hitamnya dari atas meja. Sebentar dia kembali mematut penampilannya yang mirip sales sedang masa training, lalu bergegas keluar kamar. Dia berlari menuju garasi. Wajahnya panik bukan main.

"Gia sarapan dulu!" panggil Bunda dari ruang makan, saat melihat anak gadisnya itu berlari seperti dikejar utang yang tidak mampu dia bayar.

"Nggak sempet, Bun," tolak Gia masih sambil berlari. "Gia berangkat. Assalamualaikum," pamitnya buru-buru tanpa menoleh sedikit pun. Segera dinyalakan mobil Honda Jazz putihnya dan memacunya secepat yang dia mampu.

Hari ini adalah hari pertama Gia resmi menyandang status mahasiswi Fakultas Hukum di Universitas Merva. Ini hari pertama OSPEK. Beruntungnya, dia bangun terlalu siang. Semalaman dia tidak bisa tidur karena terlalu bersemangat membayangkan keseruan esok hari.

Gia baru berhasil memejam saat puku; 03.20 dan terbangun pukul 06.30. Itu pun setelah Bunda menyiram wajahnya dengan segayung air. Padahal, dia harus berada di kampus pukul tujuh tepat. Sementara jarak rumah ke kampusnya memakan waktu lima belas menit perjalanan, belum lagi harus mandi dan berdandan. Ditambah macet yang biasanya terjadi saat pagi hari, membuat waktu lima belas menit sangat mustahil cukup bagi Gia.

Mobil Gia baru masuk tempat parkir Fakultas Hukum pukul 07.10. Gia semakin panik. Segera dia berlari ke arah lapangan yang berada di bagian belakang kampus. Upacara pembukaan masih berlangsung. Pak Dekan sedang memberikan sambutannya di hadapan ratusan mahasiswa baru yang berjemur di bawah senyuman matahari.

Gia ragu untuk mendekat. Dia masih berdiri di luar lapangan. Di bagian barisan belakang berjejer para senior anggota BEM yang bertugas memastikan kelancaran OSPEK. Mereka menggunakan jas almamater berwarna merah. Penampilan para senior ini sangat mencolok di antara para mahasiswa baru yang menggunakan atasan putih dan bawahan hitam.

Pundak Gia ditepuk tiba-tiba. Gia terlonjak. Aura suram terasa di balik punggungnya. Perasaan Gia berubah mencekam. Tidak mungkin ada pedagang aqua dan mizon di lapangan upacara. Di belakangnya pasti ada sosok berbahaya yang mengancam nyawa Gia.

"Ngapain di sini?" tanya orang yang tangannya masih di pundak Gia, mencengkram kuat seakan takut buruannya lepas.

Gia berbalik. Matanya menangkap sosok lelaki dengan mata tajam memandang ke arahnya. Wajahnya tidak menunjukkan keramahan sama sekali. Gia mengamati lelaki di depannya dari atas ke bawah. Kaus hitam polos dan celana jins yang robek di sana sini serta sneaker shoes abu-abu yang diinjak bagian belakangnya. Parahnya, dia menggunakan jas almamater merah, jas yang sama yang dipakai para senior penanggung jawab OSPEK.

Gia memejamkan mata. Jantungnya bergemuruh. 'Mampus!' maki Gia dalam hati.

"Lo telat. Berdiri di sana!" perintah senior itu sambil menunjuk sisi kiri lapangan yang memang kosong. Suaranya yang berat sedikit serak terdengar sadis di telinga Gia.

Gia yang mengakui dirinya salah, hanya bisa menurut dalam diam. Gia melangkah ke tempat yang ditunjuk senior galaknya tadi. Di bagian kiri agak ke belakang lapangan ada tempat kosong, yang memang sengaja disediakan untuk mahasiswa baru seperti dirinya yang datang terlambat.

Senior tersebut terus mengikuti di belakang Gia. Dia benar-benar menjaga mangsannya agar mati perlahan karena depresi.

Gia berdiri menghadap ke tengah lapangan, mengikuti prosesi upacara pembukaan OSPEK sendirian. Beberapa orang melihatnya, seakan-akan dirinya manusia langka yang sedang dipamerkan.

'Ini seriusan dari 150 mahasiswa cuma gue doang yang telat? Pada rajin banget, sih.' Gia terus mengeluh dalam hati.

Senior galak tadi masih mengawasi Gia. Dia berdiri agak jauh di belakang Gia, di bawah pohon mangga demi menghindari panas. Sementara posisi Gia sangat strategis sekali mendapatkan panas matahari, sangat bagus untuk pertumbuhan tulang dan gigi.

'Semoga setelah ini selesai, gue jadi tinggi kayak model Victoria Secret, bukan malah kayak pantat panci yang kelamaan dipakai masak, gosong.' Gia serius berharap. Dia hanya berani berdialog dengan dirinya sendiri dalam hati.

Satu jam kemudian, serangkaian prosesi upacara pun selesai. Gia yang berdiri sendiri pun akhirnya bisa bernapas lega. Dia segera berbalik dan angkat kaki, mengikuti kerumunan pasukan hitam putih di hadapannya. Bayangan minuman dingin sudah terasa di tenggorokannya yang kering.

"Jangan pergi!" bentak suara di belakangnya. Ini suara yang sama yang menegurnya tadi. Suara yang sama yang membuatnya akhirnya mendapatkan siksaan.

Gia lupa kalau dirinya sedang dihukum. Di belakangnya sedang ada singa kelaparan yang akan menerkam mangsa. Gia membalikkan badan. Kini di hadapannya berdiri senior galak yang sedari tadi terus mengawasinya. Matanya masih tajam menatap Gia. Aura mistis masih menyelimutinya. Tanduk setan masih ada di kepalanya.

"Mau ke mana? Udah telat terus enak banget ya ngeloyor kabur gitu aja," omel senior galak itu. Kedua tangannya diletakkan di pinggang. Matanya melotot, nyaris copot.

"Maaf, Bang. Saya kira sudah selesai." Gia meminta maaf sambil memasang puppy eyes seimut mungkin. Dia berharap kesadisan lelaki di hadapannya hilang setelah melihat wajah menderitanya.

"Apa yang udah selesai? Lo bahkan belum dihukum sama sekali." Kalimat tegas meluncur dari bibir cowok bertanduk itu.

Oke. Manusia di hadapan Gia ini bukan lelaki yang mudah dirayu ternyata.

Gia melotot, kaget. Satu jam dia berdiri sendirian di bawah panas matahari, termenung mirip barang yang tidak layak dipakai lagi. Gia sudah merasa dirinya bagai alien karena pandangan orang-orang yang hanya bisa bisik-bisik membicarakannya. Tapi, ternyata ini belum dianggap hukuman.

"Nggak usah melotot gitu. Gue congkel juga mata lo pakai garpu," omel si senior sadis itu, membuat Gia lemas seketika. Harapannya segera mencicipi air dingin sirna.

"Sana pergi ke tiang bendera! Lo berdiri di sana dan hormat bendera. Jangan ke mana-mana sampai gue minta!" perintah si senior. Nada suaranya tegas, terasa tajam menusuk hati Gia. Dia tidak mau dibantah.

'Dulu emaknya hamil dia pasti ngidam cabe, deh. Pedes banget omongannya.' Gia terus memikirkan hal buruk tentang seniornya itu.

Gia segera melaksanakan perintah seniornya. Dia berjalan mendekati tiang bendera yang berada jauh di bagian tengah lapangan. Saat sudah sampai, Gia memandang bendera merah putih yang berkibar di atasnya. Seketika cahaya matahari menusuk matanya, pedih. Sengatan matahari pukul delapan belum terlalu menusuk kulit. Gia tersenyum getir, lalu mengangkat tangan kanannya dan menempelkannya di dahi. Dia hormat kepada sang merah putih.

"Badannya tegap! Jangan loyo!" bentak seniornya, lalu berjalan menjauh.

Satu jam Gia berada di depan tiang bendera. Panas matahari mulai semakin menusuk kulit mulusnya. Keringat sudah membuat kemeja putihnya basah dan rambutnya lepek.

"Lo boleh istirahat," kata si senior galak yang tiba-tiba berada di depan Gia. Nada suaranya tidak setajam tadi, malah sangat lembut kali ini. Suaranya sangat bersahabat.

Gia bernapas lega. Diturunkannya tangan kanannya yang terasa pegal. Dia lalu memijit lengannya.

"Jangan telat lagi atau gue bakal hukum lo lebih berat dari ini!" Ancaman si senior itu sukses membuat Gia pucat. "Ini buat lo," tambahnya, lalu memberikan sebungkus roti dan air mineral dingin.

"Makasih, Bang," kata Gia sambil meraih roti dan air mineralnya.

Gia kemudian membaur ke dalam kerumunan mahasiswa jurusannya. Dia berkenalan dengan beberapa teman dan asyik ngobrol dengan mereka.

"Kok lo bisa telat, sih?" tanya Jesica, teman baru Gia. Dia orang pertama yang bersimpati dengan nasib Gia.

"Biasalah. Gue bangun kesiangan," jawab Gia lesu. Kakinya terasa pegal dan kepalanya sedikit pusing. Gia baru sadar kalau belum sarapan. Segera dibukanya roti pemberian kakak senior galaknya tadi. Hanya roti murahan yang isi selai cokelatnya cuma seujung kuku bayi.

"Laper apa doyan lo? Pelan-pelan bisa kali makannya," komentar Jesica melihat Gia makan dengan lahap.

"Gue belum sarapan tadi. Laper," sahut Gia dengan mulut penuh roti.

"Ke kantin bentar, yuk? Bilang aja ke toilet terus nanti kita mampir kantin." Jesica memberikan ide. Dia tidak tega melihat kondisi memprihatinkan teman barunya.

Saat ini sedang berlangsung kuliah umum oleh salah satu dosen senior. Suasananya santai. Mahasiswa baru boleh makan dan minum, yang penting tidak mengganggu jalannya acara.

"Nanti aja, deh, abis ini, nanggung. Setengah jam lagi juga ini kelar. Lagian pegel banget kaki gue." Gia menolak.

Jesica pun menurut. Dia membiarkan Gia menghabiskan rotinya dengan tenang. Jesica bahkan memberikan tambahan buah apel miliknya untuk Gia.

Kegiatan OSPEK setelah upacara tadi pagi untungnya dilakukan di dalam ruangan. Gia mungkin akan pingsan kalau harus terkena panas matahari lagi. Dua jam berdiri di bawah panas matahari ditambah tatapan sadis senior, cukup membuat Gia lemas hari ini.

Baru hari pertama, tapi kesialan sudah Gia rasakan. Mungkin dia harus mencari jimat untuk menolak bala.

Related chapters

  • Love by Choice   Bad Luck

    Rumah adalah tempat paling nyaman. Setelah seharian Gia merasakan siksaan, akhirnya lenyap setelah berada di rumah. Hanya sekadar rebahan sambil nonton tv saja sudah menjadi surga dunia bagi Gia. Sayangnya, hari ini dia tidak bisa menikmati surga dunianya. Gia baru tiba di rumah saat matahari baru saja tenggelam. Dia langsung mandi, membasuh tubuhnya yang lengket karena keringatnya terlalu banyak seharian. Aroma matahari, keringat, dan sisa parfum diskonan di tubuhnya bercampur sangat memuakkan. Gia sendiri nyaris muntah saat mengecek aroma ketiaknya. "Baunya mirip sisa janji manismu yang nggak pernah ditepati, busuk banget," celetuk Gia sebelum masuk ke kamar mandi. Dia menghabiskan waktu lumayan lama di dalam kamar mandi. Mungkin di dalam kamar mandi dia sekaligus membangun peradaban baru dunia. Selesai mandi, perut Gia berontak minta jatah preman. "Bunda masak apa?" tanya Gia yang sudah berada di samping Bunda. Dia membuka kulkas, lalu meraih sekotak susu cokelat. Dengan cepat Gi

    Last Updated : 2021-04-06
  • Love by Choice   Another Tragedy

    "Ayah, gimana, nih? Anak ayah yang paling cantik mobilnya mogok, nggak bisa nyala sama sekali. Mana dari tadi Gia dimaki-maki sama orang. Mereka bukannya bantuin malah ngomel-ngomel. Sungguh krisis simpati dan empati, ya, sekarang ini," keluh Gia panjang lebar begitu panggilannya dijawab oleh Ayah. "Ini Ayah disuruh sedih apa ketawa dulu, Gi?" tanya Ayah menahan tawa. Dia paham sekali kalau sekarang tertawa, Gia akan meledak. Dia akan puasa bicara, sampai benar-benar butuh bantuan Ayah. Biasanya Gia hanya bertahan paling lama lima jam. Tapi, itu sudah bisa membuat Ayah menderita. "Ih, Ayah kenapa malah ngetawain Gia, sih?" sungut Gia kesal. "Ya, kamu kenapa cuma laporan mobil mogok aja harus bikin novel dulu, panjang banget?" omel Ayah gemas dengan tingkah putrinya. Gia mencebik. "Terus ini Gia gimana, dong? Gia udah diomelin mulu sama orang, nih." Gia semakin panik. Suara klakson mobil di belakangnya terus terdengar. Jalanan semakin ramai. Mobil Gia yang mogok menambah macet dan r

    Last Updated : 2021-04-07
  • Love by Choice   Polongo Polongo

    Gia berharap bertemu kuntilanak daripada harus berurusan dengan senior galak ini lagi. Setidaknya, kuntilanak masih bisa diajak tertawa bersama sambil nongkrong di atas pohon. Senior bermulut cabe ini sama sekali tidak berniat tersenyum pada Gia. Wajahnya kaku, tidak ada tanda-tanda kebahagiaan di sana. "Eh, hai, Bang," sapa Gia mencoba ramah sambil melambaikan tangan dan senyuman tiga jari. "Mana otak manusianya?" tanya lelaki yang paling dihindari Gia hari ini. Suara beratnya terasa menusuk telinga Gia. "Ini ada di dalem sini, Bang," jawab Gia sambil menunjuk kepalanya. "Gue nggak segan-segan bikin gule otak manusia," seru si senior galak. Dia bersuara perlahan dan tajam, tepat di telinga kiri Gia. Gia kaget dan seketika mundur menjauh. Sayangnya, ada dinding yang menghadangnya. Muka Gia sudah nyaris seputih dinding di belakangnya. "Kenapa lo telat?" tanya si senior galak. Tangannya dilipat di depan dada. Kaki kirinya bergeser memperlebar jarak dengan kaki kanannya, membuat aur

    Last Updated : 2021-04-07
  • Love by Choice   Better Day

    Ini hari ketiga Gia sebagai mahasiswi dan sekaligus hari terakhir OSPEK. Sejak kemarin Gia terus merengek kepada Ayah agar mau mengantarnya ke kampus, dengan risiko Ayah harus melewati jalan yang berlawanan arah dari kantornya. Ayah yang memang selalu memanjakan anak gadisnya itu pun mengiakan. Pagi ini Gia sudah duduk di mobil Ayah. Di bangku kemudi Ayah sedang fokus mengendarai mobil Toyota Camry hitamnya, berusaha secepat mungkin sampai di kampus putrinya. "Ayah tegang banget, sih? Ini cuma nganterin Gia ngampus, bukan bawa Gia ke pelaminan kali," komentar Gia yang gemas dengan wajah serius ayahnya. "Iya, tapi kalau Ayah sampai telat hari ini, kamu bisa-bisa nggak akan sampai ke pelaminan juga, Gi," sahut Ayah masih fokus memandang jalanan di depannya. "Apa hubungannya Ayah telat sama Gia kawin?" tanya Gia bingung. "Ayah ada rapat penting pagi ini. Kalau telat, bisa digantung sama Pak Direktur nanti." Ayah mulai cemas memandang barisan mobil yang mengular di depannya. "Eh, en

    Last Updated : 2021-04-07
  • Love by Choice   New Neighbor

    Acara terakhir setelah upacara pembubaran OSPEK adalah makan malam bersama. Para senior memanjakan juniornya dengan menyiapkan sendiri nasi liwet yang ditaruh di daun pisang yang berjejer panjang mengitari auditorium. Menu liwetan pun termasuk lengkap. Nasi gurih dengan lauk ayam, tahu, dan tempe goreng aromanya menggoda. Segarnya sayur asem juga membuat liur menetes. Lalapan plus sambel terasi serta kerupuk semakin membuat semua yang ada di auditorium kelaparan. Tidak lupa ada es teh manis sebagai minuman. Menu yang sungguh menggoda selera, apalagi perut memang sudah waktunya diisi. Di depan auditorium, Reza, ketua panitia pelaksana OSPEK dan ketua BEM, mengucapkan terima kasih atas semua bantuan yang membuat acara OSPEK selama tiga hari ini berjalan lancar. Reza juga mengucapkan selamat kepada mahasiswa baru yang sudah resmi menjadi mahasiswa di Universitas Merva. Reza hanya berbicara singkat. Dia paham semua yang ada di dalam auditorium sudah berfokus ke makanan yang tersaji. Jadi,

    Last Updated : 2021-04-07
  • Love by Choice   His Name

    Gia memandang dirinya di depan cermin besar setinggi dua meter di kamarnya, memastikan penampilannya sudah sempurna. Kemeja Flanel biru menjadi pilihannya hari ini. Bagian lengannya sengaja dilipat sedikit sebatas lengan. Dia memadukannya dengan celana jins hitam yang robek di kedua lutut. Rambut Gia yang dicat warna coklat dikucir bagian atasnya, lalu dicepol asal-asalan, sementara sisa rambut bagian bawah dibiarkan terurai begitu saja. Gia enggan menggunakan mekap berlebih. Seperti biasa, dia hanya memoles bedak bayi di wajah dan pelembab bibir. Gia tersenyum di depan cermin, merasa menjadi wanita tercantik sejagad raya. Setelah penampilannya sempurna, Gia mengambil ransel hitam kecilnya dari meja belajar. Ransel ini menjadi tas kesayangannya, alasan sederhana untuk menutupi kalau sebenarnya Gia malas memindah isi tas ke tas lain. Sekarang, dia siap pergi ke kampus. Di ruang makan, Ayah duduk menunggu Bunda selesai masak sambil membaca koran. Rutinitas ini memang terlalu ketinggal

    Last Updated : 2021-04-07
  • Love by Choice   Reject

    Gia memasukkan mobil ke garasi rumah. Rumahnya memang tidak besar, tapi dia selalu tenang saat akhirnya tiba di rumah. Penampilan Gia sudah kacau. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, tapi kusut di beberapa bagian. Tidak ada kerapian sama sekali dalam diri Gia sore ini. Wajahnya yang lelah sudah kusut dan berminyak. Kemeja merah dengan motif bunga-bunga yang digunakannya sudah acak-acakan di sana-sini. Kegiatan kampusnya hari ini terasa lumayan menguras tenaga dan pikiran. Ada tiga mata kuliah hari ini, yang sukses membuat otaknya lumayan panas. Berbeda dengan waktu dia masih duduk di bangku sekolah, Gia hanya perlu duduk dan semua materi pelajaran akan diberikan oleh gurunya. Sekarang, Gia harus memahami segala sesuatunya sendiri. Dosen hanya memberikan sedikit gambaran tentang materi yang diberikan. Sisanya akan ada diskusi antar mahasiswa dan diakhiri dengan tugas-tugas. Jadi, baru mulai kuliah, tetapi tugas Gia sudah menumpuk. Saat Gia akan masuk ke dalam rumah, mata Gia mena

    Last Updated : 2021-04-07
  • Love by Choice   Oldman

    Gia mengikat rambut coklatnya terlebih dahulu sebelum keluar dari mobil. Mendadak dia merasa lebih nyaman dengan rambut yang diikat. Seperti biasa, Gia hanya mengikat rambutnya asal-asalan. Dia tidak terlalu peduli dengan kerapian, yang penting nyaman dan tidak mengganggu aktivitasnya. Selesai urusan rambut, Gia mengambil tas ransel dari kursi samping lalu keluar dari mobil. Parkiran sudah hampir penuh berbagai macam mobil beraneka bentuk dan warna. Showroom mobil akan minder dengan deretan mobil di parkiran kampus FH. Mulai dari mobil klasik sampai mobil mewah keluaran terbaru ada di sini. Gia memandang sekeliling, siapa tahu ada orang yang dikenalnya. Bisa berjalan bersama seseorang sampai kelas jelas lebih menyenangkan daripada sendirian. Sayangnya, tidak ada wajah yang dikenalnya. Yang ada hanya para senior yang Gia tidak tahu namanya. Gia akhirnya melangkahkan kakinya menuju gedung A sendirian. Tangannya memainkan kunci mobil, hanya untuk kesibukan sesaat. "Sendirian aja, Neng?

    Last Updated : 2021-04-07

Latest chapter

  • Love by Choice   Endless Love

    Calon mertua itu menyeramkan. Ibu mertua itu musuh paling nyata bagi istri dari anaknya lelakinya. Bapak mertua adalah pria galak yang tidak akan bisa berbicara santai dengan menantunya. Saudara ipar jelas tidak akan pernah membiarkan hidup istri kakaknya hidup tenang. Isi kepala Gia dipenuhi pikiran buruk tentang orang tua Restu. Tangannya dingin, sedangkan kepala dan hatinya panas karena terus membayangkan suasana mencekam yang menantinya. Bibir bawah Gia bahkan sudah berdarah. Tanpa disadari, Gia terus menggigit bibir bawahnya untuk meredakan gugup. "Kamu tidak perlu cemas, Gi. Orang tua saya bukan drakula yang gemar menghisap darah perawan." Berulang kali Restu mencoba menenangkan, tapi tidak berhasil. Gia justru semakin banyak mengomel. "Om ini nggak tahu gimana rasanya jadi Gia. Ya, gila aja Gia harus ketemu calon mertua. Calon mertua lho ini, Om. Ini menyangkut hidup Gia. Gimana kalau ternyata orang tua Om Restu nggak suka sama Gia? Gimana kalau Gia diusir terus harus pulang

  • Love by Choice   Make Over

    Matahari semakin condong ke barat, menyisakan berkas oranye. Daun-daun bergoyang pelan tanpa ada iringan musik. Tukang siomai berhenti di ujung jalan, berharap ada yang mau membeli dagangannya. Gavin memukul samsak dengan sekuat tenaga berkali-kali. Baju yang digunakannya sudah basah dengan keringat. Dia sudah mulai kehabisan napas. Sudah satu jam dia berlatih boxing hari ini. Restu sedang sangat bersemangat sore ini. Sejak menjemput Gavin di sekolah, dia sudah memintanya langsung tidur siang, agar sorenya memiliki cukup tenaga untuk berlatih. Seperti biasa, Gavin selalu menuruti permintaan sang Papa. "Pukul yang keras, Gav! Perhatikan sasarannya," perintah Restu yang berdiri di belakang Gavin. Gavin lalu memukul samsak lebih kencang lagi. Samsak di depannya bergoyang pelan. "Gavin, sudah dulu latihannya, sudah hampir Magrib. Nggak baik di luar rumah mau Magrib gini, bisa diculik wewe gombel. Iya, kalau itu Wewe Gombel bisa jadi ibu yang baik buat Gavin, sih, nggak masalah. Kalau te

  • Love by Choice   Kneeling

    Gia berlari menjauh dari rumah Restu. Matanya seperti pipa PDAM yang bocor, air matanya mengucur deras. Dadanya seperti disengat puluhan lebah, pedih dan bengkak. Bayangan Restu yang nyaris sempurna hancur sekarang. Gia kecewa kepada Restu. Gia marah, marah pada Restu yang ternyata jahat sekaligus marah pada dirinya sendiri yang bodoh sudah memilih Restu. Ternyata seorang Restu yang dikiranya berpikiran dewasa, tidak jauh berbeda dengan Hugo. Lelaki di mana pun sama, selalu lemah lihat wanita seksi. Belum sempat Gia masuk ke dalam rumah, ada yang menarik tangannya. Gia terpaksa berhenti kalau tidak mau tangannya lepas. Dia masih belum siap tangannya diganti dengan tangan robotik. Selain harganya mahal, berburu upil dengan tangan robotik pasti tidak semenyenangkan dengan tangan asli. Restu berdiri di belakang Gia masih bertelanjang dada. Dia terlihat cemas sampai tidak peduli deretan tahu di perutnya terekspos jelas. "Lepasin!" bentak Gia sambil mencoba melepaskan genggaman tangan R

  • Love by Choice   Moaning

    Kuliah ternyata tidak selalu menyenangkan. Ini sudah hampir di akhir semester pertama Gia. Tumpukan tugas yang harus segera diselesaikan semakin menggunung. Materi pelajaran yang harus dipahami semakin menumpuk. Kepala Gia selalu panas setiap hari. Penjelasan dosen bukannya membuatnya paham, malah semakin membuatnya bertambah pusing. Beruntung, Gia punya Jessica yang dengan sabar, dan bonus sedikit makian, masih mau membagi ilmunya. Walau tidak sempurna, Jessica berhasil membuat Gia sedikit lebih paham dengan pelajaran. Iya, cuma sedikit. Gia terlalu malas belajar, jadi tidak ada perkembangan signifikan dalam nilainya. Hari ini Gia pulang kuliah lebih cepat dari biasanya. Harusnya, dia ada dua mata kuliah lagi. Tapi, dosen pengampu dua mata kuliah itu berhalangan hadir dengan alasan ada tugas ke luar kota. Setelah mendapat kepastian kelas kosong, Gia segera menghubungi Restu. Dia meminta Restu untuk menjemputnya. Siapa tahu hari ini bisa jalan-jalan sebentar, nongkrong di mall atau d

  • Love by Choice   Meaning of Marriage

    Cowok di depan Gia masih berhasil membuatnya salah tingkah. Ada gelitik aneh di dadanya. Rasanya beda dengan debaran yang dulu dia rasakan, waktu masih berharap Hugo bisa membalas cintanya. Rasa ini membuat perasaannya membaik."Ngagetin aja, Bang! Gia kira setan. Kalau jantung Gia copot, gimana? Bang Hugo mau tanggung jawab?" omel Gia mencoba bersikap biasa saja, padahal perasaannya berantakan. Dia sadar sudah salah. Kalau dia terus bersama Hugo, pasti rasa bersalah pada Restu ini akan semakin meningkat."Sebenernya, kalau disuruh tanggungjawab, gue mau aja. Tapi, gue nggak mau ngerebut calon istri orang," sahut Hugo. Dia berkata seperti itu dengan serius. Sengaja dia memberi jeda supaya Gia semakin salah tingkah, lalu tertawa, seakan ini memang hanya ocehan tanpa makna. Nyatanya, Hugo memang berharap menggantikan posisi Restu sebagai calon suami Gia."Bang," panggil Gia pelan, nyaris tidak terdengar Hugo.Hugo memandang Gia sambil tersenyum. "Lo manggil gue?""Ajakin gue ke KUA sekar

  • Love by Choice   Liar

    Matahari sudah tenggelam, saat Gia memasukkan mobil ke dalam garasi rumah. Hari ini tidak seburuk yang Gia bayangkan. Bertemu dengan Hugo setelah beberapa minggu ini dia menghindari Gia, ternyata tidak terlalu buruk. Tadinya, Gia mengira pertemuannya ini akan berakhir dengan kondisi aneh atau bahkan terjadi pertengkaran. Tapi, sebaliknya, Hugo masih tetap Hugo, senior menyebalkan yang berhasil membuat hati Gia berbunga-bunga. Sekarang, Gia sadar bahwa perasaan itu belum sepenuhnya hilang. Hugo masih punya tempat spesial di hati Gia.Baru saja Gia mematikan mesin mobil, ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk. Gia mengurungkan niatnya keluar mobil. Dia meraih ponsel yang disimpannya di dalam tas. Sebuah pesan dari Hugo membuat jantungnya malas berdetak dalam beberapa detik.Senior Galak KesayanganMakasih buat hari ini, Gi. Gue seneng ketemu lo.Gia tersenyum lebar membaca pesan dari Hugo. Apa yang dirasakannya ternyata dirasakan juga oleh Hugo. Mereka dua orang yang saling menikmati pertem

  • Love by Choice   Dating with The Past

    Semenjak Restu nekat memperkenalkan diri sebagai calon suami Gia, Hugo memang terlihat tidak terawat. Rambutnya dibiarkan semakin panjang, bahkan seringkali terlihat acak-acakan. Bajunya beberapa kali nampak kusut. Dari laporan Jessica, Hugo seperti kehilangan semangat. Dia sering mangkir dari jadwal rapat BEM. Hugo bahkan lebih mudah emosi hanya karena hal kecil. Gia pun merasa bersalah. Sayangnya, Hugo tidak pernah memberinya kesempatan untuk berbicara. Dia selalu menghindar. Hugo menolak berada terlalu dekat dengan Gia. "Bang Hugo ngapain di sini?" tanya Gia basa-basi. Gia mencoba tersenyum. Sayang, senyumnya kaku dan malah membuatnya terlihat seperti meremehkan Hugo. "Mau beli buku. Gue kehabisan bahan bacaan," jawab Hugo. "Lo sendirian?" tanya Hugo perlahan. Ada ribuan jarum jahit yang bergerak acak menikam jantungnya. Gia tersenyum lebih tulus. "Iya. Udah mirip anak hilang, ya? Bentar lagi ada yang mau nyulik Gia, nih. Kalau Gia nggak ada kabar besok, laporin polisi, ya, Ban

  • Love by Choice   Ice Cream

    Minggu pagi menjadi waktu yang pas untuk bermalas-malasan. Bangun siang, makan, pipis, eek, dan tidur lagi seharian. Itu yang dilakukan Gia dulu. Gia yang hanya berfikir tentang enaknya sendiri, tidak peduli Bunda sudah mengomel panjang melihat anak gadisnya sudah mirip kain pel bekas—lecek, kucel, kusut, dan bau—tinggal dibuang aja. Gia yang sekarang berbeda. Setelah Restu menunjukkan keikhlasannya melepas Bianca, Gia semakin yakin untuk memperbaiki dirinya. Gia tidak mau Restu menyesal karena dirinya masih sama, tanpa perubahan yang lebih baik. Gia mau Restu juga melihat usahanya. Terlebih lagi, nantinya Gia akan menjadi seorang ibu bagi Gavin. Sebuah tanggungjawab yang jauh lebih besar. Jantungnya selalu berdebar kencang kalau mengingat statusnya akan berubah menjadi istri dan ibu sekaligus, peran baru yang lebih menuntut kedewasaannya. Cahaya matahari mulai masuk dari sela-sela jendela kamar Gia yang masih tertutup gorden. Gia menyibakkan gorden berwarna hijau tua itu. Di seberan

  • Love by Choice   Cemetery

    Jalanan lenggang, tanpa kemacetan yang berarti. Lampu merah memaksa mobil Restu berhenti sejenak. Perjalanan mereka masih butuh beberapa menit lagi sampai tujuan. Tujuan yang sama sekali tidak pernah dibayangkan oleh Gia. Restu terus diam selama perjalanan, sama sekali tidak mencoba mengajak Gia berbicara. Suasana hening di dalam mobil. Tidak ada suara musik yang biasa diputar oleh Gia. Suara deru kendaraan dan sesekali klakson yang saling bersautan di luar cukup membuat Gia merasa semakin resah. Baru pertama kali Gia melihat Restu dalam mode galak begini. Ini bukan Restu yang membuat Gia jatuh hati. Sekarang, Restu terlihat menakutkan. Bukan menakutkan selayaknya genderuwo yang mencari perawan di siang hari. Ya, walaupun antara genderuwo dan Restu sama-sama doyan perawan. Gia merasa yang duduk di sampingnya adalah pria tua yang senang menculik perawan, lalu menjualnya ke pria hidung belang yang berani membayar mahal. Pria-pria seperti ini biasanya sering nekat melakukan kekerasan de

DMCA.com Protection Status