16 Sesuai janji, hari Minggu pagi ini aku sudah berkunjung ke rumah milik orang tua Aleea. Gadis bermata sipit menyambutku dengan seulas senyuman memikat yang membuatku gemas ingin memeluknya erat.Beberapa menit kami mengobrol dengan santai di ruang tamu yang furniturnya telah diubah letaknya, serta ditambahkan sebuah cermin besar yang digantung di atas meja konsul, yang berada di dinding sebelah kanan, tepat di belakang pintu bercat putih yang kuyakin sangat berat dan pasti benjol kalau tertimpa benda itu. Tiba-tiba Aleea terdiam. Aku mengikuti arah pandangannya yang tertuju pada seorang pria bertubuh sedang yang kini tengah jalan mendekat. Spontan aku berdiri dan mengangguk sopan. Pria itu mengulaskan senyuman dan mengulurkan tangan yang kujabat dengan tegas. "Kenzo, betul?" tanya pria itu sambil memandangiku dengan saksama. "Betul, Om," jawabku sambil berusaha menahan rasa ngeri yang tiba-tiba muncul tanpa sebab. "Silakan duduk, kita ngobrol santai aja," sambung papanya Aleea
17Pulang ke rumah dengan pikiran penuh dan tubuh yang lelah, aku langsung merebahkan diri di kasur dengan posisi telentang. Menatap langit-langit kamar bernuansa biru laut Samudera Hindia. Rasa kalut dalam hati yang masih merajai membuatku gundah dan butuh tempat untuk mencurahkan beban. Tidak mungkin bila aku menceritakan tentang hal ini pada orang tua. Mereka pasti akan kecewa, dan takutnya akan berimbas pada Aleea bila dia berkunjung ke sini. Sesuai pembicaraan kami tadi, mulai sekarang aku tidak akan datang ke rumahnya. Aleea-lah yang akan berkunjung ke sini atau ke kafe bila ingin menemuiku. Selain karena aku takut penolakan dari Om Yoga, rumah Aleea yang sepi mungkin akan memancing kami untuk melakukan hal yang terlarang. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk berpacaran di rumahku saja. Selain karena di sini selalu ada adik-adik, Aleea juga tidak mau bila aku kembali ditekan papanya. Namun, ternyata feeling seorang ibu itu kuat banget, ya. Saat makan malam, Mama memandangik
18 Beberapa puluh menit kemudian, kami berjejer tiga motor menembus kepadatan jalan raya Mampang di sore hari ini. Mas Fa menekan klakson sebelum membelokkan setang motor ke kiri. Dia mau menjemput Mbak Yeni dulu di daerah Kalibata, sedangkan aku dan Yeni melanjutkan perjalanan menuju Kemang. Setibanya di kafe, suasana tampak ramai karena banyak orang berdiri di depan pintu kafe yang masih belum dibuka. Aku dan Linda saling beradu pandang sesaat, mungkin dia sama bingungnya denganku, karena kami tidak tahu penyebab kerumunan itu. Linda mengajakku memutar ke bagian belakang bangunan, tempat di mana ada lorong kecil yang panjang, yang merupakan jalan keluar masuk para karyawan. Saat memasuki ruangan dapur kafe, lagi-lagi kami dibuat bingung karena semua orang di bagian itu tampak sibuk. "Pak, Jo, ada apaan sih? Kok semuanya heboh gini, dan di depan banyak orang?" tanyaku pada koki senior yang tengah menggilas adonan mirip bentuk martabak."Ada yang booking tempat ini buat acara jump
19 Sudut bibirku terangkat membentuk senyuman. Tepukan penonton dan rekan-rekan membuatku merasa senang. Meskipun tadi lidah keseleo saat pengucapan bahasa Hindi, tetapi setidaknya penampilan kali ini berhasil memukau. Lagu kedua dan ketiga dari penyanyi yang sama, meluncur sama keseleonya dengan yang pertama. Aku nyaris tertawa ketika melihat sang artis mendelik, karena sepertinya dia tahu kalau aku salah menyebut kata berbahasa rumit tersebut. "Akhirnya, selesai," lirihku saat lagu ketiga tuntas diperdengarkan. "Kamu banyak salah tadi," sahut Linda sambil menyandarkan tubuh ke dinding ruang istirahat karyawan yang ada di lantai dua. "Latihan cuma setengah jam, mana bisa fasih, Lin." Aku merebahkan diri di lantai. Sensasi dingin yang menembus kain kemeja biru terasa sangat nyaman. "Segitu juga udah bagus," timpal Mbak Yeni yang duduk di seberang. "Tapi sepertinya kita memang harus mengeksplor semua bahasa, maybe suatu saat nanti ada request dadakan kayak gini, kita udah siap,"
20Bunyi pintu mobil dibuka dan ditutup seakan-akan terdengar seperti suara genderang perang di telingaku. Detik demi detik menunggu kehadiran pria dewasa tersebut membuatku deg-degan. Titik-titik keringat muncul di dahi dan atas bibir. Demikian pula dengan kedua telapak tangan yang spontan berkeringat. Aku tidak berani menengadah ketika mendengar suara pria tersebut menyapa dengan salam yang dibalas teman-temanku dengan semangat. Selanjutnya mereka bergantian menyalami Om Yoga setelah Aleea menyalaminya terlebih dahulu. Pada kesempatan terakhir aku memberanikan diri untuk berdiri dan menyalaminya dengan takzim tanpa sanggup mengucapkan kata-kata."Ken, bantuin Om bawa barang yang di mobil," pintanya yang kubalas dengan anggukan. "Om tunggu di dalam," sambungnya sembari melenggang meninggalkanku yang kian gundah. Aleea menarik tangan kiriku dan mengajak ke pekarangan. Sang satpam tengah membuka bagasi mobil dan mengeluarkan koper merah berukuran sedang dan beberapa tas serupa warna
21"Kalian pasti mikir kalau saya akan menutup kafe, 'kan?" tanya Kang Rian yang sontak dijawab dengan anggukan oleh teman-teman, sementara aku tetap diam dan menunggunya meneruskan pembicaraan. "Nggak akan begitu, karena kafe ini akan tetap buka dengan Kak Hasna yang akan memimpin, tentu saja kalian harus bekerjasama untuk membantunya. Bagaimana, siap?" tanyanya. "Siap!" Kali ini aku ikut urun suara karena merasa senang bila hal buruk yang sempat terpikirkan tadi ternyata tidak beralasan. "Sarah masih akan tetap di sini sebagai manajer. Dia dan Kak Hasna yang akan menangani kafe serta melakukan rapat-rapat penting dengan perusahaan induk yang sekarang ada dua, yaitu perusahaan Ayah saya dan perusahaannya Om Yoga," tutur Kang Rian yang kembali membuatku memusatkan perhatian. "Tidak ada yang berubah dalam struktur jabatan, semuanya tetap sama. Hanya saja saya ingin merombak bagian entertainnya dengan menambahkan dua personil baru. Satu vokalis dan satu pemain musik. Agar anak-anak b
22Hari berganti hari. Sabtu siang ini aku tiba di kafe lebih awal karena akan bertemu dengan vokalis dan pemain gitar baru untuk pertama kalinya. Aku baru memasuki ruangan yang tengah dibersihkan oleh pegawai ketika Bang Ali melambaikan tangan dari kursi kebangsaannya yang berada di dekat panggung. Seorang pria berparas manis dan seorang perempuan berambut pendek mengamati. Kedua orang tersebut mengulaskan senyuman ketika aku sampai di dekat mereka. Sang pria asing itu berdiri dan seketika aku merasa terintimidasi karena tubuhnya menjulang tinggi serta mengingatkanku dengan tiang lampu taman di kompleks perumahan. "Halo. Kenalin, aku Mono, tapi bukan monopoli atau monochrom, ya," ucapnya dengan suara mendayu-dayu yang membuatku teringat dengan sosok rekannya Mas Fa yang merupakan seorang penata rias. "Halo, Mas Mono, aku Kenzo, bukan Ken Arok atau Ken Dedes, apalagi kentongan pos ronda," jawabku sembari mengulurkan tangan dan dijabatnya dengan cukup tegas. "Hai, Kenzo. Namaku Car
23Minggu pagi yang cerah kugunakan untuk mengajak Kai dan Khanza jalan-jalan. Aku menyadari bila waktu luangku bersama mereka kian sedikit terutama karena siang hari aku jarang ada di rumah, sebab akan berlatih di rumah Mas Fa sebagai persiapan membuat debut rekaman solo yang akan kami tawarkan ke semua rumah produksi. Aku benar-benar bersyukur memiliki sahabat seperti mereka yang sangat setia kawan. Masing-masing mencari cara agar bisa memperkenalkanku dengan produser musik. Bahkan Mas Mono dan Kak Carol juga antusias membantu, padahal kami baru kenal."Bang, aku mau itu," pinta Khanza sambil menunjuk ke penjual yang menyediakan aneka ikan hias dalam tempat plastik. "Jangan, Dek. Kasian ikannya," tolakku."Kenapa?" "Itu dia udah kesulitan bernapas. Nyampe rumah pasti mati." "Tapi kan lucu." "Iya, lucu. Tapi cara pengemasannya nggak sesuai prosedur. Apalagi ini lagi panas banget." "Produr? Apaan?" Aku mengulum senyum, sementara Kai sudah terkekeh. "Prosedur itu cara, Dek. Asal