24Sepanjang perjalanan menuju pusat perbelanjaan aku bergumam mengikuti lirik lagu yang baru ditugaskan Mbak Yeni untuk dihafalkan. Sekali-sekali aku akan melirik ke sopir cantik yang tengah menggoyang-goyangkan kepala dan mengetuk-ngetukkan jemari ke setir. Bila pandangan kami bertemu, aku akan menyunggingkan berbagai model senyuman. Dimulai dari mengulum senyum, tersenyum lebar, tersenyum dengan memperlihatkan sedikit gigi, dan terakhir melebarkan bibir hingga semua gigi terpampang. "Kamu tuh, ya, dari tadi cengengesan mulu!" protes Aleea. "Aku lagi sedekah ke kamu, Lea," kilahku. "Sedekah apaan?" "Senyum, kata pak ustaz, senyum itu juga sedekah." "Ibadah kaleee!" "Udah gantikah?" "Dari dulu emang gitu. Kamu aja yang ngaco!" "Jangan marah-marah, Lea sa ...." Aku cepat-cepat menghentikan ucapan dan merapatkan bibir sambil mengalihkan pandangan ke depan. "Sa apa? Sapu?" Aku tersenyum lebar sambil menoleh, kemudian berkata, "Mau bilang sayang, tapi takut kamu ngomel-ngomel.
25Enam puluh menit terlewati, kini kami sudah berada di dalam bioskop. Aku pada awalnya ingin mendapatkan tempat di barisan tengah, tetapi ternyata tiga deretan yang diinginkan itu sudah terisi penuh hingga terpaksa memilih kursi yang sedikit ke belakang. Kami duduk bersebelahan dengan pasangan yang kupikir sudah dewasa bila dilihat dari tampilannya. Kami sempat beradu pandang sesaat sebelum sama-sama fokus dengan pasangan masing-masing yang mengajak mengobrol. "Cowoknya kayak bule, ganteng," puji Aleea yang membuatku membatin karena sedikit iri."Ceweknya juga cantik, kayak artis," jawabku dengan suara tak kalah pelannya. "Dan mereka orang kaya, Ken." "Kamu tau dari mana?" "Jam tangan dan hapenya." Aku manggut-manggut. Mengenai kedua hal itu aku memang harus banyak belajar karena kurang memahami hal tersebut. Aku ikut mendengarkan ketika Aleea terlibat percakapan dengan perempuan cantik itu, sebelum kemudian mereka saling berjabat tangan sambil menyebutkan nama masing-masing.
26Mobil yang dikemudikan Aleea tiba di rumah beberapa menit sebelum azan magrib berkumandang. Mama menahan Aleea untuk pulang, pamali katanya. Terkadang aku bingung dengan bahasa pamali, apakah itu suaminya bumali? Atau adiknya kamali atau kakaknya dimali? Bingung 'kan? Abaikan. Kami diajak Papa untuk melakukan salat berjamaah. Seusai salat, aku berbalik ke belakang dan tertegun ketika melihat aura Aleea yang bersinar saat menggunakan mukena. Khayalanku mengembara, membayangkan Aleea mengenakan jilbab, pasti akan sangat cantik. Kala tatapan kami bersirobok, aku spontan tersenyum dan dibalas Aleea dengan hal serupa. Sodokan di lengan kiri membuatku menoleh dan terkejut ketika Papa mengeleng-geleng. Duh, ketahuan!"Lea, kita makan malam dulu, ya. Nanti pulangnya Kenzo yang antar," ujar Mama sesaat setelah berdiri. "Ehm, nggak usah, Tante. Aku langsung pulang aja, Kenzo nggak usah nganter," tolak Aleea. "Enggak bisa, di rumah ini peraturannya tamu itu harus makan, baru boleh pulang,
27Bibik mengantarkan minuman dan dua toples kacang yang segera kuraup setelah perempuan paruh baya itu kembali ke habitatnya. Selanjutnya aku berselancar ke dunia maya dan sekali-sekali terkekeh ketika melihat postingan teman-teman di aplikasi biru serta merah ungu. Aroma parfum khas Aleea menguar dan membuatku menengadah. Kendatipun hanya mengenakan setelan pakaian rumah bergambar kucing, tetapi anehnya dia tetap terlihat cantik. Aleea duduk di samping kiri dan mengangkat gelas tinggi berisi minuman merah dingin dari meja serta meneguknya beberapa kali sebelum meletakkan gelas kembali pada tempat semula.Tatapanku seolah-olah tidak bisa dialihkan dan terus terarah ke leher jenjangnya yang putih. Saat tersadar aku langsung menggeleng untuk menghilangkan pemandangan kulit mulus tadi. Aku memijat dahi agar pikiran aneh-aneh itu menghilang, selanjutnya aku menghela napas berat dan mengembuskannya dengan cepat untuk mengenyahkan pemandangan tadi. "Ken, Kang Rian udah ngizinin nih," uca
28Pagi ini aku tiba di kampus hanya berselang beberapa detik dari jam masuk. Akibatnya aku harus lari dan menaiki tangga secepat mungkin. Andai saja bisa seperti adegan lari cepat seperti di film-film itu, mungkin aku akan sampai ke kelas dalam hitungan detik. Kala tiba di depan kelas, aku berhenti sambil memegangi pintu yang untungnya masih terbuka, pertanda dosen mata kuliah paling menyulitkan itu belum datang. Alih-alih langsung memasuki kelas, aku justru berpindah ke bangku di seberang kelas dan duduk untuk mengatur napas yang memburu. Bunyi hak sepatu bertemu lantai bergema dari arah tangga. Aku bergegas bangkit dan jalan memasuki kelas serta menempati kursi di belakang Ijan, setelah sebelumnya melakukan gerakan tangan menepuk dengan suara keras pada sahabatku yang kurus.Beberapa saat kemudian sosok asing memasuki ruangan sambil membawa tas kerja. Aku terperangah melihat perempuan tersebut karena sangat cantik dan penampilannya pun rapi. Satu paket komplet yang bernama peremp
29"Ken, mau pesan apa?" tanya Bang Wawan, pemilik kedai bakso paling enak sekampus. "Kayak biasa, Bang," jawabku. "Plus baksonya aja satu, nggak usah pake bawang daun," sambungku yang dibalasnya dengan anggukan. "Ken, mau bikin foto di kafenya kapan?" tanya Willy yang duduk di seberang, berderet dengan Ijan dan Sandy, sedangkan Humaira dan Tie duduk di samping kananku. "Sabtu pagi kita ada kuliah, beres itu langsung ke sana. Jadi pas karyawan datang itu kita udah beres," sahutku. "Mana bisa cuma satu jam, pemotretan itu pasti lama," timpal Aleea. "Yang bagian dapur aja dulu, Lea. Habis itu pindah ke dekat panggung. Kata Bang Ali, aku juga harus bikin video pendek buat mempromosikan kafe dan band kami," ungkapku. "Kayaknya seru, aku boleh lihat?" tanya Tie. "Boleh, tapi harus jajan, ya, nggak enak aku kalau kalian cuma nongkrong doang," paparku. "Sip, sekalian aku mau nyoba menu makan siang di sana. Kemaren lihat sekilas di akun kafe, ada menu baru," imbuh Tie. "Dan ada dua p
30Aku tiba di toko kue beberapa menit sebelum jam setengah sembilan. Asistennya Mama yang bernama Mbak Titin tengah sibuk mengelap etalase. Aku menyapanya sambil menjulingkan mata dan membuatnya memekik kemudian menggerutu tidak jelas. Aku meletakkan tas ransel ke meja kasir sebelum membuka ritsleting benda hitam itu dan mengambil celemek khusus untukku yang bergambar gitar serta mikrofon. Warnanya yang hitam seakan-akan berpadu dengan t-shirt krem dan celana jin hitam yang dikenakan.Aku mengikat tali celemek ke belakang sembari bercermin melalui benda besar yang digantungkan di belakang meja kasir. Tempat itu menjadi favorit para tamu karena tanpa sadar mereka akan mengamati penampilan, bahkan ada yang menumpang untuk berdandan bila kebetulan tengah dikejar waktu harus tampil keren seusai membeli kue. Aku memindai sekitar untuk mengira-ngira apa yang harus dilakukan terlebih dahulu. Akhirnya diputuskan untuk mengecek barang dagangan sekaligus meneliti masa kadaluarsa. Aku mengamb
31Waktu terus bergulir, hingga tibalah waktunya menutup toko. Kami bertiga bekerjasama merapikan ruangan dan mengecek semua lampu serta kunci, baru kemudian aku dan Mbak Titin memasuki mobil karena tadi Papa memakai motorku. Mobil sedan mungil melaju dengan kecepatan sedang. Jalanan sangat padat dan ramai kendaraan karena hari Jumat ini adalah hari keramat bagi semua pekerja kantoran. Banyak dari mereka yang berasal dari luar kota dan pinggiran Kota Jakarta akan berbondong-bondong menuju tempat asal masing-masing. Mbak Titin berhenti di perempatan jalan sebelum belokan menuju kompleks perumahan, selanjutnya dia akan berjalan kaki memasuki sebuah gang sempit di antara deretan rumah toko karena rumahnya berada di tempat itu. "Besok kita ketemu di mana?" tanya Aleea. "Di kafe aja. Dari kampus aku langsung ke sana," sahutku. "Celemeknya pake yang tadi?" "Nggak, aku punya satu lagi, beda warna doang, gambarnya sama.""Topinya harus matching dong." "Pake yang ada aja deh. Nggak semp