19 Sudut bibirku terangkat membentuk senyuman. Tepukan penonton dan rekan-rekan membuatku merasa senang. Meskipun tadi lidah keseleo saat pengucapan bahasa Hindi, tetapi setidaknya penampilan kali ini berhasil memukau. Lagu kedua dan ketiga dari penyanyi yang sama, meluncur sama keseleonya dengan yang pertama. Aku nyaris tertawa ketika melihat sang artis mendelik, karena sepertinya dia tahu kalau aku salah menyebut kata berbahasa rumit tersebut. "Akhirnya, selesai," lirihku saat lagu ketiga tuntas diperdengarkan. "Kamu banyak salah tadi," sahut Linda sambil menyandarkan tubuh ke dinding ruang istirahat karyawan yang ada di lantai dua. "Latihan cuma setengah jam, mana bisa fasih, Lin." Aku merebahkan diri di lantai. Sensasi dingin yang menembus kain kemeja biru terasa sangat nyaman. "Segitu juga udah bagus," timpal Mbak Yeni yang duduk di seberang. "Tapi sepertinya kita memang harus mengeksplor semua bahasa, maybe suatu saat nanti ada request dadakan kayak gini, kita udah siap,"
20Bunyi pintu mobil dibuka dan ditutup seakan-akan terdengar seperti suara genderang perang di telingaku. Detik demi detik menunggu kehadiran pria dewasa tersebut membuatku deg-degan. Titik-titik keringat muncul di dahi dan atas bibir. Demikian pula dengan kedua telapak tangan yang spontan berkeringat. Aku tidak berani menengadah ketika mendengar suara pria tersebut menyapa dengan salam yang dibalas teman-temanku dengan semangat. Selanjutnya mereka bergantian menyalami Om Yoga setelah Aleea menyalaminya terlebih dahulu. Pada kesempatan terakhir aku memberanikan diri untuk berdiri dan menyalaminya dengan takzim tanpa sanggup mengucapkan kata-kata."Ken, bantuin Om bawa barang yang di mobil," pintanya yang kubalas dengan anggukan. "Om tunggu di dalam," sambungnya sembari melenggang meninggalkanku yang kian gundah. Aleea menarik tangan kiriku dan mengajak ke pekarangan. Sang satpam tengah membuka bagasi mobil dan mengeluarkan koper merah berukuran sedang dan beberapa tas serupa warna
21"Kalian pasti mikir kalau saya akan menutup kafe, 'kan?" tanya Kang Rian yang sontak dijawab dengan anggukan oleh teman-teman, sementara aku tetap diam dan menunggunya meneruskan pembicaraan. "Nggak akan begitu, karena kafe ini akan tetap buka dengan Kak Hasna yang akan memimpin, tentu saja kalian harus bekerjasama untuk membantunya. Bagaimana, siap?" tanyanya. "Siap!" Kali ini aku ikut urun suara karena merasa senang bila hal buruk yang sempat terpikirkan tadi ternyata tidak beralasan. "Sarah masih akan tetap di sini sebagai manajer. Dia dan Kak Hasna yang akan menangani kafe serta melakukan rapat-rapat penting dengan perusahaan induk yang sekarang ada dua, yaitu perusahaan Ayah saya dan perusahaannya Om Yoga," tutur Kang Rian yang kembali membuatku memusatkan perhatian. "Tidak ada yang berubah dalam struktur jabatan, semuanya tetap sama. Hanya saja saya ingin merombak bagian entertainnya dengan menambahkan dua personil baru. Satu vokalis dan satu pemain musik. Agar anak-anak b
22Hari berganti hari. Sabtu siang ini aku tiba di kafe lebih awal karena akan bertemu dengan vokalis dan pemain gitar baru untuk pertama kalinya. Aku baru memasuki ruangan yang tengah dibersihkan oleh pegawai ketika Bang Ali melambaikan tangan dari kursi kebangsaannya yang berada di dekat panggung. Seorang pria berparas manis dan seorang perempuan berambut pendek mengamati. Kedua orang tersebut mengulaskan senyuman ketika aku sampai di dekat mereka. Sang pria asing itu berdiri dan seketika aku merasa terintimidasi karena tubuhnya menjulang tinggi serta mengingatkanku dengan tiang lampu taman di kompleks perumahan. "Halo. Kenalin, aku Mono, tapi bukan monopoli atau monochrom, ya," ucapnya dengan suara mendayu-dayu yang membuatku teringat dengan sosok rekannya Mas Fa yang merupakan seorang penata rias. "Halo, Mas Mono, aku Kenzo, bukan Ken Arok atau Ken Dedes, apalagi kentongan pos ronda," jawabku sembari mengulurkan tangan dan dijabatnya dengan cukup tegas. "Hai, Kenzo. Namaku Car
23Minggu pagi yang cerah kugunakan untuk mengajak Kai dan Khanza jalan-jalan. Aku menyadari bila waktu luangku bersama mereka kian sedikit terutama karena siang hari aku jarang ada di rumah, sebab akan berlatih di rumah Mas Fa sebagai persiapan membuat debut rekaman solo yang akan kami tawarkan ke semua rumah produksi. Aku benar-benar bersyukur memiliki sahabat seperti mereka yang sangat setia kawan. Masing-masing mencari cara agar bisa memperkenalkanku dengan produser musik. Bahkan Mas Mono dan Kak Carol juga antusias membantu, padahal kami baru kenal."Bang, aku mau itu," pinta Khanza sambil menunjuk ke penjual yang menyediakan aneka ikan hias dalam tempat plastik. "Jangan, Dek. Kasian ikannya," tolakku."Kenapa?" "Itu dia udah kesulitan bernapas. Nyampe rumah pasti mati." "Tapi kan lucu." "Iya, lucu. Tapi cara pengemasannya nggak sesuai prosedur. Apalagi ini lagi panas banget." "Produr? Apaan?" Aku mengulum senyum, sementara Kai sudah terkekeh. "Prosedur itu cara, Dek. Asal
24Sepanjang perjalanan menuju pusat perbelanjaan aku bergumam mengikuti lirik lagu yang baru ditugaskan Mbak Yeni untuk dihafalkan. Sekali-sekali aku akan melirik ke sopir cantik yang tengah menggoyang-goyangkan kepala dan mengetuk-ngetukkan jemari ke setir. Bila pandangan kami bertemu, aku akan menyunggingkan berbagai model senyuman. Dimulai dari mengulum senyum, tersenyum lebar, tersenyum dengan memperlihatkan sedikit gigi, dan terakhir melebarkan bibir hingga semua gigi terpampang. "Kamu tuh, ya, dari tadi cengengesan mulu!" protes Aleea. "Aku lagi sedekah ke kamu, Lea," kilahku. "Sedekah apaan?" "Senyum, kata pak ustaz, senyum itu juga sedekah." "Ibadah kaleee!" "Udah gantikah?" "Dari dulu emang gitu. Kamu aja yang ngaco!" "Jangan marah-marah, Lea sa ...." Aku cepat-cepat menghentikan ucapan dan merapatkan bibir sambil mengalihkan pandangan ke depan. "Sa apa? Sapu?" Aku tersenyum lebar sambil menoleh, kemudian berkata, "Mau bilang sayang, tapi takut kamu ngomel-ngomel.
25Enam puluh menit terlewati, kini kami sudah berada di dalam bioskop. Aku pada awalnya ingin mendapatkan tempat di barisan tengah, tetapi ternyata tiga deretan yang diinginkan itu sudah terisi penuh hingga terpaksa memilih kursi yang sedikit ke belakang. Kami duduk bersebelahan dengan pasangan yang kupikir sudah dewasa bila dilihat dari tampilannya. Kami sempat beradu pandang sesaat sebelum sama-sama fokus dengan pasangan masing-masing yang mengajak mengobrol. "Cowoknya kayak bule, ganteng," puji Aleea yang membuatku membatin karena sedikit iri."Ceweknya juga cantik, kayak artis," jawabku dengan suara tak kalah pelannya. "Dan mereka orang kaya, Ken." "Kamu tau dari mana?" "Jam tangan dan hapenya." Aku manggut-manggut. Mengenai kedua hal itu aku memang harus banyak belajar karena kurang memahami hal tersebut. Aku ikut mendengarkan ketika Aleea terlibat percakapan dengan perempuan cantik itu, sebelum kemudian mereka saling berjabat tangan sambil menyebutkan nama masing-masing.
26Mobil yang dikemudikan Aleea tiba di rumah beberapa menit sebelum azan magrib berkumandang. Mama menahan Aleea untuk pulang, pamali katanya. Terkadang aku bingung dengan bahasa pamali, apakah itu suaminya bumali? Atau adiknya kamali atau kakaknya dimali? Bingung 'kan? Abaikan. Kami diajak Papa untuk melakukan salat berjamaah. Seusai salat, aku berbalik ke belakang dan tertegun ketika melihat aura Aleea yang bersinar saat menggunakan mukena. Khayalanku mengembara, membayangkan Aleea mengenakan jilbab, pasti akan sangat cantik. Kala tatapan kami bersirobok, aku spontan tersenyum dan dibalas Aleea dengan hal serupa. Sodokan di lengan kiri membuatku menoleh dan terkejut ketika Papa mengeleng-geleng. Duh, ketahuan!"Lea, kita makan malam dulu, ya. Nanti pulangnya Kenzo yang antar," ujar Mama sesaat setelah berdiri. "Ehm, nggak usah, Tante. Aku langsung pulang aja, Kenzo nggak usah nganter," tolak Aleea. "Enggak bisa, di rumah ini peraturannya tamu itu harus makan, baru boleh pulang,
Persiapan menuju pernikahan dikebut. Aku mengurus semua surat-surat dengan dibantu Papa dan teman-teman. Mama bekerjasama dengan Mama Anita menyiapkan segala sesuatunya untuk acara akad nikah. Sedangkan untuk resepsi, semuanya diambil alih tim manajemen. Dikarenakan pestanya mendadak dan harus tertutup, akhirnya kami memutuskan acaranya diadakan di resor wilayah Bogor. Tempat itu merupakan area wisata milik rekan bisnis Om Yoga, sekaligus pengusaha senior yang merupakan salah satu penggiat bisnis terkenal. Hari berganti menjadi minggu. Persiapan yang dilakukan hanya dalam waktu empat pekan akhirnya tuntas. Saat ini aku dan rombongan telah tiba di resor. Kami diarahkan pegawai untuk menempati sisi kiri area. Sementara keluarga Aleea akan mengisi sayap kanan. Tim panitia yang dipimpin Mas David sengaja memisahkan kami agar bisa dipingit. Aku tidak bisa memprotes dan terpaksa menerima semua arahan pria berkulit kuning langsat, yang sejak awal kami datang sudah membentuk ekspresi seri
Suasana hening menyelimuti ruang kerja ini. Aku menelan ludah beberapa kali karena gugup. Om Yoga tengah mengobrol dengan seseorang melalui sambungan telepon, dan itu menyebabkanku gelisah karena harus menunggu. Setelah Om Yoga menutup sambungan telepon, kegugupanku kian bertambah seiring dengan tatapan tajam yang beliau arahkan padaku. Meskipun kami sudah cukup akrab, tetap saja dipandangi sedemikian rupa menyebabkan nyaliku menciut. "Lea sudah menceritakan mengenai lamaranmu padanya," ucap pria yang rambutnya dihiasi uban di beberapa tempat. "Kenapa kamu ingin menikah segera, Ken?" tanyanya. Aku terdiam sesaat untuk memaksa otak bekerja cepat. Setelahnya aku mendengkus pelan, kemudian menyahut, "Aku mencintai Lea, Om. Dan kami sudah sangat dekat. Aku juga takut kehilangannya." "Usia kalian masih sangat muda. Saya tidak yakin kalian sanggup meniti rumah tangga," balas Om Yoga. "Begini, Kenzo. Pernikahan tidak hanya tentang cinta. Ke depannya itu sangat berat untuk dilalui. Teruta
Detik terjalin menjadi menit. Putaran waktu terus melaju tanpa bisa ditahan oleh siapa pun. Musim hujan bergeser ke musim kemarau. Jalanan mulai berdebu karena jarang tersiram air dari langit.Makin mendekati hari keberangkatan Aleea ke London, aku makin gelisah. Bila kami tengah menghabiskan waktu bersama, aku kesulitan mengalihkan pandangan darinya karena aku ingin menyimpan setiap detail dari dirinya yang indah. Seperti hari ini, kami memiliki kesempatan untuk berkencan di Minggu malam. Mas Fa mengizinkanku tidak bekerja seharian karena aku sudah merengek meminta istirahat setelah sebulan penuh bekerja. Aleea tampak begitu cantik dan anggun. Gaun biru tua mengilat yang digunakannya memperjelas kulit putihnya yang bersih. Wajahnya yang sudah cantik, dirias tidak tebal yang membuatnya kian memesona. Rambut panjangnya dijepit sirkam di sisi kanan dan kiri, sisanya dibiarkan tergerai ke belakang. Aku nyaris tidak bisa mengalihkan pandangan dan terus-menerus mengamatinya. Rasa cinta
Saat paling mendebarkan pun tiba. Aku duduk di kursi bersama ketiga sahabat sembari menyatukan telapak tangan di ujung lutut. Ekspresi kami nyaris sama, yakni tegang. Pintu besar hitam di seberang seolah-olah seperti pintu menuju ruang penyiksaan. Kami masih menunggu giliran untuk masuk dan dicecar para dosen penguji. Kala namaku dipanggil petugas, kaki seketika terasa berat untuk dilangkahkan. Dengan menahan degup jantung yang menggila, aku mengayunkan tungkai menuju pintu dan membukanya. Setelah masuk dan menutup pintu kembali, aku meneruskan langkah hingga tiba di kursi tunggu di mana kedua teman sekelas tengah menunggu giliran masuk ke ruang penguji. Tiba waktunya aku menjalankan pengujian. Keringat dingin meluncur turun dari kepala hingga punggung. Aku yang sudah terbiasa menghadapi banyak orang. Namun, kali ini tetap gemetaran dan jantung pun jumpalitan. Seusai menyapa ketiga penguji, aku memulai memaparkan isi tugas akhir. Rasa percaya diri yang sempat lenyap saat masuk ke r
Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Tidak ada apa pun atau siapa pun yang sanggup menghentikan perputaran masa. Semuanya melesat tidak terbatas dan membuat setiap insan berlomba-lomba menguasai waktu. Hingga semua rutinitas berlangsung runut dan lancar. Demikian pula denganku. Hal serupa seperti masa awal kuliah dijalani dengan sungguh-sungguh. Aku benar-benar berusaha memanfaatkan setiap menitnya agar penyelesaian bab demi bab skripsi bisa berjalan tertib dan berhasil diselesaikan tepat waktu. Waktu cuti dari label musik hanya satu semester, artinya cuma enam bulan aku bisa mengerjakan tugas akhir dengan fokus maksimal. Lewat dari waktu itu, aku sudah harus berjibaku dengan melakukan rekaman album kedua, sekaligus masih terus mempromosikan album pertama. Tiba di penghujung minggu. Akhirnya aku bisa melepas penat dan menghabiskan waktu bersama kekasih tercinta. Tentu saja kami tidak pergi berdua saja, readers. Trio kwek-kwek dan kedua adikku juga turut serta. Demikian
"Hasil album pertamamu sudah lumayan naiknya. Walau nggak langsung hits, kamu harus tetap semangat, Ken," ujar Pak Daud sembari menepuk pundak kiriku. "Ya, Pak. Jujur, bisa nyampe di titik ini aku udah bahagia banget. Tanpa bantuan bapak-bapak di sini, mungkin selamanya aku hanya menjadi penyanyi kafe," tuturku sembari mengatupkan kedua tangan di depan dada. "Kami hanya membantu sedikit. Selebihnya usahamu yang sudah maksimal yang menjadikanmu cukup terkenal," cakap Pak Salim yang berada di kursi seberang. "Setelah kamu beres skripsi, kita langsung kerjakan penggarapan album kedua," ungkap Mas Benigno yang kubalas dengan anggukan. "Ya, Mas," jawabku. "Moga-moga nggak ada halangan dalam pembuatan skripsi," lanjutku. "Kapan dimulainya?" tanya Mas David. "Dua minggu lagi," paparku. "Berarti tampil di akhir pekan aja. Senin sampai Kamis fokus ke urusan kuliah." Aku mengangguk mengiakan. "Mas Fa udah nyetop semua jadwal panggung. Terakhir minggu ini." "Lebih baik memang beg
Sorot lampu dari berbagai arah membuatku silau. Aku mengerjap-ngerjapkan mata untuk membiasakannya menatap cahaya berkekuatan penuh yang mengiringi gerakan serta langkahku ke semua sudut panggung. Setelah lagu keenam, aku berpindah ke belakang panggung. Linda menggantikan posisiku untuk menyanyikan tiga lagu sebagai pengisi kekosongan. Aku membuka baju yang lembap dan melemparkannya ke tas biru tua di ujung kursi. Ijan mengulurkan handuk kecil merah dan aku mengambilnya untuk menyeka peluh di wajah serta leher. Ijan mengarahkan kipas kecil bertenaga baterai ke badanku. Sementara Sandy menyiapkan pakaian ganti. Belum hilang keringat, aku bergegas berganti pakaian dan berias seadanya. Rambut yang basah segera dikeringkan Ijan menggunakan hairdryer, sedangkan Sandy memegangi kipas elektrik sekaligus kipas konvensional. Teriakan Mas Fa yang tadi mengecek penampilan Linda menyadarkanku untuk bergerak lebih cepat. Pria berkemeja putih pas badan berpindah ke dekat kursi dan membantuku men
Mimpi buruk akhirnya menimpaku. Hal yang paling ditakuti oleh semua penyanyi adalah memburuknya kualitas pita suara. Aku diminta Papa untuk menghemat bicara. Selama beberapa hari di rumah aku membawa kertas dan pulpen ke mana-mana. Bila ada yang bertanya aku menjawabnya dengan tulisan. Semua jadwal kerja ditangguhkan hingga minggu berikutnya. Mas Fa dan yang lainnya benar-benar ketat pengawasan agar suaraku benar-benar pulih. Mereka bahkan melarangku berlatih karena takut suara kian rusak dan akhirnya menghilang.Waktu terus bergulir dengan kecepatan maksimal. Akhirnya suaraku kembali normal dan bisa bekerja lagi, walaupun porsinya sedikit. Jadwal manggung di tiga tempat hanya tiga hari di akhir pekan, empat hari berikutnya difokuskan pada promosi. Bulan berganti, aku dan teman-teman bersiap melakukan ujian. Seperti biasa, Humaira dan Tie menjadi andalanku untuk menjelaskan semua mata kuliah. Selain itu, setiap malam aku dan Ijan belajar bersama untuk mengejar ketertinggalan. "Ya,
Tepat pukul 07.00 WIB, aku dan kelompok keluar dari hotel menuju tempat wisata terkenal di daerah Lembang. Aku ikut dalam mobil yang dikemudikan Aleea. Nin dan Maia berada di kursi belakang. Sementara yang lainnya menaiki mobil SUV milik Papa. Suasana jalan raya yang padat, tidak mengurangi semangat kami untuk meneruskan perjalanan. Aleea mengemudi dengan cekatan dan membuatku terintimidasi karena masih belum lancar menyetir. Sesampainya di Farm House Susu Lembang, para gadis begitu heboh untuk melakukan swa foto. Gaya khas cerianya perempuan muda membuatku tersenyum menyaksikan tingkah mereka yang alami dan tanpa dibuat-buat. Namun, seruan beberapa orang membuatku meringis karena dikenali sebagai artis baru. Mau tidak mau aku melayani acara foto bersama dan sesi tanda tangan. Sedapat mungkin berusaha ramah meskipun sudah ingin kabur dan melanjutkan berlibur. "Sudah cukup, ya, Akang-akang dan teteh-teteh. Abang Kenzo mau berwisata dulu," tutur Ijan sembari memegangi pundakku. "Per