"Panggilan kepada Gaffar Adi Pratama kelas 12-IPS 5 harap segera menuju ruang kepala sekolah. Sekali lagi, panggilan kepada Gaffar Adi Pratama kelas 12 IPS-5 harap segera menuju ruang kepala sekolah. Terima kasih."
Seorang lelaki yang kini sedang duduk sendirian di meja pojok kantin yang tengah menikmati gorengan, bersikap seolah tak terjadi apa-apa pada dirinya. Padahal, baru saja namanya dipanggil menggunakan pengeras suara yang bisa didengar pada tiap sudut sekolah.
"Woi, Gaffar. Selain brandalan, ternyata lo budek juga, ya?" Teriak seorang lelaki bernama Putra yang dikenal sebagai rival Gaffar.
Teriakkan Putra tak menghasilkan sahutan dari Gaffar yang justru tetap menikmati gorengannya dengan lahap.
Brak!
Mendengar suara gebrakan pada mejanya itu, Gaffar terlonjak kaget. Untung saja, tidak tersedak.
Gaffar memandang Yoga yang notabene adalah ketua osis di SMA Harapan dengan raut wajah tak suka.
"Gue punya salah apa ya sama lo. Sampe lo ganggu gue. Perasaan gue nggak ganggu lo tuh."
"Wahai Kak Gaffar yang terhormat. Tadi nama kak Gaffar dipanggil di pengeras suara dan harusnya Kakak menghampiri ruang kepala sekolah dan menanyakan ada apa. Bukan duduk santai disini dengan makan gorengan dan jasjus, Kak. Tadi juga sudah diteriakin sama Kak Putra, tapi Kak Gaffar seolah nggak peduli," ujar Yoga dengan tangan yang bersilah dada.
"Tanpa lo ngomong, gue juga denger," bela Gaffar kepada dirinya sendiri.
"Terus kenapa Kakak nggak ke sana sekarang?" Tanya Yoga dengan posisi yang kini bersandar pada meja kantin.
"Terserah gue, dong. Mau ke sana kek, mau nggak kek. Apa urusannya sama lo?" Ejek Gaffar dan dengan santainya menyedot jasjus rasa jambu yang berada pada gelasnya yang kini tinggal separuh.
"Tolong Kak, jaga sopan santun Kakak dengan guru! Sekarang Kakak mending ke ruang kepala sekolah, barangkali udah ditungguin, Kak," Seru Yoga.
"Apa tadi lo kata? Sopan? Tau apa lo tentang sopan santun? Kalo lo sendiri aja belum bisa nerapinnya. Dengan nggak tau dirinya datang langsung menggebrak meja dan teriak-teriak nggak jelas. Itu yang lo bilang sopan santun? Katanya ketua osis, masa kelakuannya begini. Kan disini gue yang berperan sebagai berandalan. Kok lo ikutin peran gue sih?! Inget, lo itu masih adik kelas. Yang seharusnya tunduk dan jaga sikap dengan kakak kelas. Bukannya malah nasehatin orang nggak bener." Setelah Gaffar menyelesaikan ucapannya yang panjang. Gaffar langsung menuju ke ruang kepala sekolah.
Bagi Gaffar, dipanggil menggunakan pengeras suara bukanlah hal yang baru. Ini sudah menjadi kesekian kalinya masuk ke ruang kepala sekolah.
Sebenarnya, Gaffar juga bingung ada apa dirinya dipanggil menuju ruang kepala sekoah. Padahal Gaffar merasa belum berbuat ulah hari ini.
Tanpa mengucap salam dan langsung duduk di sofa yang nyaman Gaffar mengatakan, "Ada apa panggil saya? Kangen?"
"Diam kamu!" Seru lelaki tua yang kini sedang duduk di kursi keberasannya.
"Apa lu Kakek tua?!" Sahut Gaffar.
Kakek tua yang dimaksud Gaffar adalah kepala sekolah SMA Harapan. Rambutnya yang sudah beruban, membuat Gaffar memanggilnya dengan sebutan Kakek tua. Kini kakek tua yang dipanggil oleh Gaffar sepertinya akan mengeluarkan kata-kata yang merendahkan. Namun, segera ditahan oleh Bu Diah. Bu Diah, daebak!
"Gaffar, nada bicaramu bisa dipelankan sedikit?" Tanya Bu Diah dengan lembut seperti sutra.
"Saya juga nggak mungkin bicara dengan nada keras, kalo dia nggak ngebentak saya duluan, Bu." Gaffar menunjuk kepala sekolah itu.
"Oke, sudah ya. Sekarang tenang dan nggak usah tunjuk-tunjuk seperti itu," ujar Bu Diah dengan menurunkan tangan Gaffar supaya tidak menunjuk sang kepala sekolah lagi. "Lalu kita bicarakan semuanya secara baik-baik."
"Oke," jawab Gaffar.
"Jadi gini, Ibu mewakili kepala sekolah dan seluruh guru merasa kecewa dengan tingkah kamu Gaffar," ujar Bu Diah yang terlihat sedikit menahan emosi.
"Hah, tingkah yang mana ya, Bu? Perasaan dari dulu saya begini," Jawab Gaffar dengan santainya menyenderkan badannya pada sofa yang tersedia.
"Perjanjian untuk tidak menggambar mural di tembok belakang sekolah sudah kamu langgar, Gaffar!" Seru Bu Diah yang membuat Gaffar agak kaget. Pasalnya, Bu Diah terkenal akn kesabarannya lalu mengapa kini membentak?
"Gambar yang mana bu?!" Tanya Gaffar dengan nada agak sedikit meninggi.
"Gambar seorang perempuan sedang tertawa!" Jawab Bu Diah yang spontan membuat Gaffar kebingungan.
"Dih, perasaan saya nggak pernah tuh gambar begituan," jawab Gaffar dengan penuh keyakinan.
"Nggak usah ngelak kamu! Di sekolah ini cuma kamu yang berani menggambar mural di tembok sekolah dan secara terang-terangan bangga dengan hal bodoh seperti itu." Kepala sekolah yang sedari tadi menahan emosinya, akhirnya pecah juga.
"Kan udah gue bilang, diem deh lo kakek tua! Serangan jantung, abis lo!" Gaffar kembali menunjuk kepala sekolah itu dengan sorot mata yang kian ingin membunuh.
"Sstt, sudah-sudah. Kok malah ribut." Bu Diah berusaha menenangkan perdebatan tidak berguna antara kepala sekolah dan murid berandalannya.
"Gimana Gaffar, mana janji kamu?!" Tanya Bu Diah saat situasi sudah kembali kondusif.
"Saya nggak ngerti Ibu ngomong apa?! Saya nggak paham soal gambar perempuan itu, Bu!" Jawab Gaffar dengan tegas.
"Terus kalo bukan kamu yang gambar, terus siapa?!" Mendapat jawaban yang tak sesuai dengan keinginanya, Bu Diah merasa geram dengan anak muridnya satu ini.
"Mana Saya tau!"
"Ayo Ibu antar ke tembok belakang sekolah supaya kamu tau gambarnya." Bu Diah bangkit dari duduknya kemudian disusul oleh Gaffar.
"Oke, ayo." Gaffar melangkahkan kakinya mengekori Bu Diah.
Dengan keyakinan kuat Gaffar melangkah dibelakang Bu Diah. Penasaran seperti apa sih lukisan yang dimaksud oleh Bu Diah.
Setelah melewati koridor kelas, mereka pun sampai di tembok belakang sekolah yamg sangat sepi. Di sana terdapat lukisan-lukisan yang digambar oleh Gaffar yang terlihat sudah berlumut.
Namun ada lukisan yang masih terlihat baru. Mungkin ini lukisan yang dimksud oleh Bu Diah. Gaffar mendekat ke arah lukisan itu dan langsung takjub dengn hasil lukisanya. Keren!
Tapi ....
"Ini bukan saya Bu yang gambar!"
"Punya alasan apa kamu, bahwa bukan kamu yang gambar?!" Tanya Bu Diah yang seolah memojokkan Gaffar.
Mendengar perkataan Bu Diah, Gaffar benar-benar merasa terpojokan. Ia pun mencari alibi sebagai pembelaan dan untuk menepis perkataan dari Bu Diah."Ibu kan tau, kalau saya ini biasa nggambar dan melukis pake cat semprot bukan cat air seperti ini. Mana ada duit Bu saya buat beli cat air ini," bela Gaffar."Kamu fikir saya percaya?!" Seru Bu Diah yang kini sudah terpancing emosi."Males ah kalo disuruh mikir!" Jawab Gaffar seolah tak peduli dengan amarah Bu Diah yang sudah di ubun-ubun."Gaffar!""Apa sih?"Bu Diah terlihat mengelus dada meladani manusia setengah waras seperti Gaffar."Bicara dengan nada sopan dan nggak boleh ngegas. Inget?!" Bu Diah memperingatkan Gaffar untuk berperilaku santun."Iya iya iya, Bu.""Jadi ini mau gimana? Masalahnya, kepala sekolah mengancam pelaku pembuat mural ini akan dikeluarkan dari sekolah, Gaffar!" Bu Diah pun ikut pusing meladeni masalah ini."Hanya karena sebuah
Gaffar memih melanjutkan merapihkan cat semprotnya. Setelah semua tersusun dalam kardus, ia letakkan di lemari penyimpanan khusus yang digunakan untuk mengoleksi spray paint.Setelah semuanya usai, Gaffar kembali melanjutkan niat awalnya untuk makan yang tertunda karena ulah sang Kakak. Saat berada di meja makan, Gaffar membuka tudung saji disana dan hasilnya zonk. Ia tidak menemukan makanan pun disana."Mba Mei!" Dengan tidak tahu dirinya, Gaffar berteriak mencari keberadaan sang Kakak seolah tidak terjadi apa-apa setelah kemarahan Mei tadi. Ia melangkah ke ruang tamu, kamar milik Mei hingga halaman belakang tapi tak kunjung menemukan sang Kakak."Udah berangkat kerja nih pasti," tebaknya.Gaffar melangkah kembali menuju ruang makan dan terduduk lesu disana."Laper, nggak ada makanan. Nggak bisa masak lagi, gue. Sialan." Keluh Gaffar.Gaffar merogoh sakunya dan menemukan selembar uang 20.000,- dan menatapnya dengan i
Setelah dengan susah payah membujuk Sandra, akhirnya Sandra bersedia untuk membantu Gaffar. Tidak dengan cuma-cuma, namun dengan beberapa persyaratan diantaranya yaitu Sandra meminta saat penilaian seni rupa nanti, Gaffar harus membuat gambar untuknya namun atas nama sandra. Mengingat Sandra sangat tidak bisa dalam hal seni. Hal itu diterima dengan senang hati oleh Gaffar."Ehh, ada Gaffar," ujar seorang perempuan paruh Nara yang datang dari pintu belakang warteg.Mendengar perkataan tersebut, sontak membuat Gaffar dan Sandra mengalihkan pandang ke sumber suara yang muncul dari pintu belakang warteg."Ehh, iya bu." Gaffar terseyum dan tanpa ragu menyalami tangan yang dipangil ibu tersebut."Sudah selesai beres-beresnya, bu?" Tanya Sandra."Sudah, mending kamu ke rumah aja gih. Ajak Gaffar sekalian, biar ibu yang jaga wartegnya.""Gaffar udah mau pulang kok, bu." Bukan Gaff
Keesokkan harinya, saat di sekolah Gaffar tak bisa berhenti memikirkan kasus yang sedang dihadapi olehnya. Sebenarny, Gaffar bisa saja bersikap bodoamat. Namun, masalahnya ia harus memikirkan perasaan sang kakak yang pasti akan marah besar jika ia dikeluarkan dari sekolah."Gimana, rencana kita nanti?" Tanya Gaffar kepada Dani yang kini sedang berada di kantin menikmati bakso dari mang Dede."Gas, udah lama juga gue nggak ngelakuin hal nekat," sahut Dani dengan santainya."Keseringan bucin sama si Caca sih lo," ejek Gaffar."Banyak omong, lo. Yang penting nanti pulang sekolah kita jalanin sesuai rencana." Gaffar mengangguk dan mengacungkan jempolnya.Saat mereka tengah asik dan terfokus pada makanannya. Tiba-tiba seorang perempuan duduk di sebelah Gaffar tanpa permisi. Sudah dipastikan, siapa pelakunya."Kenapa lo?" Tanya Gaffar dengan raut wajah yang bingung."Benci banget gue sama Pak Rian, masa gue dis
"Ruang TU jam segini biasanya udah sepi, San. Jadi tenang aja. Nanti kalo ada guru yang tanya, gue tinggal bilang, saya lagi nyari berkas yang disuruh Ibu saya. Gampang kan?" Sandra menganggukan kepalanya. Benar juga yang diucapkan oleh Dani. Tumben sekali dia cerdas. Biasanya di otak dia hanya berisi tentang Caca."Ya udah, tapi gue jaga di depan ruangan aja, ya. Lo berdua yang masuk." Akhirnya Sandra menyetujui ajakan dari Gaffar."Nah gitu dong dari tadi, yuk." Mereka bertiga pun langsung menuju ruang TU untuk mengambil berkas data siswa.Setelah meninggalkan ruang kelas, mereka langsung bergegas menuju ruang TU yang terlihat sepi dari luar."Sana masuk, gue jaga disini.""Ya udah kita masuk, kalau ada yang mencurigakan, langsung kasih aba-aba ya, San. Jadi, gue sama Dani bisa ngumpet." Sandra menganggukan kepala dan mengacungkan jempolnya.Untungnya, kamera pengintai CCTV di ruang TU tidak berfungsi dengan baik, j
Setelah kepergian Gaffar, Sandra menatap Dani dan Caca yang dengan santainya masih duduk manis di rumah Sandra tanpa menghiraukan Sandra yang sudah muak. "Terus lo berdua kenapa masih disini? Rumah gue bukan tempat pacaran. Jadi, mending lo berdua pulang juga gih. Masalah ini kita lanjut besok," usir Sandra dengan raut wajah yang tidak suka.Gaffar pulang dengan keadaan kepala pusing karena memikirkan hal yang sebenarnya tidak perlu dipusingkan. Awalnya Gaffar merasa tidak enak kepada Sandra, Dani dan Caca yang harus terlibat juga untuk membantu kasus Gaffar. Namun, Gaffar menepis rasa tidak enak itu, toh apa gunanya teman jika tidak bisa dimintai tolong saat salah satu diantara mereka sedang kesusahan."Ini semua gara-gara Kakek tua sialan." Gaffar membuka pintu rumahnya dengan keras sehingga membuat Mei, Kakak Gaffar tersentak."Apaan sih lo, dateng-dateng teriak nggak jelas. Salam kek, sopan dikit dong. Jangan mancing keributan!" Ser
Selama pelajaran berlangsung, Gaffar tidak terfokus pada guru yang menjelaskan materi di dalam kelas. Ia sibuk melamun memikirkan perkataan dari Bu Diah tadi. Bagaimana jika dalam 2-4 hari ke depan ia belum menemukan pelaku dari pembuat mural itu? Sudah dipastikan ia akan dikeluarkan dari sekolah. Gaffar takut membuat Mei, sang Kakak marah dan kecewa karena perlakuannya."Woy, Gaff. Kantin, yuk," ajak Dani yang tidak ditanggapi oleh Gaffar."GAFFAR!" Seru Dani yang tak kunjung digubris oleh Gaffar. "Apaan sih?" Tanya Gaffar yang menatap Dani tak suka."Ngelamun terus. Kemasukan jin tau rasa lo," ejek Dani menatap Gaffar yang seperti orang kebingungan."Kemarin data siswa yang udah dicatet gue simpen dimana, ya? Kok nggak ada sih?" Tanya Gaffar yang kini tengah membuka tas miliknya dan mencari note book yang digunakan untuk mencatat nama-nama yang dicurigai."Nah kan, makanya jangan sembarangan kalo nyimpe
Banyak yang menganggap Gaffar adalah pemuda yang urakan, brandalan dan nakal. Benar, memang begitulah kenyataannya. Namun, tak jarang diketahui pula, Gaffar adalah seorang yang sangat tulus dan sedikit sensitif. Dari sana, emosinya tidak stabil dan membuat kegaduhan.Tidak ada asap jika tidak ada api. Begitulah Gaffar. Tidak akan membuat masalah jika tidak ada penindasan.Ini bermula saat Gaffar masih duduk di bangku SMP, saat itu ia sering bergaul dengan kakak kelasnya yang berandalan. Mulai dari membolos, tawuran, bahkan mengikuti konvoi saat kakak kelasnya merayakan kelulusan. Benar, Gaffar memang sangat nakal pada saat itu. Mungkin karena dia masih remaja labil yang belum memikirkan masa depan. Ditambah lagi, pada saat itu ia tidak diperhatikan. Dimana kondisi keluarganya yang hancur. Kedua orangtuanya tewas dalam sebuah kecelakaan dan sang kakak terpaksa banting tulang bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan Gaffar demi menyambung kehidupan.
Tidak ada sahutan sama sekali dari Gaffar saat Bu Diah selesai mengatakan hal tersebut. Padahal Bu Diah merasakan jelas deru napas Gaffar yang tidak beraturan menandakan emosinya sedang tidak stabil.Bu Diah memegang bahu Gaffar dan ia mengelus dengan penuh cinta. Tanpa disadari, air mata Gaffar sudah lolos begitu saja dari pelupuk matanya. Bu Diah yang menyadari hal tersebut dan langsung memeluk Gaffar dengan erat. Untungnya susasana sekolah sudah sepi, jadi tidak ada yang melihat kejadian ini selain terpantau kamera cctv.Gaffar tidak membalas pelukan Bu Diah. Tangisnya pecah begitu saja saat Bu Diah mengelus bahunya dan beberapa kali mengelus kepalanya. Rasanya sudah lama sekali ia tidak mendapat perlakuan seperti ini. Ia merindukan dekap hangat seseorang yang menenangkannya saat dunia sedang tidak ramah. Ia juga perlu rumah untuk mengistirahatkan beban yang sudah lama ia tanggung sendiri dan tidak tau harus ia luapkan kemana. "Saya nggak t
Setelah memakan ketoprak selesai, Kayla pun membayar dengan uang pas. Sebelum beranjak dari tempat tersebut, ia meneguk habis segelas air putih yang disediakan sang penjual.Ia benar-benar bingung harus pulang kemana. Pencarian tentang Panti Asuhan Kasih Bunda di internet tidak membuahkan hasil sama sekali. Bertanya pada orang-orang pun tidak ada yang mengerti. Terlebih, Bi Asri, Pak Joko, Pak Felix dan beberapa nomor yang tidak dikenal terus menghubunginya tanpa henti.Hal tersebut membuat Kayla semakin risih. Hingga ia memilih untuk mematikan saja handphone miliknya. Biarkan saja semua orang gempar akan kepergiannya. Ia sudah tidak peduli.Hingga malam yang terus larut, suasana kota yang mulai senyap membuat Kayla benar-benar merasa seperti orang hilang. Langkah kakinya membawa ke sebuah bawah jembatan yang kumuh. Ia memilih untuk duduk disana dan menyenderkan tubuhnya pada salah satu tembok yang menjulang. Biarkan saja
Karena akal cerdas dari Bi Asri, ia memiliki sebuah ide. Bahwa ia akan membantu Kayla untuk keluar dari kamar mandi. Tentunya, secara diam-diam tanpa sepengetahuan dari sang tuan.Naluri keibuannya tidak bisa dibantah, bahwa melihat seorang anak yang tersiksa. Hatinya ikut teriris ketika mendengar jeritan rasa sakit dari Kayla yang sudah ia anggap sebagai anak.BrakkDobrakan pintu dari Pak Joko membuat Bi Asri histeris karena melihat kondisi Kayla yang begitu mengenaskan. Mereka pun membopong tubuh Kayla untuk keluar dari kamar mandi."Nyonya, bangun. Aduh, iki piye? Tolong, kamu ambil miyak kayu putih di meja," suruh Bi Asri kepada Pak Joko.Sambil menunggu Pak Joko mengambil minyak kayu putih dan menyiapkan alat-alat yang sekiranya bisa membantu Kayla untuk bangun, Bi Asri memilih membantu mengganti pakaian Kayla yang sudah basah dan ada beberapa bercak darah disana.Uh
Di sebuah kota di Negara Swedia terlihat seorang perempuan dengan rambut panjang tengah menatap dunia luar melalui kaca jendela yang berada di kamarnya. Ia iri melihat tawa teman-temannya yang begitu bahagia menikmati masa mudanya dengan berbagai pengalaman yang menyenangkan. Bukan seperti dirinya yang hidup penuh dengan aturan dan tuntutan."Permisi, nyonya. Ini makan siangnya saya letakkan di meja, ya. Saya permisi."Suara asisten rumah tangga itu membuat perempuan itu mengaluhkan pandangannya dan menatap makanan itu. Selera makannya tidak ada. Bahkan makanan pagi tadi pun masih tersisa di meja makan. Tergeletak begitu saja tanpa berniat untuk dibereskan.Ia memilih untuk mengambil air putihnya dan meminum hingga tersisa separuh.Inilah kehidupannya, penuh dengan tuntutan.Tok tok tok"Permisi, Kayla. Boleh Ayah masuk?""Masuk aja, pintunya nggak dikunci!"Dari balik pintu menampilkan
Perjalanan Gaffar menuntun pada tempat pembuangan gerbong kereta api yang sudah tidak terpakai kemarin. Ini hanya satu-satunya tempat yang bisa dijadikan untuk meluapkan emosinya.Gaffar berbaring diatas gerbong kereta dengan air mata yang mulai menetes begitu saja. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan yang dialami sang Kakak akibat perbuatan bejat manusia bernama Bagas.DorrSatu suara tembakan yang dilayangkan ke udara membuat Gaffar tersentak. Sehingga membuatnya bangun dan mencari dimana sumber suara tembakan tersebut.DorrTembakan kedua kembali berbunyi dan sukses membuat Gaffar sedikit bingung akan situasi dan kondisi yang terjadi. Ada apa ini sebenarnya? Terlebih saat ia melihat kearah bawah dan menemukan laki-laki bertubuh kekar yang membawa senjata api."KELUAR ATAU SAYA BAKAR TEMPAT INI!" Teriak salah satu diantara mereka dengan lantangnya.Melihat keadaan yang cukup menegangkan, Gaffa
Saat dirasa kondisinya sudah membaik dan kini sang Kakak sudah terlelap dalam tidurnya setelah meminum obat yang diberikan Gaffar kini ia sedikit menarik napas lega.Gaffar tidak pernah menyangka jika kondisi sang kakak akan separah ini karena tekanan dari keadaan yang teramat sulit. Terlebih kondisi ekonomi benar-benar membuat situasi menjadi semakin rumit.Kini Gaffar duduk di teras rumah sambil memandang langit malam yang begitu damai. Pikirannya kalut, matanya membara dipenuhi api. Ia benar-benar marah kepada Bagas, kekasih Mei yang sangat kurang ajar. Meskipun ia belum mengetahui pasti permasalahan apa yang tengah mereka hadapi. Tapi, ia bersumpah akan menghabisi Bagas sampai ia bertekuk lutut dihadapannya.Dengan tarikan napas panjang, Gaffar bangkit dari kursi kayu yang ia duduki dan langsung bangkit untuk mengendarai motornya menuju ke suatu tempat.Saat tengah melajukan motornya di jalan Merpati 04 seorang perempuan dengan
Mei menangis karena kebodohannya sendiri. Memang, terlihat fana jika menangisi uang. Bahkan terdengar sangat lebay. Namun, ia hanyalah manusia biasa yang jika merasa kehilangan pasti akan bersedih.Hingga waktu sudah menjelang sore, ia tidak berani pulang ke rumah. Ia harus mengatakan apa kepada Gaffar perihal kondisi ekonominya yang begitu sulit. Ia tidak punya jawaban untuk menjawab tiap pertanyan yang pasti akan dilontarkan Gaffar kepadnya.Sebuah ide muncul di kepala Mei. Ia harus bertemu dengan Bagas. Manusia bajingan itu hanya satu-satunya cahaya semu yang belum tentu mampu diharapkan.Mei berjalan dengan separuh tenaganya yang tersisa. Penampilan yang sudah tidak karuan, rambut yang berantakan dan mata yang sembab membuatnya seperti orang yang tidak terurus.Saat tiba di rumah sederhana milik Bagas, terdapat sebuah sepeda motor yang terparkir disana pertanda sang pemilik rumah ada di dalamnya. Pintunya juga terbuka, tidak seperti
Terkadang, semesta hanya memihak kepada mereka yang memiliki kekuasan terlalu banyak. Bahkan, beberapa diantaranya tak pernah merasa cukup atas nikmat yang telah didapat. Tanpa mereka ketahui, bahwa diluar sana banyak yang membutuhkan uluran tangan untuk meminta bantuan. Menjadi anak perempuan pertama memang sangat sulit bagi Mei. Terlebih, ia harus bekerja keras untuk menjadi tulang punggung keluarga. Disaat banyak perempuan seusianya sibuk nongkrong dan menikmati masa muda, ia disibukkan dengan tangungjawab yang begitu besar. Harusnya, Mei kini tengah menempuh pendidikan di bangku kuliah. Menjadi seorang perawat yang ia cita-citakan sedari kecil. Namun, realita menamparnya untuk tidak berkhayal terlalu tinggi. Disinlah sekarang, duduk sendirian di halte bus dengan amplop coklat berisi surat lamaran pekerjaan yang sedaritadi berada pada tangannya. Ia menyeka ker
Saat Gaffar berjalan menuju kelasnya dengan memegang satu bukunya. Ia menabrak seorang perempuan yang sedari tadi berjalan menunduk. Beberapa bukunya yang tadi berada di tangan perempuan tersebut terjatuh."M-maaf, Kak.""Kalo jalan itu matanya dipake," seru Gaffar. Dengan kebaikan hatinya, Gaffar pun membantu perempuan tersebut memungut bukunya yang berceceran di lantai."T-terima kasih, Kak," ujar perempuan tersebut.Gaffat tersentak saat mengetahui bahwa perempuan tersebut adalah perempuan yang ia labrak kemarin."Lo lagi lo lagi. Males banget gue lihat muka lo." Gaffar langsung beranjak darisana meninggalkan Kiara yang kini memaku di tempat dengan wajah tegangnya.Saat Gaffar memasuki kelas, ia disambut oleh Sandra yang sedari tadi sudah berada di depan ruang kelasnya dengan tangan yang bersilah dada."Dateng juga lo akhirnya," seru Sandra menyambut ke