Setelah dengan susah payah membujuk Sandra, akhirnya Sandra bersedia untuk membantu Gaffar. Tidak dengan cuma-cuma, namun dengan beberapa persyaratan diantaranya yaitu Sandra meminta saat penilaian seni rupa nanti, Gaffar harus membuat gambar untuknya namun atas nama sandra. Mengingat Sandra sangat tidak bisa dalam hal seni. Hal itu diterima dengan senang hati oleh Gaffar.
"Ehh, ada Gaffar," ujar seorang perempuan paruh Nara yang datang dari pintu belakang warteg.
Mendengar perkataan tersebut, sontak membuat Gaffar dan Sandra mengalihkan pandang ke sumber suara yang muncul dari pintu belakang warteg.
"Ehh, iya bu." Gaffar terseyum dan tanpa ragu menyalami tangan yang dipangil ibu tersebut.
"Sudah selesai beres-beresnya, bu?" Tanya Sandra.
"Sudah, mending kamu ke rumah aja gih. Ajak Gaffar sekalian, biar ibu yang jaga wartegnya."
"Gaffar udah mau pulang kok, bu." Bukan Gaffar yang menyahuti omongan ibu. Namun, justru Sandra yang menyahuti. Karena Ia sudah muak dengan Gaffar.
"Ehh kata siapa, nggak kok bu, Gaffar belum mau pulang." Ibu Sandra tersenyum. Ia sudah paham akan tingkah mereka yang selalu seperti kucing dan anjing. Tak pernah akur.
Karena sejak kelas 10 Gaffar sering mampir di warteg Bahari milik orang tua Sandra, jadi sudah akrab.
"Sudah, nggak papa, San. Ajak Gaffar ke rumah. Tadi ibu habis bikin sale pisang. Emang kamu mau di ganggu sama kang Agus?! Tuh lihat, lagi ngobrol di depan sama penjual siomay. Pasti sebentar lagi dia kesini." Ibu Sandra menunjuk ke luar.
Mendengar kata Kang Agus, Sandra langsung melotot. Pasalnya, ia adalah orang yang sandra sangat benci karena dia senang menggoda Sandra untuk dinikahi. Cuihh.
Dengan cepat, Sandra langsung meninggalkan warteg lewat pintu belakang dan pulang ke rumah. Hal itu membuat ibu Sandra tertawa terbahak-bahak dan Gaffar yang bigung.
"Kang Agus itu siapa, bu?" Tanya Gaffar.
"Juragan krupuk kulit. Dia duda ditinggal istrinya yang meninggal. Seneng banget ngeledekin Sandra untuk dinikahi. Padalah cuma bercanda, tapi Sandra nganggepnya serius." Ibu Sandra geleng-geleng menceritkan kekonyolan antra Kang Agus dan tingkah Sandra.
"Untung cuma bercanda ya, bu. Karena kalo serius, saya pasti sakit hati banget. Karena kan nantinya Sandra yang akan menikah dengan saya, haha." Tawa Gaffar meledak dengan asiknya.
"Aduh, perut ibu sakit ketawa terus. Sudah gih sana, susulin Sandra di rumah, ibu mau cuci piring dulu."
"Siap bu." Gaffar pun dengan tak sopannya melangkah meninggalkan warteg dan langsung menuju rumah Sandra yang lokasinya tepat di belakang warteg.
Gaffar langsung masuk tanpa mengetok pintu terlebih dulu. Dengan sombongnya pun langsung duduk di kursi tanpa dipersilahkan.
"Kok sepi, sih?" Tanya Gaffar yang melihat kondisi rumah sandra.
"Sandra," teriak Gaffar.
Tak ada sahutan, Gaffar pun berteriak kembali. "Sandra."
Bugh.
Satu bantal mengenai kepala Gaffar dengan mulus. Sehingga membuat targetnya menyerit kesakitan.
"Aww, sakit."
"Siapa suruh, teriak di rumah orang sembarangn. Lu kira ini hutan?!" Sandra duduk di kursi berhadapan dengan Gaffar.
"Lagian lo dipanggil nggak nyaut."
"Gue lagi di kamar mandi."
Gaffar hanya berdecih mendengar alasan klasik dari Sandra.
"Bapak lo kemana, San? Tumben sepi. Biasanya ngopi di depan."
"Ngapain lo tanya bapak gue?!"
"Mau minta izin untuk dinikahi anaknya," goda gaffar dengan senyuman iblisnyaa.
Bugh.
Satu bantal lagi mengenai Gaffar dengan mudahnya. Hal itu kembali membuat Gaffar merintih kesakitan.
"Jangan alay, bisa nggak?!" Seru Sandra.
"Kan gue cuma tanya bapak lo dimana San," sahut Gaffar.
"Bapak gue lagi pergi ada urusan. Kenapa lo? Kangen?!"
"Udahlah, cape gue teriak-teriak mulu ngomong sama lu. Jadi sekarang mau gimana?"
"Gimana apanya?!"
"Kasus gue, San."
"Lo cari tau siswa sma harapan yang inisial namanya huruf k dan y."
"Gila, kan muridnya hanyak banget. Ada saran lain nggak?"
"Nggak ada. Lo kan tau otak lo dan gue itu pas-pasan disuruh mecahin kasus beginian. Ya nggak bakalan bisa lah."
"Bodo amatlah. Nanti besok gue nyoba minta daftar siswa kali ya di tiap kelas."
"Jangan, kelamaan."
"Terus gimane?"Gaffar geram akan pernyataan dari Sandra yang membuatnya naik pitam.
"Temen lo si Dani kan anaknya bu Tari guru TU. kenapa lo nggak minta bantuan dia aja untuk nyolong daftar siswa sma harapan. Jadi kan nggak perlu keliling. Capek bego. Udah kaya ngepet aja, keliling," cibir Sandra.
"Ehh iya juga ya. Gue suruh dia kesini ya. Biar besok bisa langsung action."
"Terserah lo."
"Tapi gue pinjem hp lo ya. Hp gue nggak punya kuota, pulsa juga nggak punya." Sandra dengan sangat terpaksa langsung melempar hpnya ke Gaffar dan ditangkap dengan gesitnya. Males berdebat.
"Makasih cantik." Sandra berdecak kesal.
Setelah beberapa saat Gaffar menghubungi Dani--teman Gaffar. Akhirya, Dani tiba dengan Caca. Yang tak lain dan tak bukan dalah anak kelas sebelah yang menjadi kekasihnya.
"Sialan lo, gue mau pacaran malah ditelpon suruh kesini." Dani tiba degan mulut yang terus mengomel.
"Pacaran terus, nggak ngerti apa lo sahabat lo disini sedang kesusahan," sahut Gaffar yang kini melirik tajam ke arah Dani.
"Perkara yang tadi di sekolah?" Gaffar mengangguk.
"Terus lo butuh bantuan apa? Ngomong cepet."
Akhirnya Gaffar menjelaskan bantuan apa yang harus dilakukan oleh Dani.
"Oke, itu gampang. Gue balik ya." Dani bangkit dari duduknya dan bersiap untuk menggandeng Caca bangkit mengajaknya beranjak dari rumah Sandra.
"Nggak ah, gue mau disini." Caca mendekat ke arah Sandra untuk meminta perlindungan.
"Ehh, kok gitu sih ay?" Tanya Dani yang kebingungan.
"Gue mau disini aja main sama Sandra. Udah lama gue nggak kesini tau." Sandra merangkul Caca deng menjulurkan lidahnya ke arah Dani yang menampakkan wjha kusam.
"Caca lebih milih gue, mampus lo," ledek Sandra.
"Sialan, masa gue sama si kampret Gaffar."
Gaffar hanya cengengesan mendengar perkataan Dani. Seraya mengedipkan matanya jail.
"Nonton film aja yuk. Daripada gabut," ajak Caca.
"Film apa ya enaknya?" Sahut Sandra.
"Film yang mantap-mantap gimana?" Ujar Dani dan langsung mendapat cubitan di perutnya oleh Caca.
"Ampun mba jago."
"Kalo mau nonton yang mantap-mantap, sana gih di rumah lo. Gue sih ogah. Nonton horror aja, ya."
Setelah mereka menyetujui saran dari Sandra, mereka pun menonton film dengan genre horror hingga berjam-jam. Sampai makanan sale pisang, teh dan kopi yang telah disiapkan oleh Sandra ludes habis.
Keesokkan harinya, saat di sekolah Gaffar tak bisa berhenti memikirkan kasus yang sedang dihadapi olehnya. Sebenarny, Gaffar bisa saja bersikap bodoamat. Namun, masalahnya ia harus memikirkan perasaan sang kakak yang pasti akan marah besar jika ia dikeluarkan dari sekolah."Gimana, rencana kita nanti?" Tanya Gaffar kepada Dani yang kini sedang berada di kantin menikmati bakso dari mang Dede."Gas, udah lama juga gue nggak ngelakuin hal nekat," sahut Dani dengan santainya."Keseringan bucin sama si Caca sih lo," ejek Gaffar."Banyak omong, lo. Yang penting nanti pulang sekolah kita jalanin sesuai rencana." Gaffar mengangguk dan mengacungkan jempolnya.Saat mereka tengah asik dan terfokus pada makanannya. Tiba-tiba seorang perempuan duduk di sebelah Gaffar tanpa permisi. Sudah dipastikan, siapa pelakunya."Kenapa lo?" Tanya Gaffar dengan raut wajah yang bingung."Benci banget gue sama Pak Rian, masa gue dis
"Ruang TU jam segini biasanya udah sepi, San. Jadi tenang aja. Nanti kalo ada guru yang tanya, gue tinggal bilang, saya lagi nyari berkas yang disuruh Ibu saya. Gampang kan?" Sandra menganggukan kepalanya. Benar juga yang diucapkan oleh Dani. Tumben sekali dia cerdas. Biasanya di otak dia hanya berisi tentang Caca."Ya udah, tapi gue jaga di depan ruangan aja, ya. Lo berdua yang masuk." Akhirnya Sandra menyetujui ajakan dari Gaffar."Nah gitu dong dari tadi, yuk." Mereka bertiga pun langsung menuju ruang TU untuk mengambil berkas data siswa.Setelah meninggalkan ruang kelas, mereka langsung bergegas menuju ruang TU yang terlihat sepi dari luar."Sana masuk, gue jaga disini.""Ya udah kita masuk, kalau ada yang mencurigakan, langsung kasih aba-aba ya, San. Jadi, gue sama Dani bisa ngumpet." Sandra menganggukan kepala dan mengacungkan jempolnya.Untungnya, kamera pengintai CCTV di ruang TU tidak berfungsi dengan baik, j
Setelah kepergian Gaffar, Sandra menatap Dani dan Caca yang dengan santainya masih duduk manis di rumah Sandra tanpa menghiraukan Sandra yang sudah muak. "Terus lo berdua kenapa masih disini? Rumah gue bukan tempat pacaran. Jadi, mending lo berdua pulang juga gih. Masalah ini kita lanjut besok," usir Sandra dengan raut wajah yang tidak suka.Gaffar pulang dengan keadaan kepala pusing karena memikirkan hal yang sebenarnya tidak perlu dipusingkan. Awalnya Gaffar merasa tidak enak kepada Sandra, Dani dan Caca yang harus terlibat juga untuk membantu kasus Gaffar. Namun, Gaffar menepis rasa tidak enak itu, toh apa gunanya teman jika tidak bisa dimintai tolong saat salah satu diantara mereka sedang kesusahan."Ini semua gara-gara Kakek tua sialan." Gaffar membuka pintu rumahnya dengan keras sehingga membuat Mei, Kakak Gaffar tersentak."Apaan sih lo, dateng-dateng teriak nggak jelas. Salam kek, sopan dikit dong. Jangan mancing keributan!" Ser
Selama pelajaran berlangsung, Gaffar tidak terfokus pada guru yang menjelaskan materi di dalam kelas. Ia sibuk melamun memikirkan perkataan dari Bu Diah tadi. Bagaimana jika dalam 2-4 hari ke depan ia belum menemukan pelaku dari pembuat mural itu? Sudah dipastikan ia akan dikeluarkan dari sekolah. Gaffar takut membuat Mei, sang Kakak marah dan kecewa karena perlakuannya."Woy, Gaff. Kantin, yuk," ajak Dani yang tidak ditanggapi oleh Gaffar."GAFFAR!" Seru Dani yang tak kunjung digubris oleh Gaffar. "Apaan sih?" Tanya Gaffar yang menatap Dani tak suka."Ngelamun terus. Kemasukan jin tau rasa lo," ejek Dani menatap Gaffar yang seperti orang kebingungan."Kemarin data siswa yang udah dicatet gue simpen dimana, ya? Kok nggak ada sih?" Tanya Gaffar yang kini tengah membuka tas miliknya dan mencari note book yang digunakan untuk mencatat nama-nama yang dicurigai."Nah kan, makanya jangan sembarangan kalo nyimpe
Banyak yang menganggap Gaffar adalah pemuda yang urakan, brandalan dan nakal. Benar, memang begitulah kenyataannya. Namun, tak jarang diketahui pula, Gaffar adalah seorang yang sangat tulus dan sedikit sensitif. Dari sana, emosinya tidak stabil dan membuat kegaduhan.Tidak ada asap jika tidak ada api. Begitulah Gaffar. Tidak akan membuat masalah jika tidak ada penindasan.Ini bermula saat Gaffar masih duduk di bangku SMP, saat itu ia sering bergaul dengan kakak kelasnya yang berandalan. Mulai dari membolos, tawuran, bahkan mengikuti konvoi saat kakak kelasnya merayakan kelulusan. Benar, Gaffar memang sangat nakal pada saat itu. Mungkin karena dia masih remaja labil yang belum memikirkan masa depan. Ditambah lagi, pada saat itu ia tidak diperhatikan. Dimana kondisi keluarganya yang hancur. Kedua orangtuanya tewas dalam sebuah kecelakaan dan sang kakak terpaksa banting tulang bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan Gaffar demi menyambung kehidupan.
Kini Gaffar memasuki rumah dengan lesu. Ia kembali teringat akan ketakutannya tersebut. Saat melewati kamar Mba Mei, Gaffar mendengar suara tangis. Hatinya tersentuh, bahkan seketika ia merasa darah dalam tubuhnya berhenti mengalir.Satu tetes air matanya jatuh begitu saja. Rasa bersalahnya kian bertambah besar mendengar suara tangis sang Kakak. Dirinya hancur membiarkan malaikat tak bersayap pengganti Ibu kini tumbang. Terlebih, penyebab utamanya adalah dirinya.Ingin sekali Gaffar mengetuk pintu, menghampiri sang Kakak dan menanyakan ada apa. Lalu memeluk tubuhnya yang hangat itu. Namun, nyali Gaffar tak lebih dari seorang pecundang. Ia memilih masuk ke kamarnya sendiri dan ikut terhanyut dalam tangis diamnya."Arghh!"Gaffar mengacak rambutnya, bahkan melempar helm yang sedari tadi berada di tangannya. Ia benar-benar merasa gagal menjadi laki-laki."Ini semua gara-gara Kepala sekolah sialan. Kalau aja dia nggak nuduh semb
Saat Gaffar berjalan menuju kelasnya dengan memegang satu bukunya. Ia menabrak seorang perempuan yang sedari tadi berjalan menunduk. Beberapa bukunya yang tadi berada di tangan perempuan tersebut terjatuh."M-maaf, Kak.""Kalo jalan itu matanya dipake," seru Gaffar. Dengan kebaikan hatinya, Gaffar pun membantu perempuan tersebut memungut bukunya yang berceceran di lantai."T-terima kasih, Kak," ujar perempuan tersebut.Gaffat tersentak saat mengetahui bahwa perempuan tersebut adalah perempuan yang ia labrak kemarin."Lo lagi lo lagi. Males banget gue lihat muka lo." Gaffar langsung beranjak darisana meninggalkan Kiara yang kini memaku di tempat dengan wajah tegangnya.Saat Gaffar memasuki kelas, ia disambut oleh Sandra yang sedari tadi sudah berada di depan ruang kelasnya dengan tangan yang bersilah dada."Dateng juga lo akhirnya," seru Sandra menyambut ke
Terkadang, semesta hanya memihak kepada mereka yang memiliki kekuasan terlalu banyak. Bahkan, beberapa diantaranya tak pernah merasa cukup atas nikmat yang telah didapat. Tanpa mereka ketahui, bahwa diluar sana banyak yang membutuhkan uluran tangan untuk meminta bantuan. Menjadi anak perempuan pertama memang sangat sulit bagi Mei. Terlebih, ia harus bekerja keras untuk menjadi tulang punggung keluarga. Disaat banyak perempuan seusianya sibuk nongkrong dan menikmati masa muda, ia disibukkan dengan tangungjawab yang begitu besar. Harusnya, Mei kini tengah menempuh pendidikan di bangku kuliah. Menjadi seorang perawat yang ia cita-citakan sedari kecil. Namun, realita menamparnya untuk tidak berkhayal terlalu tinggi. Disinlah sekarang, duduk sendirian di halte bus dengan amplop coklat berisi surat lamaran pekerjaan yang sedaritadi berada pada tangannya. Ia menyeka ker
Tidak ada sahutan sama sekali dari Gaffar saat Bu Diah selesai mengatakan hal tersebut. Padahal Bu Diah merasakan jelas deru napas Gaffar yang tidak beraturan menandakan emosinya sedang tidak stabil.Bu Diah memegang bahu Gaffar dan ia mengelus dengan penuh cinta. Tanpa disadari, air mata Gaffar sudah lolos begitu saja dari pelupuk matanya. Bu Diah yang menyadari hal tersebut dan langsung memeluk Gaffar dengan erat. Untungnya susasana sekolah sudah sepi, jadi tidak ada yang melihat kejadian ini selain terpantau kamera cctv.Gaffar tidak membalas pelukan Bu Diah. Tangisnya pecah begitu saja saat Bu Diah mengelus bahunya dan beberapa kali mengelus kepalanya. Rasanya sudah lama sekali ia tidak mendapat perlakuan seperti ini. Ia merindukan dekap hangat seseorang yang menenangkannya saat dunia sedang tidak ramah. Ia juga perlu rumah untuk mengistirahatkan beban yang sudah lama ia tanggung sendiri dan tidak tau harus ia luapkan kemana. "Saya nggak t
Setelah memakan ketoprak selesai, Kayla pun membayar dengan uang pas. Sebelum beranjak dari tempat tersebut, ia meneguk habis segelas air putih yang disediakan sang penjual.Ia benar-benar bingung harus pulang kemana. Pencarian tentang Panti Asuhan Kasih Bunda di internet tidak membuahkan hasil sama sekali. Bertanya pada orang-orang pun tidak ada yang mengerti. Terlebih, Bi Asri, Pak Joko, Pak Felix dan beberapa nomor yang tidak dikenal terus menghubunginya tanpa henti.Hal tersebut membuat Kayla semakin risih. Hingga ia memilih untuk mematikan saja handphone miliknya. Biarkan saja semua orang gempar akan kepergiannya. Ia sudah tidak peduli.Hingga malam yang terus larut, suasana kota yang mulai senyap membuat Kayla benar-benar merasa seperti orang hilang. Langkah kakinya membawa ke sebuah bawah jembatan yang kumuh. Ia memilih untuk duduk disana dan menyenderkan tubuhnya pada salah satu tembok yang menjulang. Biarkan saja
Karena akal cerdas dari Bi Asri, ia memiliki sebuah ide. Bahwa ia akan membantu Kayla untuk keluar dari kamar mandi. Tentunya, secara diam-diam tanpa sepengetahuan dari sang tuan.Naluri keibuannya tidak bisa dibantah, bahwa melihat seorang anak yang tersiksa. Hatinya ikut teriris ketika mendengar jeritan rasa sakit dari Kayla yang sudah ia anggap sebagai anak.BrakkDobrakan pintu dari Pak Joko membuat Bi Asri histeris karena melihat kondisi Kayla yang begitu mengenaskan. Mereka pun membopong tubuh Kayla untuk keluar dari kamar mandi."Nyonya, bangun. Aduh, iki piye? Tolong, kamu ambil miyak kayu putih di meja," suruh Bi Asri kepada Pak Joko.Sambil menunggu Pak Joko mengambil minyak kayu putih dan menyiapkan alat-alat yang sekiranya bisa membantu Kayla untuk bangun, Bi Asri memilih membantu mengganti pakaian Kayla yang sudah basah dan ada beberapa bercak darah disana.Uh
Di sebuah kota di Negara Swedia terlihat seorang perempuan dengan rambut panjang tengah menatap dunia luar melalui kaca jendela yang berada di kamarnya. Ia iri melihat tawa teman-temannya yang begitu bahagia menikmati masa mudanya dengan berbagai pengalaman yang menyenangkan. Bukan seperti dirinya yang hidup penuh dengan aturan dan tuntutan."Permisi, nyonya. Ini makan siangnya saya letakkan di meja, ya. Saya permisi."Suara asisten rumah tangga itu membuat perempuan itu mengaluhkan pandangannya dan menatap makanan itu. Selera makannya tidak ada. Bahkan makanan pagi tadi pun masih tersisa di meja makan. Tergeletak begitu saja tanpa berniat untuk dibereskan.Ia memilih untuk mengambil air putihnya dan meminum hingga tersisa separuh.Inilah kehidupannya, penuh dengan tuntutan.Tok tok tok"Permisi, Kayla. Boleh Ayah masuk?""Masuk aja, pintunya nggak dikunci!"Dari balik pintu menampilkan
Perjalanan Gaffar menuntun pada tempat pembuangan gerbong kereta api yang sudah tidak terpakai kemarin. Ini hanya satu-satunya tempat yang bisa dijadikan untuk meluapkan emosinya.Gaffar berbaring diatas gerbong kereta dengan air mata yang mulai menetes begitu saja. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan yang dialami sang Kakak akibat perbuatan bejat manusia bernama Bagas.DorrSatu suara tembakan yang dilayangkan ke udara membuat Gaffar tersentak. Sehingga membuatnya bangun dan mencari dimana sumber suara tembakan tersebut.DorrTembakan kedua kembali berbunyi dan sukses membuat Gaffar sedikit bingung akan situasi dan kondisi yang terjadi. Ada apa ini sebenarnya? Terlebih saat ia melihat kearah bawah dan menemukan laki-laki bertubuh kekar yang membawa senjata api."KELUAR ATAU SAYA BAKAR TEMPAT INI!" Teriak salah satu diantara mereka dengan lantangnya.Melihat keadaan yang cukup menegangkan, Gaffa
Saat dirasa kondisinya sudah membaik dan kini sang Kakak sudah terlelap dalam tidurnya setelah meminum obat yang diberikan Gaffar kini ia sedikit menarik napas lega.Gaffar tidak pernah menyangka jika kondisi sang kakak akan separah ini karena tekanan dari keadaan yang teramat sulit. Terlebih kondisi ekonomi benar-benar membuat situasi menjadi semakin rumit.Kini Gaffar duduk di teras rumah sambil memandang langit malam yang begitu damai. Pikirannya kalut, matanya membara dipenuhi api. Ia benar-benar marah kepada Bagas, kekasih Mei yang sangat kurang ajar. Meskipun ia belum mengetahui pasti permasalahan apa yang tengah mereka hadapi. Tapi, ia bersumpah akan menghabisi Bagas sampai ia bertekuk lutut dihadapannya.Dengan tarikan napas panjang, Gaffar bangkit dari kursi kayu yang ia duduki dan langsung bangkit untuk mengendarai motornya menuju ke suatu tempat.Saat tengah melajukan motornya di jalan Merpati 04 seorang perempuan dengan
Mei menangis karena kebodohannya sendiri. Memang, terlihat fana jika menangisi uang. Bahkan terdengar sangat lebay. Namun, ia hanyalah manusia biasa yang jika merasa kehilangan pasti akan bersedih.Hingga waktu sudah menjelang sore, ia tidak berani pulang ke rumah. Ia harus mengatakan apa kepada Gaffar perihal kondisi ekonominya yang begitu sulit. Ia tidak punya jawaban untuk menjawab tiap pertanyan yang pasti akan dilontarkan Gaffar kepadnya.Sebuah ide muncul di kepala Mei. Ia harus bertemu dengan Bagas. Manusia bajingan itu hanya satu-satunya cahaya semu yang belum tentu mampu diharapkan.Mei berjalan dengan separuh tenaganya yang tersisa. Penampilan yang sudah tidak karuan, rambut yang berantakan dan mata yang sembab membuatnya seperti orang yang tidak terurus.Saat tiba di rumah sederhana milik Bagas, terdapat sebuah sepeda motor yang terparkir disana pertanda sang pemilik rumah ada di dalamnya. Pintunya juga terbuka, tidak seperti
Terkadang, semesta hanya memihak kepada mereka yang memiliki kekuasan terlalu banyak. Bahkan, beberapa diantaranya tak pernah merasa cukup atas nikmat yang telah didapat. Tanpa mereka ketahui, bahwa diluar sana banyak yang membutuhkan uluran tangan untuk meminta bantuan. Menjadi anak perempuan pertama memang sangat sulit bagi Mei. Terlebih, ia harus bekerja keras untuk menjadi tulang punggung keluarga. Disaat banyak perempuan seusianya sibuk nongkrong dan menikmati masa muda, ia disibukkan dengan tangungjawab yang begitu besar. Harusnya, Mei kini tengah menempuh pendidikan di bangku kuliah. Menjadi seorang perawat yang ia cita-citakan sedari kecil. Namun, realita menamparnya untuk tidak berkhayal terlalu tinggi. Disinlah sekarang, duduk sendirian di halte bus dengan amplop coklat berisi surat lamaran pekerjaan yang sedaritadi berada pada tangannya. Ia menyeka ker
Saat Gaffar berjalan menuju kelasnya dengan memegang satu bukunya. Ia menabrak seorang perempuan yang sedari tadi berjalan menunduk. Beberapa bukunya yang tadi berada di tangan perempuan tersebut terjatuh."M-maaf, Kak.""Kalo jalan itu matanya dipake," seru Gaffar. Dengan kebaikan hatinya, Gaffar pun membantu perempuan tersebut memungut bukunya yang berceceran di lantai."T-terima kasih, Kak," ujar perempuan tersebut.Gaffat tersentak saat mengetahui bahwa perempuan tersebut adalah perempuan yang ia labrak kemarin."Lo lagi lo lagi. Males banget gue lihat muka lo." Gaffar langsung beranjak darisana meninggalkan Kiara yang kini memaku di tempat dengan wajah tegangnya.Saat Gaffar memasuki kelas, ia disambut oleh Sandra yang sedari tadi sudah berada di depan ruang kelasnya dengan tangan yang bersilah dada."Dateng juga lo akhirnya," seru Sandra menyambut ke