Keesokkan harinya, saat di sekolah Gaffar tak bisa berhenti memikirkan kasus yang sedang dihadapi olehnya. Sebenarny, Gaffar bisa saja bersikap bodoamat. Namun, masalahnya ia harus memikirkan perasaan sang kakak yang pasti akan marah besar jika ia dikeluarkan dari sekolah.
"Gimana, rencana kita nanti?" Tanya Gaffar kepada Dani yang kini sedang berada di kantin menikmati bakso dari mang Dede.
"Gas, udah lama juga gue nggak ngelakuin hal nekat," sahut Dani dengan santainya.
"Keseringan bucin sama si Caca sih lo," ejek Gaffar.
"Banyak omong, lo. Yang penting nanti pulang sekolah kita jalanin sesuai rencana." Gaffar mengangguk dan mengacungkan jempolnya.
Saat mereka tengah asik dan terfokus pada makanannya. Tiba-tiba seorang perempuan duduk di sebelah Gaffar tanpa permisi. Sudah dipastikan, siapa pelakunya.
"Kenapa lo?" Tanya Gaffar dengan raut wajah yang bingung.
"Benci banget gue sama Pak Rian, masa gue disuruh bantu ngelatih anak-anak lomba. Padahal udah gue bilang, di kelas 12 gue mau off sama kegian ekstrakulikuler. Mana dia ngancem mau dikasih nilai jelek pula."
"Jangan mau, itu akal-akalan
Pak Rian aja biar biar dia bisa santai-santai. Nanti gue yang bilang." Gaffar terihat emosi mendapat Sandra yang mengadu kepadanya.Bukan tanpa alasan, jika saja Pak Rian adalah guru yang sangat pengertian, pasti Sandra tidak takut jika akan diadukan kepadanya. Pasalnya, Pak Rian adalah seorang yang keras kepala. Beberapa kali sudah ditegur oleh guru lain, tapi tetap saja kekeh dengan pendiriannya.
"Udah nggak usah dipikirin terus, nanti gue yang bilang. Kan Pak Rian udah fren sama gue. Sana pesen makan dulu gih, gue tau lo belum makan." Suruh Gaffar kepada Sandra yang masih menampakkan wajah cemberutnya.
"Males, ah. Caca mana? Tumben nggak nempel sama lo?" Tanya Sandra kepada Dani yang kini berada disebrangnya.
"Tadi sih pas gue samperin ke kelasnya nggak ada, kata anak-anak lagi bantuin bu Dewi." Sandra hanya menganggukan kepalanya menanggapi omongan Dani.
Melihat Gaffar dan Dani yang sangat nikmat melahap bakso yang berada di mangkoknya, Sandra tergoda begitu saja.
"Gaff, mau dong baksonya," ujarnya dengan raut wajah memelas.
"Tadi katanya males," ejek Gaffar.
"Males pesen, males ngantri, bukan males makan." Sandra menampakkan senyum lebarnya untuk merayu Gaffar.
"Nggak, nggak ikhlas gue." Gaffar menjauhkan mangkok baksonya dari Sandra.
"Pelit lo. Awas aja butuh bantuan deketin gue." Sandra langsung bangkit dari posisi duduknya dan langsung ditahan oleh Gaffar.
"Jangan gitu San, gue becanda. Nih, kalo lo mau, ambil aja sama mangkoknya sekalian juga nggak papa." Dengan kasar, Sandra langsung menepis tangan Gaffar dan langsung pergi begitu saja.
"Mampus lo, udah tau si Sandra moodnya lagi jelek lo ajakin berantem," ujar Dani yang kini terihat senang.
Gaffar hanya mendengus kesal menanggapi omongan Dani yang sok bijak.
Sementara di lain tempat, Sandra kini memilih untuk kembali ke ruang kelas. Hingga saat ia sudah berada di depan kelasnya dan hendak melangkah masuk, tangannya ditarik oleh seseorang.
"Hai, San," ujarnya dengan senyum yang menggembang pada bibirnya.
"Angga," ujar Sandra yang terlihat tak suka akan kehadiran teman satu ekstranya itu.
"Lepas, nggak?" Ujar Sandra dengan menatap lengannya yang masih dipegang oleh Angga.
Tanpa perlawanan, Angga pun langsung melepas cekalan tangannya.
"Gue mau bicara sama lo, San." Angga menatap Sandra dengan teduh.
"Bicara apalagi sih? Capek gue lama-lama nggak pernah dihargain," ujar Sandra dengan nada yang mulai meninggi.
"Masalah yang tadi, udah kelar. Jadi lo nggak perlu marah-marah lagi."
"Serius, lo?" Angga menganggukan kepalanya.
"Nih, ada makanan buat lo. Dimakan, ya. Satu lagi, tupperwarenya dibalikin ya, hehe," ujar Angga dengan tawa kecilnya.
"Siap," sahut Sandra.
Saat mereka masih asyik berbincang di depan kelas, tiba-tiba kedatangan seseorang merusak suasana hati Sandra.
"San, nanti pulang sekolah jadi kan?"
Perkataan Gaffar membuat Sandra menyerit dan menaikkan alisnya. "Males."
"Jangan gitu dong, San."
Bukannya menanggapi omongan Gaffar, kini Sandra justru menatap Angga dan mengatakan, "Gue masuk dulu, ya. Makasih makanannya."
"Oke, gue juga harus balik ke kelas."
Setelah kepergian Angga, Sandra masuk ke dalam kelas begitu saja meninggalkan Gaffar yang kini sibuk memohon kepadanya. Bahkan, saat Sandra sefang menikmati makanan yang diberikan Angga, Gaffar terus mengajaknya untuk bicara.
"Bisa diem dulu nggak, sih? Lo liat gue lagi makan 'kan?!" Seru Sandra.
"Gue bakal diem kalo lo mau bantuin gue, San," sahut Gaffar dengan menatap penuh harap kepada Sandra.
"Iya, sekarang sana gih pergi jauh-jauh dari gue," usir Sandra.
"Oke, gue pergi. Awas aja kalo lo ingkar janji." Gaffar bangkit dari kursi di sebelah Sandra.
Selama pelajaran berlangsung, banyak siswa yang tidak memperhatikan penjelasan materi dari guru. Karena suasananya sangat membosankan dan membuat jenuh.
"Oke, sekiranya cukup sekian yang dapat saya sampaikan. Semoga kalian memahami materi PPKn yang Ibu jelaskan ini. Jangan lupa kerjakan buku paket halaman 32-35 hari selasa depan dikumpulkan di meja Ibu sebelum pukul 08.00 WIB." Setelah mengatakan hal tersebut, Bu Imel--guru PPKn itu suasana kelas menjadi gaduh. Pasalnya ini belum waktunya pulang, namun guru sudah keluar. Bisa dipastikan jika mereka keluar dari ruang kelas pasti akan diinterogasi oleh guru. Jadi lebih baik menunggu bel pulang di dalam kelas.
"Yuk, San. Jalankan rencana," ajak Gaffar yang menghampiri meja Sandra dengan Dani yang berdiri disebelah kanannya.
"Kan belum waktunya, emang lo berdua mau digebukin warga sekolah? Nanti ajalah pas sepi. Jadi kan nggak ketauan," ujar Sandra yang sebenarnya malas.
"Ruang TU jam segini biasanya udah sepi, San. Jadi tenang aja. Nanti kalo ada guru yang tanya, gue tinggal bilang, saya lagi nyari berkas yang disuruh Ibu saya. Gampang kan?" Sandra menganggukan kepalanya. Benar juga yang diucapkan oleh Dani. Tumben sekali dia cerdas. Biasanya di otak dia hanya berisi tentang Caca."Ya udah, tapi gue jaga di depan ruangan aja, ya. Lo berdua yang masuk." Akhirnya Sandra menyetujui ajakan dari Gaffar."Nah gitu dong dari tadi, yuk." Mereka bertiga pun langsung menuju ruang TU untuk mengambil berkas data siswa.Setelah meninggalkan ruang kelas, mereka langsung bergegas menuju ruang TU yang terlihat sepi dari luar."Sana masuk, gue jaga disini.""Ya udah kita masuk, kalau ada yang mencurigakan, langsung kasih aba-aba ya, San. Jadi, gue sama Dani bisa ngumpet." Sandra menganggukan kepala dan mengacungkan jempolnya.Untungnya, kamera pengintai CCTV di ruang TU tidak berfungsi dengan baik, j
Setelah kepergian Gaffar, Sandra menatap Dani dan Caca yang dengan santainya masih duduk manis di rumah Sandra tanpa menghiraukan Sandra yang sudah muak. "Terus lo berdua kenapa masih disini? Rumah gue bukan tempat pacaran. Jadi, mending lo berdua pulang juga gih. Masalah ini kita lanjut besok," usir Sandra dengan raut wajah yang tidak suka.Gaffar pulang dengan keadaan kepala pusing karena memikirkan hal yang sebenarnya tidak perlu dipusingkan. Awalnya Gaffar merasa tidak enak kepada Sandra, Dani dan Caca yang harus terlibat juga untuk membantu kasus Gaffar. Namun, Gaffar menepis rasa tidak enak itu, toh apa gunanya teman jika tidak bisa dimintai tolong saat salah satu diantara mereka sedang kesusahan."Ini semua gara-gara Kakek tua sialan." Gaffar membuka pintu rumahnya dengan keras sehingga membuat Mei, Kakak Gaffar tersentak."Apaan sih lo, dateng-dateng teriak nggak jelas. Salam kek, sopan dikit dong. Jangan mancing keributan!" Ser
Selama pelajaran berlangsung, Gaffar tidak terfokus pada guru yang menjelaskan materi di dalam kelas. Ia sibuk melamun memikirkan perkataan dari Bu Diah tadi. Bagaimana jika dalam 2-4 hari ke depan ia belum menemukan pelaku dari pembuat mural itu? Sudah dipastikan ia akan dikeluarkan dari sekolah. Gaffar takut membuat Mei, sang Kakak marah dan kecewa karena perlakuannya."Woy, Gaff. Kantin, yuk," ajak Dani yang tidak ditanggapi oleh Gaffar."GAFFAR!" Seru Dani yang tak kunjung digubris oleh Gaffar. "Apaan sih?" Tanya Gaffar yang menatap Dani tak suka."Ngelamun terus. Kemasukan jin tau rasa lo," ejek Dani menatap Gaffar yang seperti orang kebingungan."Kemarin data siswa yang udah dicatet gue simpen dimana, ya? Kok nggak ada sih?" Tanya Gaffar yang kini tengah membuka tas miliknya dan mencari note book yang digunakan untuk mencatat nama-nama yang dicurigai."Nah kan, makanya jangan sembarangan kalo nyimpe
Banyak yang menganggap Gaffar adalah pemuda yang urakan, brandalan dan nakal. Benar, memang begitulah kenyataannya. Namun, tak jarang diketahui pula, Gaffar adalah seorang yang sangat tulus dan sedikit sensitif. Dari sana, emosinya tidak stabil dan membuat kegaduhan.Tidak ada asap jika tidak ada api. Begitulah Gaffar. Tidak akan membuat masalah jika tidak ada penindasan.Ini bermula saat Gaffar masih duduk di bangku SMP, saat itu ia sering bergaul dengan kakak kelasnya yang berandalan. Mulai dari membolos, tawuran, bahkan mengikuti konvoi saat kakak kelasnya merayakan kelulusan. Benar, Gaffar memang sangat nakal pada saat itu. Mungkin karena dia masih remaja labil yang belum memikirkan masa depan. Ditambah lagi, pada saat itu ia tidak diperhatikan. Dimana kondisi keluarganya yang hancur. Kedua orangtuanya tewas dalam sebuah kecelakaan dan sang kakak terpaksa banting tulang bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan Gaffar demi menyambung kehidupan.
Kini Gaffar memasuki rumah dengan lesu. Ia kembali teringat akan ketakutannya tersebut. Saat melewati kamar Mba Mei, Gaffar mendengar suara tangis. Hatinya tersentuh, bahkan seketika ia merasa darah dalam tubuhnya berhenti mengalir.Satu tetes air matanya jatuh begitu saja. Rasa bersalahnya kian bertambah besar mendengar suara tangis sang Kakak. Dirinya hancur membiarkan malaikat tak bersayap pengganti Ibu kini tumbang. Terlebih, penyebab utamanya adalah dirinya.Ingin sekali Gaffar mengetuk pintu, menghampiri sang Kakak dan menanyakan ada apa. Lalu memeluk tubuhnya yang hangat itu. Namun, nyali Gaffar tak lebih dari seorang pecundang. Ia memilih masuk ke kamarnya sendiri dan ikut terhanyut dalam tangis diamnya."Arghh!"Gaffar mengacak rambutnya, bahkan melempar helm yang sedari tadi berada di tangannya. Ia benar-benar merasa gagal menjadi laki-laki."Ini semua gara-gara Kepala sekolah sialan. Kalau aja dia nggak nuduh semb
Saat Gaffar berjalan menuju kelasnya dengan memegang satu bukunya. Ia menabrak seorang perempuan yang sedari tadi berjalan menunduk. Beberapa bukunya yang tadi berada di tangan perempuan tersebut terjatuh."M-maaf, Kak.""Kalo jalan itu matanya dipake," seru Gaffar. Dengan kebaikan hatinya, Gaffar pun membantu perempuan tersebut memungut bukunya yang berceceran di lantai."T-terima kasih, Kak," ujar perempuan tersebut.Gaffat tersentak saat mengetahui bahwa perempuan tersebut adalah perempuan yang ia labrak kemarin."Lo lagi lo lagi. Males banget gue lihat muka lo." Gaffar langsung beranjak darisana meninggalkan Kiara yang kini memaku di tempat dengan wajah tegangnya.Saat Gaffar memasuki kelas, ia disambut oleh Sandra yang sedari tadi sudah berada di depan ruang kelasnya dengan tangan yang bersilah dada."Dateng juga lo akhirnya," seru Sandra menyambut ke
Terkadang, semesta hanya memihak kepada mereka yang memiliki kekuasan terlalu banyak. Bahkan, beberapa diantaranya tak pernah merasa cukup atas nikmat yang telah didapat. Tanpa mereka ketahui, bahwa diluar sana banyak yang membutuhkan uluran tangan untuk meminta bantuan. Menjadi anak perempuan pertama memang sangat sulit bagi Mei. Terlebih, ia harus bekerja keras untuk menjadi tulang punggung keluarga. Disaat banyak perempuan seusianya sibuk nongkrong dan menikmati masa muda, ia disibukkan dengan tangungjawab yang begitu besar. Harusnya, Mei kini tengah menempuh pendidikan di bangku kuliah. Menjadi seorang perawat yang ia cita-citakan sedari kecil. Namun, realita menamparnya untuk tidak berkhayal terlalu tinggi. Disinlah sekarang, duduk sendirian di halte bus dengan amplop coklat berisi surat lamaran pekerjaan yang sedaritadi berada pada tangannya. Ia menyeka ker
Mei menangis karena kebodohannya sendiri. Memang, terlihat fana jika menangisi uang. Bahkan terdengar sangat lebay. Namun, ia hanyalah manusia biasa yang jika merasa kehilangan pasti akan bersedih.Hingga waktu sudah menjelang sore, ia tidak berani pulang ke rumah. Ia harus mengatakan apa kepada Gaffar perihal kondisi ekonominya yang begitu sulit. Ia tidak punya jawaban untuk menjawab tiap pertanyan yang pasti akan dilontarkan Gaffar kepadnya.Sebuah ide muncul di kepala Mei. Ia harus bertemu dengan Bagas. Manusia bajingan itu hanya satu-satunya cahaya semu yang belum tentu mampu diharapkan.Mei berjalan dengan separuh tenaganya yang tersisa. Penampilan yang sudah tidak karuan, rambut yang berantakan dan mata yang sembab membuatnya seperti orang yang tidak terurus.Saat tiba di rumah sederhana milik Bagas, terdapat sebuah sepeda motor yang terparkir disana pertanda sang pemilik rumah ada di dalamnya. Pintunya juga terbuka, tidak seperti
Tidak ada sahutan sama sekali dari Gaffar saat Bu Diah selesai mengatakan hal tersebut. Padahal Bu Diah merasakan jelas deru napas Gaffar yang tidak beraturan menandakan emosinya sedang tidak stabil.Bu Diah memegang bahu Gaffar dan ia mengelus dengan penuh cinta. Tanpa disadari, air mata Gaffar sudah lolos begitu saja dari pelupuk matanya. Bu Diah yang menyadari hal tersebut dan langsung memeluk Gaffar dengan erat. Untungnya susasana sekolah sudah sepi, jadi tidak ada yang melihat kejadian ini selain terpantau kamera cctv.Gaffar tidak membalas pelukan Bu Diah. Tangisnya pecah begitu saja saat Bu Diah mengelus bahunya dan beberapa kali mengelus kepalanya. Rasanya sudah lama sekali ia tidak mendapat perlakuan seperti ini. Ia merindukan dekap hangat seseorang yang menenangkannya saat dunia sedang tidak ramah. Ia juga perlu rumah untuk mengistirahatkan beban yang sudah lama ia tanggung sendiri dan tidak tau harus ia luapkan kemana. "Saya nggak t
Setelah memakan ketoprak selesai, Kayla pun membayar dengan uang pas. Sebelum beranjak dari tempat tersebut, ia meneguk habis segelas air putih yang disediakan sang penjual.Ia benar-benar bingung harus pulang kemana. Pencarian tentang Panti Asuhan Kasih Bunda di internet tidak membuahkan hasil sama sekali. Bertanya pada orang-orang pun tidak ada yang mengerti. Terlebih, Bi Asri, Pak Joko, Pak Felix dan beberapa nomor yang tidak dikenal terus menghubunginya tanpa henti.Hal tersebut membuat Kayla semakin risih. Hingga ia memilih untuk mematikan saja handphone miliknya. Biarkan saja semua orang gempar akan kepergiannya. Ia sudah tidak peduli.Hingga malam yang terus larut, suasana kota yang mulai senyap membuat Kayla benar-benar merasa seperti orang hilang. Langkah kakinya membawa ke sebuah bawah jembatan yang kumuh. Ia memilih untuk duduk disana dan menyenderkan tubuhnya pada salah satu tembok yang menjulang. Biarkan saja
Karena akal cerdas dari Bi Asri, ia memiliki sebuah ide. Bahwa ia akan membantu Kayla untuk keluar dari kamar mandi. Tentunya, secara diam-diam tanpa sepengetahuan dari sang tuan.Naluri keibuannya tidak bisa dibantah, bahwa melihat seorang anak yang tersiksa. Hatinya ikut teriris ketika mendengar jeritan rasa sakit dari Kayla yang sudah ia anggap sebagai anak.BrakkDobrakan pintu dari Pak Joko membuat Bi Asri histeris karena melihat kondisi Kayla yang begitu mengenaskan. Mereka pun membopong tubuh Kayla untuk keluar dari kamar mandi."Nyonya, bangun. Aduh, iki piye? Tolong, kamu ambil miyak kayu putih di meja," suruh Bi Asri kepada Pak Joko.Sambil menunggu Pak Joko mengambil minyak kayu putih dan menyiapkan alat-alat yang sekiranya bisa membantu Kayla untuk bangun, Bi Asri memilih membantu mengganti pakaian Kayla yang sudah basah dan ada beberapa bercak darah disana.Uh
Di sebuah kota di Negara Swedia terlihat seorang perempuan dengan rambut panjang tengah menatap dunia luar melalui kaca jendela yang berada di kamarnya. Ia iri melihat tawa teman-temannya yang begitu bahagia menikmati masa mudanya dengan berbagai pengalaman yang menyenangkan. Bukan seperti dirinya yang hidup penuh dengan aturan dan tuntutan."Permisi, nyonya. Ini makan siangnya saya letakkan di meja, ya. Saya permisi."Suara asisten rumah tangga itu membuat perempuan itu mengaluhkan pandangannya dan menatap makanan itu. Selera makannya tidak ada. Bahkan makanan pagi tadi pun masih tersisa di meja makan. Tergeletak begitu saja tanpa berniat untuk dibereskan.Ia memilih untuk mengambil air putihnya dan meminum hingga tersisa separuh.Inilah kehidupannya, penuh dengan tuntutan.Tok tok tok"Permisi, Kayla. Boleh Ayah masuk?""Masuk aja, pintunya nggak dikunci!"Dari balik pintu menampilkan
Perjalanan Gaffar menuntun pada tempat pembuangan gerbong kereta api yang sudah tidak terpakai kemarin. Ini hanya satu-satunya tempat yang bisa dijadikan untuk meluapkan emosinya.Gaffar berbaring diatas gerbong kereta dengan air mata yang mulai menetes begitu saja. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan yang dialami sang Kakak akibat perbuatan bejat manusia bernama Bagas.DorrSatu suara tembakan yang dilayangkan ke udara membuat Gaffar tersentak. Sehingga membuatnya bangun dan mencari dimana sumber suara tembakan tersebut.DorrTembakan kedua kembali berbunyi dan sukses membuat Gaffar sedikit bingung akan situasi dan kondisi yang terjadi. Ada apa ini sebenarnya? Terlebih saat ia melihat kearah bawah dan menemukan laki-laki bertubuh kekar yang membawa senjata api."KELUAR ATAU SAYA BAKAR TEMPAT INI!" Teriak salah satu diantara mereka dengan lantangnya.Melihat keadaan yang cukup menegangkan, Gaffa
Saat dirasa kondisinya sudah membaik dan kini sang Kakak sudah terlelap dalam tidurnya setelah meminum obat yang diberikan Gaffar kini ia sedikit menarik napas lega.Gaffar tidak pernah menyangka jika kondisi sang kakak akan separah ini karena tekanan dari keadaan yang teramat sulit. Terlebih kondisi ekonomi benar-benar membuat situasi menjadi semakin rumit.Kini Gaffar duduk di teras rumah sambil memandang langit malam yang begitu damai. Pikirannya kalut, matanya membara dipenuhi api. Ia benar-benar marah kepada Bagas, kekasih Mei yang sangat kurang ajar. Meskipun ia belum mengetahui pasti permasalahan apa yang tengah mereka hadapi. Tapi, ia bersumpah akan menghabisi Bagas sampai ia bertekuk lutut dihadapannya.Dengan tarikan napas panjang, Gaffar bangkit dari kursi kayu yang ia duduki dan langsung bangkit untuk mengendarai motornya menuju ke suatu tempat.Saat tengah melajukan motornya di jalan Merpati 04 seorang perempuan dengan
Mei menangis karena kebodohannya sendiri. Memang, terlihat fana jika menangisi uang. Bahkan terdengar sangat lebay. Namun, ia hanyalah manusia biasa yang jika merasa kehilangan pasti akan bersedih.Hingga waktu sudah menjelang sore, ia tidak berani pulang ke rumah. Ia harus mengatakan apa kepada Gaffar perihal kondisi ekonominya yang begitu sulit. Ia tidak punya jawaban untuk menjawab tiap pertanyan yang pasti akan dilontarkan Gaffar kepadnya.Sebuah ide muncul di kepala Mei. Ia harus bertemu dengan Bagas. Manusia bajingan itu hanya satu-satunya cahaya semu yang belum tentu mampu diharapkan.Mei berjalan dengan separuh tenaganya yang tersisa. Penampilan yang sudah tidak karuan, rambut yang berantakan dan mata yang sembab membuatnya seperti orang yang tidak terurus.Saat tiba di rumah sederhana milik Bagas, terdapat sebuah sepeda motor yang terparkir disana pertanda sang pemilik rumah ada di dalamnya. Pintunya juga terbuka, tidak seperti
Terkadang, semesta hanya memihak kepada mereka yang memiliki kekuasan terlalu banyak. Bahkan, beberapa diantaranya tak pernah merasa cukup atas nikmat yang telah didapat. Tanpa mereka ketahui, bahwa diluar sana banyak yang membutuhkan uluran tangan untuk meminta bantuan. Menjadi anak perempuan pertama memang sangat sulit bagi Mei. Terlebih, ia harus bekerja keras untuk menjadi tulang punggung keluarga. Disaat banyak perempuan seusianya sibuk nongkrong dan menikmati masa muda, ia disibukkan dengan tangungjawab yang begitu besar. Harusnya, Mei kini tengah menempuh pendidikan di bangku kuliah. Menjadi seorang perawat yang ia cita-citakan sedari kecil. Namun, realita menamparnya untuk tidak berkhayal terlalu tinggi. Disinlah sekarang, duduk sendirian di halte bus dengan amplop coklat berisi surat lamaran pekerjaan yang sedaritadi berada pada tangannya. Ia menyeka ker
Saat Gaffar berjalan menuju kelasnya dengan memegang satu bukunya. Ia menabrak seorang perempuan yang sedari tadi berjalan menunduk. Beberapa bukunya yang tadi berada di tangan perempuan tersebut terjatuh."M-maaf, Kak.""Kalo jalan itu matanya dipake," seru Gaffar. Dengan kebaikan hatinya, Gaffar pun membantu perempuan tersebut memungut bukunya yang berceceran di lantai."T-terima kasih, Kak," ujar perempuan tersebut.Gaffat tersentak saat mengetahui bahwa perempuan tersebut adalah perempuan yang ia labrak kemarin."Lo lagi lo lagi. Males banget gue lihat muka lo." Gaffar langsung beranjak darisana meninggalkan Kiara yang kini memaku di tempat dengan wajah tegangnya.Saat Gaffar memasuki kelas, ia disambut oleh Sandra yang sedari tadi sudah berada di depan ruang kelasnya dengan tangan yang bersilah dada."Dateng juga lo akhirnya," seru Sandra menyambut ke