30 Menit berlalu. Sambil menunggu Axele, Lexio dan Laudia berbincang-bincang di ruang tamu. Sesekali mereka juga bersandau gurau bersama tanpa ada rasa canggung meski baru beberapa kali bertemu.
Ditengah candaan mereka, terdengar ada suara mobil berhenti di depan rumah. Dengan segera Laudia berlari keluar, sesaat saat tahu jika mobil suaminya yang datang.
"Lexi, sepertinya itu Mas Axele," ucap Laudia.
"Iya Laudia. Itu mobil Kak Axele."
"Yaudah aku keluar dulu ya."
"Iya."
Laudia langsung menyambut kedatangan Axele yang sedari tadi sudah ia tunggu.
"Mas, kamu pasti lelah ya? Mau aku buatkan teh hangat dulu?" ucap Laudia.
"Gak usah. Apa Lexio masih ada di sini?"
"Masih mas. Dia sedang menunggu kamu di dalam."
"Oh," jawab Axele. "Laudia aku bisa minta tolong sama kamu?" ujarnya lagi.
"Minta tolong apa mas? Mas mau aku siapkan air hangat untuk mandi?"
"Bukan. Aku minta tolong, jika sampai rumah nanti jangan bilang sama papa jika aku pergi ke kantor ya," pinta Axele.
Laudia mengangkat sebelah alisnya, sambil memicingkan matanya. "Memang ada apa mas?"
Axele memegang kedua pundak Laudia, lalu menatap matanya dalam-dalam.
"Papa pasti akan marah sama aku kalau tahu aku pergi ke kantor dan malah tidak menemani kamu yang baru saja kehilangan bapak. Bukannya aku tidak mau menemani kamu Laudia, tapi tadi yang menghubungiku adalah klien penting. Mana mungkin aku bisa menolaknya," jelas Axele.
"Iya mas. Aku gak akan cerita sama papa."
"Makasih ya Laudia."
"Sama sama mas."
Senyuman manis Laudia tak pernah lepas mengurai dari bibirnya. Sesekali ia menoleh ke samping, mencuri pandang wajah suaminya yang selalu saja membuat hatinya berdesir.
"Mas Axele, kamu laki laki sempurna. Tampan, gagah, pekerja keras dan lembut. Aku bahagia sekali bisa menjadi istrimu mas. Dan aku sangat berterima kasih karena bapak sudah memilihkan kamu sebagai pendamping hidupku," batin Laudia.
Dari balik jendela, Lexio menatap kesal kakaknya. Lexio pikir mungkin pekerjaan kakaknya akan beralih menjadi seorang aktor. Sandiwara di depan Laudia, membuatnya muak hingga ia bergegas keluar lalu memutuskan untuk pamit pulang duluan.
Tak lama setelah kepergian Lexio, Axele mengajak Laudia untuk pulang ke rumahnya. Laudia sudah menenteng tas dan kopernya di bawa oleh Axele.
"Ayo Laudia ini sudah malam. Papa pasti sudah menunggu kita di rumah," ucap Axele.
"Iya mas."
Langkah kaki Laudia seakan berat meninggalkan rumah dimana ia dibesarkan. Banyak sekali suka dan duka di dalam rumah itu. Matanya mulai berkaca-kaca, bahkan tangannya bergetar saat akan mengunci pintu rumahnya.
"Laudia, ayo," ucap Axele yang tiba tiba datang dan menepuk pundaknya dari belakang.
"eh iya mas."
Laudia bergegas mengunci pintu rumahnya dan berjalan seiringan dengan Axele. Air mata akhirnya jatuh membasahi pipinya saat mobil Axele perlahan melaju dan meninggalkan rumahnya.
Sepanjang perjalanan baik Laudia dan Axele sama- sama diam. Beberapa kali Laudia ingin mengajak bicara suaminya, tapi melihat Axele yang fokus menyetir terpaksa Laudia memilih untuk mengunci mulutnya dan mengurungkan niatnya untuk memulai pembicaraan antara mereka.
Namun, tiba tiba suara Axele memecahkan keheningan diantara mereka.
"Laudia," panggil Axele.
"Iya mas."
Axele menepikan mobilnya sejenak. Mungkin jujur dari sekarang adalah keputusan yang tepat untuk mengatakan tentang hubungannya dengan Sofia. Menurut Axele, Laudia tidak akan marah saat tahu jika dirinya sudah memiliki kekasih. Lagipula pernikahan ini terjadi karena perjodohan dan tidak ada pertemuan diantara mereka sebelumnya.
"Ada apa mas? Apa ada hal yang ingin mas katakan sama aku?" tanya Laudia.
Jantung Laudia kini tengah berdetak kencang. Apa Axele ingin bermesraan dulu dengannya di dalam mobil? Atau mungkin Axele mau mencium bibirnya sekaran? Laudia berusaha menahan rasa nervousnya, jangan sampai Axele mendengar suara nadinya sekarang.
"Aku ingin berkata jujur sama kamu," ucap Axele pelan.
"Jujur soal apa mas?" Pikiran Laudia semakin melayang tinggi. Ia berpikir jika Axele akan menyatakan cinta untuknya.
"Begini Laudia. Sebenarnya saat aku menerima perjodohan kita dan menikahi kamu, aku sudah memiliki kekasih. Dan aku sangat mencintainya. Namanya Sofia, jika kamu sering melihat televisi kamu pasti kenal dia. Dia seorang model dan artis layar lebar."
Jeder...
Hati Laudia seperti tersayat pisau tajam. Perih tak berdarah. Padahal ia begitu berharap lebih pada Axele, tapi kenyataan yang keluar dari mulut Axele sungguh membuat sekujur tubuhnya melemas.
"Maksud kamu apa mas?" suara berat dan lirih keluar dari mulut Laudia.
"Aku tidak bisa jika harus berpisah dengan Sofia. Aku sangat mencintainya. Aku harap kamu mengerti. Aku menikah dengan kamu itu karena terpaksa. Jika aku menolak, papaku mengancam tidak akan memasukkan aku dalam hak warisnya," jelas Axele.
"Apa jangan jangan tadi siang kamu pergi dengan pacar kamu itu mas dan kamu berbohong sama aku soal bertemu klien?" tanya Laudia.
Axele mengangguk. "Iya Laudia. Maafkan aku. Sebenarnya tadi aku ingin jujur. Tapi keadaan kamu yang sedang berkabung, membuat aku tidak tega mengatakannya."
Deg..
Butiran bening mulai memenuhi kedua kelopak mata Laudia. Namun dengan segera ia menyekanya. Andai saja rasa cinta Axele belum tumbuh di hatinya, mungkin rasa sakit hati itu tidak akan sesakit ini.
"Laudia aku tahu kamu kecewa. Tapi aku sudah jujur semua dengan kamu. Gini aja, aku tidak akan keberatan jika kamu menjalin hubungan dengan laki laki mana pun. Begitu juga dengan aku. Kapan pun aku ingin pergi dengan Sofia, kamu juga gak berhak melarangku. Jadi kita sama sama enak kan? Tapi jika di depan mama dan papaku, aku ingin kita berakting mesra dan harmonis."
Ucapan Axele baru saja semakin membuat hati Laudia sakit. Pernikahan macam apa yang sedang di jalaninya sekarang. Bagaimana bisa Laudia mencintai pria lain jika hatinya saja sudah ia berikan pada Axele.
"Terus sampai kapan kita akan berpura-pura di depan mama dan papa mas?" tanya Laudia. Terdengar suaranya kini semakin berat.
"Aku juga belum tahu Laudia. Yang jelas untuk sementara kita seperti ini dulu sampai kita punya alasan untuk berpisah tanpa membuat papa curiga. Dan mulai besok kita tinggal di apartemenku ya. Krena kalau tinggal bersama mama dan papa jelas aku tidak bisa bebas bertemu dengan Sofia," kata Axele.
Laudia hanya bisa tersenyum getir. Senyuman yang semula lebar kini terlihat seperti di paksakan. Apalagi keinginan Axele untuk berpisah dengannya, semakin menusuk relung hatinya.
"Laudia, kenapa kamu diam? Kamu gak keberatan kan?"
"Oh enggak kok mas. Aku juga sadar diri siapa aku sebenarnya. Jika di bandingkan dengan pacar mas, aku gak ada apa-apanya. Dan sebagai seorang istri, aku akan ikuti keinginan mas. Karena bapak selalu berpesan sama aku untuk selalu menuruti perintah suami."
"Hmm, makasih Laudia jika kamu mengerti. Oh iya satu lagi. Meskipun nanti kita tinggal di apartemenku, aku janji aku tidak akan menyentuh kamu. Jadi kamu jangan takut. Ada dua kamar di sana, jadi kita bisa tidur terpisah dan tidak satu ranjang," jelas Axele.
"Iya mas. Ada lagi yang mau mas sampaikan?"
"Gak ada kok. Sekali lagi makasih buat pengertian kamu."
"Sama-sama mas," jawab Laudia.
Axele sudah kembali menjalankan mobilnya. Sepanjang perjalanan, Laudia hanya melihat bintang di langit dari kaca dalam jendela mobil. Wajah bapaknya seakan terlihat berada di tengah bintang disana.
Diam-diam Laudia mengusap air matanya yang tidak mau untuk diajak berhenti. Setelah cukup tenang, ia kembali melirik ke samping dimana Axele masih fokus menyetir mobil.
"Aku akan sabar menunggu kamu mas, sampai kamu bisa mencintaiku. Mungkin tidak untuk sekarang, tapi aku yakin seiring berjalannya waktu kamu bisa memperlakukan aku selayaknya seorang istri. Semoga saja rasa lelah di hatiku tidak pernah ada dan kita bisa hidup selamanya hingga maut yang bisa memisahkan. Seperti apa yang bapak harapkan dalam pernikahan kita ini," gumam Laudia dan untuk pertama kalinya ia melihat Axele tersenyum ke arahnya.
Mobil Axele mulai memasuki halaman rumah. Dan kedua mata Laudia memandang takjub melihat rumah mewah papa mertuanya."Mas, ini rumah kamu?" ujar Laudia lirih."Iya. Aku tahu kamu pasti kagum dan terkejut bukan melihat rumah papa.""It--itu mas. Aku hanya.."Sambil tertawa, Axele langsung menyela perkataan Laudia."Tidak perlu kamu jawab, aku sudah tahu jawabannya. Dari awal menikah, kamu pasti sudah bahagia bisa bersanding dengan anak pengusaha terkenal dan kaya kayak aku. Sudah ayo turun, dan ingat jangan bilang apapun pada papa dan mama soal Sofia. Kamu mengerti Laudia?"Laudia hanya mengangguk sambil menahan air yang hampir jatuh dari kedua kelopak matanya."Iya mas aku mengerti.""Bagus. Aku senang karena kamu mau mengikuti keinginanku," ucap Axele sambil mengelus-elus pucuk rambut Laudia.Saat Axele keluar, pecah sudah tangis Laudia. Mengapa nasibnya menjadi wanita yang tersakiti. Menikah karena perjodohan, mencinta
Merasa sudah selesai makan, Axele berpamitan pada keluarganya dan mengajak Laudia untuk masuk ke dalam kamar. Ia merasa sudah lelah bersandiwara di depan papanya."Pah, mah, Axele sama Laudia mau istirahat dulu ya," pamit Axele."Iya Axele, silahkan. Papa juga tahu apa yang sedang ada dalam pikiran kamu. Kamu pasti sudah tidak sabar kan menjalankan kewajiban kamu?" goda Pak Edwin yang hanya di balas oleh senyum masam dari bibir putranya."Pah, Mah, Lexio, Laudia pamit ke kamar dulu ya," sahut Laudia."Iya Laudia," jawab Lexio."Iya nak. Tolong segera kasih papa cucu ya nak," pesan Pak Edwin yang juga hanya di jawab dengan senyuman oleh LaudiaSesampainya di dalam kamar, Axele meluapkan emosinya. Ia membuang seluruh benda yang berada di dekatnya."Arghh..., apa-apaan ini. Aku tidak sudi berangkat bulan madu dengan kamu!!" seru Axcel sambil melempar amplop putih pemberian papanya ke wajah Laudia.Tubuh Laudia mulai gemetar, ia ta
Claudia Kirana Widodo, gadis berusia 20 tahun yang bekerja sebagai waitres di salah satu restoran ternama. Laudia nama sapaannya, adalah seorang anak tunggal yang harus bekerja keras demi membantu pengobatan sang ayah yang sekarang sering sakit-sakitan semenjak kematian ibunya satu tahun yang lalu.Laudia begitu sayang dengan ayahnya. Bahkan hampir tak pernah Laudia menolak apapun keinginan ayahnya."Laudia kamu nanti pulang kerja jam berapa?" tanya Pak Widodo saat melihat Laudia tengah bersiap berangkat kerja."Sore pak ,paling jam 4 aku udah sampai rumah," jawab Laudia sambil mencium punggung tangan ayahnya."Gak lembur kan nak?""Enggak pak. Memang ada apa pak?""Nanti kamu juga akan tahu."Laudia memicingkan sebelah matanya. Dirinya begitu penasaran dengan teka teki dari ayahnya barusan. Namun saat melihat jam di dinding, Laudia bergegas pergi bekerja sebelum dia terlambat yang konsekuensinya nanti uang tips bulanannya akan
Langit sudah berubah menjadi gelap. Tapi Laudia masih sibuk memasak di dapur. Memasak lebih banyak dari biasanya, membuat Laudia kewalahan karena tak ada yang membantu dirinya. Semua itu ia lakukan karena bapaknya bilang jika sahabat SMA nya akan datang kerumah mereka bersama dengan istri dan anaknya. "Laudia, kamu belum selesai masak ya?" tanya Pak Widodo sembari menengok makanan apa saja yang sedang di masak oleh putrinya. "Ini hampir selesai pak. Udah bapak duduk di ruang tamu aja ya sambil nungguin temen bapak." "Iya nak," jawab bapak singkat. Saat Pak Widodo hendak melangkah pergi, ia kembali membalikkan badannya. Lalu menatap mata Laudia penuh harap. "Laudia apa boleh bapak minta sesuatu dari kamu?" ucap bapak kembali. Laudia mematikan dulu api yang menyala di kompor. Dan kini ia berdiri menatap nanar mata bapaknya. "Bapak mau minta apa? Aku pasti penuhi permintaan bapak kok." Pak Widodo memegang kedua
Suara ketukan pintu sudah terdengar. Laudia bergegas membukakan pintu rumahnya. Dan tetap meminta bapaknya untuk menunggu mereka di ruang makan."Selamat malam nak. Kamu pasti Laudia ya," ujar Pak Edwin saat melihat ada gadis berpakaian sederhana di hadapannya."Iya om. Om temennya bapak ya? Mari om, tante, mas, silahkan masuk. Bapak sudah menunggu di ruang makan. Maaf ya kalau rumahnya kecil dan jelek," jawab Laudia."Terima kasih Laudia. Kamu jangan merendah seperti ini. Dulu rumah om jauh lebih tidak layak," ucap Pak Edwin.Laudia hanya menyunggingkan sedikit senyumannya. Lalu berjalan menuntun tiga tamu penting bapaknya kedalam rumah.Mata Nyonya Mela mengamati dari ujung rambut hingga ujung kaki Laudia. Dan matanya juga berkelana melihat ke seisi ruangan. Begitu juga Axele, matanya tak beralih memandangi punggung Laudia yang berjalan lebih dulu di hadapannya."Cih, apa dia gadis yang mau dijodohkan denganku? Papa ini gimana sih. Gadis b
Sepulang dari rumah Pak Widodo, sama sekali tak ada pembicaraan antara Pak Edwin, Nyonya Mela dan Axele. Pak Edwin sengaja tidak memilih diam, karena ia tahu jika istri dan putranya masih kesal dengan keputusan yang ia ambil untuk mempercepat pernikahan.Setibanya di rumah, Axele langsung masuk ke dalam kamar. Padahal Lexio yang sedang berada di teras hendak menggoda kakaknya. Melihat ketegangan di wajah Axele, mama dan papanya, Lexio pun mengurungkan niatnya dan pergi menyusul ke kamar kakaknya.Tok..tok..tok.."Siapa?" ucap Axele."Aku kak," jawab Lexio."Masuk aja, gak aku kunci."Lexio lalu masuk ke kamar Axele setelah mendapat persetujuan dario pemilik kamar. Lexio dapat melihat kekecewaan dan kekesalan di wajah kakaknya yang sedang duduk di samping ranjang sambil menangkup wajah dengan kedua tangannya.Lexio lalu berbaring di atas ranjang kakaknya dengan tangan yang ia tindihi kepala sambil melihat dinding atap kamar.
Acara pemakaman nampak haru. Laudia masih enggan untuk diajak pulang. Hampir semua pelayat sudah meninggalkan area pemakaman. Begitu juga dengan Pak Edwin, Nyonya Mela dan Lexio. Hanya tersisa Laudia dan juga Axele.Axele sebenarnya juga sudah mulai kepanasan di sana. Namun Laudia masih saja menangis diatas makam bapaknya. Tiba tiba, handphone Axele berbunyi, dan melihat nama my love di layar."Sofia. Dia pasti sudah marah sama aku. Karena dari kemarin aku tidak menghubunginya. Lebih baik aku angkat sedikit menjauh dari Laudia. Dia baru saja kehilangan bapaknya, dan aku tidak mau menambah kesedihannya," batin Axele."Laudia, aku mau angkat telpon sebentar ya," ucap Axele sembari menepuk bahu Laudia."Iya mas."Axele lalu mengangkat telpon dari kekasihnya setelah posisinya sedikit menjauh dari Laudia. Dan benar dugaannya, Sofia marah besar dengannya. Sofia mengira, jika Axele tengah bersenang-senang dengan istrinya sekarang dan mulai mel
Merasa sudah selesai makan, Axele berpamitan pada keluarganya dan mengajak Laudia untuk masuk ke dalam kamar. Ia merasa sudah lelah bersandiwara di depan papanya."Pah, mah, Axele sama Laudia mau istirahat dulu ya," pamit Axele."Iya Axele, silahkan. Papa juga tahu apa yang sedang ada dalam pikiran kamu. Kamu pasti sudah tidak sabar kan menjalankan kewajiban kamu?" goda Pak Edwin yang hanya di balas oleh senyum masam dari bibir putranya."Pah, Mah, Lexio, Laudia pamit ke kamar dulu ya," sahut Laudia."Iya Laudia," jawab Lexio."Iya nak. Tolong segera kasih papa cucu ya nak," pesan Pak Edwin yang juga hanya di jawab dengan senyuman oleh LaudiaSesampainya di dalam kamar, Axele meluapkan emosinya. Ia membuang seluruh benda yang berada di dekatnya."Arghh..., apa-apaan ini. Aku tidak sudi berangkat bulan madu dengan kamu!!" seru Axcel sambil melempar amplop putih pemberian papanya ke wajah Laudia.Tubuh Laudia mulai gemetar, ia ta
Mobil Axele mulai memasuki halaman rumah. Dan kedua mata Laudia memandang takjub melihat rumah mewah papa mertuanya."Mas, ini rumah kamu?" ujar Laudia lirih."Iya. Aku tahu kamu pasti kagum dan terkejut bukan melihat rumah papa.""It--itu mas. Aku hanya.."Sambil tertawa, Axele langsung menyela perkataan Laudia."Tidak perlu kamu jawab, aku sudah tahu jawabannya. Dari awal menikah, kamu pasti sudah bahagia bisa bersanding dengan anak pengusaha terkenal dan kaya kayak aku. Sudah ayo turun, dan ingat jangan bilang apapun pada papa dan mama soal Sofia. Kamu mengerti Laudia?"Laudia hanya mengangguk sambil menahan air yang hampir jatuh dari kedua kelopak matanya."Iya mas aku mengerti.""Bagus. Aku senang karena kamu mau mengikuti keinginanku," ucap Axele sambil mengelus-elus pucuk rambut Laudia.Saat Axele keluar, pecah sudah tangis Laudia. Mengapa nasibnya menjadi wanita yang tersakiti. Menikah karena perjodohan, mencinta
30 Menit berlalu. Sambil menunggu Axele, Lexio dan Laudia berbincang-bincang di ruang tamu. Sesekali mereka juga bersandau gurau bersama tanpa ada rasa canggung meski baru beberapa kali bertemu.Ditengah candaan mereka, terdengar ada suara mobil berhenti di depan rumah. Dengan segera Laudia berlari keluar, sesaat saat tahu jika mobil suaminya yang datang."Lexi, sepertinya itu Mas Axele," ucap Laudia."Iya Laudia. Itu mobil Kak Axele.""Yaudah aku keluar dulu ya.""Iya."Laudia langsung menyambut kedatangan Axele yang sedari tadi sudah ia tunggu."Mas, kamu pasti lelah ya? Mau aku buatkan teh hangat dulu?" ucap Laudia."Gak usah. Apa Lexio masih ada di sini?""Masih mas. Dia sedang menunggu kamu di dalam.""Oh," jawab Axele. "Laudia aku bisa minta tolong sama kamu?" ujarnya lagi."Minta tolong apa mas? Mas mau aku siapkan air hangat untuk mandi?""Bukan. Aku minta tolong, jika sampai rumah nanti jang
Acara pemakaman nampak haru. Laudia masih enggan untuk diajak pulang. Hampir semua pelayat sudah meninggalkan area pemakaman. Begitu juga dengan Pak Edwin, Nyonya Mela dan Lexio. Hanya tersisa Laudia dan juga Axele.Axele sebenarnya juga sudah mulai kepanasan di sana. Namun Laudia masih saja menangis diatas makam bapaknya. Tiba tiba, handphone Axele berbunyi, dan melihat nama my love di layar."Sofia. Dia pasti sudah marah sama aku. Karena dari kemarin aku tidak menghubunginya. Lebih baik aku angkat sedikit menjauh dari Laudia. Dia baru saja kehilangan bapaknya, dan aku tidak mau menambah kesedihannya," batin Axele."Laudia, aku mau angkat telpon sebentar ya," ucap Axele sembari menepuk bahu Laudia."Iya mas."Axele lalu mengangkat telpon dari kekasihnya setelah posisinya sedikit menjauh dari Laudia. Dan benar dugaannya, Sofia marah besar dengannya. Sofia mengira, jika Axele tengah bersenang-senang dengan istrinya sekarang dan mulai mel
Sepulang dari rumah Pak Widodo, sama sekali tak ada pembicaraan antara Pak Edwin, Nyonya Mela dan Axele. Pak Edwin sengaja tidak memilih diam, karena ia tahu jika istri dan putranya masih kesal dengan keputusan yang ia ambil untuk mempercepat pernikahan.Setibanya di rumah, Axele langsung masuk ke dalam kamar. Padahal Lexio yang sedang berada di teras hendak menggoda kakaknya. Melihat ketegangan di wajah Axele, mama dan papanya, Lexio pun mengurungkan niatnya dan pergi menyusul ke kamar kakaknya.Tok..tok..tok.."Siapa?" ucap Axele."Aku kak," jawab Lexio."Masuk aja, gak aku kunci."Lexio lalu masuk ke kamar Axele setelah mendapat persetujuan dario pemilik kamar. Lexio dapat melihat kekecewaan dan kekesalan di wajah kakaknya yang sedang duduk di samping ranjang sambil menangkup wajah dengan kedua tangannya.Lexio lalu berbaring di atas ranjang kakaknya dengan tangan yang ia tindihi kepala sambil melihat dinding atap kamar.
Suara ketukan pintu sudah terdengar. Laudia bergegas membukakan pintu rumahnya. Dan tetap meminta bapaknya untuk menunggu mereka di ruang makan."Selamat malam nak. Kamu pasti Laudia ya," ujar Pak Edwin saat melihat ada gadis berpakaian sederhana di hadapannya."Iya om. Om temennya bapak ya? Mari om, tante, mas, silahkan masuk. Bapak sudah menunggu di ruang makan. Maaf ya kalau rumahnya kecil dan jelek," jawab Laudia."Terima kasih Laudia. Kamu jangan merendah seperti ini. Dulu rumah om jauh lebih tidak layak," ucap Pak Edwin.Laudia hanya menyunggingkan sedikit senyumannya. Lalu berjalan menuntun tiga tamu penting bapaknya kedalam rumah.Mata Nyonya Mela mengamati dari ujung rambut hingga ujung kaki Laudia. Dan matanya juga berkelana melihat ke seisi ruangan. Begitu juga Axele, matanya tak beralih memandangi punggung Laudia yang berjalan lebih dulu di hadapannya."Cih, apa dia gadis yang mau dijodohkan denganku? Papa ini gimana sih. Gadis b
Langit sudah berubah menjadi gelap. Tapi Laudia masih sibuk memasak di dapur. Memasak lebih banyak dari biasanya, membuat Laudia kewalahan karena tak ada yang membantu dirinya. Semua itu ia lakukan karena bapaknya bilang jika sahabat SMA nya akan datang kerumah mereka bersama dengan istri dan anaknya. "Laudia, kamu belum selesai masak ya?" tanya Pak Widodo sembari menengok makanan apa saja yang sedang di masak oleh putrinya. "Ini hampir selesai pak. Udah bapak duduk di ruang tamu aja ya sambil nungguin temen bapak." "Iya nak," jawab bapak singkat. Saat Pak Widodo hendak melangkah pergi, ia kembali membalikkan badannya. Lalu menatap mata Laudia penuh harap. "Laudia apa boleh bapak minta sesuatu dari kamu?" ucap bapak kembali. Laudia mematikan dulu api yang menyala di kompor. Dan kini ia berdiri menatap nanar mata bapaknya. "Bapak mau minta apa? Aku pasti penuhi permintaan bapak kok." Pak Widodo memegang kedua
Claudia Kirana Widodo, gadis berusia 20 tahun yang bekerja sebagai waitres di salah satu restoran ternama. Laudia nama sapaannya, adalah seorang anak tunggal yang harus bekerja keras demi membantu pengobatan sang ayah yang sekarang sering sakit-sakitan semenjak kematian ibunya satu tahun yang lalu.Laudia begitu sayang dengan ayahnya. Bahkan hampir tak pernah Laudia menolak apapun keinginan ayahnya."Laudia kamu nanti pulang kerja jam berapa?" tanya Pak Widodo saat melihat Laudia tengah bersiap berangkat kerja."Sore pak ,paling jam 4 aku udah sampai rumah," jawab Laudia sambil mencium punggung tangan ayahnya."Gak lembur kan nak?""Enggak pak. Memang ada apa pak?""Nanti kamu juga akan tahu."Laudia memicingkan sebelah matanya. Dirinya begitu penasaran dengan teka teki dari ayahnya barusan. Namun saat melihat jam di dinding, Laudia bergegas pergi bekerja sebelum dia terlambat yang konsekuensinya nanti uang tips bulanannya akan