Beranda / Fantasi / Lintas Takdir dan Kutukan / Bayi terkutuk dari pucuk timur

Share

Lintas Takdir dan Kutukan
Lintas Takdir dan Kutukan
Penulis: masfaqih625

Bayi terkutuk dari pucuk timur

Penulis: masfaqih625
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-15 19:41:03

Bab 1: Bayi Terkutuk dari Pucuk Timur

Angin berhembus dari arah timur, membawa bau lembap dari hutan yang mengelilingi istana Kalingganagara. Malam itu, bulan berada pada purnama sempurna, menggantung di langit seperti bola api putih yang memancarkan cahaya suram. Di balik keheningan malam, tangisan bayi terdengar melengking, menggema di antara dinding-dinding istana. Itu adalah suara kelahiran pangeran Kalingganagara, tetapi bukan tangis yang dirayakan dengan suka cita—melainkan dengan ketakutan.

Dalam kamar persalinan, Ratu Dyah Widuri memeluk bayinya dengan tubuh bergetar. Anaknya baru saja lahir, tetapi para tabib yang hadir di ruangan itu saling pandang dengan sorot mata cemas dan khawatir. Mata sang bayi, Ananta, memancarkan warna merah samar, seperti bara api yang baru menyala. Dan wajahnya, tak seperti wajah bayi pada umumnya—sebagian besar wajahnya terlihat normal, tetapi di sekitar pelipis dan pipi kanan, tanda seperti sisik naga melingkar dengan warna abu-abu kehitaman.

Raja Brahmasakti memasuki kamar dengan langkah terburu, sorot matanya dipenuhi kecemasan. Ia mendekati Ratu Widuri, memandang anaknya dengan perasaan yang sulit diuraikan. Tabib tua yang berdiri di pojok ruangan itu menarik napas panjang sebelum berkata dengan suara berat, “Yang Mulia, putra Anda lahir dengan kutukan.”

Ratu Widuri memeluk Ananta lebih erat, wajahnya pucat dan air mata membasahi pipinya. “Kutukan? Apa maksudnya, tabib?” suaranya lirih, hampir berbisik.

Tabib itu menunduk. “Dari tanda di wajahnya… ini adalah kutukan kuno yang dikenal sebagai Kutukan Bayangan Kegelapan. Legenda mengatakan bahwa anak yang lahir dengan tanda seperti itu akan membawa kehancuran pada negeri ini. Ia akan tumbuh dengan kekuatan yang tidak biasa, namun bersamaan dengan itu, kegelapan akan meracuni hati dan jiwanya.”

Raja Brahmasakti terdiam, pandangannya tertuju pada anaknya yang kecil dan tak berdaya. Ia ingat kisah-kisah yang diceritakan para leluhur tentang kutukan yang hanya muncul sekali dalam seratus tahun, kutukan yang datang untuk menuntut balas atas dosa nenek moyang mereka. Dulu, leluhur kerajaan Kalingganagara pernah melanggar sumpah dengan para dewa, mengambil sesuatu yang bukan milik mereka, dan sebagai hukuman, keturunan mereka akan dikutuk untuk menanggung beban bayangan yang akan menghancurkan kerajaan.

Tetapi bagaimana mungkin seorang bayi, dengan tubuh mungil yang masih rapuh, bisa membawa kehancuran pada seluruh negeri?

Raja Brahmasakti akhirnya berbicara dengan suara bergetar, “Kita akan melindungi anak ini. Ia adalah darah dagingku, dan aku tidak akan menyerahkannya pada ketakutan. Ananta adalah putra kita, dan aku akan membesarkannya sebagai penerus Kalingganagara.”

Namun, bahkan ketika kata-kata itu keluar dari mulutnya, perasaan ragu dan cemas menyelubungi hatinya. Kutukan itu bukanlah takdir yang mudah dihindari. Ada sesuatu dalam tatapan Ananta yang membuat semua orang di ruangan itu merasakan ketakutan yang dalam—sebuah bayangan yang akan semakin membesar seiring waktu.

---

Beberapa Tahun Kemudian

Waktu berlalu, dan Ananta tumbuh menjadi anak laki-laki yang berbeda dari anak-anak lain. Wajahnya yang bertanda sisik abu-abu menjadi simbol ketakutan bagi sebagian besar penghuni istana. Anak-anak lain menghindarinya, para pelayan menundukkan kepala setiap kali berpapasan dengannya di lorong. Ananta mulai memahami, sejak usia yang sangat muda, bahwa dirinya tidak diterima seperti anak-anak lainnya.

Namun, kekuatan luar biasa memang mengalir dalam dirinya. Suatu hari, saat ia masih berusia lima tahun, Ananta melihat seekor burung elang besar terbang rendah di taman istana. Burung itu terlihat menakjubkan, dengan bulu cokelat keemasan dan mata tajam yang memancarkan wibawa. Dalam keinginannya untuk melihat burung itu dari dekat, Ananta mengangkat tangannya tanpa sadar, dan sesuatu yang tak terduga terjadi.

Elang itu berhenti di udara, seolah terhipnotis oleh tatapan Ananta. Dengan satu gerakan tangan, Ananta berhasil mengendalikan burung itu untuk mendekat, menuruti kehendaknya. Para pelayan yang melihat kejadian itu langsung melaporkan kepada Raja Brahmasakti. Ananta dianggap memiliki kekuatan yang melebihi manusia biasa—kemampuan untuk mengendalikan makhluk hidup hanya dengan pikirannya.

Namun, kekuatan ini menjadi pedang bermata dua. Raja Brahmasakti mengajarkan Ananta untuk menyembunyikan kekuatannya, untuk tidak memperlihatkan sisi kelam yang bisa membahayakan. Ananta, yang merasakan jarak dari semua orang, mulai menyimpan segala emosinya di dalam hati, merasa bahwa takdirnya adalah kesendirian dan keterasingan.

Di malam hari, ketika hanya ada sinar rembulan yang menerangi kamarnya, Ananta sering bertanya-tanya dalam diam tentang tanda di wajahnya. Ia merasakan ada sesuatu yang gelap yang menariknya, sesuatu yang tidak ia mengerti, tetapi sangat nyata dan mendesak. Kadang-kadang, ia bisa mendengar bisikan dalam pikirannya, suara yang terdengar seperti suara dirinya sendiri, tetapi dengan nada yang asing.

“Kau akan menjadi penguasa, Ananta…” bisikan itu bergema dalam benaknya, seperti hembusan angin yang mengarahkannya pada jalan takdir yang kelam. “Kau akan menghancurkan segalanya, jika mereka tidak menerimamu…”

Ananta tidak mengerti apa yang dimaksud suara itu. Tetapi semakin lama ia tumbuh, semakin dalam pula rasa marah dan cemburu menguasai hatinya. Rasa tidak diterima, rasa diabaikan, dan pandangan takut yang diberikan oleh orang-orang di sekitarnya menjadi bahan bakar yang perlahan-lahan menyalakan api kegelapan dalam jiwanya.

Ia ingin bebas. Bebas dari bayang-bayang kutukan, bebas dari perasaan terasing. Namun, tanpa ia sadari, setiap hari ia semakin terjerumus ke dalam kegelapan yang diam-diam menguasainya.

Dan di situlah, di bawah sinar bulan yang dingin dan redup, perjalanan panjang seorang anak yang terkutuk dimulai—perjalanan yang akan membawa kehancuran atau kebebasan, tergantung pada pilihan yang belum ia pahami sepenuhnya.

---

Bab terkait

  • Lintas Takdir dan Kutukan   Langkah Menuju Kegelapan

    Tahun-tahun berlalu dengan cepat, dan Ananta kini beranjak remaja. Tubuhnya lebih tinggi, lebih kuat, tetapi tatapan takut orang-orang di sekelilingnya tak pernah berubah. Setiap kali ia lewat, pelayan dan prajurit istana menundukkan kepala, menghindari kontak mata. Hanya sedikit yang berani mendekatinya, bahkan lebih sedikit lagi yang berani bicara.Di usia lima belas tahun, Ananta memiliki kekuatan yang tak biasa. Gerakannya lincah, dan tubuhnya kuat, melebihi anak seusianya. Sejak kecil, ia menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda pada dirinya—sesuatu yang tak dapat dimiliki orang lain. Namun, ayahnya, Raja Brahmasakti, selalu memperingatkan agar ia tidak memperlihatkan kekuatannya kepada orang lain. Sang raja takut jika kutukan dalam diri Ananta membawa ancaman bagi kerajaannya.Suatu sore, saat matahari mulai tenggelam di balik bukit, Ananta berjalan sendirian di taman belakang istana. Taman itu sepi, karena jarang ada yang berani berkeliaran di dekatnya.

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-15
  • Lintas Takdir dan Kutukan   keputusan yang berat

    Sejak malam pertemuannya dengan pria berjubah hitam di Hutan Kelam, hidup Ananta berubah. Kekuatan dalam dirinya terasa semakin kuat, namun bersamaan dengan itu, ia mulai merasa ada sesuatu yang janggal. Sesuatu yang gelap dan tidak bisa ia kendalikan.Setiap kali ia menutup mata, bayangan dari Hutan Kelam muncul dalam pikirannya—kabut hitam, suara bisikan misterius, dan senyum samar pria berjubah hitam. Ananta merasakan bahwa kekuatan yang ia dapatkan tidak sekadar kemampuan fisik atau kendali atas makhluk hidup, melainkan sesuatu yang jauh lebih dalam, lebih jahat.Suatu malam, saat ia sedang duduk di balkon kamarnya, memandangi bintang-bintang di langit, ia merasakan kehadiran sosok itu lagi—pria berjubah hitam. Kali ini, suara pria itu terdengar di dalam kepalanya, seolah-olah menguasai pikirannya.“Ananta… kau masih ragu?”Ananta terdiam, mencoba mengabaikan suara itu, tetapi suara tersebut semakin kuat, mengisi seluruh benaknya.

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-16
  • Lintas Takdir dan Kutukan   Batas antara cahaya dan kegelapan

    Di tengah malam yang pekat di Hutan Kelam, Ananta berdiri di antara dua pilihan yang berbahaya. Di satu sisi, Randu, panglima yang telah lama ia anggap sebagai satu-satunya orang yang menghormatinya, berdiri memanggil namanya dengan cemas. Di sisi lain, pria berjubah hitam berdiri di belakangnya, mendesak Ananta untuk menunjukkan kekuatan gelap yang kini mengalir kuat dalam tubuhnya.Suara Randu terdengar semakin dekat, “Ananta! Kau di sana?”Ananta memejamkan mata, mengatur napasnya yang memburu. Dorongan untuk melepaskan kekuatannya terasa tak tertahankan, tetapi hatinya masih menahan rasa takut akan apa yang mungkin terjadi jika Randu melihatnya dalam wujud kegelapan ini. Bisikan dari pria berjubah hitam semakin menggema dalam pikirannya.“Ananta, tunjukkan padanya siapa kau sebenarnya. Tunjukkan bahwa kau bukan anak lemah yang selalu mereka rendahkan,” kata pria itu dengan suara menghasut.Namun, bagian lain dari diri Ananta menolak

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-16
  • Lintas Takdir dan Kutukan   ujian kendali

    Bab 5: Ujian KendaliPagi itu, Ananta bangun dengan kepala yang berat. Mimpi buruk yang diisi suara pria berjubah hitam tadi malam masih membekas, membuat tubuhnya terasa lelah dan pikirannya kusut. Namun, ia ingat janji yang ia buat untuk dirinya sendiri—ia akan berusaha mengendalikan kekuatannya, meski terasa hampir mustahil. Di dalam hatinya, ada secercah tekad untuk menantang kutukan yang seolah menguasainya.Saat Ananta bersiap di ruang latihan istana, Randu datang menyapanya dengan senyum penuh semangat. “Sudah siap, Pangeran? Hari ini kita akan memulai latihan untuk membantu Anda mengendalikan kekuatan itu.”Ananta tersenyum tipis. Meskipun ia ragu bisa menguasai kekuatan gelapnya, kehadiran Randu membuatnya merasa lebih berani untuk mencoba.Randu menjelaskan, “Hari ini, kita akan fokus pada pengendalian amarah. Aku akan mengajarkan teknik-teknik dasar untuk menjaga pikiran tetap tenang. Jika amarahmu bisa kau kendalikan, kekuatan itu mung

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17
  • Lintas Takdir dan Kutukan   Dalam Byang-Bayang Kegelapan

    Bab 6: Dalam Bayang-Bayang KegelapanLangit malam yang kelam seolah turut menyaksikan pertempuran di depan istana. Ananta berdiri dengan napas tersengal, menggenggam erat pedangnya, sementara Randu berdiri di sisinya, siap melindunginya kapan saja. Di hadapan mereka, beberapa makhluk bayangan dengan mata merah menyala mengeluarkan desisan aneh, seperti binatang buas yang kelaparan.Randu melirik Ananta dengan pandangan penuh percaya diri. “Ingat apa yang kau pelajari hari ini, Ananta. Kendalikan energimu. Jangan biarkan kegelapan itu menguasaimu.”Ananta mengangguk pelan. Meski tubuhnya masih kelelahan akibat latihan, ia tahu bahwa inilah saatnya membuktikan bahwa ia bisa mengendalikan kekuatannya.Makhluk-makhluk bayangan itu maju perlahan, dan seiring langkah mereka, udara di sekitar terasa semakin dingin dan menyesakkan. Ananta menajamkan fokusnya, mengingat kembali teknik pernapasan yang diajarkan Randu. Perlahan, ia merasa tenang, dan energi

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17
  • Lintas Takdir dan Kutukan   Jejak Masa Lalu

    Bab 7: Jejak Masa LaluMatahari terbit dengan sinar lembut di ufuk timur, namun istana tetap diselimuti ketegangan. Malam sebelumnya telah meninggalkan banyak pertanyaan di benak Ananta. Suara-suara misterius dari sosok berjubah hitam terus menghantuinya, menggoda pikirannya untuk menyerah dan membiarkan kekuatan itu menguasainya. Meski Randu dan Raja memberikan dorongan semangat, Ananta merasakan ada yang hilang—sebuah kepastian tentang siapa dirinya sebenarnya dan apa arti kekuatan yang membebaninya.Pagi itu, Ananta memutuskan untuk mencari jawaban. Ia pergi ke perpustakaan istana, tempat di mana sejarah kerajaan dan legenda kuno disimpan dalam gulungan dan buku-buku yang berdebu. Ia berharap dapat menemukan petunjuk mengenai kekuatan yang dimilikinya. Randu, yang setia menemaninya, dengan diam-diam mengikuti langkahnya."Ananta, apa kau yakin akan menemukan jawabannya di sini?" tanya Randu sambil melihat rak-rak tinggi yang dipenuhi naskah kuno.

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-19
  • Lintas Takdir dan Kutukan   Petunjuk Dari Masa Silam

    Bab 8: Petunjuk dari Masa SilamMalam mulai menyelimuti istana, membawa angin dingin yang berembus lembut di luar jendela kamar Ananta. Sejak percakapan terakhirnya dengan sang Raja, Ananta semakin terdorong untuk menggali lebih dalam tentang kekuatan yang dimilikinya. Ia tidak ingin berdiam diri menunggu kegelapan itu merasuk lebih dalam; ia harus mencari tahu segala hal yang mungkin bisa membantunya memahami kutukan yang menghantuinya.Pagi itu, Ananta kembali ke perpustakaan istana, membawa tekad baru. Kali ini, ia memfokuskan pencariannya pada naskah-naskah yang mungkin mencatat sejarah atau legenda keluarga kerajaan yang terkait dengan kekuatan misterius. Randu, yang sejak awal setia menemani, kembali berada di sampingnya, membantunya menyusun lembar demi lembar naskah tua.“Aku harus menemukan sesuatu yang lebih spesifik. Cerita atau legenda yang menggambarkan leluhur kita dan kutukan ini,” ujar Ananta, setengah berbicara kepada dirinya sendiri.

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-20
  • Lintas Takdir dan Kutukan   Pertemuan Tak Terduga

    Bab 9: Pertemuan Tak TerdugaSetelah perjalanan panjang dari kuil, Ananta dan Randu tiba kembali di istana dengan tubuh yang kelelahan, namun pikiran Ananta penuh dengan berbagai rencana. Temuannya di kuil tentang Cermin Bayangan telah membuka tabir misteri yang selama ini menggelayut dalam keluarganya. Ia tahu bahwa untuk memutus kutukan itu, ia harus menemukan cara untuk menguasai kegelapan di dalam dirinya—sebuah tugas yang mengerikan, tetapi perlu dilakukan.Namun, belum sempat Ananta beristirahat, kabar yang mengejutkan datang di pagi harinya. Randu datang terburu-buru ke kamarnya, dengan wajah serius yang menandakan sesuatu yang mendesak.“Tuan Ananta, Anda harus segera ke gerbang istana. Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda,” kata Randu, napasnya terengah-engah.“Siapa?” tanya Ananta dengan rasa penasaran yang bercampur cemas.“Dia tidak mau menyebutkan namanya, tapi dia membawa simbol yang aneh… sebuah tanda di dadany

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-20

Bab terbaru

  • Lintas Takdir dan Kutukan   Pertarungan Melawan Malakar

    Bab 49 : Pertarungan Melawan MalakarLorong besar itu kini dipenuhi oleh aura kegelapan yang menyesakkan. Ananta dan Kirana berdiri di tengah lingkaran api, menghadapi Malakar, sang tangan kanan Raja Kegelapan. Pedang hitam yang tampak seperti kumpulan bayangan menggeliat di tangan Malakar, sementara senyumnya yang dingin memperlihatkan kesombongannya."Ananta, Kirana," katanya dengan suara yang menggema. "Kalian telah menunjukkan keberanian luar biasa sejauh ini. Tetapi di sini, perjalanan kalian akan berakhir. Pedangku telah menelan jiwa-jiwa jauh lebih kuat dari kalian berdua."Ananta mengarahkan pedangnya ke arah Malakar, matanya penuh dengan tekad. "Kami tidak akan berhenti di sini. Jika kau berpikir kami akan menyerah, kau salah besar!"Kirana, di sisi lain, memegang tongkat sihirnya dengan kedua tangan. Wajahnya serius, dan aliran energi dingin mulai mengelilinginya. "Ananta, kita harus berhati-hati. Aku bisa merasakan kekuatannya. Dia ja

  • Lintas Takdir dan Kutukan   Lorong Api dan Bayangan

    Bab 48 : Lorong Api dan BayanganLangkah kaki Ananta dan Kirana bergema di sepanjang lorong berliku yang mereka masuki setelah melewati gerbang kedua. Udara di sekeliling mereka terasa berat, dipenuhi bau belerang dan panas menyengat yang membuat setiap tarikan napas terasa menyakitkan. Di kanan dan kiri lorong itu, dinding-dinding berbatu memancarkan cahaya merah samar, seperti ada api yang mengintai di dalamnya."Ini bukan hanya sekadar lorong biasa," kata Kirana sambil memandangi sekeliling dengan curiga. "Aku merasakan aura yang sangat kuat di sini. Ada sesuatu yang mengawasi kita."Ananta menggenggam pedangnya lebih erat. "Kita harus tetap waspada. Tidak ada jalan kembali."Bayangan yang HidupSaat mereka melangkah lebih dalam, suara aneh mulai terdengar, seperti bisikan ribuan jiwa yang menyatu menjadi satu. Cahaya merah dari dinding-dinding lorong semakin terang, dan bayangan mereka sendiri mulai tampak bergerak dengan sendirinya, se

  • Lintas Takdir dan Kutukan   Jalan Menuju Kehancuran

    Bab 47 : Jalan Menuju KehancuranLangit di atas mereka semakin gelap seiring langkah kaki Ananta dan Kirana mendekati menara Raja Kegelapan. Awan hitam berputar seperti pusaran maut, seolah-olah alam semesta sedang mengawasi perjalanan mereka. Jalan setapak berbatu yang mereka lalui terasa seperti melangkah di atas tulang belulang, dengan setiap langkah membawa mereka semakin dekat pada kegelapan yang tak terbayangkan."Aku bisa merasakan kehadiran mereka," kata Kirana dengan nada waspada. "Pasukan Raja Kegelapan sedang menunggu kita."Ananta menggenggam erat pedangnya yang memancarkan cahaya lembut. "Mereka bisa menunggu selama yang mereka mau. Tapi aku tidak akan berhenti sampai kegelapan ini dihancurkan."Bayangan yang MengintaiSaat mereka melangkah lebih jauh, suasana semakin mencekam. Angin dingin berembus, membawa bisikan-bisikan menyeramkan yang memenuhi udara. Tiba-tiba, dari bayang-bayang pepohonan mati di sekitar mereka, sosok-so

  • Lintas Takdir dan Kutukan    Langkah Menuju Kematian

    Bab 46: Langkah Menuju KematianLangit di atas mereka dilapisi awan gelap yang berputar perlahan, seperti pusaran yang menelan setiap cahaya yang berusaha menerobos. Menara Raja Kegelapan menjulang di kejauhan, siluetnya begitu besar hingga tampak seperti dinding yang memisahkan dunia.Ananta dan Kirana berdiri di sebuah bukit kecil yang memberikan pemandangan langsung ke medan perang di depan mereka. Di bawah, tanah terlihat mati—kering, retak, dan tak ada tanda-tanda kehidupan. Udara dingin yang menyesakkan membuat mereka merasa seolah-olah memasuki dunia yang sepenuhnya berbeda.“Kita semakin dekat,” kata Kirana sambil memandangi menara itu dengan wajah tegang.“Tapi ini baru permulaan,” balas Ananta, matanya tajam memindai lingkungan. “Pasukan mereka tidak akan membiarkan kita masuk begitu saja.”Jalur BerbahayaMereka mulai melangkah menuruni bukit menuju jalan berbatu yang tampak se

  • Lintas Takdir dan Kutukan   Kegelapan yang Membelenggu

    Bab 45: Kegelapan yang Membelenggu Suara angin menderu memenuhi udara ketika Ananta jatuh ke dalam jurang bersama Sagara. Dunia di sekitarnya terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Batu-batu tajam berlalu cepat di sekitarnya, dan di bawah, sungai berwarna gelap tampak seperti lubang tanpa dasar. Dalam beberapa detik yang terasa seperti keabadian, Ananta memusatkan pikirannya, mencoba menemukan jalan keluar dari kejatuhan maut ini. Namun, Sagara, dengan kekuatan barunya, tidak tinggal diam. Ia mencengkeram Ananta dengan kekuatan yang menghancurkan, membuat mereka terus terjatuh dalam putaran yang mematikan. “Aku akan menyeretmu ke neraka bersamaku, Ananta!” Sagara berteriak, suaranya penuh kebencian. Ananta, dengan refleks yang terasah, meraih pedangnya yang hampir terlepas dari genggaman. Dengan satu ayunan cepat, ia menebas lengan Sagara, memaksanya melepaskan cengkeraman itu. Tapi sebelum Ananta sempat bereaksi lebih jauh, tubuhnya menghantam

  • Lintas Takdir dan Kutukan   Dalam Kepungan Kegelapan

    Bab 44: Dalam Kepungan KegelapanMatahari mulai terbenam di cakrawala, meninggalkan langit yang dilapisi warna oranye dan ungu gelap. Ananta dan Kirana tiba di sebuah dataran tinggi berbatu yang tampak tak tersentuh oleh peradaban. Angin dingin menyapu wajah mereka, membawa bau samar tanah basah. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, mereka memutuskan untuk berhenti dan beristirahat.Ananta menatap cakrawala, pikiran-pikirannya bercampur aduk. Ghara telah mengorbankan dirinya, tetapi Ananta tidak yakin apakah pengorbanan itu cukup untuk mengubah jalannya takdir.“Kita harus bergerak cepat,” ujar Ananta akhirnya, memecah keheningan.“Tapi kau belum pulih sepenuhnya,” balas Kirana, nada suaranya menunjukkan keprihatinan yang mendalam.“Aku tidak punya pilihan. Jika Raja Kegelapan memutuskan untuk menyerang sekarang, kita akan kalah tanpa perlawanan.”Kirana menghela napas. Ia tahu Ana

  • Lintas Takdir dan Kutukan   Bayangan Pengkhianatan

    Bab 43: Bayangan PengkhianatanSetelah kemenangan mereka di puncak gunung, Ananta dan Kirana melanjutkan perjalanan mereka menuruni lembah yang sunyi. Sinar matahari pagi menyelinap di antara celah pepohonan, membawa sedikit kehangatan setelah malam yang penuh perjuangan. Namun, suasana di antara mereka terasa tegang. Luka Ananta akibat serangan terakhir Sagara belum sepenuhnya pulih meskipun Kirana telah menggunakan sihir penyembuhannya.“Kau seharusnya lebih berhati-hati,” ujar Kirana dengan nada khawatir. Ia terus memandang Ananta yang berjalan dengan terpincang-pincang.“Tidak ada waktu untuk hati-hati saat nyawamu terancam,” jawab Ananta sambil tersenyum tipis. “Aku tidak akan membiarkan siapa pun melukaimu, Kirana.”Namun, Kirana tetap diam. Perasaan bersalah menghantui dirinya. Dia tahu bahwa perjalanan ini semakin berbahaya, dan kini ancaman baru bisa datang dari mana saja—bahkan dari mereka yang

  • Lintas Takdir dan Kutukan   Puncak Takdir dan Bayangan Kegelapan

    Bab 42: Puncak Takdir dan Bayangan KegelapanLangkah Ananta dan Kirana semakin mantap mendekati puncak gunung. Cahaya keemasan yang menyelubungi puncak semakin terang, tetapi dengan setiap langkah yang mereka ambil, tekanan di udara semakin berat. Ada sesuatu yang menunggu mereka di atas—sesuatu yang besar, kuat, dan penuh misteri.“Semakin mendekat, aku merasa semakin sulit bernapas,” ucap Kirana sambil menyeka keringat di dahinya.“Ini bukan hanya udara tipis,” kata Ananta, matanya menyipit. “Ini adalah energi. Sesuatu di atas mencoba menghentikan kita.”Namun, tekad mereka tak tergoyahkan. Mereka melanjutkan langkah, melewati jalur-jalur sempit yang berbatu. Ketika akhirnya mencapai puncak, pemandangan di depan mereka membuat mereka terdiam.Puncak yang Hilang WaktuPuncak gunung ternyata bukan hanya sebuah dataran kosong. Di tengah-tengahnya berdiri sebuah kuil kuno yang terlihat sepe

  • Lintas Takdir dan Kutukan   Pendakian ke Puncak Takdir

    Bab 41: Pendakian ke Puncak TakdirLangkah kaki Ananta dan Kirana semakin berat saat mereka menapaki jalur menanjak menuju puncak gunung. Udara semakin tipis, suhu turun drastis, dan angin dingin menyerang tubuh mereka tanpa ampun. Meski begitu, tekad mereka tak goyah. Di kejauhan, puncak gunung tampak bersinar redup, seperti dipeluk kabut emas.“Menurutmu, apa yang akan kita temukan di sana?” tanya Kirana, suaranya sedikit terengah karena pendakian.“Entahlah,” jawab Ananta sambil menggenggam erat gagang pedangnya. “Tapi apa pun itu, kita harus siap.”Jalur yang mereka lewati semakin sulit. Batu-batu licin dan jurang menganga di sisi kanan membuat setiap langkah penuh risiko. Namun, tidak hanya medan yang menjadi tantangan mereka. Di sepanjang perjalanan, mereka mulai merasakan sesuatu—sebuah kehadiran yang tidak terlihat tetapi jelas terasa.“Kau merasakannya?” tanya Ananta sambi

DMCA.com Protection Status