Bab 5: Ujian Kendali
Pagi itu, Ananta bangun dengan kepala yang berat. Mimpi buruk yang diisi suara pria berjubah hitam tadi malam masih membekas, membuat tubuhnya terasa lelah dan pikirannya kusut. Namun, ia ingat janji yang ia buat untuk dirinya sendiri—ia akan berusaha mengendalikan kekuatannya, meski terasa hampir mustahil. Di dalam hatinya, ada secercah tekad untuk menantang kutukan yang seolah menguasainya. Saat Ananta bersiap di ruang latihan istana, Randu datang menyapanya dengan senyum penuh semangat. “Sudah siap, Pangeran? Hari ini kita akan memulai latihan untuk membantu Anda mengendalikan kekuatan itu.” Ananta tersenyum tipis. Meskipun ia ragu bisa menguasai kekuatan gelapnya, kehadiran Randu membuatnya merasa lebih berani untuk mencoba. Randu menjelaskan, “Hari ini, kita akan fokus pada pengendalian amarah. Aku akan mengajarkan teknik-teknik dasar untuk menjaga pikiran tetap tenang. Jika amarahmu bisa kau kendalikan, kekuatan itu mungkin bisa terpendam, atau setidaknya kau akan lebih siap untuk menghadapinya.” Ananta mengangguk, mendengarkan dengan serius. Mereka mulai dengan beberapa latihan pernapasan, di mana Randu membimbingnya untuk fokus dan membersihkan pikirannya. Awalnya, Ananta merasa sulit untuk tenang. Setiap kali ia mencoba menutup matanya dan menenangkan diri, bayangan pria berjubah hitam itu muncul, menyeringai dan membisikkan kata-kata yang mengusik batinnya. Tetapi Randu sabar. Ia terus membimbing Ananta dengan suara yang tenang dan penuh pengertian, mengingatkan bahwa proses ini membutuhkan waktu dan ketekunan. Ananta, meski kerap kehilangan fokus, perlahan mulai merasakan ketenangan yang baru dalam dirinya. --- Latihan yang Tak Terduga Setelah beberapa saat berlatih, Randu memutuskan untuk menguji Ananta dengan tantangan yang lebih berat. Mereka pindah ke lapangan terbuka di dekat istana, di mana Randu telah menyiapkan beberapa target kayu. Di sana, Randu memberi Ananta sebuah tantangan yang tidak biasa. “Kita akan mencoba mengalihkan amarahmu ke target ini,” kata Randu sambil menunjuk target-target tersebut. “Alih-alih membiarkan amarahmu mengendalikanmu, cobalah fokuskan energimu pada satu tujuan. Cobalah untuk mengarahkan kekuatan itu.” Ananta memandang target-target itu dengan sedikit keraguan, tetapi ia tahu bahwa ini adalah langkah penting. Jika ia berhasil, mungkin ia bisa memiliki sedikit kendali atas kekuatan yang selama ini menakutkannya. Ia memejamkan mata dan mencoba mengingat teknik-teknik pernapasan yang telah ia pelajari. Perlahan, ia mengizinkan sedikit amarah muncul dalam dirinya, tetapi kali ini ia berusaha untuk tidak terhanyut olehnya. Ia mencoba mengarahkan amarah itu, membentuknya menjadi sesuatu yang lebih terkendali. Tiba-tiba, dari telapak tangannya, muncul cahaya gelap yang berkilau tajam, bagaikan bayangan yang dipenuhi energi. Dengan satu hentakan, ia melepaskan energi itu ke arah salah satu target. Ledakan terjadi, menghancurkan target kayu menjadi serpihan. Ananta menatap tangannya, terkejut dan kagum. Ia baru saja berhasil mengendalikan sebagian kecil kekuatannya. Meski hanya sesaat, ia merasakan kebanggaan yang baru dalam dirinya. Randu tersenyum puas. “Luar biasa, Pangeran! Itu adalah langkah besar!” Namun, saat Ananta masih terbuai oleh keberhasilannya, ia merasakan sesuatu yang tak beres. Energi gelap dalam dirinya tiba-tiba melonjak keluar, lebih kuat dari sebelumnya. Ia tak dapat menghentikannya. Energi itu mengalir liar, membuat tubuhnya bergetar hebat. “Apa yang terjadi…?” Ananta berusaha menahan, tetapi energinya mulai keluar tak terkendali, mengalir ke sekelilingnya seperti badai hitam. Randu segera menyadari situasi ini dan berusaha mendekati Ananta. “Tenang, Ananta! Fokuskan pikiranmu! Jangan biarkan kekuatan itu menguasaimu!” seru Randu, mencoba membimbingnya. Namun, dorongan energi itu terlalu kuat. Ananta merasakan tubuhnya semakin sulit dikendalikan, amarah dan kegelapan mulai menguasai pikirannya. Suara bisikan pria berjubah hitam itu kembali terdengar, menggodanya untuk melepaskan semua batasan. “Ananta… ini adalah kekuatanmu yang sebenarnya. Jangan takut… biarkan aku membimbingmu,” suara pria itu terdengar semakin jelas, seperti desis ular yang berbahaya. Ananta berjuang melawan dorongan itu, tetapi kegelapan tersebut terus menyerang pikirannya, membuatnya hampir menyerah. Namun, di tengah kekalutan itu, ia mendengar suara Randu yang memanggilnya dengan lembut dan penuh ketulusan. “Ananta, dengarkan aku! Kau lebih kuat dari kegelapan ini. Jangan biarkan suara itu menguasaimu. Fokuslah pada harapanmu, bukan amarahmu!” Mendengar kata-kata Randu, Ananta mencoba mengingat semua harapan dan impiannya—keinginan untuk diterima, untuk melindungi, dan untuk menjadi pangeran yang layak bagi rakyatnya. Perlahan, kegelapan dalam dirinya mulai mereda, dan energi liar itu berhenti mengalir keluar. Setelah beberapa saat, Ananta terjatuh ke tanah, kelelahan dan berkeringat. Tubuhnya terasa lemah, tetapi ada perasaan lega dalam hatinya. Ia baru saja memenangkan pertarungan kecil melawan kegelapan dalam dirinya. --- Ikatan yang Semakin Erat Randu menghampiri Ananta dan membantunya berdiri. “Kau berhasil, Pangeran. Kau baru saja menunjukkan bahwa kau bisa melawan kegelapan itu. Mungkin hanya sebentar, tetapi itu sudah cukup sebagai permulaan.” Ananta tersenyum lemah, merasa lega bahwa dirinya tidak sepenuhnya dikuasai kekuatan gelap itu. Meskipun perjalanan ini baru dimulai, kehadiran Randu memberinya harapan bahwa ia bisa menjadi lebih kuat dan mengendalikan kekuatan tersebut. “Terima kasih, Randu. Aku tak tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak ada di sini,” kata Ananta dengan tulus. Randu menepuk pundaknya. “Ingat, kau tidak sendirian, Ananta. Aku dan semua orang yang peduli padamu akan selalu ada untukmu.” Ananta merasa perasaan hangat dalam dirinya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa kekuatannya bisa digunakan untuk tujuan yang baik, bukan sekadar alat bagi kegelapan. Di balik semua ketakutan dan kebencian, ia menemukan secercah harapan untuk masa depan yang lebih baik. --- Ancaman yang Mengintai Namun, ketika mereka hendak kembali ke istana, Randu tiba-tiba merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia melihat bayangan-bayangan aneh bergerak di balik pepohonan. Dengan sigap, Randu menarik pedangnya, bersiap menghadapi ancaman yang mungkin muncul. “Pangeran, tetaplah di belakangku,” bisik Randu. Ananta yang masih kelelahan, memandang sekeliling dengan waspada. Dalam hatinya, ia merasakan bahwa kekuatan gelap dalam dirinya entah bagaimana menarik makhluk-makhluk jahat. Ia merasa bahwa ini bukan ancaman biasa. Dari balik pepohonan, muncul beberapa sosok yang menyeramkan, makhluk-makhluk berbentuk bayangan dengan mata merah menyala. Mereka tampak mengincar Ananta, seolah-olah tertarik oleh kekuatan yang baru saja ia lepaskan. “Makhluk-makhluk ini… datang untukku?” gumam Ananta, tubuhnya menegang. Randu mengangguk, menatap makhluk-makhluk itu dengan serius. “Mereka pasti makhluk kegelapan yang tertarik oleh kekuatanmu. Kita harus bertindak cepat sebelum mereka menyerang istana.” Ananta merasakan perasaan takut dan bersalah. Ia menyadari bahwa kekuatannya tidak hanya mempengaruhi dirinya sendiri, tetapi juga bisa membawa bahaya bagi orang-orang di sekitarnya. Randu melangkah maju, menyiapkan pedangnya untuk bertarung. “Ananta, jika kau masih punya sedikit kekuatan, bantu aku mengusir makhluk-makhluk ini. Kita akan melindungi istana bersama-sama.” Dengan tekad baru, Ananta menguatkan diri. Meskipun masih lelah, ia berusaha mengendalikan sisa kekuatannya. Bersama Randu, ia bersiap menghadapi makhluk-makhluk kegelapan yang mengancam. ---Bab 6: Dalam Bayang-Bayang KegelapanLangit malam yang kelam seolah turut menyaksikan pertempuran di depan istana. Ananta berdiri dengan napas tersengal, menggenggam erat pedangnya, sementara Randu berdiri di sisinya, siap melindunginya kapan saja. Di hadapan mereka, beberapa makhluk bayangan dengan mata merah menyala mengeluarkan desisan aneh, seperti binatang buas yang kelaparan.Randu melirik Ananta dengan pandangan penuh percaya diri. “Ingat apa yang kau pelajari hari ini, Ananta. Kendalikan energimu. Jangan biarkan kegelapan itu menguasaimu.”Ananta mengangguk pelan. Meski tubuhnya masih kelelahan akibat latihan, ia tahu bahwa inilah saatnya membuktikan bahwa ia bisa mengendalikan kekuatannya.Makhluk-makhluk bayangan itu maju perlahan, dan seiring langkah mereka, udara di sekitar terasa semakin dingin dan menyesakkan. Ananta menajamkan fokusnya, mengingat kembali teknik pernapasan yang diajarkan Randu. Perlahan, ia merasa tenang, dan energi
Bab 7: Jejak Masa LaluMatahari terbit dengan sinar lembut di ufuk timur, namun istana tetap diselimuti ketegangan. Malam sebelumnya telah meninggalkan banyak pertanyaan di benak Ananta. Suara-suara misterius dari sosok berjubah hitam terus menghantuinya, menggoda pikirannya untuk menyerah dan membiarkan kekuatan itu menguasainya. Meski Randu dan Raja memberikan dorongan semangat, Ananta merasakan ada yang hilang—sebuah kepastian tentang siapa dirinya sebenarnya dan apa arti kekuatan yang membebaninya.Pagi itu, Ananta memutuskan untuk mencari jawaban. Ia pergi ke perpustakaan istana, tempat di mana sejarah kerajaan dan legenda kuno disimpan dalam gulungan dan buku-buku yang berdebu. Ia berharap dapat menemukan petunjuk mengenai kekuatan yang dimilikinya. Randu, yang setia menemaninya, dengan diam-diam mengikuti langkahnya."Ananta, apa kau yakin akan menemukan jawabannya di sini?" tanya Randu sambil melihat rak-rak tinggi yang dipenuhi naskah kuno.
Bab 8: Petunjuk dari Masa SilamMalam mulai menyelimuti istana, membawa angin dingin yang berembus lembut di luar jendela kamar Ananta. Sejak percakapan terakhirnya dengan sang Raja, Ananta semakin terdorong untuk menggali lebih dalam tentang kekuatan yang dimilikinya. Ia tidak ingin berdiam diri menunggu kegelapan itu merasuk lebih dalam; ia harus mencari tahu segala hal yang mungkin bisa membantunya memahami kutukan yang menghantuinya.Pagi itu, Ananta kembali ke perpustakaan istana, membawa tekad baru. Kali ini, ia memfokuskan pencariannya pada naskah-naskah yang mungkin mencatat sejarah atau legenda keluarga kerajaan yang terkait dengan kekuatan misterius. Randu, yang sejak awal setia menemani, kembali berada di sampingnya, membantunya menyusun lembar demi lembar naskah tua.“Aku harus menemukan sesuatu yang lebih spesifik. Cerita atau legenda yang menggambarkan leluhur kita dan kutukan ini,” ujar Ananta, setengah berbicara kepada dirinya sendiri.
Bab 9: Pertemuan Tak TerdugaSetelah perjalanan panjang dari kuil, Ananta dan Randu tiba kembali di istana dengan tubuh yang kelelahan, namun pikiran Ananta penuh dengan berbagai rencana. Temuannya di kuil tentang Cermin Bayangan telah membuka tabir misteri yang selama ini menggelayut dalam keluarganya. Ia tahu bahwa untuk memutus kutukan itu, ia harus menemukan cara untuk menguasai kegelapan di dalam dirinya—sebuah tugas yang mengerikan, tetapi perlu dilakukan.Namun, belum sempat Ananta beristirahat, kabar yang mengejutkan datang di pagi harinya. Randu datang terburu-buru ke kamarnya, dengan wajah serius yang menandakan sesuatu yang mendesak.“Tuan Ananta, Anda harus segera ke gerbang istana. Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda,” kata Randu, napasnya terengah-engah.“Siapa?” tanya Ananta dengan rasa penasaran yang bercampur cemas.“Dia tidak mau menyebutkan namanya, tapi dia membawa simbol yang aneh… sebuah tanda di dadany
Bab 10: Menguak Jejak Masa Lalu Malam menyelimuti istana dengan keheningan yang mencekam. Namun bagi Ananta, keheningan itu bukanlah pertanda ketenangan. Justru sebaliknya, setiap detik yang berlalu terasa semakin berat, seolah bayangan kegelapan semakin mendekat. Sejak kemunculan Laksana dan pesan misterius yang ditinggalkan di bawah pintu kamarnya, Ananta tidak bisa lagi merasa tenang. Siapa pun yang mengawasinya tahu lebih banyak tentang kutukan ini dibanding dirinya sendiri. Dan sekarang, setelah pria tua di pasar desa memberi tahu bahwa Laksana bukan hanya seorang pria biasa, melainkan bagian dari kutukan itu sendiri, Ananta mulai merasa seolah-olah ia tidak hanya melawan nasib, tapi juga seluruh sejarah keluarganya. Malam itu, ia memutuskan untuk mencari informasi lebih jauh tentang kutukan yang menjeratnya. Ia teringat pada sebuah ruangan di sayap istana yang jarang dikunjungi, sebuah ruang arsip tua yang berisi catatan-
Bab 11: Titik Awal PerjalananPagi itu, Ananta berdiri di gerbang istana dengan pandangan penuh tekad. Mimpinya tentang bayangan kegelapan dan ancaman yang terus menghantui membuatnya yakin akan satu hal: perjalanan mencari Pedang Cahaya harus segera dimulai. Meski ancaman dari kutukan dan Laksana masih mengintai, ia tahu tak ada jalan lain.Randu berdiri di sampingnya, membawa beberapa bekal dan peralatan yang diperlukan untuk perjalanan panjang. Sahabat setianya itu tampak tegas dan siap mendampingi Ananta, meski mereka belum tahu seberapa jauh perjalanan ini akan membawa mereka.“Apa yang akan kita lakukan sekarang, Ananta? Di mana kita bisa memulai pencarian Pedang Cahaya itu?” tanya Randu dengan nada was-was.Ananta menatap sahabatnya, lalu menghela napas panjang. “Menurut catatan dalam buku itu, pedang itu pernah dibuat oleh leluhur kita yang bernama Jaya, dan konon, pedang itu disembunyikan di suatu tempat yang terlindung oleh sihir.”
Bab 12: Ujian Kejujuran HatiKilatan cahaya dari batu permata di altar itu memancarkan cahaya putih ke dalam pikiran Ananta, menghilangkan sejenak dunia di sekitarnya. Ia kini merasa berdiri di ruang tanpa batas, dikelilingi oleh bayangan-bayangan samar yang membisikkan suara-suara yang tidak dikenalnya.Suara-suara itu tidak sepenuhnya asing, namun terasa seperti gema dari masa lalu yang samar. Tiba-tiba, ia melihat bayangan seseorang yang sangat dikenalnya—ayahnya. Sosok sang raja berdiri tegap, tatapan tegas namun penuh kekecewaan mengarah padanya.“Ananta, mengapa kau begitu lemah?” suara ayahnya menggema. “Kutukan ini adalah akibat dari darah kita sendiri, namun kau memilih lari dari kenyataan.”Ananta terdiam. Kutukan yang ia alami adalah beban yang sudah lama ia pikul, tetapi kata-kata ayahnya kini mengusik hatinya. Apakah selama ini ia hanya mencoba melarikan diri dari takdirnya, alih-alih menghadapi kenyataan yang sebenarnya?Bay
Bab 13: Ujian Terakhir di Lembah BayanganAnanta dan Randu berjalan di belakang Sekar, menyusuri jalan berliku yang membawa mereka semakin dalam ke jantung lembah. Setelah melewati berbagai ujian yang mengguncang keyakinan dan keberanian mereka, ujian terakhir ini terasa lebih menegangkan. Meski kelelahan mulai terasa, tekad mereka semakin kuat untuk menghadapi apa pun yang akan datang.Sekar akhirnya berhenti di depan pintu batu besar yang berdiri di antara dinding jurang, di ujung jalan setapak yang sempit. Pintu itu dihiasi dengan simbol-simbol kuno yang tidak dapat mereka pahami, dan cahaya aneh memancar dari celah-celahnya.“Ini adalah pintu menuju ujian terakhir,” kata Sekar, suaranya tenang tetapi penuh dengan peringatan. “Di balik pintu ini, kau akan menghadapi ketakutan terdalam dalam jiwamu. Ini adalah ujian yang sangat pribadi, Ananta. Kau akan menghadapinya sendiri, tanpa bantuan.”Ananta menatap pintu batu itu dengan perasaan bercampu
Bab 71 : Raksasa HitamMakhluk besar itu berdiri tegak, menghalangi jalan Ananta dan Arya. Bayangan tubuhnya yang masif menelan cahaya yang sedikit tersisa di hutan. Tubuhnya menutupi pelat-pelat hitam mengilap, dan setiap langkahnya membuat tanah bergetar. Dari mulut yang dipenuhi taring tajam, terdengar geraman rendah yang menggema di sekitar.“Ini lebih besar dari yang lain,” bisik Arya, matanya terus memperhatikan gerakan makhluk itu.Ananta mengangguk, mengangkat pedangnya. "Pelat hitam itu sepertinya perlindungan. Kita harus mencari celah di antara pelat-pelat itu."Makhluk itu melangkah maju, setiap langkahnya membuat dedaunan jatuh dari pepohonan. Dengan gerakan yang tak terduga, ia melingkarkan cakarnya yang besar ke arah mereka. Arya melompat ke samping, sementara Ananta melebar ke arah yang berlawanan, nyaris menghindari serangan itu.Pertempuran yang Melelahkan"Serang dari sisi tempatnya!" seru Ananta sam
Langit di atas lembah perlahan kembali cerah, namun atmosfernya tetap menyimpan ketegangan yang tak terucapkan. Sisa-sisa energi gelap masih terasa di udara, membuat setiap tarikan napas terasa berat. Ananta memandang ke arah Arya yang sedang memeriksa keadaan pedangnya. Cahaya di pedang mereka kini memudar, meninggalkan perasaan kelelahan yang ada di tubuh mereka.“Dia kabur lagi,” ujar Arya dengan nada kecewa, suaranya pecah oleh rasa lelah."Ya," jawab Ananta singkat, matanya masih menutupi celah tempat pria tertutup hitam itu menghilang. "Tapi dia tidak bisa terus bersembunyi. Luka yang kita berikan cukup dalam. Itu akan memperlambatnya."Arya menghela nafas berat dan mengusap keringat di keningnya. "Kita harus mencari tahu ke mana dia pergi. Jika dia berhasil memulihkan dirinya, kita mungkin tidak akan memiliki kesempatan seperti ini lagi."Tanda dari LangitSaat mereka berdua berdiri di tengah celah yang hening, sebu
Bab 69: Pertarungan di Ambang KegelapanMalam dingin semakin menusuk ketika energi kegelapan di celah besar itu mulai mengacaukan udara. Awan hitam pekat berputar-putar di atas kepala mereka, membentuk lingkaran yang menakutkan. Pria membentang hitam itu berdiri di atas batu besar di tengah celah, seolah menguasai semua yang ada di sekitarnya. Di tangannya, ia memegang tongkat dengan kristal gelap yang bersinar memancarkan aura kejahatan."Kalian datang ke sini untukAnanta maju mengayunkan, tangannya menggenggam pedang bercahaya yang dia peroleh setelah pertarungan melawan Raja Kegelapan. Cahaya dari pedangnya terasa seperti satu-satunya harapan di tengah aura gelap itu. "Kami datang untuk mengakhPria itu tertawa, suara tawanya seperti campuran kebencian dan kegilaan. "Kegelapan tidak bisa dihentikan. Bahkan ketika kalian memotong salah satu cabangnya, akarnya tetap adaGelombang Pertama: Makhluk KegelapanDengan sebuah gerakan
Bab 68 : Bayangan Baru di Ufuk TimurMatahari mulai tenggelam di ufuk barat, meninggalkan langit yang diliputi warna oranye dan merah muda. Ananta dan Arya, yang kini menjadi simbol harapan di dunia yang telah pulih dari kegelapan, berdiri di sebuah bukit kecil yang menghadap ke hamparan desa yang perlahan pulih. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basahPertemuan RahasiaOleh karena itu, mereka kembali ke rumah tua di pinggiran desa, tempat mereka sering berkumpul untuk merencanakan langkah berikutnya. Utusan dari kerajaan, seorang pria paruh baya bernama Eldros, telah menunggu mereka dengan wajah yang tampak tegang. Sebuah peta besar tergelar di meja kayu yang sudah mulai lapuk."Kita menghadapi ancaman baru," kata Eldros tanpa basa-basi. Tangannya menunjuk sebuah wilayah di peta, jauh di timur, di mana tanda-tanda merah menghiasi area tertentu. “Ini adalah sisa-sisa kekuatanArya membukakan mata, mencoba memahami detail pada peta tersebut. "Ingat kita sudah menghancurkan gerbang
Kekacauan telah berlalu, namun dunia masih terasa hening, seolah menahan napas untuk memahami apa yang baru saja terjadi. Langit, yang selama ini diliput kegelapan pekat, perlahan berubah menjadi biru cerah. Sinar matahari yang lama tertutup akhirnya menyentuh tanah, menghangatkan dunia yang telah terlalu lama membekukan dalam bayang-bayang ketakutan.Ananta dan Arya berdiri di tengah medan pertempuran. Tubuh mereka lemah, nyaris tidak mampu bergerak. Debut beterbangan di sekeliling mereka, bercampur dengan sisa-sisa energi yang masih menguap dari ledakan gerbang kegelapan. Namun, mata mereka memandang ke pemandangan dengan rasa lega yang tak terkatakan. Mereka telah melakukannya. Kegelapan telah dikalahkan.Jejak Pengorbanan"Semua ini... akhirnya selesai," gumam Arya dengan suara serak. Ia memandang ke arah pedang yang tertancap di tanah, pedang yang kini bersinar redup, seolah-olah ikut kelelahan setelah pertempuran panjang.Ananta meng
Ananta terbaring di tanah, tubuhnya nyaris tak bergerak. Rasa sakitnya begitu luar biasa hingga membuatnya hampir tak bisa bernapas. mengalir dari luka-luka yang menggores tubuhnya, membasahi tanah di sekitarnya. Di perhubungan, Arya juga terkapar, tubuhnya terguncang keras setelah dihantam gelombang energi hitam yang begitu kuat.Namun, meskipun menyakitkan merobek tubuh mereka, ada satu hal yang masih membara di dalam diri mereka: harapan. Harapan yang pernah ditanamkan oleh Kirana, harapan yang tidak bisa begitu saja padam, meski dunia seakan runtuh di hadapan mereka.“Arya…” suara Ananta terdengar lemah, hampir tak terdengar di tengah kegelapan yang melanda mereka. “Kita… tidak bisa menyerah.”Arya terengah-engah, wajahnya penuh dengan darah dan debu. "Bagaimana kita bisa menang melawan semua ini?" desahnya, suaranya penuh dengan keputusasaan. "Kegelapan ini... sepertinya tak ada habisnya."A
Kegelapan yang tersisa di sekitar mereka semakin menebal. Sisa-sisa energi yang dipancarkan oleh Raja Kegelapan bergulung, membentuk pusaran hitam yang mengancam untuk menghancurkan seluruh dunia mereka. Namun, setelah cahaya yang menghilang begitu cepat, sebuah rasa hampa yang mendalam mengisi setiap sudut. Kirana—sahabat mereka yang berani—hilang begitu saja. Tidak ada yang bisa mereka lakukan, kecuali berdiri di bawah, menatap pedang Kirana yang tertancap di tanah, tempat dia berdiri saat pengorbanan itu terjadi.Ananta berdiri dengan tangan gemetar, memegang pedang Kirana dengan erat. Air mata mengalir di wajahnya, meskipun dia berusaha keras untuk menahan semuanya. “Kirana...” desahnya pelan, suaranya hampir tak terdengar. “Kenapa kamu melakukan ini?”Arya berdiri di tempatnya, tidak jauh lebih baik. “Kirana... kamu mengorbankan semuanya untuk kita. Apa yang harus kita lakukan sekarang? Apa yang bisa kita lakukan untuk menebus pengorbanan itu?”Ananta mengulurkan pedang itu lebih
Bab 64 : Titik Balik dalam KegelapanKabut pekat yang menyelimuti mereka bagaikan tembok tak kasat mata yang memisahkan dunia nyata dari kehampaan. Ananta, Kirana, dan Arya berusaha menahan rasa takut yang menjalar dalam hati mereka, namun kehadiran Raja Kegelapan membuat udara terasa semakin berat. Waktu seolah-olah berhenti, memberi mereka kesempatan untuk menghadapi apa yang akan datang.“Jangan biarkan dirimu lengah,” bisik Ananta dengan suara lemah namun penuh tekad. Dia menggenggam pedangnya lebih erat, meskipun luka-luka di tubuhnya terus memancarkan rasa sakit. “Kita hanya punya satu kesempatan.”Arya mengangguk. “Tapi apa yang bisa kita lakukan? Bahkan semua serangan kita sebelumnya tidak cukup untuk menghancurkannya.”Kirana menatap kegelapan yang menyelimuti mereka, pikirannya berlomba mencari solusi. “Mungkin kita tidak perlu menghancurkannya,” katanya perlahan, matanya menyala dengan i
Bab 63: Kekuatan Kegelapan yang BangkitSinar terang yang sebelumnya menyelubungi Raja Kegelapan meredup, digantikan oleh bayang-bayang pekat yang menggelap di sekelilingnya. Retakan yang telah mereka serang dengan segala kekuatan mereka mulai menutup kembali dengan cepat, menambah kekuatan yang lebih besar pada tubuhnya. Aura kegelapan semakin kuat, semakin menekan, seolah-olah seluruh alam semesta bergetar oleh kekuatan yang dia pancarkan. Platform batu yang mereka berdiri di atasnya bergetar hebat, hampir ambruk.Kirana merasakan beban yang semakin berat di tubuhnya. “Tidak... ini tidak mungkin,” desisnya. Tubuhnya sudah hampir habis energi, dan perisai yang dia ciptakan mulai retak. “Apa yang sedang terjadi?”Ananta menatap Raja Kegelapan dengan penuh kekhawatiran. “Kita sudah menyerangnya dengan segala yang kita punya, tapi kenapa dia malah semakin kuat?”Raja Kegelapan tertawa keras, suaranya menggetarka