Bab 5: Ujian Kendali
Pagi itu, Ananta bangun dengan kepala yang berat. Mimpi buruk yang diisi suara pria berjubah hitam tadi malam masih membekas, membuat tubuhnya terasa lelah dan pikirannya kusut. Namun, ia ingat janji yang ia buat untuk dirinya sendiri—ia akan berusaha mengendalikan kekuatannya, meski terasa hampir mustahil. Di dalam hatinya, ada secercah tekad untuk menantang kutukan yang seolah menguasainya. Saat Ananta bersiap di ruang latihan istana, Randu datang menyapanya dengan senyum penuh semangat. “Sudah siap, Pangeran? Hari ini kita akan memulai latihan untuk membantu Anda mengendalikan kekuatan itu.” Ananta tersenyum tipis. Meskipun ia ragu bisa menguasai kekuatan gelapnya, kehadiran Randu membuatnya merasa lebih berani untuk mencoba. Randu menjelaskan, “Hari ini, kita akan fokus pada pengendalian amarah. Aku akan mengajarkan teknik-teknik dasar untuk menjaga pikiran tetap tenang. Jika amarahmu bisa kau kendalikan, kekuatan itu mungkin bisa terpendam, atau setidaknya kau akan lebih siap untuk menghadapinya.” Ananta mengangguk, mendengarkan dengan serius. Mereka mulai dengan beberapa latihan pernapasan, di mana Randu membimbingnya untuk fokus dan membersihkan pikirannya. Awalnya, Ananta merasa sulit untuk tenang. Setiap kali ia mencoba menutup matanya dan menenangkan diri, bayangan pria berjubah hitam itu muncul, menyeringai dan membisikkan kata-kata yang mengusik batinnya. Tetapi Randu sabar. Ia terus membimbing Ananta dengan suara yang tenang dan penuh pengertian, mengingatkan bahwa proses ini membutuhkan waktu dan ketekunan. Ananta, meski kerap kehilangan fokus, perlahan mulai merasakan ketenangan yang baru dalam dirinya. --- Latihan yang Tak Terduga Setelah beberapa saat berlatih, Randu memutuskan untuk menguji Ananta dengan tantangan yang lebih berat. Mereka pindah ke lapangan terbuka di dekat istana, di mana Randu telah menyiapkan beberapa target kayu. Di sana, Randu memberi Ananta sebuah tantangan yang tidak biasa. “Kita akan mencoba mengalihkan amarahmu ke target ini,” kata Randu sambil menunjuk target-target tersebut. “Alih-alih membiarkan amarahmu mengendalikanmu, cobalah fokuskan energimu pada satu tujuan. Cobalah untuk mengarahkan kekuatan itu.” Ananta memandang target-target itu dengan sedikit keraguan, tetapi ia tahu bahwa ini adalah langkah penting. Jika ia berhasil, mungkin ia bisa memiliki sedikit kendali atas kekuatan yang selama ini menakutkannya. Ia memejamkan mata dan mencoba mengingat teknik-teknik pernapasan yang telah ia pelajari. Perlahan, ia mengizinkan sedikit amarah muncul dalam dirinya, tetapi kali ini ia berusaha untuk tidak terhanyut olehnya. Ia mencoba mengarahkan amarah itu, membentuknya menjadi sesuatu yang lebih terkendali. Tiba-tiba, dari telapak tangannya, muncul cahaya gelap yang berkilau tajam, bagaikan bayangan yang dipenuhi energi. Dengan satu hentakan, ia melepaskan energi itu ke arah salah satu target. Ledakan terjadi, menghancurkan target kayu menjadi serpihan. Ananta menatap tangannya, terkejut dan kagum. Ia baru saja berhasil mengendalikan sebagian kecil kekuatannya. Meski hanya sesaat, ia merasakan kebanggaan yang baru dalam dirinya. Randu tersenyum puas. “Luar biasa, Pangeran! Itu adalah langkah besar!” Namun, saat Ananta masih terbuai oleh keberhasilannya, ia merasakan sesuatu yang tak beres. Energi gelap dalam dirinya tiba-tiba melonjak keluar, lebih kuat dari sebelumnya. Ia tak dapat menghentikannya. Energi itu mengalir liar, membuat tubuhnya bergetar hebat. “Apa yang terjadi…?” Ananta berusaha menahan, tetapi energinya mulai keluar tak terkendali, mengalir ke sekelilingnya seperti badai hitam. Randu segera menyadari situasi ini dan berusaha mendekati Ananta. “Tenang, Ananta! Fokuskan pikiranmu! Jangan biarkan kekuatan itu menguasaimu!” seru Randu, mencoba membimbingnya. Namun, dorongan energi itu terlalu kuat. Ananta merasakan tubuhnya semakin sulit dikendalikan, amarah dan kegelapan mulai menguasai pikirannya. Suara bisikan pria berjubah hitam itu kembali terdengar, menggodanya untuk melepaskan semua batasan. “Ananta… ini adalah kekuatanmu yang sebenarnya. Jangan takut… biarkan aku membimbingmu,” suara pria itu terdengar semakin jelas, seperti desis ular yang berbahaya. Ananta berjuang melawan dorongan itu, tetapi kegelapan tersebut terus menyerang pikirannya, membuatnya hampir menyerah. Namun, di tengah kekalutan itu, ia mendengar suara Randu yang memanggilnya dengan lembut dan penuh ketulusan. “Ananta, dengarkan aku! Kau lebih kuat dari kegelapan ini. Jangan biarkan suara itu menguasaimu. Fokuslah pada harapanmu, bukan amarahmu!” Mendengar kata-kata Randu, Ananta mencoba mengingat semua harapan dan impiannya—keinginan untuk diterima, untuk melindungi, dan untuk menjadi pangeran yang layak bagi rakyatnya. Perlahan, kegelapan dalam dirinya mulai mereda, dan energi liar itu berhenti mengalir keluar. Setelah beberapa saat, Ananta terjatuh ke tanah, kelelahan dan berkeringat. Tubuhnya terasa lemah, tetapi ada perasaan lega dalam hatinya. Ia baru saja memenangkan pertarungan kecil melawan kegelapan dalam dirinya. --- Ikatan yang Semakin Erat Randu menghampiri Ananta dan membantunya berdiri. “Kau berhasil, Pangeran. Kau baru saja menunjukkan bahwa kau bisa melawan kegelapan itu. Mungkin hanya sebentar, tetapi itu sudah cukup sebagai permulaan.” Ananta tersenyum lemah, merasa lega bahwa dirinya tidak sepenuhnya dikuasai kekuatan gelap itu. Meskipun perjalanan ini baru dimulai, kehadiran Randu memberinya harapan bahwa ia bisa menjadi lebih kuat dan mengendalikan kekuatan tersebut. “Terima kasih, Randu. Aku tak tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak ada di sini,” kata Ananta dengan tulus. Randu menepuk pundaknya. “Ingat, kau tidak sendirian, Ananta. Aku dan semua orang yang peduli padamu akan selalu ada untukmu.” Ananta merasa perasaan hangat dalam dirinya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa kekuatannya bisa digunakan untuk tujuan yang baik, bukan sekadar alat bagi kegelapan. Di balik semua ketakutan dan kebencian, ia menemukan secercah harapan untuk masa depan yang lebih baik. --- Ancaman yang Mengintai Namun, ketika mereka hendak kembali ke istana, Randu tiba-tiba merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia melihat bayangan-bayangan aneh bergerak di balik pepohonan. Dengan sigap, Randu menarik pedangnya, bersiap menghadapi ancaman yang mungkin muncul. “Pangeran, tetaplah di belakangku,” bisik Randu. Ananta yang masih kelelahan, memandang sekeliling dengan waspada. Dalam hatinya, ia merasakan bahwa kekuatan gelap dalam dirinya entah bagaimana menarik makhluk-makhluk jahat. Ia merasa bahwa ini bukan ancaman biasa. Dari balik pepohonan, muncul beberapa sosok yang menyeramkan, makhluk-makhluk berbentuk bayangan dengan mata merah menyala. Mereka tampak mengincar Ananta, seolah-olah tertarik oleh kekuatan yang baru saja ia lepaskan. “Makhluk-makhluk ini… datang untukku?” gumam Ananta, tubuhnya menegang. Randu mengangguk, menatap makhluk-makhluk itu dengan serius. “Mereka pasti makhluk kegelapan yang tertarik oleh kekuatanmu. Kita harus bertindak cepat sebelum mereka menyerang istana.” Ananta merasakan perasaan takut dan bersalah. Ia menyadari bahwa kekuatannya tidak hanya mempengaruhi dirinya sendiri, tetapi juga bisa membawa bahaya bagi orang-orang di sekitarnya. Randu melangkah maju, menyiapkan pedangnya untuk bertarung. “Ananta, jika kau masih punya sedikit kekuatan, bantu aku mengusir makhluk-makhluk ini. Kita akan melindungi istana bersama-sama.” Dengan tekad baru, Ananta menguatkan diri. Meskipun masih lelah, ia berusaha mengendalikan sisa kekuatannya. Bersama Randu, ia bersiap menghadapi makhluk-makhluk kegelapan yang mengancam. ---Bab 6: Dalam Bayang-Bayang KegelapanLangit malam yang kelam seolah turut menyaksikan pertempuran di depan istana. Ananta berdiri dengan napas tersengal, menggenggam erat pedangnya, sementara Randu berdiri di sisinya, siap melindunginya kapan saja. Di hadapan mereka, beberapa makhluk bayangan dengan mata merah menyala mengeluarkan desisan aneh, seperti binatang buas yang kelaparan.Randu melirik Ananta dengan pandangan penuh percaya diri. “Ingat apa yang kau pelajari hari ini, Ananta. Kendalikan energimu. Jangan biarkan kegelapan itu menguasaimu.”Ananta mengangguk pelan. Meski tubuhnya masih kelelahan akibat latihan, ia tahu bahwa inilah saatnya membuktikan bahwa ia bisa mengendalikan kekuatannya.Makhluk-makhluk bayangan itu maju perlahan, dan seiring langkah mereka, udara di sekitar terasa semakin dingin dan menyesakkan. Ananta menajamkan fokusnya, mengingat kembali teknik pernapasan yang diajarkan Randu. Perlahan, ia merasa tenang, dan energi
Bab 7: Jejak Masa LaluMatahari terbit dengan sinar lembut di ufuk timur, namun istana tetap diselimuti ketegangan. Malam sebelumnya telah meninggalkan banyak pertanyaan di benak Ananta. Suara-suara misterius dari sosok berjubah hitam terus menghantuinya, menggoda pikirannya untuk menyerah dan membiarkan kekuatan itu menguasainya. Meski Randu dan Raja memberikan dorongan semangat, Ananta merasakan ada yang hilang—sebuah kepastian tentang siapa dirinya sebenarnya dan apa arti kekuatan yang membebaninya.Pagi itu, Ananta memutuskan untuk mencari jawaban. Ia pergi ke perpustakaan istana, tempat di mana sejarah kerajaan dan legenda kuno disimpan dalam gulungan dan buku-buku yang berdebu. Ia berharap dapat menemukan petunjuk mengenai kekuatan yang dimilikinya. Randu, yang setia menemaninya, dengan diam-diam mengikuti langkahnya."Ananta, apa kau yakin akan menemukan jawabannya di sini?" tanya Randu sambil melihat rak-rak tinggi yang dipenuhi naskah kuno.
Bab 8: Petunjuk dari Masa SilamMalam mulai menyelimuti istana, membawa angin dingin yang berembus lembut di luar jendela kamar Ananta. Sejak percakapan terakhirnya dengan sang Raja, Ananta semakin terdorong untuk menggali lebih dalam tentang kekuatan yang dimilikinya. Ia tidak ingin berdiam diri menunggu kegelapan itu merasuk lebih dalam; ia harus mencari tahu segala hal yang mungkin bisa membantunya memahami kutukan yang menghantuinya.Pagi itu, Ananta kembali ke perpustakaan istana, membawa tekad baru. Kali ini, ia memfokuskan pencariannya pada naskah-naskah yang mungkin mencatat sejarah atau legenda keluarga kerajaan yang terkait dengan kekuatan misterius. Randu, yang sejak awal setia menemani, kembali berada di sampingnya, membantunya menyusun lembar demi lembar naskah tua.“Aku harus menemukan sesuatu yang lebih spesifik. Cerita atau legenda yang menggambarkan leluhur kita dan kutukan ini,” ujar Ananta, setengah berbicara kepada dirinya sendiri.
Bab 9: Pertemuan Tak TerdugaSetelah perjalanan panjang dari kuil, Ananta dan Randu tiba kembali di istana dengan tubuh yang kelelahan, namun pikiran Ananta penuh dengan berbagai rencana. Temuannya di kuil tentang Cermin Bayangan telah membuka tabir misteri yang selama ini menggelayut dalam keluarganya. Ia tahu bahwa untuk memutus kutukan itu, ia harus menemukan cara untuk menguasai kegelapan di dalam dirinya—sebuah tugas yang mengerikan, tetapi perlu dilakukan.Namun, belum sempat Ananta beristirahat, kabar yang mengejutkan datang di pagi harinya. Randu datang terburu-buru ke kamarnya, dengan wajah serius yang menandakan sesuatu yang mendesak.“Tuan Ananta, Anda harus segera ke gerbang istana. Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda,” kata Randu, napasnya terengah-engah.“Siapa?” tanya Ananta dengan rasa penasaran yang bercampur cemas.“Dia tidak mau menyebutkan namanya, tapi dia membawa simbol yang aneh… sebuah tanda di dadany
Bab 10: Menguak Jejak Masa Lalu Malam menyelimuti istana dengan keheningan yang mencekam. Namun bagi Ananta, keheningan itu bukanlah pertanda ketenangan. Justru sebaliknya, setiap detik yang berlalu terasa semakin berat, seolah bayangan kegelapan semakin mendekat. Sejak kemunculan Laksana dan pesan misterius yang ditinggalkan di bawah pintu kamarnya, Ananta tidak bisa lagi merasa tenang. Siapa pun yang mengawasinya tahu lebih banyak tentang kutukan ini dibanding dirinya sendiri. Dan sekarang, setelah pria tua di pasar desa memberi tahu bahwa Laksana bukan hanya seorang pria biasa, melainkan bagian dari kutukan itu sendiri, Ananta mulai merasa seolah-olah ia tidak hanya melawan nasib, tapi juga seluruh sejarah keluarganya. Malam itu, ia memutuskan untuk mencari informasi lebih jauh tentang kutukan yang menjeratnya. Ia teringat pada sebuah ruangan di sayap istana yang jarang dikunjungi, sebuah ruang arsip tua yang berisi catatan-
Bab 11: Titik Awal PerjalananPagi itu, Ananta berdiri di gerbang istana dengan pandangan penuh tekad. Mimpinya tentang bayangan kegelapan dan ancaman yang terus menghantui membuatnya yakin akan satu hal: perjalanan mencari Pedang Cahaya harus segera dimulai. Meski ancaman dari kutukan dan Laksana masih mengintai, ia tahu tak ada jalan lain.Randu berdiri di sampingnya, membawa beberapa bekal dan peralatan yang diperlukan untuk perjalanan panjang. Sahabat setianya itu tampak tegas dan siap mendampingi Ananta, meski mereka belum tahu seberapa jauh perjalanan ini akan membawa mereka.“Apa yang akan kita lakukan sekarang, Ananta? Di mana kita bisa memulai pencarian Pedang Cahaya itu?” tanya Randu dengan nada was-was.Ananta menatap sahabatnya, lalu menghela napas panjang. “Menurut catatan dalam buku itu, pedang itu pernah dibuat oleh leluhur kita yang bernama Jaya, dan konon, pedang itu disembunyikan di suatu tempat yang terlindung oleh sihir.”
Bab 12: Ujian Kejujuran HatiKilatan cahaya dari batu permata di altar itu memancarkan cahaya putih ke dalam pikiran Ananta, menghilangkan sejenak dunia di sekitarnya. Ia kini merasa berdiri di ruang tanpa batas, dikelilingi oleh bayangan-bayangan samar yang membisikkan suara-suara yang tidak dikenalnya.Suara-suara itu tidak sepenuhnya asing, namun terasa seperti gema dari masa lalu yang samar. Tiba-tiba, ia melihat bayangan seseorang yang sangat dikenalnya—ayahnya. Sosok sang raja berdiri tegap, tatapan tegas namun penuh kekecewaan mengarah padanya.“Ananta, mengapa kau begitu lemah?” suara ayahnya menggema. “Kutukan ini adalah akibat dari darah kita sendiri, namun kau memilih lari dari kenyataan.”Ananta terdiam. Kutukan yang ia alami adalah beban yang sudah lama ia pikul, tetapi kata-kata ayahnya kini mengusik hatinya. Apakah selama ini ia hanya mencoba melarikan diri dari takdirnya, alih-alih menghadapi kenyataan yang sebenarnya?Bay
Bab 13: Ujian Terakhir di Lembah BayanganAnanta dan Randu berjalan di belakang Sekar, menyusuri jalan berliku yang membawa mereka semakin dalam ke jantung lembah. Setelah melewati berbagai ujian yang mengguncang keyakinan dan keberanian mereka, ujian terakhir ini terasa lebih menegangkan. Meski kelelahan mulai terasa, tekad mereka semakin kuat untuk menghadapi apa pun yang akan datang.Sekar akhirnya berhenti di depan pintu batu besar yang berdiri di antara dinding jurang, di ujung jalan setapak yang sempit. Pintu itu dihiasi dengan simbol-simbol kuno yang tidak dapat mereka pahami, dan cahaya aneh memancar dari celah-celahnya.“Ini adalah pintu menuju ujian terakhir,” kata Sekar, suaranya tenang tetapi penuh dengan peringatan. “Di balik pintu ini, kau akan menghadapi ketakutan terdalam dalam jiwamu. Ini adalah ujian yang sangat pribadi, Ananta. Kau akan menghadapinya sendiri, tanpa bantuan.”Ananta menatap pintu batu itu dengan perasaan bercampu
Bab 49 : Pertarungan Melawan MalakarLorong besar itu kini dipenuhi oleh aura kegelapan yang menyesakkan. Ananta dan Kirana berdiri di tengah lingkaran api, menghadapi Malakar, sang tangan kanan Raja Kegelapan. Pedang hitam yang tampak seperti kumpulan bayangan menggeliat di tangan Malakar, sementara senyumnya yang dingin memperlihatkan kesombongannya."Ananta, Kirana," katanya dengan suara yang menggema. "Kalian telah menunjukkan keberanian luar biasa sejauh ini. Tetapi di sini, perjalanan kalian akan berakhir. Pedangku telah menelan jiwa-jiwa jauh lebih kuat dari kalian berdua."Ananta mengarahkan pedangnya ke arah Malakar, matanya penuh dengan tekad. "Kami tidak akan berhenti di sini. Jika kau berpikir kami akan menyerah, kau salah besar!"Kirana, di sisi lain, memegang tongkat sihirnya dengan kedua tangan. Wajahnya serius, dan aliran energi dingin mulai mengelilinginya. "Ananta, kita harus berhati-hati. Aku bisa merasakan kekuatannya. Dia ja
Bab 48 : Lorong Api dan BayanganLangkah kaki Ananta dan Kirana bergema di sepanjang lorong berliku yang mereka masuki setelah melewati gerbang kedua. Udara di sekeliling mereka terasa berat, dipenuhi bau belerang dan panas menyengat yang membuat setiap tarikan napas terasa menyakitkan. Di kanan dan kiri lorong itu, dinding-dinding berbatu memancarkan cahaya merah samar, seperti ada api yang mengintai di dalamnya."Ini bukan hanya sekadar lorong biasa," kata Kirana sambil memandangi sekeliling dengan curiga. "Aku merasakan aura yang sangat kuat di sini. Ada sesuatu yang mengawasi kita."Ananta menggenggam pedangnya lebih erat. "Kita harus tetap waspada. Tidak ada jalan kembali."Bayangan yang HidupSaat mereka melangkah lebih dalam, suara aneh mulai terdengar, seperti bisikan ribuan jiwa yang menyatu menjadi satu. Cahaya merah dari dinding-dinding lorong semakin terang, dan bayangan mereka sendiri mulai tampak bergerak dengan sendirinya, se
Bab 47 : Jalan Menuju KehancuranLangit di atas mereka semakin gelap seiring langkah kaki Ananta dan Kirana mendekati menara Raja Kegelapan. Awan hitam berputar seperti pusaran maut, seolah-olah alam semesta sedang mengawasi perjalanan mereka. Jalan setapak berbatu yang mereka lalui terasa seperti melangkah di atas tulang belulang, dengan setiap langkah membawa mereka semakin dekat pada kegelapan yang tak terbayangkan."Aku bisa merasakan kehadiran mereka," kata Kirana dengan nada waspada. "Pasukan Raja Kegelapan sedang menunggu kita."Ananta menggenggam erat pedangnya yang memancarkan cahaya lembut. "Mereka bisa menunggu selama yang mereka mau. Tapi aku tidak akan berhenti sampai kegelapan ini dihancurkan."Bayangan yang MengintaiSaat mereka melangkah lebih jauh, suasana semakin mencekam. Angin dingin berembus, membawa bisikan-bisikan menyeramkan yang memenuhi udara. Tiba-tiba, dari bayang-bayang pepohonan mati di sekitar mereka, sosok-so
Bab 46: Langkah Menuju KematianLangit di atas mereka dilapisi awan gelap yang berputar perlahan, seperti pusaran yang menelan setiap cahaya yang berusaha menerobos. Menara Raja Kegelapan menjulang di kejauhan, siluetnya begitu besar hingga tampak seperti dinding yang memisahkan dunia.Ananta dan Kirana berdiri di sebuah bukit kecil yang memberikan pemandangan langsung ke medan perang di depan mereka. Di bawah, tanah terlihat mati—kering, retak, dan tak ada tanda-tanda kehidupan. Udara dingin yang menyesakkan membuat mereka merasa seolah-olah memasuki dunia yang sepenuhnya berbeda.“Kita semakin dekat,” kata Kirana sambil memandangi menara itu dengan wajah tegang.“Tapi ini baru permulaan,” balas Ananta, matanya tajam memindai lingkungan. “Pasukan mereka tidak akan membiarkan kita masuk begitu saja.”Jalur BerbahayaMereka mulai melangkah menuruni bukit menuju jalan berbatu yang tampak se
Bab 45: Kegelapan yang Membelenggu Suara angin menderu memenuhi udara ketika Ananta jatuh ke dalam jurang bersama Sagara. Dunia di sekitarnya terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Batu-batu tajam berlalu cepat di sekitarnya, dan di bawah, sungai berwarna gelap tampak seperti lubang tanpa dasar. Dalam beberapa detik yang terasa seperti keabadian, Ananta memusatkan pikirannya, mencoba menemukan jalan keluar dari kejatuhan maut ini. Namun, Sagara, dengan kekuatan barunya, tidak tinggal diam. Ia mencengkeram Ananta dengan kekuatan yang menghancurkan, membuat mereka terus terjatuh dalam putaran yang mematikan. “Aku akan menyeretmu ke neraka bersamaku, Ananta!” Sagara berteriak, suaranya penuh kebencian. Ananta, dengan refleks yang terasah, meraih pedangnya yang hampir terlepas dari genggaman. Dengan satu ayunan cepat, ia menebas lengan Sagara, memaksanya melepaskan cengkeraman itu. Tapi sebelum Ananta sempat bereaksi lebih jauh, tubuhnya menghantam
Bab 44: Dalam Kepungan KegelapanMatahari mulai terbenam di cakrawala, meninggalkan langit yang dilapisi warna oranye dan ungu gelap. Ananta dan Kirana tiba di sebuah dataran tinggi berbatu yang tampak tak tersentuh oleh peradaban. Angin dingin menyapu wajah mereka, membawa bau samar tanah basah. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, mereka memutuskan untuk berhenti dan beristirahat.Ananta menatap cakrawala, pikiran-pikirannya bercampur aduk. Ghara telah mengorbankan dirinya, tetapi Ananta tidak yakin apakah pengorbanan itu cukup untuk mengubah jalannya takdir.“Kita harus bergerak cepat,” ujar Ananta akhirnya, memecah keheningan.“Tapi kau belum pulih sepenuhnya,” balas Kirana, nada suaranya menunjukkan keprihatinan yang mendalam.“Aku tidak punya pilihan. Jika Raja Kegelapan memutuskan untuk menyerang sekarang, kita akan kalah tanpa perlawanan.”Kirana menghela napas. Ia tahu Ana
Bab 43: Bayangan PengkhianatanSetelah kemenangan mereka di puncak gunung, Ananta dan Kirana melanjutkan perjalanan mereka menuruni lembah yang sunyi. Sinar matahari pagi menyelinap di antara celah pepohonan, membawa sedikit kehangatan setelah malam yang penuh perjuangan. Namun, suasana di antara mereka terasa tegang. Luka Ananta akibat serangan terakhir Sagara belum sepenuhnya pulih meskipun Kirana telah menggunakan sihir penyembuhannya.“Kau seharusnya lebih berhati-hati,” ujar Kirana dengan nada khawatir. Ia terus memandang Ananta yang berjalan dengan terpincang-pincang.“Tidak ada waktu untuk hati-hati saat nyawamu terancam,” jawab Ananta sambil tersenyum tipis. “Aku tidak akan membiarkan siapa pun melukaimu, Kirana.”Namun, Kirana tetap diam. Perasaan bersalah menghantui dirinya. Dia tahu bahwa perjalanan ini semakin berbahaya, dan kini ancaman baru bisa datang dari mana saja—bahkan dari mereka yang
Bab 42: Puncak Takdir dan Bayangan KegelapanLangkah Ananta dan Kirana semakin mantap mendekati puncak gunung. Cahaya keemasan yang menyelubungi puncak semakin terang, tetapi dengan setiap langkah yang mereka ambil, tekanan di udara semakin berat. Ada sesuatu yang menunggu mereka di atas—sesuatu yang besar, kuat, dan penuh misteri.“Semakin mendekat, aku merasa semakin sulit bernapas,” ucap Kirana sambil menyeka keringat di dahinya.“Ini bukan hanya udara tipis,” kata Ananta, matanya menyipit. “Ini adalah energi. Sesuatu di atas mencoba menghentikan kita.”Namun, tekad mereka tak tergoyahkan. Mereka melanjutkan langkah, melewati jalur-jalur sempit yang berbatu. Ketika akhirnya mencapai puncak, pemandangan di depan mereka membuat mereka terdiam.Puncak yang Hilang WaktuPuncak gunung ternyata bukan hanya sebuah dataran kosong. Di tengah-tengahnya berdiri sebuah kuil kuno yang terlihat sepe
Bab 41: Pendakian ke Puncak TakdirLangkah kaki Ananta dan Kirana semakin berat saat mereka menapaki jalur menanjak menuju puncak gunung. Udara semakin tipis, suhu turun drastis, dan angin dingin menyerang tubuh mereka tanpa ampun. Meski begitu, tekad mereka tak goyah. Di kejauhan, puncak gunung tampak bersinar redup, seperti dipeluk kabut emas.“Menurutmu, apa yang akan kita temukan di sana?” tanya Kirana, suaranya sedikit terengah karena pendakian.“Entahlah,” jawab Ananta sambil menggenggam erat gagang pedangnya. “Tapi apa pun itu, kita harus siap.”Jalur yang mereka lewati semakin sulit. Batu-batu licin dan jurang menganga di sisi kanan membuat setiap langkah penuh risiko. Namun, tidak hanya medan yang menjadi tantangan mereka. Di sepanjang perjalanan, mereka mulai merasakan sesuatu—sebuah kehadiran yang tidak terlihat tetapi jelas terasa.“Kau merasakannya?” tanya Ananta sambi