Share

Lima Tahun Tanpa Nafkah
Lima Tahun Tanpa Nafkah
Author: Ratu As

Bab 1

Author: Ratu As
last update Huling Na-update: 2023-05-05 08:19:31

 (Lima Tahun Tanpa Nafkah Lahir Batin)

"Sadarlah, Garwita! Nasibmu itu ibarat bergantung tapi tak bertali!" 

Garwita mematung ketika disentak oleh Nanto, bapaknya. 

"Tak diberi nafkah, tidak pula diceraikan, dan yang jelas tak tahu pula di mana batang hidungnya sekarang!" Nanto duduk jegang sembari menyesap asap rokok. 

Sudah biasa Garwita mendengar keluh kesah dan gerutuan bapaknya. Dia yang duduk di teras beralaskan tikar masih terdiam sambil tangannya memisahkan pucuk daun singkong dengan daun yang lebih tua. Niatnya ingin dimasak santan esok pagi. Namun, Matanya mulai berembun. 

"Menikahlah lagi, mumpung kamu masih muda!" 

Garwita mendongak, air mata yang sedari tadi ditahan kini tak mampu lagi dia bendung. "Ndak, Pak, Garwita masih mau menunggu Mas Ray." 

"Menunggu? Sampe kapan? Kamu saja ndak tahu dia masih hidup atau sudah mati kan?" Nanto mematikan puntung rokok, lalu berdiri ingin beranjak. 

"Mas Ray pasti masih hidup!" Balas Garwita dengan penuh keyakinan. Diusapnya pipi yang sudah kadung basah lalu berlari ke arah kamar. 

Garwita menyibak tirai lalu membuka jendala, tangannya langsung bertumpu di kosen kayu. Sementara tatapannya sendu ke arah matahari yang hampir tenggelam sepenuhnya, hanya menyisakan sinar kemerahan dengan langit yang berubah hitam. 

Terlalu sabar wanita itu menunggu suaminya yang sudah pergi hampir lima tahun belakangan. Mengalahkan rekor Bang Toyib yang tiga kali puasa tiga kali lebaran tak pulang, bukan? Mungkin terdengar bodoh karena dia masih bertahan tanpa kepastian. Jangankan kabar, nafkah pun tidak diberi. Selama ini dia bekerja memeras keringat sendiri demi memenuhi kebutuhan buah hati yang ditinggal pergi sejak dalam kandungan. 

"Ibuuu!" panggil seorang anak kecil yang datang dengan memakai sarung yang diselempangkan ke pundak dan peci di kepalanya. 

Mendengar suara kecil itu, buru-buru Garwita mengelap air matanya dengan ujung baju. 

"Sudah pulang?" tanya Garwita penuh perhatian. 

"Iya, tadi ngajinya cuma sebentar," celoteh anak lelaki itu. "Yang ini!" tangannya lincah menunjuk deretan huruf hijaiah. Garwita mengangguk paham lalu mengajak anaknya keluar kamar.

Dilihatnya wanita paruh baya yang baru saja melipat mukena berwarna putih kekuningan dan menaruhnya di atas dipan bambu. Dia baru saja selesai salat jamaah dan menunggui cucunya selesai mengaji di musola.

"Mau makan dulu, Mak?" Garwita dan anaknya mendekat. 

"Nanti saja. Bapakmu mana?" tanya Ijah, ibu kandung Garwita. 

Garwita menggeleng. "Mungkin pergi ngobor," balasnya tak yakin. Tapi kebiasaan Nanto jika malam memang ngobor--mencari ikan atau belut di malam hari dengan memakai senter atau obor. 

Ijah duduk di dipan lalu mengambil ilir dan mengibas-ngibaskan. Hawa gerah membuat badannya penuh peluh. 

"Ayo, Bu, makan!" ajak Gandra, anak kecil yang sekarang berlari ke arah dapur lebih dulu. 

Meski makan dengan nasi adem yang ditanak pagi tadi, tapi Gandra tetap terlihat lahap. Garwita tersenyum kecil melihat anaknya yang sekarang sudah bisa makan sendiri tanpa suapan darinya. Gandra semakin mandiri dan itu membuat Garwita bangga, juga merasa lega. Karena jika ditinggal pergi kerja, anaknya sudah bisa melakukan apa pun sendiri tanpa harus merepotkan Ijah.

*** 

Matahari sudah beranjak dan mulai meninggi, membuat hawa panas semakin terasa membakar kulit. Garwita buru-buru menyelesaikan pekerjaannya agar waktu istirahat siangnya tak terpotong. 

Dipilihnya lagi oyong yang ukurannya sudah lumayan besar untuk dipanen. Tugas hari ini dari juragan Jarwo. Tanaman itu dipilih untuk musim ini karena mudah tumbuh dan selalu laku jika dibawa ke pasar induk.

Garwita tinggal di kampung, letaknya sangat pelosok. Jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Kampung Karang Mencil berada di tengah-tengah, terkepung oleh aliran sungai. Jadi, jarak paling dekat untuk ke kota harus dilalui dengan memakai perahu. Bisa juga lewat jembatan, tapi butuh waktu yang lebih lama.

"Wit! Wita! Garwita!" Suara panggilan dari seseorang membuat wanita berkerudung coklat itu menoleh. 

"Mas Kala?" Mata Garwita berbinar melihat anak juragan sekaligus teman mainnya semasa kecil datang. "Kala--jengking!" lanjutnya dengan nada melengking riang.

"Yoi!" jawab lelaki berkulit kuning langsat dengan lesung pipi di sebelah kanan. 

Garwita terkekeh pelan saat mendapati lelaki itu datang menyapanya. "Pulang, Mas? Katanya beberapa bulan lagi wisuda? Kok, sudah pulang sekarang?" tanya Garwita penasaran. 

"Ish, kenapa? Orang ingin pulang." Santai Kala menjawab. Padahal Kala pulang karena mendengar ibunya sakit, juga ingin melihat Garwita yang selalu memenuhi otaknya. Bayangan wanita itu selalu saja hadir, seakan-akan berlomba ingin paling eksis dia antara tugas kuliah dan pikiran ruwet yang lain.

Kala melihat ke arah ember yang sudah terisi penuh dengan oyong, tanpa diminta dia menjunjungnya lalu memasukkan oyongnya ke dalam karung yang lebih besar. 

Garwita tak melarang anak juragannya itu membantu dengan suka rela. Pasalnya sudah biasa, ketika lelaki itu pulang kampung dan membantu sedikit-sedikit pekerjaan Garwita yang diperintahkan oleh  juragan Jarwo. 

"Masih banyak yang belum dipanen, Wit?" 

Garwita menggeleng. "Tinggal selarik itu, Mas!" tunjuk Garwita ke arah tanaman di bedengan. 

"Oh, sedikit ya?" 

"Iya, makanya juragan cuma nyuruh aku doang. Belum banyak yang siap panen, masih kecil-kecil. Jadi, pekerja yang lain disuruh ke sawah buat menyangi rumput," ujar Garwita. 

Kala mengangguk paham. Dia berjalan ke arah tanaman yang belum di panen, dilihatnya dengan jeli daun oyong yang berlubang-lubang. Juga beberapa oyong yang terdapat bintik dan lubang kecil kecoklatan, hampir membusuk. "Banyak hamanya juga, ya?" Kala merunduk dan mencolek oyong yang hampir busuk. 

"Ini sudah disemprot?" tanya Kala yang dimaksudkan penyemprotan pestisida. 

Garwita mengangguk. "Kalau enggak salah dua minggu lalu sama Kang Bejo." 

"Oh." Kala tak banyak bertanya lagi, dia tahu jika itu membuat pekerjaan Garwita tak selesai-selesai sementara setelah ini dia ingin mengajak wanita itu untuk bersantai sejenak.

Sambil menunggu Garwita selesai memetik oyong, Kala berjalan-jalan di sekitaran kebun yang saat ini ditanami dengan banyak palawija. 

***

"Nah, yang sebelah itu, Mas! Kayaknya masih degan!" ujar Garwita berteriak dari bawah. Kala mencoba meraih kelapa muda yang dimaksud lalu memuntir agar terlepas dari papahnya.

Dua kelapa hijau muda sudah jatuh, Garwita mengambilnya dan membawanya ke bawah pohon mangga yang terletak di tepi tanggul. 

"Kayaknya banyak airnya, nih!" Kala menggoncang-goncangkan kelapa yang dia petik sendiri. 

Dikupasnya bagian ujung dan membuat lubang di tengah. Dengan tak sabar, Kala langsung menenggak air di dalam buah kelapa.

"Kamu tahu, Wit? Kelapa muda di sini tuh yang paling segar!" ucap Kala dengan penuh rasa puas. 

"Ya paling segar, soalnya gratis tinggal ambil. Coba kalau di kota, kudu bayar dulu kan?" Mendengar jawaban Garwita, Kala langsung tertawa lepas. 

Keduanya terlihat begitu akrab, meski  setahun tak bertemu. Kala yang melanjutkan kuliah di kota, jarang pulang. Paling ketika lebaran atau libur kuliah. Namun, mereka berdua sedari kecil memang sudah sering bersama. Bahkan ketika Kala masih ingusan, Ijah yang dipercaya menjaganya karena ibunya Kala kesundulan--punya anak yang jaraknya tak jauh. 

"Oiya, Gandra sama Mak Ijah?" tanya Kala ketika sadar sedari tadi anak Garwita tak terlihat. Padahal dulu setahunya sering dibawa Garwita ikut bekerja. 

"Kamu belum tahu? Tahun ini anakku sudah masuk sekolah!"

"Dia sudah TK?" Kala antusias menanggapi. 

"Bukan, masih PAUD, kan baru empat tahun!" 

"Oh." Kala kembali menenggak air degan lalu melihat ke arah jam di tangan. "Jam berapa dia pulang?" 

"Sekarang jam berapa?" Garwita balik tanya. 

"Jam sepuluh, kurang lima belas menit," jawab Kala. "Kebiasaan enggak bawa jam!" 

"Kan ada suara beduk zuhur yang mengingatkan waktunya istirahat nanti!" Garwita terkekeh-kekeh lagi. Mungkin hanya bersama Kala dia bisa sebebas dan senyaman itu melengkungkan bibirnya.

"Hah, dasar!" Kala berdiri lalu mengibaskan baju yang tekena debu saat duduk tadi. "Aku akan menjemput Gandra, dia pasti akan kaget melihatku!" 

"Kamu mau jemput Gandra? Tidak usah, aku sudah berpesan pada Emak untuk menjemputnya," cegah Garwati. 

Kala tetap kekeh ingin menjemput anak kecil yang sudah dia rindukan selama di kota. Bahkan ada hadiah yang sudah Kala siapkan untuk anak itu juga untuk ibunya si anak, hanya saja kejutan itu tak ingin dia berikan langsung ke Garwita. 

"Tunggu, Mas! Kapan kamu balik ke kota?" Garwita menahan Kala sebelum beranjak pergi. 

"Mmm, mungkin lusa? Kenapa?" 

"Aku boleh ikut?" 

Mendengar permintaan Garwita membuat kening Kala mengernyit. 

"Untuk apa? Ingin jadi babu? Tidak usah, kasian Gandra, lebih baik kerja di kampung. Sama-sama capek, tapi masih bisa lihat anak!" ujar Kala memberi tanggapan.

Garwita menggeleng cepat. "Aku ingin mencari Mas Ray!" ucap wanita itu, seketika membuat Kala mematung. 

Ditatapnya wanita berkerudung coklat usang yang menatapnya dengan binar sendu. Kala tak mampu menolak, tapi untuk mengantar Garwita menemui lelaki pujaannya, entah mengapa membuat hatinya terasa berat. 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 2

    "Jadi, kamu masih mengharapkan lelaki itu?" Kala mencondongkan badannya agar tepat berhadapan dengan Garwita. "Dia sudah membuangmu, bukan?" "Ndak, Mas. Dia tak membuangku, mungkin saja suatu keadaan membuatnya tak bisa kembali. Dan saat ini, giliranku yang harus mencarinya!" kata Garwita penuh keyakinan. Binar harapan di matanya, berbanding terbalik dengan rasa pedih dan pupus yang kini dirasakan Kala. "Bagaimana dengan Gandra?" Kala masih memandangi Garwita dengan raut cemas dan tak rela. "Dia sudah lumayan besar, ada Emak yang akan menjaganya. Toh, ndak akan lama, hanya sampai aku tahu kabar tentang Mas Ray," pinta Garwita lagi. Dia meraih ujung baju Kala dan menarik-nariknya seperti anak kecil. Kala diam sesaat, dibenaknya serasa sedang berperang antara ingin membantu atau egois? Egois untuk menahan Garwita agar tetap di sini, di tempat di mana saat Kala pulang masih bisa melihat senyum manisnya dan bercanda penuh jenaka. "Mas?" "Ya!""Aku mohon!" Garwita mengeluarkan jurus

    Huling Na-update : 2023-05-05
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 3

    Mereka sampai di kontrakan sekitar jam sembilan malam. Kala mengajak Garwita masuk ke kamarnya. Tentu saja wanita itu hanya mematung di luar, lalu celingak-celinguk ke sekitar yang masih terlihat ramai dengan orang-orang. "Ayo masuk!" "Bareng? Memang boleh, Mas,?" tanya Garwita, dalam benaknya di kontrakan Kala hanya ada kasur dengan ruangan yang sangat sempit. "Boleh, kenapa enggak? Di sini bebas, kok. Tapi nanti aku bisa lapor dulu ke pemilik kontrakan. Biar enggak ada yang curiga," ujar Kala membuka kunci. "Udah pulang, Ndra? Sama siapa tuh!" tegur penghuni kontrakan yang baru saja keluar dan mendapati wanita bersama Kala. Kala mengangguk, di tempat ini dia biasa dipanggil Ndra, kepanjangan dari Kalandra. "Ya, saudara! Mau ke mana lu?" balas Kala sambil memberi kode agar Garwita masuk lebih dulu. Sementara Kala mengobrol dengan Gendon temannya. Lelaki bertubuh tambun itu berniat ingin mencari makan malam. Kala yang tadi belum sempat membelinya, meminta Gendon juga memb

    Huling Na-update : 2023-05-05
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 4

    Merasa ada seseorang yang berteriak, dokter yang tadinya berjalan ke arah utara membalik badan. Garwita kini berdiri tepat di belakangnya dengan tak sabar ingin menepuk pundak dokter itu. Namun, urung karena lebih dulu dia membalik badan.Garwita mematung dan membulatkan mata, ketika yang dia lihat bukanlah yang dicarinya. Dokter pemakai kacamata dengan kemeja biru muda di balik jasnya itu mengerenyit heran."Anda ada perlu dengan saya?" Garwita menggeleng cepat. "Maaf, aku salah orang, Dok!" ucap Garwita sambil menundukkan kepala lalu pamit ke tempat pendaftaran. Jantungnya yang tadi berdetak tak karuan kini seakan melemah seperti pundaknya yang merosot. Di tempat pendaftaran sudah ada Kala yang bertanya pada petugas resepsionis."Jadi, pemilik klinik yang sekarang bukan dokter Raykarian ya, Mbak?" ulang Kala memastikan. Gadis cantik di meja resepsionis itu mengangguk. "Ya, Mas, betul. Saya baru di sini, katanya klinik ini baru sekitaran satu tahun beroperasi setelah vakum lama. D

    Huling Na-update : 2023-05-05
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 5

    "Oalah, ke sini? Ini mah masih jauh, Mbak!" ujar seseorang membaca alamat yang dituduhkan. "Jadi bukan di sini ya, Bu?" Garwita mulai merasa bimbang. "Iya, Mbak. Paling enggak ada satu jam naik angkot." Wanita kurus itu menjawab, dari matanya terpancar rasa iba dan kasian. Apalagi ketika melihat kaki Garwita terluka.Garwita merogoh saku bajunya, tak ada sepeser pun recehan yang tertinggal. Dia lalu menghela napas dan bingung, mau melanjutkan perjalanan atau pulang saja? "Kalau Mbak mau ke sana, ini kukasih uang buat naik angkot, Mbak." Selembar uang dua puluh ribu disodorkan pada Garwita. Namun, dia langsung menolak karena sungkan."Enggak papa, ambil saja," paksa si ibu. Garwita tak bisa lagi menolak, dia ucapkan terima kasih berkali-kali sambil memeluk ibu-ibu yang menolongnya. Garwita lalu pamit dan kembali melangkah, seperti yang dituduhkan ibu tadi kalau jalan ke arah barat sekitar lima ratus meter ada pangkalan angkot. Tidak mudah, sesekali Garwita berjinjit karena kakinya

    Huling Na-update : 2023-05-24
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 6

    Pencarian Kala tak membuahkan hasil, padahal dia sudah berkeliling cukup jauh. Dia mulai menepi lalu berhenti sejenak untuk berpikir. "Kalau Garwita pergi untuk mencari Ray, kenapa aku tak melakukan hal yang sama? Mungkin saja dengan aku mencari tujuan yang sama bisa menemukan Garwita di sana?" batin Kala lalu memukul kepalanya kenapa sedari tadi malah berputar-putar bukannya langsung ke alamat. "Bodoh!" gumam Kala pada diri sendiri. Motor metik berwarna hitam itu kembali melesat menyusuri jalanan. Kala masih mengingat jelas setiap detail yang diucapakan ibu-ibu cleaning service di klinik Andalan. Dia yakin, berbekal ingatan dan nama Tuan Abash bisa menemukan alamat itu. *** Garwita berlari sembari menyeka air matanya, tak dihiraukannya kaki yang semakin lecet dan berdarah. Harapan yang telah hancur membuat rasa sakit di badan tak lagi terasa karena yang lebih memilukan justru ada di dalam dada, sakit di hati yang amat dalam. Kepala Garwita dipenuhi dengan prasangka dan tebak me

    Huling Na-update : 2023-05-25
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 7

    Kala melihat Garwita sedang mengemasi bajunya ke tas, dia mengernyit untuk apa wanita itu melakukan itu?"Kamu mau pulang?" tanya Kala membuat Garwita berjengit. Garwita mengangguk. "Pencarianku sudah selesai. Aku harus cepat pulang untuk Gandra," balasnya dengan seulas senyum. Senyum yang selalu Garwita tunjukkan sekali pun hati sedang gerimis. Kala bersender ke tembok dengan tangan bersedekap. "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" Sejenak Garwita berpikir, namun tak ada dalam benaknya sesuatu yang ingin dia lakukan setelah ini. Usai tahu tentang Ray dan harapan itu hancur dalam sekejap, dia berasa tak punya harapan yang harus diperjuangkan. "Seperti biasa lagi. Kerja untuk Gandra," balas Garwita tak ingin membuat kepalanya pusing dengan mencari-cari rencana. "Kamu tidak akan menggugat cerai?" Kala bicara dengan tatapan serius pada Garwita. Wanita itu menghela napas dalam, rasa syoknya seakan-akan masih mencekik ingatan. Garwita ingin menolak untuk percaya bahwa Ray meningga

    Huling Na-update : 2023-05-25
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 8

    Sampai di rumah sakit Garwita langsung berlari menuju ruangan di mana Kala dirawat, dia sudah dipindahkan dari UGD. Air mata Garwita terus mengalir, dia tergopoh-gopoh sambil menyekanya. Ketika pintu dibuka terlihatlah Kala yang sedang berbaring dengan perban dibagian kepala juga tangan. Dia masih memejam, pikir Garwita karena belum sadarkan diri. "Mas, kamu ndak papa kan?" tangis Garwita pecah sampai sesenggukan melihat Kala dengan kondisi begitu. "Mas, bangun!" Garwita merengek seperti anak kecil. Dia terduduk di kursi samping ranjang sembari meremas tepian ranjang. Kala yang tadinya ingin tidur merasa terganggu. Awalnya dia kira berhalusinasi tapi suara khas Garwita membuatnya mengerjap dan mendapati wanita itu sedang menangis untuknya. Kala masih diam dan pura-pura memejam, tapi senyum tipisnya tak bisa disembunyikan. Masih terdengar tangisan Garwita yang lebih mirip seperti anak kecil, lama-lama Kala tak tahan juga ingin tertawa. "Aku enggak papa, Sayang, cep cep cep!" ucap

    Huling Na-update : 2023-05-25
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 9

    q"Witaku ...," gumam Ray nyaris tanpa suara.***Garwita celingak-celinguk di ruang rawat karena tak melihat Hana ada di sana. "Cari apa?" "Mmm, pacarmu sudah pulang, Mas?" tanya Garwita pada Kala yang duduk dengan menyenderkan punggungnya di kepala ranjang."Sudah, dia bukan pacarku," jawab Kala. Lalu menyuruh Garwita agar duduk kursi dekatnya. "Aku lapar, Wit." Garwita mengernyit, dilihatnya makanan yang sudah disediakan pihak rumah sakit di meja nakas. "Mau makan?" Garwita mengambil nampan berisi makanan dia ingin meletakannya di pangkuan Kala agar lebih mudah menjakaunya. "Ish, kamu enggak lihat tanganku kena cekal semua? Suapin!" pinta Kala manja. Gerwita tersenyum geli. "Yang cedera kan tangan kirimu saja, Mas! Tangan kanan masih bisa bergerak!""Tapi kan ada selang infusnya, Wit! Gimana kalau pas makan terus copot? Pokoknya suapin!" Garwita tak bisa lagi menolak, tangan kanan Kala memang diinfus. Bisa saja Kala makan sendiri, tapi niatnya sedari tadi menunggu Garwita

    Huling Na-update : 2023-05-26

Pinakabagong kabanata

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 37

    "Bagaimana ini, Mas? Lukamu?" Garwita menunjuk wajah Kala."Tenanglah, semua akan baik-baik saja." Kala lalu merapikan penampilannya dan bersiap membuka pintu, begitu juga dengan Garwita yang berada di sampingnya. Saat pintu diketuk, kedua sejoli itu langsung membukanya. Menyambut orang tua Kala dengan senyum seramah mungkin."Pak, Bu, kok ke sini enggak bilang dulu?" ujar Kala lalu mencium tangan mereka. Juragan Jarwo tidak menolak. Dia tetap diam saat tangannya diraih oleh Kala dan Garwita. "Lah, piye? Kan siang tadi Ibu telepon! Katanya mau telepon balik. Tapi Ibu tunggu-tunggu ndak ada tuh panggilan dari kamu!" balas Ambar dengan suara merajuk. Kala terkekeh geli, dia baru ingat. "Silahkan masuk, Pak,Bu ...," kata Garwita mempersilahkan mereka untuk duduk terlebih dulu. Sementara dia berlalu ke belakang untuk membuat minuman.Juragan Jarwo tampak berdeham melihat anaknya, dia sadar akan wajah Kala yang babak belur. "Ya ampun, Le. Wajahmu kenapa?" Ambar yang langsung respek. Di

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 36

    "Hallo, Le? Gimana kabarmu?" tanya Ambar dari seberang telepon. Usai mendapat perintah dari juragan Jarwo, Ambar langsung menghubungi anaknya.Kala yang sedang berada di jalan melambatkan lajunya. "Baik, Bu, ada apa? Ini Kala lagi di jalan," balas Kala menyelipkan ponselnya ke helm tanpa berhenti dulu, pikirnya nanggung karena sebentar lagi sampai."Oalah, kalau lagi di jalan jangan angkat teleponnya dulu atuh!" balas Ambar khawatir dan urung mengatakan tujuannya telepon.Kala terkekeh-kekeh mendengar suara ibunya. "Ya mau gimana lagi, abis hape geter terus! Ya udah aku lanjut dulu ya, Bu. Nanti kalau sudah berhenti Kala telepon balik!" Kala kembali melanjutkan perjalanan, hari ini dia berniat untuk melamar kerja. Tadi sudah mengajukan surat lamaran ke beberapa sekolah, sementara sekarang dia ingin ke SMK yang memang ada jurusan pertanian di sana. Ya siapa tahu ada lowongan. Kala begitu bersemangat mulai merancang rencana di otaknya untuk masa depan keluarga kecilnya yang mulai dia b

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 35

    Sejak kejadian malam tadi, Garwita selalu menghindari kontak mata dengan Kala, apalagi jika harus berhadapan dengannya, Garwita akan bicara sambil menunduk. Bukan tanpa sebab, dia malu luar biasa juga jadi cangnggung karena ci*man itu. "Bu, Gandra mau tambah nasi!" pinta anak itu sambil menyodorkan piring. Buru-buru Garwita mengambilkan apa yang Gandra mau. "Aku juga mau!" Kala ikut menyodorkan piring. Garwita ingin meletakan secentong nasi, tapi Kala menarik piringnya dengan jail begitu terus sampai akhirnya Garwita mendongak. "Ish, mau enggak?" tanya Garwita menatap lelaki di samping Gandra dengan kesal. Kala menahan tawa lalu meraih tangan Garwita dan dan meletakan nasi itu pada piringnya. Pada saat Garwita ingin menarik tangannya Kala sedikit menahan membuat mereka saling adu tatap. Bagi Garwita tatapan Kala itu terlihat seperti menyeriangai dan membuatnya ingin selalu waspada. Sekali menatap wajah Kala, Garwita akan terfokus pada bibirnya lalu bayangan yang iya-iya mula

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 34

    Gandra sudah pulang dijemput oleh Topan siang tadi. Anak itu sekarang bermain di kamar Ray, Garwita sudah menahan dan tak memperbolehkannya. Namun, Ray sendiri yang meminta. Dia beralasan sakitnya akan mereda jika melihat anak kecil bermain."Om lagi sakit, ya?" tanya Gandra sambil bermain di lantai. Ray mengangguk dengan senyum ramah. "Hem, besar nanti Gandra mau jadi dokter," ucap anak itu tanpa ditanya."Kenapa?" Ray penasaran dengan alasan Gandra."Ibu bilang, aku anaknya seorang dokter. Ayahku orang yang hebat!" balasnya menirukan cerita yang Garwita buat. Mendengar itu, Ray merasa terharu sekaligus sedih. Anak yang begitu membanggakan ayahnya, nyatanya ayahnya bukanlah seseorang yang patut dibanggakan. Ray menelan ludah dengan berat setiap kali mendengar cerita polos dari Gandra, dari situ dia tahu betapa baiknya Garwita yang selalu menceritakan kelebihan Ray pada Gandra. "Lalu apa lagi, Gandra?" tanya Ray kepo. "Mmm ...." Gandra tampak berpikir. "Kayaknya, ayah itu genten

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 33

    Kala terdiam menatap Garwita yang begitu dekat dengan wajahnya. Ingin rasanya dia pura-pura khilaf lalu mencium dengan cepat bibir tipis kemerahan yang sekarang terasa sedang menggodanya. Tapi, Kala tak ingin gegabah dan membuat Garwita jadi takut padanya. Kala menggelengkan kepala untuk meredakan rasa nyeri yang sempat hinggap. "Aku tidak apa-apa," balas Kala mencoba terduduk, Garwita mengikuti. "Lagian, pagi-pagi dah iseng!" celetuknya masih kesal dengan candaan Kala. "Ish, siapa yang iseng! Dah ah, yuk bangun kita salat bareng?" ajak Kala kemudian. Dia tak ingin berlama-lama dekat seperti ini dan membuat sesuatu dalam tubuhnya bergejolak dan memanas. ***"Nanti kuantar kamu dulu, baru Gandra ya?" kata Kala perhatian. Garwita yang sedang menyuap makanan langsung mendongak. "Mas, kulihat di samping rumah ada sepeda, apa masih bisa dipake? Kalau bisa, aku ingin memakainya untuk berangkat kerja." Kala mengernyit, mengingat-ingat apa ada sepeda di sana. "Nanti coba ku cek dulu, ya

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 32

    "Mmm, a--ku tak punya apa pun yang bisa dijadikan jaminan. Bagaimana kalau mulai besok bekerja full di sini? Pagi sampai sore?" tawar Garwita, berharap Ray mau berbaik hati.Ray menggeleng dengan senyum remeh. "Menarik!" jawab Ray singkat. "Selain itu, jemputlah Gandra ketika pulang sekolah dan bawa dia ke sini." "Gandra?" Garwita mengernyit. "Ya, saya ingin punya teman main. Gandra pasti akan jadi teman yang menyenangkan!" balas Ray dengan senyum semringah. Itu membuat Garwita lega juga tak menyangka ada yang begitu menyukai dan menginginkan anaknya."Baik, Tuan." "Oke, pulanglah. Nanti Topan yang akan mengurus semuanya. Tunggu saja kabar dari kami," jelas Ray dengan senyum tulus. Dia pun senang karena akhirnya Garwita meminta bantuan darinya. Ray sangat senang jika merasa dibutuhkan oleh Garwita dan keluagarnya. ***"Ibuuu!" panggil Gandra dari arah jalan. Rupanya Kala sudah menjemput anak itu dan membawanya bersama. Garwita langsung mendekat. "Gandra ikut bersama kita? Bagai

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 31

    "Aku akan ke rumah Tuan Rian, Mas. Sore kemarin dan pagi tadi aku tak datang, mungkin dia akan kebingungan," ujar Garwita sembari mengemasi baju yang ada di rumahnya. Kala duduk di tepi ranjang. "Aku antar," kata Kala kemudian. Dia tak mungkin mencegah keinginan Garwita. "Berapa hutang bapak, Wit?" "Banyak, Mas," jawab Garwita singkat. Dia tak ingin memberi tahu karena takut akan merepotkan Kala. "Seberapa banyak?" desak Kala. "Tujuh puluh lima juta." Garwita menghentikan tangannya dan menatap lurus ke arah jendela. "Jumlah yang sangat banyak, bahkan jika aku menjual rumah dan tanah ini saja tak mungkin cukup." Kala merutuki situasi ini, kenapa di saat Garwita butuh uang dia justru tak punya banyak dan sedang bertengkar dengan bapaknya. Tentu saja, selama ini Kala hidup ditopang dengan kekayaan juragan Jarwo. Jika saat ini dia keluar dari rumah dan bapaknya tak peduli lagi, Kala tak punya apa-apa selain sisa uang yang dia bawa. "Aku akan kerja, Wit." Kala tak bisa bicar

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 30

    Tidak ada bahan makanan, sementara mereka berdua belum makan sejak siang tadi. Di luar hujan deras. "Mas, mau ke mana?" Garwita melihat Kala yang memegang kunci."Beli makanan, kamu lapar kan?" "Tapi di luar hujan deras, Mas. Ndak papa kalau malam ini kita enggak makan, anggap saja puasa dulu," canda Garwita. Dia tak ingin Kala pergi karena hujan sangat deras, suara gemuruh juga bersahut-sahutan."Tenang, ada payung, kok. Aku coba ke warung depan sebentar ya?" Kala langsung beranjak pergi, memakai payung yang ada di rumah ini. Garwita membuntut lalu menunggu di ruang depan. Sendirian di rumah membuatnya sedikit kikuk, rumah ini masih terasa asing dan menakutkan baginya. Berkali-kali Garwita menelan ludah karena suara gemuruh juga suara aneh yang terdengar dari beberapa ruangan yang terkunci, mungkin seperti suara tikus yang sedang mengacak-acak sesuatu. Garwita menyibak tirai, menatap keluar berharap Kala segera datang. Jarak warung lumayan jauh, mungkin ada dua ratus meter. Braa

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 29

    "Saya terima nikah dan kawinnya Garwita binti Nanto Wardaya dengan maskawin tersebut dibayar tunai!" Kala mengikrarkan ijab-kabul dengan sekali napas. Garwita menunduk dengan air mata di pipinya. Dia tak tahu harus bahagia atau bagaimana menyikapi masalah ini. Sekarang, statusnya sudah resmi menjadi seorang istri dari Kalandra. Seperti pengantin pada umumnya, Garwita mencium tangan Kala dengan takzim. Selanjutnya giliran Kala yang mengecup kening Garwita, cukup lama dia menyelipkam doa-doa di sana."Mungkin menikah dengan cara begini terlihat hina. Namun, bagiku semuanya terlihat natural ... terjadi karena takdir Sang Pencipta." Kala menyunggingkan senyum tipis pada istrinya, sementara Garwita hanya diam terpaku. Ijah mengusap-usap pundak anaknya, dia pun ikut menangis dengan pikiran kacau. Tapi tak memperpanjang pikiran negatifnya. Berbeda dengan Nanto usai menikahkan anaknya dia langsung pergi.***Berbekal nekat dan rasa tanggung jawabnya pada Garwita, Kala membawa wanita itu ke

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status