(Lima Tahun Tanpa Nafkah Lahir Batin)
"Sadarlah, Garwita! Nasibmu itu ibarat bergantung tapi tak bertali!"Garwita mematung ketika disentak oleh Nanto, bapaknya.
"Tak diberi nafkah, tidak pula diceraikan, dan yang jelas tak tahu pula di mana batang hidungnya sekarang!" Nanto duduk jegang sembari menyesap asap rokok.
Sudah biasa Garwita mendengar keluh kesah dan gerutuan bapaknya. Dia yang duduk di teras beralaskan tikar masih terdiam sambil tangannya memisahkan pucuk daun singkong dengan daun yang lebih tua. Niatnya ingin dimasak santan esok pagi. Namun, Matanya mulai berembun.
"Menikahlah lagi, mumpung kamu masih muda!"
Garwita mendongak, air mata yang sedari tadi ditahan kini tak mampu lagi dia bendung. "Ndak, Pak, Garwita masih mau menunggu Mas Ray."
"Menunggu? Sampe kapan? Kamu saja ndak tahu dia masih hidup atau sudah mati kan?" Nanto mematikan puntung rokok, lalu berdiri ingin beranjak.
"Mas Ray pasti masih hidup!" Balas Garwita dengan penuh keyakinan. Diusapnya pipi yang sudah kadung basah lalu berlari ke arah kamar.
Garwita menyibak tirai lalu membuka jendala, tangannya langsung bertumpu di kosen kayu. Sementara tatapannya sendu ke arah matahari yang hampir tenggelam sepenuhnya, hanya menyisakan sinar kemerahan dengan langit yang berubah hitam.
Terlalu sabar wanita itu menunggu suaminya yang sudah pergi hampir lima tahun belakangan. Mengalahkan rekor Bang Toyib yang tiga kali puasa tiga kali lebaran tak pulang, bukan? Mungkin terdengar bodoh karena dia masih bertahan tanpa kepastian. Jangankan kabar, nafkah pun tidak diberi. Selama ini dia bekerja memeras keringat sendiri demi memenuhi kebutuhan buah hati yang ditinggal pergi sejak dalam kandungan.
"Ibuuu!" panggil seorang anak kecil yang datang dengan memakai sarung yang diselempangkan ke pundak dan peci di kepalanya.
Mendengar suara kecil itu, buru-buru Garwita mengelap air matanya dengan ujung baju.
"Sudah pulang?" tanya Garwita penuh perhatian.
"Iya, tadi ngajinya cuma sebentar," celoteh anak lelaki itu. "Yang ini!" tangannya lincah menunjuk deretan huruf hijaiah. Garwita mengangguk paham lalu mengajak anaknya keluar kamar.
Dilihatnya wanita paruh baya yang baru saja melipat mukena berwarna putih kekuningan dan menaruhnya di atas dipan bambu. Dia baru saja selesai salat jamaah dan menunggui cucunya selesai mengaji di musola.
"Mau makan dulu, Mak?" Garwita dan anaknya mendekat.
"Nanti saja. Bapakmu mana?" tanya Ijah, ibu kandung Garwita.
Garwita menggeleng. "Mungkin pergi ngobor," balasnya tak yakin. Tapi kebiasaan Nanto jika malam memang ngobor--mencari ikan atau belut di malam hari dengan memakai senter atau obor.
Ijah duduk di dipan lalu mengambil ilir dan mengibas-ngibaskan. Hawa gerah membuat badannya penuh peluh.
"Ayo, Bu, makan!" ajak Gandra, anak kecil yang sekarang berlari ke arah dapur lebih dulu.
Meski makan dengan nasi adem yang ditanak pagi tadi, tapi Gandra tetap terlihat lahap. Garwita tersenyum kecil melihat anaknya yang sekarang sudah bisa makan sendiri tanpa suapan darinya. Gandra semakin mandiri dan itu membuat Garwita bangga, juga merasa lega. Karena jika ditinggal pergi kerja, anaknya sudah bisa melakukan apa pun sendiri tanpa harus merepotkan Ijah.
***
Matahari sudah beranjak dan mulai meninggi, membuat hawa panas semakin terasa membakar kulit. Garwita buru-buru menyelesaikan pekerjaannya agar waktu istirahat siangnya tak terpotong.
Dipilihnya lagi oyong yang ukurannya sudah lumayan besar untuk dipanen. Tugas hari ini dari juragan Jarwo. Tanaman itu dipilih untuk musim ini karena mudah tumbuh dan selalu laku jika dibawa ke pasar induk.
Garwita tinggal di kampung, letaknya sangat pelosok. Jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Kampung Karang Mencil berada di tengah-tengah, terkepung oleh aliran sungai. Jadi, jarak paling dekat untuk ke kota harus dilalui dengan memakai perahu. Bisa juga lewat jembatan, tapi butuh waktu yang lebih lama.
"Wit! Wita! Garwita!" Suara panggilan dari seseorang membuat wanita berkerudung coklat itu menoleh.
"Mas Kala?" Mata Garwita berbinar melihat anak juragan sekaligus teman mainnya semasa kecil datang. "Kala--jengking!" lanjutnya dengan nada melengking riang.
"Yoi!" jawab lelaki berkulit kuning langsat dengan lesung pipi di sebelah kanan.
Garwita terkekeh pelan saat mendapati lelaki itu datang menyapanya. "Pulang, Mas? Katanya beberapa bulan lagi wisuda? Kok, sudah pulang sekarang?" tanya Garwita penasaran.
"Ish, kenapa? Orang ingin pulang." Santai Kala menjawab. Padahal Kala pulang karena mendengar ibunya sakit, juga ingin melihat Garwita yang selalu memenuhi otaknya. Bayangan wanita itu selalu saja hadir, seakan-akan berlomba ingin paling eksis dia antara tugas kuliah dan pikiran ruwet yang lain.
Kala melihat ke arah ember yang sudah terisi penuh dengan oyong, tanpa diminta dia menjunjungnya lalu memasukkan oyongnya ke dalam karung yang lebih besar.
Garwita tak melarang anak juragannya itu membantu dengan suka rela. Pasalnya sudah biasa, ketika lelaki itu pulang kampung dan membantu sedikit-sedikit pekerjaan Garwita yang diperintahkan oleh juragan Jarwo.
"Masih banyak yang belum dipanen, Wit?"
Garwita menggeleng. "Tinggal selarik itu, Mas!" tunjuk Garwita ke arah tanaman di bedengan.
"Oh, sedikit ya?"
"Iya, makanya juragan cuma nyuruh aku doang. Belum banyak yang siap panen, masih kecil-kecil. Jadi, pekerja yang lain disuruh ke sawah buat menyangi rumput," ujar Garwita.
Kala mengangguk paham. Dia berjalan ke arah tanaman yang belum di panen, dilihatnya dengan jeli daun oyong yang berlubang-lubang. Juga beberapa oyong yang terdapat bintik dan lubang kecil kecoklatan, hampir membusuk. "Banyak hamanya juga, ya?" Kala merunduk dan mencolek oyong yang hampir busuk.
"Ini sudah disemprot?" tanya Kala yang dimaksudkan penyemprotan pestisida.
Garwita mengangguk. "Kalau enggak salah dua minggu lalu sama Kang Bejo."
"Oh." Kala tak banyak bertanya lagi, dia tahu jika itu membuat pekerjaan Garwita tak selesai-selesai sementara setelah ini dia ingin mengajak wanita itu untuk bersantai sejenak.
Sambil menunggu Garwita selesai memetik oyong, Kala berjalan-jalan di sekitaran kebun yang saat ini ditanami dengan banyak palawija.
***
"Nah, yang sebelah itu, Mas! Kayaknya masih degan!" ujar Garwita berteriak dari bawah. Kala mencoba meraih kelapa muda yang dimaksud lalu memuntir agar terlepas dari papahnya.
Dua kelapa hijau muda sudah jatuh, Garwita mengambilnya dan membawanya ke bawah pohon mangga yang terletak di tepi tanggul.
"Kayaknya banyak airnya, nih!" Kala menggoncang-goncangkan kelapa yang dia petik sendiri.
Dikupasnya bagian ujung dan membuat lubang di tengah. Dengan tak sabar, Kala langsung menenggak air di dalam buah kelapa.
"Kamu tahu, Wit? Kelapa muda di sini tuh yang paling segar!" ucap Kala dengan penuh rasa puas.
"Ya paling segar, soalnya gratis tinggal ambil. Coba kalau di kota, kudu bayar dulu kan?" Mendengar jawaban Garwita, Kala langsung tertawa lepas.
Keduanya terlihat begitu akrab, meski setahun tak bertemu. Kala yang melanjutkan kuliah di kota, jarang pulang. Paling ketika lebaran atau libur kuliah. Namun, mereka berdua sedari kecil memang sudah sering bersama. Bahkan ketika Kala masih ingusan, Ijah yang dipercaya menjaganya karena ibunya Kala kesundulan--punya anak yang jaraknya tak jauh.
"Oiya, Gandra sama Mak Ijah?" tanya Kala ketika sadar sedari tadi anak Garwita tak terlihat. Padahal dulu setahunya sering dibawa Garwita ikut bekerja.
"Kamu belum tahu? Tahun ini anakku sudah masuk sekolah!"
"Dia sudah TK?" Kala antusias menanggapi.
"Bukan, masih PAUD, kan baru empat tahun!"
"Oh." Kala kembali menenggak air degan lalu melihat ke arah jam di tangan. "Jam berapa dia pulang?"
"Sekarang jam berapa?" Garwita balik tanya.
"Jam sepuluh, kurang lima belas menit," jawab Kala. "Kebiasaan enggak bawa jam!"
"Kan ada suara beduk zuhur yang mengingatkan waktunya istirahat nanti!" Garwita terkekeh-kekeh lagi. Mungkin hanya bersama Kala dia bisa sebebas dan senyaman itu melengkungkan bibirnya.
"Hah, dasar!" Kala berdiri lalu mengibaskan baju yang tekena debu saat duduk tadi. "Aku akan menjemput Gandra, dia pasti akan kaget melihatku!"
"Kamu mau jemput Gandra? Tidak usah, aku sudah berpesan pada Emak untuk menjemputnya," cegah Garwati.
Kala tetap kekeh ingin menjemput anak kecil yang sudah dia rindukan selama di kota. Bahkan ada hadiah yang sudah Kala siapkan untuk anak itu juga untuk ibunya si anak, hanya saja kejutan itu tak ingin dia berikan langsung ke Garwita.
"Tunggu, Mas! Kapan kamu balik ke kota?" Garwita menahan Kala sebelum beranjak pergi.
"Mmm, mungkin lusa? Kenapa?"
"Aku boleh ikut?"
Mendengar permintaan Garwita membuat kening Kala mengernyit.
"Untuk apa? Ingin jadi babu? Tidak usah, kasian Gandra, lebih baik kerja di kampung. Sama-sama capek, tapi masih bisa lihat anak!" ujar Kala memberi tanggapan.
Garwita menggeleng cepat. "Aku ingin mencari Mas Ray!" ucap wanita itu, seketika membuat Kala mematung.
Ditatapnya wanita berkerudung coklat usang yang menatapnya dengan binar sendu. Kala tak mampu menolak, tapi untuk mengantar Garwita menemui lelaki pujaannya, entah mengapa membuat hatinya terasa berat.
"Jadi, kamu masih mengharapkan lelaki itu?" Kala mencondongkan badannya agar tepat berhadapan dengan Garwita. "Dia sudah membuangmu, bukan?" "Ndak, Mas. Dia tak membuangku, mungkin saja suatu keadaan membuatnya tak bisa kembali. Dan saat ini, giliranku yang harus mencarinya!" kata Garwita penuh keyakinan. Binar harapan di matanya, berbanding terbalik dengan rasa pedih dan pupus yang kini dirasakan Kala. "Bagaimana dengan Gandra?" Kala masih memandangi Garwita dengan raut cemas dan tak rela. "Dia sudah lumayan besar, ada Emak yang akan menjaganya. Toh, ndak akan lama, hanya sampai aku tahu kabar tentang Mas Ray," pinta Garwita lagi. Dia meraih ujung baju Kala dan menarik-nariknya seperti anak kecil. Kala diam sesaat, dibenaknya serasa sedang berperang antara ingin membantu atau egois? Egois untuk menahan Garwita agar tetap di sini, di tempat di mana saat Kala pulang masih bisa melihat senyum manisnya dan bercanda penuh jenaka. "Mas?" "Ya!""Aku mohon!" Garwita mengeluarkan jurus
Mereka sampai di kontrakan sekitar jam sembilan malam. Kala mengajak Garwita masuk ke kamarnya. Tentu saja wanita itu hanya mematung di luar, lalu celingak-celinguk ke sekitar yang masih terlihat ramai dengan orang-orang. "Ayo masuk!" "Bareng? Memang boleh, Mas,?" tanya Garwita, dalam benaknya di kontrakan Kala hanya ada kasur dengan ruangan yang sangat sempit. "Boleh, kenapa enggak? Di sini bebas, kok. Tapi nanti aku bisa lapor dulu ke pemilik kontrakan. Biar enggak ada yang curiga," ujar Kala membuka kunci. "Udah pulang, Ndra? Sama siapa tuh!" tegur penghuni kontrakan yang baru saja keluar dan mendapati wanita bersama Kala. Kala mengangguk, di tempat ini dia biasa dipanggil Ndra, kepanjangan dari Kalandra. "Ya, saudara! Mau ke mana lu?" balas Kala sambil memberi kode agar Garwita masuk lebih dulu. Sementara Kala mengobrol dengan Gendon temannya. Lelaki bertubuh tambun itu berniat ingin mencari makan malam. Kala yang tadi belum sempat membelinya, meminta Gendon juga memb
Merasa ada seseorang yang berteriak, dokter yang tadinya berjalan ke arah utara membalik badan. Garwita kini berdiri tepat di belakangnya dengan tak sabar ingin menepuk pundak dokter itu. Namun, urung karena lebih dulu dia membalik badan.Garwita mematung dan membulatkan mata, ketika yang dia lihat bukanlah yang dicarinya. Dokter pemakai kacamata dengan kemeja biru muda di balik jasnya itu mengerenyit heran."Anda ada perlu dengan saya?" Garwita menggeleng cepat. "Maaf, aku salah orang, Dok!" ucap Garwita sambil menundukkan kepala lalu pamit ke tempat pendaftaran. Jantungnya yang tadi berdetak tak karuan kini seakan melemah seperti pundaknya yang merosot. Di tempat pendaftaran sudah ada Kala yang bertanya pada petugas resepsionis."Jadi, pemilik klinik yang sekarang bukan dokter Raykarian ya, Mbak?" ulang Kala memastikan. Gadis cantik di meja resepsionis itu mengangguk. "Ya, Mas, betul. Saya baru di sini, katanya klinik ini baru sekitaran satu tahun beroperasi setelah vakum lama. D
"Oalah, ke sini? Ini mah masih jauh, Mbak!" ujar seseorang membaca alamat yang dituduhkan. "Jadi bukan di sini ya, Bu?" Garwita mulai merasa bimbang. "Iya, Mbak. Paling enggak ada satu jam naik angkot." Wanita kurus itu menjawab, dari matanya terpancar rasa iba dan kasian. Apalagi ketika melihat kaki Garwita terluka.Garwita merogoh saku bajunya, tak ada sepeser pun recehan yang tertinggal. Dia lalu menghela napas dan bingung, mau melanjutkan perjalanan atau pulang saja? "Kalau Mbak mau ke sana, ini kukasih uang buat naik angkot, Mbak." Selembar uang dua puluh ribu disodorkan pada Garwita. Namun, dia langsung menolak karena sungkan."Enggak papa, ambil saja," paksa si ibu. Garwita tak bisa lagi menolak, dia ucapkan terima kasih berkali-kali sambil memeluk ibu-ibu yang menolongnya. Garwita lalu pamit dan kembali melangkah, seperti yang dituduhkan ibu tadi kalau jalan ke arah barat sekitar lima ratus meter ada pangkalan angkot. Tidak mudah, sesekali Garwita berjinjit karena kakinya
Pencarian Kala tak membuahkan hasil, padahal dia sudah berkeliling cukup jauh. Dia mulai menepi lalu berhenti sejenak untuk berpikir. "Kalau Garwita pergi untuk mencari Ray, kenapa aku tak melakukan hal yang sama? Mungkin saja dengan aku mencari tujuan yang sama bisa menemukan Garwita di sana?" batin Kala lalu memukul kepalanya kenapa sedari tadi malah berputar-putar bukannya langsung ke alamat. "Bodoh!" gumam Kala pada diri sendiri. Motor metik berwarna hitam itu kembali melesat menyusuri jalanan. Kala masih mengingat jelas setiap detail yang diucapakan ibu-ibu cleaning service di klinik Andalan. Dia yakin, berbekal ingatan dan nama Tuan Abash bisa menemukan alamat itu. *** Garwita berlari sembari menyeka air matanya, tak dihiraukannya kaki yang semakin lecet dan berdarah. Harapan yang telah hancur membuat rasa sakit di badan tak lagi terasa karena yang lebih memilukan justru ada di dalam dada, sakit di hati yang amat dalam. Kepala Garwita dipenuhi dengan prasangka dan tebak me
Kala melihat Garwita sedang mengemasi bajunya ke tas, dia mengernyit untuk apa wanita itu melakukan itu?"Kamu mau pulang?" tanya Kala membuat Garwita berjengit. Garwita mengangguk. "Pencarianku sudah selesai. Aku harus cepat pulang untuk Gandra," balasnya dengan seulas senyum. Senyum yang selalu Garwita tunjukkan sekali pun hati sedang gerimis. Kala bersender ke tembok dengan tangan bersedekap. "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" Sejenak Garwita berpikir, namun tak ada dalam benaknya sesuatu yang ingin dia lakukan setelah ini. Usai tahu tentang Ray dan harapan itu hancur dalam sekejap, dia berasa tak punya harapan yang harus diperjuangkan. "Seperti biasa lagi. Kerja untuk Gandra," balas Garwita tak ingin membuat kepalanya pusing dengan mencari-cari rencana. "Kamu tidak akan menggugat cerai?" Kala bicara dengan tatapan serius pada Garwita. Wanita itu menghela napas dalam, rasa syoknya seakan-akan masih mencekik ingatan. Garwita ingin menolak untuk percaya bahwa Ray meningga
Sampai di rumah sakit Garwita langsung berlari menuju ruangan di mana Kala dirawat, dia sudah dipindahkan dari UGD. Air mata Garwita terus mengalir, dia tergopoh-gopoh sambil menyekanya. Ketika pintu dibuka terlihatlah Kala yang sedang berbaring dengan perban dibagian kepala juga tangan. Dia masih memejam, pikir Garwita karena belum sadarkan diri. "Mas, kamu ndak papa kan?" tangis Garwita pecah sampai sesenggukan melihat Kala dengan kondisi begitu. "Mas, bangun!" Garwita merengek seperti anak kecil. Dia terduduk di kursi samping ranjang sembari meremas tepian ranjang. Kala yang tadinya ingin tidur merasa terganggu. Awalnya dia kira berhalusinasi tapi suara khas Garwita membuatnya mengerjap dan mendapati wanita itu sedang menangis untuknya. Kala masih diam dan pura-pura memejam, tapi senyum tipisnya tak bisa disembunyikan. Masih terdengar tangisan Garwita yang lebih mirip seperti anak kecil, lama-lama Kala tak tahan juga ingin tertawa. "Aku enggak papa, Sayang, cep cep cep!" ucap
q"Witaku ...," gumam Ray nyaris tanpa suara.***Garwita celingak-celinguk di ruang rawat karena tak melihat Hana ada di sana. "Cari apa?" "Mmm, pacarmu sudah pulang, Mas?" tanya Garwita pada Kala yang duduk dengan menyenderkan punggungnya di kepala ranjang."Sudah, dia bukan pacarku," jawab Kala. Lalu menyuruh Garwita agar duduk kursi dekatnya. "Aku lapar, Wit." Garwita mengernyit, dilihatnya makanan yang sudah disediakan pihak rumah sakit di meja nakas. "Mau makan?" Garwita mengambil nampan berisi makanan dia ingin meletakannya di pangkuan Kala agar lebih mudah menjakaunya. "Ish, kamu enggak lihat tanganku kena cekal semua? Suapin!" pinta Kala manja. Gerwita tersenyum geli. "Yang cedera kan tangan kirimu saja, Mas! Tangan kanan masih bisa bergerak!""Tapi kan ada selang infusnya, Wit! Gimana kalau pas makan terus copot? Pokoknya suapin!" Garwita tak bisa lagi menolak, tangan kanan Kala memang diinfus. Bisa saja Kala makan sendiri, tapi niatnya sedari tadi menunggu Garwita
Braaak!Cara terakhir agar Topan tahu kondisi tuannya adalah dengan mendobrak pintu. Pintu terbuka lebar, terlihat jelas Ray yang jatuh dari kursi roda lalu melempar apa saja yang bisa digapai tangannya. Telapak tangannya sampai berdarah karena tergores serpihan gelas. "Anda baik-baik saja, Tuan?" Sigap Topan memapah Ray dan mendudukkannya ke ranjang. Sayangnya lelaki itu justru marah dan langsung mengusir Topan lagi."Pergi dan tutup pintunya!" teriak Ray dengan mata nyalang dan menunjuk ke arah pintu. Topan bisa lihat darah segar yang menetes dari telapak tangan Ray. Tapi tak ingin dia semakin marah membuat Topan hanya bisa menghela napas lalu keluar. *** Di lain tempat, Gandra sudah tertidur pulas sementara Garwita tak bisa tidur terlebih Nanto pulang dan dia memanggil-manggil Garwita untuk menyuruhnya membuat minuman. Mau tak mau wanita muda itu berjalan ke dapur dan menyeduh kopi untuk Nanto. Ijah yang kelelahan sudah tertidur di dipan depan dengan TV yang masih menyala. "Ini
"Gandra?" Garwita kaget melihat Gandra dan Kala ada di depan rumah Ray. "Mas Kala?" lirihnya. Ray melihat dua lelaki beda usia itu menanti Garwita, lalu dia balik menoleh pada Garwita yang masih mematung. "Gandra, sini!" panggil Ray dengan suara serak sambil melambaikan tangan takut anak itu tak dengar. "Om Kala, aku turun dulu ya?" pinta Gandra lalu menghampiri ibunya dan Ray. Sementara Kala masih berdiam di tepi jalan. Kali ini dia merasa sangat canggung, apalagi sikap Garwita yang terkesan cuek. Padahal, biasanya kalau Garwita melihatnya pulang akan berteriak antusias bahkan kegirangan seperti anak kecil."Tuan, aku pamit," ucap Garwita setelah Gandra dan Ray saling memeluk dan saling salam tinju dengan kepalan tangan. Mereka berdua tampak sangat akrab.Ada rasa aneh yang Kala lihat pada lelaki di kursi roda itu, kenapa memakai pakaian serba tertutup di dalam rumah, bahkan memakai masker dan mantel jaket.Kala bersedekap dengan mata melihat ke arah mereka, dari adegan yang disugu
"Ish, apaan sih Mas Rudi. Sudah dibilang ndak mau!" Garwita mendorong ponsel Rudi agar menjauh dari wajahnya."Wita!" Suara dari ponsel membuat Garwita dan Rudi yang sedang bergurau langsung diam dengan cepat Rudi meletakan ponselnya di tangan Garwita. Wanita itu tak mampu lagi menolak karena di layar, Kala sudah melihatnya. "Ya, Mas?" balas Garwita kemudian. "Kamu baik?" Kala terlihat sedang mengamati wajah Garwita dari balik layar. "Alhamdulillah, Baik. Mas Kala gimana?" Kala tak langsung menjawab, dia terkekeh-kekeh sejenak. "Ya enggak gimana-mana. Ini lagi sakit!" "Mas Kala sakit?" Garwita berubah penasaran. Dia mengangkat lebih tinggi tangannya agar jelas melihat Kala. "Ya, sakit rindu!" jawab Kala dengan tawa pecah. Garwita cemberut, tetapi semburat merah di pipinya tak bisa dia sembunyikan. "Halah, gombal!" Garwita memiring-miringkan bibirnya. "Serius! Oiya, kenapa enggak mau aktifin ponselnya?" Kala kembali mendesak Garwita. Wanita itu menggeleng, perasaan tak enaknya
Ehem! Ray berdeham lalu mengalihkan pandangannya keluar jendela. Garwita pun melakukan hal yang sama, dia dibuat gugup sesaat tadi. Sementara Topan yang melihat hanya bisa tersenyum tipis. Dia tidak tahu bagaimana nasib tuannya ke depan, hanya saja doanya selalu ingin yang terbaik Ray bisa sembuh lalu membangun kembali keluaraga yang utuh. "Om, kalau besar nanti Gandra juga pengen bisa nyetir mobil!" celetuk Gandra pada Topan. Lelaki botak itu langsung tertawa geli. "Boleh saja, Gan. Besar nanti pasti kamu bakal punya mobil banyak, bukan cuma mainan!" yakin Topan meski dengan nada bercanda. Mau bagaimana pun, Ray adalah pewaris satu-satunya keluaraga tuan Abash, sementara sekarang hanya Gandra lah keturunan dari Ray. "Om Botak! Lihat itu!" Gandra menunjuk ke patung gajah yang berada di depan sebuah gedung. "Besar sekali!" Dia berdecak kagum."Gandra, jangan panggil begitu!" tegur Garwita merasa anaknya tak sopan memanggil Topan dengan sebutan botak."Tak masalah, Mbak, justru saya
Garwita membuka kotak putih itu dan memang benar berisi smart phone. Lalu di dalamnya terselip sebuah surat kecil. Gandra meraih ponsel itu, dia begitu penasaran dan ingin memegang seperti apa ponsel. Sementara Garwita membaca suratnya. Pesan itu diawali sebuah salam lalu langsung pada intinya, hanya beberapa baris saja yang membuat Garwita tahu siapa pengirimnya. [Garwita, apa kabarmu? Sampai dengan selamat bukan? Aku lupa kemarin ingin memberikan ini padamu agar bisa berkomunikasi dengan siapa saja. Gandra pasti pun akan senang. Tolong aktifkan ponselnya, dia dalam sudah ada kartu seluler. Aku tak sabar ingin menelpon dan melihat wajah Gandra.] "Mas Kala?" batin Garwita. Dia merasa tak enak hati diberi barang semahal ini, dia tebak pasti harganya jutaan. Mengingat kata yang juragan Jarwo wanti-wanti kemarin, Garwita pun urung mengaktifkan ponsel itu. Dia mengambil kembali dari Gandra lalu menyimpannya, mungkin akan mengembalikannya jika Kala pulang nanti."Yah, Bu, kok diambil? G
"Aaa, moster!" teriak Gandra ketakutan saat melihat seseorang di dalam mobil memakai kacamata hitam dengan wajah penuh luka bakar. Ray lupa tak memakai masker. "Heh, ndak boleh bilang gitu, Le!" tegur Ijah memperingatkan cucunya. "Maaf ya, Pak, cucu saya kadang cuma asal nyeplos," kata Ijah pada Ray dengan wajah tak enak hati. Sementara Gandra langsung berlari lebih dulu, Ijah membuntuti. Ray menutup kaca jendela. Dia sandarkan punggung ke jok, ada yang berasa perih dalam dadanya. Bukan karena penolakan dari anaknya, tapi ini jauh lebih buruk. Anaknya sendiri takut, dan bilang kalau dia seperti moster. Ray memejamkan mata, menahan rasa sesak di dada. Dia hela napas dalam dan kembali menenangkan diri. "Maafkan, Ayah," gumam Ray. Dia lalu menyuruh Topan untuk melajukan mobil dan langsung pulang ke rumah. ***Garwita menemui Topan yang sedang duduk di kursi depan. "Maaf, Mas, aku kesorean." Garwita tak enak hati ketika sampai di rumah majikannya pukul lima. "Tak masalah, Mbak. T
"Panggil saja Tuan Rian, Mbak!" balas Topan tiba-tiba. Dia sudah berdiri di belakang Garwita. "Tuan Rian? Oh baiklah, terima kasih." Garwita menundukkan kepalanya sebagai isyarat pamit dengan senyum merekah lalu kembali undur diri. "Namanya Rian? Ah ya, Rian," batin Garwita terus mengingat-ingat. Pukul setengah delapan, waktu yang longgar untuk menuju ladang. Dia mengayuh sepeda dengan santai kali ini. Sinar mentari mulai terasa hangat-hangat kuku. "Wita!" panggil Nanto yang sudah berdiri di tepi jalan. Tadinya Garwita tak tahu jika beberapa orang yang mengerumun di tepi jalan ada bapaknya. Nanto memberi isyarat agar Garwita berhenti dan mendekat. "Ada apa, Pak?" Garwita melirik ke arah orang yang bersama Nanto. Dia paham betul lima orang itu adalah juragan Margono dan para pengikutnya. Untuk apa bapaknya ikut juga bersama mereka? Apa mungkin Nanto sekarang bekerja untuk juragan Margono? Batin Garwita mulai resah lalu mengingat ucapan Karmi kemarin siang. "Kamu mau berangkat ke
"Mmm maaf, Mas, aku dengar di sini sedang cari orang buat jadi pembantu. Apa benar?" tanya Garwita memastikan."Oh, jadi mbaknya mau melamar kerja di sini?" Topan melontarkan seulas senyum, dalam benaknya merasa lega. Ternyata rencana menyuruh Imah untuk memberi infomasi perkerjaan pada Garwita disambut langsung oleh wanita itu. "Iya, Mas, semisal ada aku mau!" balas Garwita antusias.Topan tak langsung menjawab, dia pamit pada Garwita untuk bertanya pada tuannya. Topan masuk ke rumah sementara Garwita menunggu di luar.Di ruang tamu Topan mendapati Ray yang sudah duduk di balik tirai, dia pun langsung mengatakan maksud wanita itu datang. Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, Ray merasa senang tanpa bersusah payah ternyata Garwita sendiri yang langsung mendekat padanya. "Katakan padanya jika mulai besok sudah boleh bekerja, hanya untuk pagi dan sore. Karjanya memasak di sini, setelah itu dia boleh langsung pulang. Dan kusus hari minggu dia harus datang dan membersihkan rumah ini." Ra
Dua bulan berlalu setalah Garwita resmi bercerai dari Raykarian. Dia menjalani hari seperti biasanya, hanya saja status yang sudah berganti membuatnya harus lebih hati-hati dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Apalagi sekarang masih dalam masa idah. Garwita terduduk di bawah pohon kelapa yang berada di tengah ladang milik juraga Jarwo. Dia berisitirahat sejenak setelah tadi berkerja keras bersama pekerja lainnya memanen daun tembakau pertama. Garwita memandangi tanaman hijau di sebalah selatan yang tumbuh subur dengan duan-daun lebar yang belum selesai dipanen. "Makan dulu, Wit, kamu bawa bekel ndak?" tanya Karmi, wanita paruh baya yang sudah lama bekerja pada juragan Jarwo, usianya tak beda jauh dengan Ijah. Sayangnya, Ijah yang sakit-sakitan sudah tak bisa lagi bekerja berat. Jadi, Garwita memintanya agar tetap di rumah."Bawa, kok, uwa Karmi. Pake lauk apa?" Garwita membuka kotak nasinya, lalu melongok ke arah makanan yang dibawa Karmi menggunakan kertas minyak. Mereka makan b