Merasa ada seseorang yang berteriak, dokter yang tadinya berjalan ke arah utara membalik badan. Garwita kini berdiri tepat di belakangnya dengan tak sabar ingin menepuk pundak dokter itu. Namun, urung karena lebih dulu dia membalik badan.
Garwita mematung dan membulatkan mata, ketika yang dia lihat bukanlah yang dicarinya. Dokter pemakai kacamata dengan kemeja biru muda di balik jasnya itu mengerenyit heran.
"Anda ada perlu dengan saya?"
Garwita menggeleng cepat. "Maaf, aku salah orang, Dok!" ucap Garwita sambil menundukkan kepala lalu pamit ke tempat pendaftaran. Jantungnya yang tadi berdetak tak karuan kini seakan melemah seperti pundaknya yang merosot.
Di tempat pendaftaran sudah ada Kala yang bertanya pada petugas resepsionis.
"Jadi, pemilik klinik yang sekarang bukan dokter Raykarian ya, Mbak?" ulang Kala memastikan.
Gadis cantik di meja resepsionis itu mengangguk. "Ya, Mas, betul. Saya baru di sini, katanya klinik ini baru sekitaran satu tahun beroperasi setelah vakum lama. Dan pemiliknya sekarang atas nama dokter Derajat, bukan Dokter Raykarian," terangnya.
Entah apa yang terjadi pada tubuh Garwita, kepalanya tiba-tiba pusing dan terasa meriang. Dia memilih diam ketika Kala mencari informasi.
Seorang paruh baya berpakaian cleaning service mendekat setelah mendengar seseorang membicarakan nama Ray.
"Apa kalian membicarakan dokter Ray?" tanyanya memastikan. Garwita langsung menoleh sembari menahan gemetar yang mulai dia rasakan di kaki karena terasa lemas.
"Ya, apa anda kenal, Bu?" tanya Garwita penuh harap. Ibu itu tersenyum ramah.
"Dulu beliau pemilik klinik ini, hanya beberapa bulan buka. Lalu beliau pindah dan klinik ini lumayan lama ditutup," ucap si ibu dengan yakin. Dia dulu pun bekerja di sini sebagai tukang bersih-bersih. Dalam ingatannya dokter muda bernama Raykarian itu sangat ramah dan ambisius.
Tentu saja Kala dan Garwita langsung bertanya di mana dia pindah. Ibu itu menjawab lengkap alamat dokter Raykarian.
"Kalau bingung rumahnya sebelah mana, tanya saja orang-orang komplek situ pasti tahu di mana rumah Tuan Abash," jelasnya tanpa keraguan.
Garwita mencatat lagi alamat yang disebut tadi. Kala menyarankan untuk besok saja mencarinya karena hari sudah petang. Garwita tak sabar, tapi tahu keadaan yang memang tak memungkinkan membuatnya menurut dan pulang lebih dulu ke kontrakan Kala. Lagi pun dia merasa badannya benar-benar tak bisa diajak kompromi.
***
Perjalanan pulang, udara yang terasa dingin membuat Garwita memeluk dadanya sendiri, sementara Kala melajukan motornya pelan. Dari kaca spion, Kala melihat ekspresi Garwita yang tampak menggigil, dia berhenti sejenak.
"Dingin, Wit? Ini pake jaketku!" Kala melepas jaketnya dan memberikannya pada Garwita. Sepertinya wanita itu tak baik-baik saja, wajah Garwita tampak pucat.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Kala memastikan. Namun jawaban Garwita tak sesuai dengan apa yang terlihat, meski dia bilang baik-baik saja, tubuh pucatnya tak bisa berbohong.
"Kita lanjut lagi. Bentar lagi sampai, kok!" ujar Kala. Dia tak ingin membuang waktu.
Sampai di kontrakan, Kala memapah Garwita masuk. Badannya panas, Kala bingung apa yang terjadi. Apa dia masuk angin atau kecapekkan karena seharian berada di jalanan. Diambilnya obat pereda demam juga minyak kayu putih. Kala tak bisa banyak membantu selain menjaga dan menungguinya.
Garwita langsung berbaring di ranjang, sementara Kala duduk di sofa depan dengan cemas. Berkali-kali dia menengok Garwita, takut jika sesuatu terjadi padanya.
Terdengar suara gemertak dari mulut Garwita, badannya begetar menahan gigil. Kala duduk di tepi ranjang lalu memegang kening Garwita, masih belum turun panasnya. Kala berinisiatif untuk mengompresnya dengan air hangat.
Hampir dini hari dan Kala masih terjaga dengan duduk di lantai sembari bersandar ke tepi ranjang. Dilihatnya Garwita yang sudah tenang dan kembali terlelap. Kantuk pun mulai menghinggapi Kala, perlahan matanya memejam dan menekuri alam mimpi.
***
Menjelang subuh, Garwita terbangun. Dirabanya kening yang masih tertempel kain untuk mengopres dan hampir mengering. Kala masih tertidur di lantai dengan posisi duduk. Garwita mengerjap-ngerjap lalu duduk dan bersandar ke kepala ranjang. Rasa pusingnya masih ada, hanya badannya sudah tak berasa dingin meski masih demam.
"Sudah bangun?" Kala langsung menggeliat mendengar suara ranjang berdecit.
"Kamu semalaman tidur di situ, Mas?" tanya Garwita merasa kasian juga bersalah karenanya Kala sampai begadang.
"Masih panas?" Kala tak menggubris pertanyaan Garwita, dia justru khawatir dengan kondisi wanita itu. Ingin menyentuh kening untuk memastikan masih panas atau tidak, tapi Garwita reflek memundurkan kepalanya.
"Aku udah mendingan, kok, Mas." Garwita mengusap wajahnya. "Mungkin karena terlalu semangat, aku yang ndak biasa pergi jauh dan naik motor jadi langsung meriang. Biasa di kampung cuma di kebun, doang!" canda Garwita lalu menyunggingkan senyum.
Kala berdecak. "Lain kali kalau sudah merasa pusing bilang, jangan dipaksain!"
"Aku cuma ndak pengen membuang waktu buat mencari Mas Ray. Waktuku di sini kan ndak banyak. Jangan sampai pulang kampung tapi aku belum berhasil mendapat informasi, bisa mati berdiri aku!" Garwita masih saja memulai candaan konyolnya.
"Dasar! Pokoknya hari ini istirahat dulu ya?" pinta Kala tak ingin Garwita memaksakan keinginannya.
"Aku udah baikkan ...."
Kala berlalu ke kamar mandi tak lagi mendengarkan protesan dari Garwita yang kekeh ingin mencari Ray lagi.
***
Garwita ditinggalkan Kala bersama dengan sebungkus nasi uduk yang tadi dibeli sebelum berangkat kuliah. Kala mewanti-wanti agar Garwita tak pergi ke mana pun dulu. Pintu kontrakkan tak dikunci, hanya saja Kala menyuruh Garwita untuk menguncinya dari dalam. Namun, ucapan itu tak diindahkan, wanita itu sudah bersiap berganti baju lalu pergi dari kontrakan.
Berbekal alamat yang kemarin didapatkan, Garwita berjalan menyusuri gang untuk mencari pangkalan ojek. Dia belum tahu tentang adanya ojek online, karena ponsel saja tak punya. Wajah Garwita tersenyum semringah melihat pangkalan ojek di depan mata, meski yang terlihat tinggal seorang saja yang sedang mangkal. Dia mempercepat langkahnya.
"Permisi, Pak, bisa antar ke alamat ini?" Garwita menyodorkan selembar kertas. Tukang ojek berusia sekitaran empat puluh tahun itu mengernyit lalu menoleh ke arah Garwita. Dilihatnya baik-baik wanita muda yang memakai gamis coklat dengan wajah yang asing, dia tak pernah melihat di komplek ini.
"Bisa, Mbak. Sekarang ya? Oiya, ngomong-ngomong Mbak ini dari mana?" Tukang ojek memancing pertanyaan.
"Aku dari kampung, Pak." Garwita pun menyebut asal-usulnya tanpa curiga apa pun.
"Oh pantes, bahasnya medok, Mbak," ucap si tukang ojek. Entah mengapa senyumnya berubah sedikit menyeringai.
Garwita yang polos hanya tersenyum simpul lalu naik ke jok belakang. "Bisa antar sekarang kan, Pak?"
"Bisa-bisa, Mbak. Ayo!"
Motor mulai melaju menyusuri jalanan perkotaan. Sesekali Garwita memijati keningnya yang terasa pusing tetapi masih kuat untuk bertahan. Tekadnya jauh lebih kuat ketimbang rasa manja untuk rehat sejenak.
***
Di lain waktu, Kala pulang dengan tergesa. Dia khawatir jika Garwita kembali demam dan menggigil. Motor melaju cepat, namun saat sampai di kontrakan dia tercengang karena tak ada sesiapa pun di dalam. Perasaannya bimbang tak karuan, bingung, cemas, juga menyesal kenapa tadi tak mengunci pintu saja agar Garwita tak kabur. Dia takut jika wanita itu akan tersesat atau kemungkinan terburuk dijahati orang. Pikirnya Garwita terlalu polos untuk bertahan di kota ini sendirian.
"Apa Garwita pergi?" gumam Kala. Dia mengacak rambutnya frustasi lalu bergegas untuk pergi.
Dicarinya Garwita, sepanjang jalan Kala terus menoleh ke kanan dan kiri berharap bisa menemukan wanita itu.
***
"Sudah sampai, Pak?" Garwita turun dari motor ketika tukang ojek mematikan mesin di tempat yang cukup sepi.
"Ya, ini sudah berada di komplek perumahan itu. Mbak tinggal jalan lurus saja," dusta si tukang ojek sambil menunjuk lurus ke arah gang.
Garwita yang polos hanya mengangguk paham. Dia mengambil dompet yang berada di dalam tas slempang berbahan kain, ukurannya lumayan besar. Bukan hanya dompet tapi barang satu-satunya yang Ray tinggalkan juga ada dalam tas. Sengaja Garwita membawanya agar selalu ingat tujuannya pergi adalah mencari suaminya.
"Heh!" Garwita tersentak kaget ketika tasnya tiba-tiba ditarik oleh tukang ojek dan dia didorong sampai tersungkur. Sementara tasnya dibawa kabur.
"Tolong!" teriak Garwita saat menyadari tasnya dijambret!
Garwita berlari ingin mengejar, tapi badan lemahnya tak mampu menandingi laju motor. Apalagi ketika dia tersandung dan sandal jepit yang dipakainya terputus.
"Tolong ada jambet!" teriak Garwita sekali lagi dengan terduduk di jalanan.
Orang-orang yang mendengar teriakkan langsung keluar rumah dan berlari menghampiri.
"Ada apa, Mbak?" tanya seorang paruh baya yang pertama kali datang.
"Tolong aku, Pak! Aku dijambret!" tuduh Garwita sambil menunjuk ke arah pengendara motor yang sudah sangat jauh. Orang-orang yang sudah berdatangan hanya bisa merutuk dan ikut kesal. Mereka tak bisa mengejar karena pelaku sudah menghilang di tikungan jalan.
"Ayo berdiri, Mbak, kubantu!" Seorang Ibu bertubuh kurus memapah Garwita ke tepi jalan lalu medudukkannya di teras rumah seseorang.
Mereka mulai bertanya tujuan Garwita ingin ke mana dan dari mana. Dengan polos Garwita menuduhkan selembar kertas yang untungnya dia masukkan dalam saku baju. Nasib apes sedang menimpanya, bukan hanya uang tapi Garwita juga kehilangan satu-satunya benda milik Ray. Dia mulai merutuki kecerobohannya, padahal dia belum sempat menceritakan kepada Gandra sehebat apa ayahnya ketika memakai jas dokter itu.
Garwita berselonjor, melihat jempol kaki yang sedikit lecet dan berdarah. Ingatannya tentang Ray yang selalu tanggap ketika dia sakit pun bermunculan. Ray akan merawatnya, bahkan ketika Garwita panik melihat darah, suaminya itu akan dengan tenang dan telaten mengobatinya.
"Oalah, ke sini? Ini mah masih jauh, Mbak!" ujar seseorang membaca alamat yang dituduhkan. "Jadi bukan di sini ya, Bu?" Garwita mulai merasa bimbang. "Iya, Mbak. Paling enggak ada satu jam naik angkot." Wanita kurus itu menjawab, dari matanya terpancar rasa iba dan kasian. Apalagi ketika melihat kaki Garwita terluka.Garwita merogoh saku bajunya, tak ada sepeser pun recehan yang tertinggal. Dia lalu menghela napas dan bingung, mau melanjutkan perjalanan atau pulang saja? "Kalau Mbak mau ke sana, ini kukasih uang buat naik angkot, Mbak." Selembar uang dua puluh ribu disodorkan pada Garwita. Namun, dia langsung menolak karena sungkan."Enggak papa, ambil saja," paksa si ibu. Garwita tak bisa lagi menolak, dia ucapkan terima kasih berkali-kali sambil memeluk ibu-ibu yang menolongnya. Garwita lalu pamit dan kembali melangkah, seperti yang dituduhkan ibu tadi kalau jalan ke arah barat sekitar lima ratus meter ada pangkalan angkot. Tidak mudah, sesekali Garwita berjinjit karena kakinya
Pencarian Kala tak membuahkan hasil, padahal dia sudah berkeliling cukup jauh. Dia mulai menepi lalu berhenti sejenak untuk berpikir. "Kalau Garwita pergi untuk mencari Ray, kenapa aku tak melakukan hal yang sama? Mungkin saja dengan aku mencari tujuan yang sama bisa menemukan Garwita di sana?" batin Kala lalu memukul kepalanya kenapa sedari tadi malah berputar-putar bukannya langsung ke alamat. "Bodoh!" gumam Kala pada diri sendiri. Motor metik berwarna hitam itu kembali melesat menyusuri jalanan. Kala masih mengingat jelas setiap detail yang diucapakan ibu-ibu cleaning service di klinik Andalan. Dia yakin, berbekal ingatan dan nama Tuan Abash bisa menemukan alamat itu. *** Garwita berlari sembari menyeka air matanya, tak dihiraukannya kaki yang semakin lecet dan berdarah. Harapan yang telah hancur membuat rasa sakit di badan tak lagi terasa karena yang lebih memilukan justru ada di dalam dada, sakit di hati yang amat dalam. Kepala Garwita dipenuhi dengan prasangka dan tebak me
Kala melihat Garwita sedang mengemasi bajunya ke tas, dia mengernyit untuk apa wanita itu melakukan itu?"Kamu mau pulang?" tanya Kala membuat Garwita berjengit. Garwita mengangguk. "Pencarianku sudah selesai. Aku harus cepat pulang untuk Gandra," balasnya dengan seulas senyum. Senyum yang selalu Garwita tunjukkan sekali pun hati sedang gerimis. Kala bersender ke tembok dengan tangan bersedekap. "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" Sejenak Garwita berpikir, namun tak ada dalam benaknya sesuatu yang ingin dia lakukan setelah ini. Usai tahu tentang Ray dan harapan itu hancur dalam sekejap, dia berasa tak punya harapan yang harus diperjuangkan. "Seperti biasa lagi. Kerja untuk Gandra," balas Garwita tak ingin membuat kepalanya pusing dengan mencari-cari rencana. "Kamu tidak akan menggugat cerai?" Kala bicara dengan tatapan serius pada Garwita. Wanita itu menghela napas dalam, rasa syoknya seakan-akan masih mencekik ingatan. Garwita ingin menolak untuk percaya bahwa Ray meningga
Sampai di rumah sakit Garwita langsung berlari menuju ruangan di mana Kala dirawat, dia sudah dipindahkan dari UGD. Air mata Garwita terus mengalir, dia tergopoh-gopoh sambil menyekanya. Ketika pintu dibuka terlihatlah Kala yang sedang berbaring dengan perban dibagian kepala juga tangan. Dia masih memejam, pikir Garwita karena belum sadarkan diri. "Mas, kamu ndak papa kan?" tangis Garwita pecah sampai sesenggukan melihat Kala dengan kondisi begitu. "Mas, bangun!" Garwita merengek seperti anak kecil. Dia terduduk di kursi samping ranjang sembari meremas tepian ranjang. Kala yang tadinya ingin tidur merasa terganggu. Awalnya dia kira berhalusinasi tapi suara khas Garwita membuatnya mengerjap dan mendapati wanita itu sedang menangis untuknya. Kala masih diam dan pura-pura memejam, tapi senyum tipisnya tak bisa disembunyikan. Masih terdengar tangisan Garwita yang lebih mirip seperti anak kecil, lama-lama Kala tak tahan juga ingin tertawa. "Aku enggak papa, Sayang, cep cep cep!" ucap
q"Witaku ...," gumam Ray nyaris tanpa suara.***Garwita celingak-celinguk di ruang rawat karena tak melihat Hana ada di sana. "Cari apa?" "Mmm, pacarmu sudah pulang, Mas?" tanya Garwita pada Kala yang duduk dengan menyenderkan punggungnya di kepala ranjang."Sudah, dia bukan pacarku," jawab Kala. Lalu menyuruh Garwita agar duduk kursi dekatnya. "Aku lapar, Wit." Garwita mengernyit, dilihatnya makanan yang sudah disediakan pihak rumah sakit di meja nakas. "Mau makan?" Garwita mengambil nampan berisi makanan dia ingin meletakannya di pangkuan Kala agar lebih mudah menjakaunya. "Ish, kamu enggak lihat tanganku kena cekal semua? Suapin!" pinta Kala manja. Gerwita tersenyum geli. "Yang cedera kan tangan kirimu saja, Mas! Tangan kanan masih bisa bergerak!""Tapi kan ada selang infusnya, Wit! Gimana kalau pas makan terus copot? Pokoknya suapin!" Garwita tak bisa lagi menolak, tangan kanan Kala memang diinfus. Bisa saja Kala makan sendiri, tapi niatnya sedari tadi menunggu Garwita
"Mas, bisa melakukannya sendiri kan?" tanya Garwita ragu. Tangan Kala yang memakai arm sling, mungkin akan menyulitkannya untuk mandi. Kala tertawa pelan. "Memangnya kalau enggak bisa kamu mau bantu?" Kala menarik turunkan alisnya."Ish, ya ... aku bakal panggilin Gendon atau bapak pemilik kontrakan buat bantu kamu mandi," canda Garwita dengan senyum puas. Kala mengerucutkan bibirnya, dan memilih masuk ke kamar mandi. Dua hari berada di rumah sakit dan sekarang sudah dibolehkan untuk pulang keadaan Kala sudah membaik tinggal tangannya saja yang butuh waktu lebih lama untuk penyembuhan.Pagi ini, adalah hari terakhir Garwita di kota, Kala akan mengantarnya ke terminal. ***Garwita sudah bersiap dengan baju baru yang dibelikan Kala, gamis berwarna moka satu set dengan jilbab panjangnya. Bagus sekali, ini adalah baju Garwita yang terlihat paling mahal dan sangat pas di badannya. Kala terdiam ketika menunggu Garwita di teras kontrakan. Matanya melebar tanpa berkedip, sementara bibirnya
**Flashback"Dok, tolong!" teriak seorang gadis, tergopoh-gopoh memapah seorang wanita paruh baya dan membawanya ke puskesmas. Ray dengan tanggap menyuruh satu perawat untuk membawakan brankar dan mendorong masuk pasien yang terlihat begitu lemas. Cekatan para petugas medis yang berjaga memeriksa wanita itu. Sementara anak gadisnya menunggu di luar. Sudah hampir tiga hari Ijah sakit perut dari mual muntah sampai diare. Garwita yang panik langsung membawa emaknya ke puskesmas. Saat itu dia baru saja selesai mencuci baju. Dengan gusar Garwita menunggu sembari mondar-mandir di depan ruang rawat. Puskesmas kampung tidaklah besar hanya memiliki dua gedung ukuran sedang. Suara deritan pintu membuat Garwita langsung menoleh dan menyongsong petugas medis yang keluar dari sana. "Dok, bagaimana kondisi emakku?" tanya Garwita cemas. Ray tersenyum ramah, dia tahu jika seseorang di depannya pasti sedang gugup dan panik. "Ibumu terkena gastroenteritis atau muntaber, jadi harus dirawat inap. T
"Katakan, Garwita! Apa yang terjadi?" Nanto berdiri di depan Garwita dengan berkacang pinggang."I--iya, Pak. Mas Ray menikah lagi," balas Garwita. Dia memejam sembari menggigit bibir bawahnya. Nanto mengacak rambut lalu berbalik dan meremas kepala kursi. "Bapak sudah bilang, baiknya memang kamu bercerai! Sekarang terbukti semuanya kan?" Garwita yang ditatap dengan mata malotot tentu ketakutan. Ijah mengusap-usap pundak Garwita."Sudah, Pak, sudah. Mungkin ini sudah takdir," sela Ijah ikut menangis."Memang dasar anak ngeyel! Menunggumu tak ada arti! Bapak tak mau tahu, secepatnya urus perceraian kalian!" bentak Nanto lalu kembali keluar rumah. Dia tak lagi menghiraukan anak dan istrinya yang masih menangis. Dadanya terasa memanas dan jika tetap berada di rumah mungkin Nanto akan semakin mengamuk karena Garwita yang sedari dulu tak pernah mendengarkan sarannya."Buuu ... Ibu," panggil Gandra sembari meracau. Matanya masih memejam tapi bibirnya gemetaran. "Sayang, ini Ibu! Bangun, G
Braaak!Cara terakhir agar Topan tahu kondisi tuannya adalah dengan mendobrak pintu. Pintu terbuka lebar, terlihat jelas Ray yang jatuh dari kursi roda lalu melempar apa saja yang bisa digapai tangannya. Telapak tangannya sampai berdarah karena tergores serpihan gelas. "Anda baik-baik saja, Tuan?" Sigap Topan memapah Ray dan mendudukkannya ke ranjang. Sayangnya lelaki itu justru marah dan langsung mengusir Topan lagi."Pergi dan tutup pintunya!" teriak Ray dengan mata nyalang dan menunjuk ke arah pintu. Topan bisa lihat darah segar yang menetes dari telapak tangan Ray. Tapi tak ingin dia semakin marah membuat Topan hanya bisa menghela napas lalu keluar. *** Di lain tempat, Gandra sudah tertidur pulas sementara Garwita tak bisa tidur terlebih Nanto pulang dan dia memanggil-manggil Garwita untuk menyuruhnya membuat minuman. Mau tak mau wanita muda itu berjalan ke dapur dan menyeduh kopi untuk Nanto. Ijah yang kelelahan sudah tertidur di dipan depan dengan TV yang masih menyala. "Ini
"Gandra?" Garwita kaget melihat Gandra dan Kala ada di depan rumah Ray. "Mas Kala?" lirihnya. Ray melihat dua lelaki beda usia itu menanti Garwita, lalu dia balik menoleh pada Garwita yang masih mematung. "Gandra, sini!" panggil Ray dengan suara serak sambil melambaikan tangan takut anak itu tak dengar. "Om Kala, aku turun dulu ya?" pinta Gandra lalu menghampiri ibunya dan Ray. Sementara Kala masih berdiam di tepi jalan. Kali ini dia merasa sangat canggung, apalagi sikap Garwita yang terkesan cuek. Padahal, biasanya kalau Garwita melihatnya pulang akan berteriak antusias bahkan kegirangan seperti anak kecil."Tuan, aku pamit," ucap Garwita setelah Gandra dan Ray saling memeluk dan saling salam tinju dengan kepalan tangan. Mereka berdua tampak sangat akrab.Ada rasa aneh yang Kala lihat pada lelaki di kursi roda itu, kenapa memakai pakaian serba tertutup di dalam rumah, bahkan memakai masker dan mantel jaket.Kala bersedekap dengan mata melihat ke arah mereka, dari adegan yang disugu
"Ish, apaan sih Mas Rudi. Sudah dibilang ndak mau!" Garwita mendorong ponsel Rudi agar menjauh dari wajahnya."Wita!" Suara dari ponsel membuat Garwita dan Rudi yang sedang bergurau langsung diam dengan cepat Rudi meletakan ponselnya di tangan Garwita. Wanita itu tak mampu lagi menolak karena di layar, Kala sudah melihatnya. "Ya, Mas?" balas Garwita kemudian. "Kamu baik?" Kala terlihat sedang mengamati wajah Garwita dari balik layar. "Alhamdulillah, Baik. Mas Kala gimana?" Kala tak langsung menjawab, dia terkekeh-kekeh sejenak. "Ya enggak gimana-mana. Ini lagi sakit!" "Mas Kala sakit?" Garwita berubah penasaran. Dia mengangkat lebih tinggi tangannya agar jelas melihat Kala. "Ya, sakit rindu!" jawab Kala dengan tawa pecah. Garwita cemberut, tetapi semburat merah di pipinya tak bisa dia sembunyikan. "Halah, gombal!" Garwita memiring-miringkan bibirnya. "Serius! Oiya, kenapa enggak mau aktifin ponselnya?" Kala kembali mendesak Garwita. Wanita itu menggeleng, perasaan tak enaknya
Ehem! Ray berdeham lalu mengalihkan pandangannya keluar jendela. Garwita pun melakukan hal yang sama, dia dibuat gugup sesaat tadi. Sementara Topan yang melihat hanya bisa tersenyum tipis. Dia tidak tahu bagaimana nasib tuannya ke depan, hanya saja doanya selalu ingin yang terbaik Ray bisa sembuh lalu membangun kembali keluaraga yang utuh. "Om, kalau besar nanti Gandra juga pengen bisa nyetir mobil!" celetuk Gandra pada Topan. Lelaki botak itu langsung tertawa geli. "Boleh saja, Gan. Besar nanti pasti kamu bakal punya mobil banyak, bukan cuma mainan!" yakin Topan meski dengan nada bercanda. Mau bagaimana pun, Ray adalah pewaris satu-satunya keluaraga tuan Abash, sementara sekarang hanya Gandra lah keturunan dari Ray. "Om Botak! Lihat itu!" Gandra menunjuk ke patung gajah yang berada di depan sebuah gedung. "Besar sekali!" Dia berdecak kagum."Gandra, jangan panggil begitu!" tegur Garwita merasa anaknya tak sopan memanggil Topan dengan sebutan botak."Tak masalah, Mbak, justru saya
Garwita membuka kotak putih itu dan memang benar berisi smart phone. Lalu di dalamnya terselip sebuah surat kecil. Gandra meraih ponsel itu, dia begitu penasaran dan ingin memegang seperti apa ponsel. Sementara Garwita membaca suratnya. Pesan itu diawali sebuah salam lalu langsung pada intinya, hanya beberapa baris saja yang membuat Garwita tahu siapa pengirimnya. [Garwita, apa kabarmu? Sampai dengan selamat bukan? Aku lupa kemarin ingin memberikan ini padamu agar bisa berkomunikasi dengan siapa saja. Gandra pasti pun akan senang. Tolong aktifkan ponselnya, dia dalam sudah ada kartu seluler. Aku tak sabar ingin menelpon dan melihat wajah Gandra.] "Mas Kala?" batin Garwita. Dia merasa tak enak hati diberi barang semahal ini, dia tebak pasti harganya jutaan. Mengingat kata yang juragan Jarwo wanti-wanti kemarin, Garwita pun urung mengaktifkan ponsel itu. Dia mengambil kembali dari Gandra lalu menyimpannya, mungkin akan mengembalikannya jika Kala pulang nanti."Yah, Bu, kok diambil? G
"Aaa, moster!" teriak Gandra ketakutan saat melihat seseorang di dalam mobil memakai kacamata hitam dengan wajah penuh luka bakar. Ray lupa tak memakai masker. "Heh, ndak boleh bilang gitu, Le!" tegur Ijah memperingatkan cucunya. "Maaf ya, Pak, cucu saya kadang cuma asal nyeplos," kata Ijah pada Ray dengan wajah tak enak hati. Sementara Gandra langsung berlari lebih dulu, Ijah membuntuti. Ray menutup kaca jendela. Dia sandarkan punggung ke jok, ada yang berasa perih dalam dadanya. Bukan karena penolakan dari anaknya, tapi ini jauh lebih buruk. Anaknya sendiri takut, dan bilang kalau dia seperti moster. Ray memejamkan mata, menahan rasa sesak di dada. Dia hela napas dalam dan kembali menenangkan diri. "Maafkan, Ayah," gumam Ray. Dia lalu menyuruh Topan untuk melajukan mobil dan langsung pulang ke rumah. ***Garwita menemui Topan yang sedang duduk di kursi depan. "Maaf, Mas, aku kesorean." Garwita tak enak hati ketika sampai di rumah majikannya pukul lima. "Tak masalah, Mbak. T
"Panggil saja Tuan Rian, Mbak!" balas Topan tiba-tiba. Dia sudah berdiri di belakang Garwita. "Tuan Rian? Oh baiklah, terima kasih." Garwita menundukkan kepalanya sebagai isyarat pamit dengan senyum merekah lalu kembali undur diri. "Namanya Rian? Ah ya, Rian," batin Garwita terus mengingat-ingat. Pukul setengah delapan, waktu yang longgar untuk menuju ladang. Dia mengayuh sepeda dengan santai kali ini. Sinar mentari mulai terasa hangat-hangat kuku. "Wita!" panggil Nanto yang sudah berdiri di tepi jalan. Tadinya Garwita tak tahu jika beberapa orang yang mengerumun di tepi jalan ada bapaknya. Nanto memberi isyarat agar Garwita berhenti dan mendekat. "Ada apa, Pak?" Garwita melirik ke arah orang yang bersama Nanto. Dia paham betul lima orang itu adalah juragan Margono dan para pengikutnya. Untuk apa bapaknya ikut juga bersama mereka? Apa mungkin Nanto sekarang bekerja untuk juragan Margono? Batin Garwita mulai resah lalu mengingat ucapan Karmi kemarin siang. "Kamu mau berangkat ke
"Mmm maaf, Mas, aku dengar di sini sedang cari orang buat jadi pembantu. Apa benar?" tanya Garwita memastikan."Oh, jadi mbaknya mau melamar kerja di sini?" Topan melontarkan seulas senyum, dalam benaknya merasa lega. Ternyata rencana menyuruh Imah untuk memberi infomasi perkerjaan pada Garwita disambut langsung oleh wanita itu. "Iya, Mas, semisal ada aku mau!" balas Garwita antusias.Topan tak langsung menjawab, dia pamit pada Garwita untuk bertanya pada tuannya. Topan masuk ke rumah sementara Garwita menunggu di luar.Di ruang tamu Topan mendapati Ray yang sudah duduk di balik tirai, dia pun langsung mengatakan maksud wanita itu datang. Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, Ray merasa senang tanpa bersusah payah ternyata Garwita sendiri yang langsung mendekat padanya. "Katakan padanya jika mulai besok sudah boleh bekerja, hanya untuk pagi dan sore. Karjanya memasak di sini, setelah itu dia boleh langsung pulang. Dan kusus hari minggu dia harus datang dan membersihkan rumah ini." Ra
Dua bulan berlalu setalah Garwita resmi bercerai dari Raykarian. Dia menjalani hari seperti biasanya, hanya saja status yang sudah berganti membuatnya harus lebih hati-hati dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Apalagi sekarang masih dalam masa idah. Garwita terduduk di bawah pohon kelapa yang berada di tengah ladang milik juraga Jarwo. Dia berisitirahat sejenak setelah tadi berkerja keras bersama pekerja lainnya memanen daun tembakau pertama. Garwita memandangi tanaman hijau di sebalah selatan yang tumbuh subur dengan duan-daun lebar yang belum selesai dipanen. "Makan dulu, Wit, kamu bawa bekel ndak?" tanya Karmi, wanita paruh baya yang sudah lama bekerja pada juragan Jarwo, usianya tak beda jauh dengan Ijah. Sayangnya, Ijah yang sakit-sakitan sudah tak bisa lagi bekerja berat. Jadi, Garwita memintanya agar tetap di rumah."Bawa, kok, uwa Karmi. Pake lauk apa?" Garwita membuka kotak nasinya, lalu melongok ke arah makanan yang dibawa Karmi menggunakan kertas minyak. Mereka makan b