Share

Bab 4

Author: Ratu As
last update Last Updated: 2023-05-05 08:22:54

  

Merasa ada seseorang yang berteriak, dokter yang tadinya berjalan ke arah utara membalik badan. Garwita kini berdiri tepat di belakangnya dengan tak sabar ingin menepuk pundak dokter itu. Namun, urung karena lebih dulu dia membalik badan.

Garwita mematung dan membulatkan mata, ketika yang dia lihat bukanlah yang dicarinya. Dokter pemakai kacamata dengan kemeja biru muda di balik jasnya itu mengerenyit heran.

"Anda ada perlu dengan saya?" 

Garwita menggeleng cepat. "Maaf, aku salah orang, Dok!" ucap Garwita sambil menundukkan kepala lalu pamit ke tempat pendaftaran. Jantungnya yang tadi berdetak tak karuan kini seakan melemah seperti pundaknya yang merosot.

 Di tempat pendaftaran sudah ada Kala yang bertanya pada petugas resepsionis.

"Jadi, pemilik klinik yang sekarang bukan dokter Raykarian ya, Mbak?" ulang Kala memastikan. 

Gadis cantik di meja resepsionis itu mengangguk. "Ya, Mas, betul. Saya baru di sini, katanya klinik ini baru sekitaran satu tahun beroperasi setelah vakum lama. Dan pemiliknya sekarang atas nama dokter Derajat, bukan Dokter Raykarian," terangnya. 

Entah apa yang terjadi pada tubuh Garwita, kepalanya tiba-tiba pusing dan terasa meriang. Dia memilih diam ketika Kala mencari informasi.

Seorang paruh baya berpakaian cleaning service mendekat setelah mendengar seseorang membicarakan nama Ray.

"Apa kalian membicarakan dokter Ray?" tanyanya memastikan. Garwita langsung menoleh sembari menahan gemetar yang mulai dia rasakan di kaki karena terasa lemas.

"Ya, apa anda kenal, Bu?" tanya Garwita penuh harap. Ibu itu tersenyum ramah. 

"Dulu beliau pemilik klinik ini, hanya beberapa bulan buka. Lalu beliau pindah dan klinik ini lumayan lama ditutup," ucap si ibu dengan yakin. Dia dulu pun bekerja di sini sebagai tukang bersih-bersih. Dalam ingatannya dokter muda bernama Raykarian itu sangat ramah dan ambisius.

Tentu saja Kala dan Garwita langsung bertanya di mana dia pindah. Ibu itu menjawab lengkap alamat dokter Raykarian.

"Kalau bingung rumahnya sebelah mana, tanya saja orang-orang komplek situ pasti tahu di mana rumah Tuan Abash," jelasnya tanpa keraguan. 

Garwita mencatat lagi alamat yang disebut tadi. Kala menyarankan untuk besok saja mencarinya karena hari sudah petang. Garwita tak sabar, tapi tahu keadaan yang memang tak memungkinkan membuatnya menurut dan pulang lebih dulu ke kontrakan  Kala. Lagi pun dia merasa badannya benar-benar tak bisa diajak kompromi.

***

Perjalanan pulang, udara yang terasa dingin membuat Garwita memeluk dadanya sendiri, sementara Kala melajukan motornya pelan. Dari kaca spion, Kala melihat ekspresi Garwita yang tampak menggigil, dia berhenti sejenak. 

"Dingin, Wit? Ini pake jaketku!" Kala melepas jaketnya dan memberikannya pada  Garwita. Sepertinya wanita itu tak baik-baik saja, wajah Garwita tampak pucat. 

"Kamu baik-baik saja?" tanya Kala memastikan. Namun jawaban Garwita tak sesuai dengan apa yang terlihat, meski dia bilang baik-baik saja, tubuh pucatnya tak bisa berbohong. 

"Kita lanjut lagi. Bentar lagi sampai, kok!" ujar Kala. Dia tak ingin membuang waktu. 

Sampai di kontrakan, Kala memapah Garwita masuk. Badannya panas, Kala bingung apa yang terjadi. Apa dia masuk angin atau kecapekkan karena seharian berada di jalanan. Diambilnya obat pereda demam juga minyak kayu putih. Kala tak bisa banyak membantu selain menjaga dan menungguinya. 

Garwita langsung berbaring di ranjang, sementara Kala duduk di sofa depan dengan cemas. Berkali-kali dia menengok Garwita, takut jika sesuatu terjadi padanya.

Terdengar suara gemertak dari mulut Garwita, badannya begetar menahan gigil. Kala duduk di tepi ranjang lalu memegang kening Garwita, masih belum turun panasnya. Kala berinisiatif untuk mengompresnya dengan air hangat.

Hampir dini hari dan Kala masih terjaga dengan duduk di lantai sembari bersandar ke tepi ranjang. Dilihatnya Garwita yang sudah tenang dan kembali terlelap. Kantuk pun mulai menghinggapi Kala, perlahan matanya memejam dan menekuri alam mimpi.

***

Menjelang subuh, Garwita terbangun. Dirabanya kening yang masih tertempel kain untuk mengopres dan hampir mengering. Kala masih tertidur di lantai dengan posisi duduk. Garwita mengerjap-ngerjap lalu duduk dan bersandar ke kepala ranjang. Rasa pusingnya masih ada, hanya badannya sudah tak berasa dingin meski masih demam. 

"Sudah bangun?" Kala langsung menggeliat mendengar suara ranjang berdecit. 

"Kamu semalaman tidur di situ, Mas?" tanya Garwita merasa kasian juga bersalah karenanya Kala sampai begadang. 

"Masih panas?" Kala tak menggubris pertanyaan Garwita, dia justru khawatir dengan kondisi wanita itu. Ingin menyentuh kening untuk memastikan masih panas atau tidak, tapi Garwita reflek memundurkan kepalanya. 

"Aku udah mendingan, kok, Mas." Garwita mengusap wajahnya. "Mungkin karena terlalu semangat, aku yang ndak biasa pergi jauh dan naik motor jadi langsung meriang. Biasa di kampung cuma di kebun, doang!" canda Garwita lalu menyunggingkan senyum. 

Kala berdecak. "Lain kali kalau sudah merasa pusing bilang, jangan dipaksain!" 

"Aku cuma ndak pengen membuang waktu buat mencari Mas Ray. Waktuku di sini kan ndak banyak. Jangan sampai pulang kampung tapi aku belum berhasil mendapat informasi, bisa mati berdiri aku!" Garwita masih saja memulai candaan konyolnya. 

"Dasar! Pokoknya hari ini istirahat dulu ya?" pinta Kala tak ingin Garwita memaksakan keinginannya.

"Aku udah baikkan ...." 

Kala berlalu ke kamar mandi tak lagi mendengarkan protesan dari Garwita yang kekeh ingin mencari Ray lagi. 

***

Garwita ditinggalkan Kala bersama dengan sebungkus nasi uduk yang tadi dibeli sebelum berangkat kuliah. Kala mewanti-wanti agar Garwita tak pergi ke mana pun dulu. Pintu kontrakkan tak dikunci, hanya saja Kala menyuruh Garwita untuk menguncinya dari dalam. Namun, ucapan itu tak diindahkan, wanita itu sudah bersiap berganti baju lalu pergi dari kontrakan. 

Berbekal alamat yang kemarin didapatkan, Garwita berjalan menyusuri gang untuk mencari pangkalan ojek. Dia belum tahu tentang adanya ojek online, karena ponsel saja tak punya. Wajah Garwita tersenyum semringah melihat pangkalan ojek di depan mata, meski yang terlihat tinggal seorang saja yang sedang mangkal. Dia mempercepat langkahnya. 

"Permisi, Pak, bisa antar ke alamat ini?" Garwita menyodorkan selembar kertas. Tukang ojek berusia sekitaran empat puluh tahun itu mengernyit lalu menoleh ke arah Garwita. Dilihatnya baik-baik wanita muda yang memakai gamis coklat dengan wajah yang asing, dia tak pernah melihat di komplek ini.

"Bisa, Mbak. Sekarang ya? Oiya, ngomong-ngomong Mbak ini dari mana?" Tukang ojek memancing pertanyaan.

"Aku dari kampung, Pak." Garwita pun menyebut asal-usulnya tanpa curiga apa pun.

"Oh pantes, bahasnya medok, Mbak," ucap si tukang ojek. Entah mengapa senyumnya berubah sedikit menyeringai. 

Garwita yang polos hanya tersenyum simpul lalu naik ke jok belakang. "Bisa antar sekarang kan, Pak?" 

"Bisa-bisa, Mbak. Ayo!" 

Motor mulai melaju menyusuri jalanan perkotaan. Sesekali Garwita memijati keningnya yang terasa pusing tetapi masih kuat untuk bertahan. Tekadnya jauh lebih kuat ketimbang rasa manja untuk rehat sejenak.

***

Di lain waktu, Kala pulang dengan tergesa. Dia khawatir jika Garwita kembali demam dan menggigil. Motor melaju cepat, namun saat sampai di kontrakan dia tercengang karena tak ada sesiapa pun di dalam. Perasaannya bimbang tak karuan, bingung, cemas, juga menyesal kenapa tadi tak mengunci pintu saja agar Garwita tak kabur. Dia takut jika wanita itu akan tersesat atau kemungkinan terburuk dijahati orang. Pikirnya Garwita terlalu polos untuk bertahan di kota ini sendirian.

"Apa Garwita pergi?" gumam Kala. Dia mengacak rambutnya frustasi lalu bergegas untuk pergi. 

Dicarinya Garwita, sepanjang jalan Kala terus menoleh ke kanan dan kiri berharap bisa menemukan wanita itu. 

***

"Sudah sampai, Pak?" Garwita turun dari motor ketika tukang ojek mematikan mesin di tempat yang cukup sepi. 

"Ya, ini sudah berada di komplek perumahan itu. Mbak tinggal jalan lurus saja," dusta si tukang ojek sambil menunjuk lurus ke arah gang. 

Garwita yang polos hanya mengangguk paham. Dia mengambil dompet yang berada di dalam tas slempang berbahan kain, ukurannya lumayan besar. Bukan hanya dompet tapi barang satu-satunya yang Ray tinggalkan juga ada dalam tas. Sengaja Garwita membawanya agar selalu ingat tujuannya pergi adalah mencari suaminya. 

"Heh!" Garwita tersentak kaget ketika tasnya tiba-tiba ditarik oleh tukang ojek dan dia didorong sampai tersungkur. Sementara tasnya dibawa kabur. 

"Tolong!" teriak Garwita saat menyadari tasnya dijambret! 

Garwita berlari ingin mengejar, tapi badan lemahnya tak mampu menandingi laju motor. Apalagi ketika dia tersandung dan sandal jepit yang dipakainya terputus.

"Tolong ada jambet!" teriak Garwita sekali lagi dengan terduduk di jalanan.

Orang-orang yang mendengar teriakkan langsung keluar rumah dan berlari menghampiri.

"Ada apa, Mbak?" tanya seorang paruh baya yang pertama kali datang.

"Tolong aku, Pak! Aku dijambret!" tuduh Garwita sambil menunjuk ke arah pengendara motor yang sudah sangat jauh. Orang-orang yang sudah berdatangan hanya bisa merutuk dan ikut kesal. Mereka tak bisa mengejar karena pelaku sudah menghilang di tikungan jalan. 

"Ayo berdiri, Mbak, kubantu!" Seorang Ibu bertubuh kurus memapah Garwita ke tepi jalan lalu medudukkannya di teras rumah seseorang. 

Mereka mulai bertanya tujuan Garwita ingin ke mana dan dari mana. Dengan polos Garwita menuduhkan selembar kertas yang untungnya dia masukkan dalam saku baju. Nasib apes sedang menimpanya, bukan hanya uang tapi Garwita juga kehilangan satu-satunya benda milik Ray. Dia mulai merutuki kecerobohannya, padahal dia belum sempat menceritakan kepada Gandra sehebat apa ayahnya ketika memakai jas dokter itu. 

Garwita berselonjor, melihat jempol kaki yang sedikit lecet dan berdarah. Ingatannya tentang Ray yang selalu tanggap ketika dia sakit pun bermunculan. Ray akan merawatnya, bahkan ketika Garwita panik melihat darah, suaminya itu akan dengan tenang dan telaten mengobatinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 5

    "Oalah, ke sini? Ini mah masih jauh, Mbak!" ujar seseorang membaca alamat yang dituduhkan. "Jadi bukan di sini ya, Bu?" Garwita mulai merasa bimbang. "Iya, Mbak. Paling enggak ada satu jam naik angkot." Wanita kurus itu menjawab, dari matanya terpancar rasa iba dan kasian. Apalagi ketika melihat kaki Garwita terluka.Garwita merogoh saku bajunya, tak ada sepeser pun recehan yang tertinggal. Dia lalu menghela napas dan bingung, mau melanjutkan perjalanan atau pulang saja? "Kalau Mbak mau ke sana, ini kukasih uang buat naik angkot, Mbak." Selembar uang dua puluh ribu disodorkan pada Garwita. Namun, dia langsung menolak karena sungkan."Enggak papa, ambil saja," paksa si ibu. Garwita tak bisa lagi menolak, dia ucapkan terima kasih berkali-kali sambil memeluk ibu-ibu yang menolongnya. Garwita lalu pamit dan kembali melangkah, seperti yang dituduhkan ibu tadi kalau jalan ke arah barat sekitar lima ratus meter ada pangkalan angkot. Tidak mudah, sesekali Garwita berjinjit karena kakinya

    Last Updated : 2023-05-24
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 6

    Pencarian Kala tak membuahkan hasil, padahal dia sudah berkeliling cukup jauh. Dia mulai menepi lalu berhenti sejenak untuk berpikir. "Kalau Garwita pergi untuk mencari Ray, kenapa aku tak melakukan hal yang sama? Mungkin saja dengan aku mencari tujuan yang sama bisa menemukan Garwita di sana?" batin Kala lalu memukul kepalanya kenapa sedari tadi malah berputar-putar bukannya langsung ke alamat. "Bodoh!" gumam Kala pada diri sendiri. Motor metik berwarna hitam itu kembali melesat menyusuri jalanan. Kala masih mengingat jelas setiap detail yang diucapakan ibu-ibu cleaning service di klinik Andalan. Dia yakin, berbekal ingatan dan nama Tuan Abash bisa menemukan alamat itu. *** Garwita berlari sembari menyeka air matanya, tak dihiraukannya kaki yang semakin lecet dan berdarah. Harapan yang telah hancur membuat rasa sakit di badan tak lagi terasa karena yang lebih memilukan justru ada di dalam dada, sakit di hati yang amat dalam. Kepala Garwita dipenuhi dengan prasangka dan tebak me

    Last Updated : 2023-05-25
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 7

    Kala melihat Garwita sedang mengemasi bajunya ke tas, dia mengernyit untuk apa wanita itu melakukan itu?"Kamu mau pulang?" tanya Kala membuat Garwita berjengit. Garwita mengangguk. "Pencarianku sudah selesai. Aku harus cepat pulang untuk Gandra," balasnya dengan seulas senyum. Senyum yang selalu Garwita tunjukkan sekali pun hati sedang gerimis. Kala bersender ke tembok dengan tangan bersedekap. "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" Sejenak Garwita berpikir, namun tak ada dalam benaknya sesuatu yang ingin dia lakukan setelah ini. Usai tahu tentang Ray dan harapan itu hancur dalam sekejap, dia berasa tak punya harapan yang harus diperjuangkan. "Seperti biasa lagi. Kerja untuk Gandra," balas Garwita tak ingin membuat kepalanya pusing dengan mencari-cari rencana. "Kamu tidak akan menggugat cerai?" Kala bicara dengan tatapan serius pada Garwita. Wanita itu menghela napas dalam, rasa syoknya seakan-akan masih mencekik ingatan. Garwita ingin menolak untuk percaya bahwa Ray meningga

    Last Updated : 2023-05-25
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 8

    Sampai di rumah sakit Garwita langsung berlari menuju ruangan di mana Kala dirawat, dia sudah dipindahkan dari UGD. Air mata Garwita terus mengalir, dia tergopoh-gopoh sambil menyekanya. Ketika pintu dibuka terlihatlah Kala yang sedang berbaring dengan perban dibagian kepala juga tangan. Dia masih memejam, pikir Garwita karena belum sadarkan diri. "Mas, kamu ndak papa kan?" tangis Garwita pecah sampai sesenggukan melihat Kala dengan kondisi begitu. "Mas, bangun!" Garwita merengek seperti anak kecil. Dia terduduk di kursi samping ranjang sembari meremas tepian ranjang. Kala yang tadinya ingin tidur merasa terganggu. Awalnya dia kira berhalusinasi tapi suara khas Garwita membuatnya mengerjap dan mendapati wanita itu sedang menangis untuknya. Kala masih diam dan pura-pura memejam, tapi senyum tipisnya tak bisa disembunyikan. Masih terdengar tangisan Garwita yang lebih mirip seperti anak kecil, lama-lama Kala tak tahan juga ingin tertawa. "Aku enggak papa, Sayang, cep cep cep!" ucap

    Last Updated : 2023-05-25
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 9

    q"Witaku ...," gumam Ray nyaris tanpa suara.***Garwita celingak-celinguk di ruang rawat karena tak melihat Hana ada di sana. "Cari apa?" "Mmm, pacarmu sudah pulang, Mas?" tanya Garwita pada Kala yang duduk dengan menyenderkan punggungnya di kepala ranjang."Sudah, dia bukan pacarku," jawab Kala. Lalu menyuruh Garwita agar duduk kursi dekatnya. "Aku lapar, Wit." Garwita mengernyit, dilihatnya makanan yang sudah disediakan pihak rumah sakit di meja nakas. "Mau makan?" Garwita mengambil nampan berisi makanan dia ingin meletakannya di pangkuan Kala agar lebih mudah menjakaunya. "Ish, kamu enggak lihat tanganku kena cekal semua? Suapin!" pinta Kala manja. Gerwita tersenyum geli. "Yang cedera kan tangan kirimu saja, Mas! Tangan kanan masih bisa bergerak!""Tapi kan ada selang infusnya, Wit! Gimana kalau pas makan terus copot? Pokoknya suapin!" Garwita tak bisa lagi menolak, tangan kanan Kala memang diinfus. Bisa saja Kala makan sendiri, tapi niatnya sedari tadi menunggu Garwita

    Last Updated : 2023-05-26
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 10

    "Mas, bisa melakukannya sendiri kan?" tanya Garwita ragu. Tangan Kala yang memakai arm sling, mungkin akan menyulitkannya untuk mandi. Kala tertawa pelan. "Memangnya kalau enggak bisa kamu mau bantu?" Kala menarik turunkan alisnya."Ish, ya ... aku bakal panggilin Gendon atau bapak pemilik kontrakan buat bantu kamu mandi," canda Garwita dengan senyum puas. Kala mengerucutkan bibirnya, dan memilih masuk ke kamar mandi. Dua hari berada di rumah sakit dan sekarang sudah dibolehkan untuk pulang keadaan Kala sudah membaik tinggal tangannya saja yang butuh waktu lebih lama untuk penyembuhan.Pagi ini, adalah hari terakhir Garwita di kota, Kala akan mengantarnya ke terminal. ***Garwita sudah bersiap dengan baju baru yang dibelikan Kala, gamis berwarna moka satu set dengan jilbab panjangnya. Bagus sekali, ini adalah baju Garwita yang terlihat paling mahal dan sangat pas di badannya. Kala terdiam ketika menunggu Garwita di teras kontrakan. Matanya melebar tanpa berkedip, sementara bibirnya

    Last Updated : 2023-05-26
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 11

    **Flashback"Dok, tolong!" teriak seorang gadis, tergopoh-gopoh memapah seorang wanita paruh baya dan membawanya ke puskesmas. Ray dengan tanggap menyuruh satu perawat untuk membawakan brankar dan mendorong masuk pasien yang terlihat begitu lemas. Cekatan para petugas medis yang berjaga memeriksa wanita itu. Sementara anak gadisnya menunggu di luar. Sudah hampir tiga hari Ijah sakit perut dari mual muntah sampai diare. Garwita yang panik langsung membawa emaknya ke puskesmas. Saat itu dia baru saja selesai mencuci baju. Dengan gusar Garwita menunggu sembari mondar-mandir di depan ruang rawat. Puskesmas kampung tidaklah besar hanya memiliki dua gedung ukuran sedang. Suara deritan pintu membuat Garwita langsung menoleh dan menyongsong petugas medis yang keluar dari sana. "Dok, bagaimana kondisi emakku?" tanya Garwita cemas. Ray tersenyum ramah, dia tahu jika seseorang di depannya pasti sedang gugup dan panik. "Ibumu terkena gastroenteritis atau muntaber, jadi harus dirawat inap. T

    Last Updated : 2023-05-26
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 12

    "Katakan, Garwita! Apa yang terjadi?" Nanto berdiri di depan Garwita dengan berkacang pinggang."I--iya, Pak. Mas Ray menikah lagi," balas Garwita. Dia memejam sembari menggigit bibir bawahnya. Nanto mengacak rambut lalu berbalik dan meremas kepala kursi. "Bapak sudah bilang, baiknya memang kamu bercerai! Sekarang terbukti semuanya kan?" Garwita yang ditatap dengan mata malotot tentu ketakutan. Ijah mengusap-usap pundak Garwita."Sudah, Pak, sudah. Mungkin ini sudah takdir," sela Ijah ikut menangis."Memang dasar anak ngeyel! Menunggumu tak ada arti! Bapak tak mau tahu, secepatnya urus perceraian kalian!" bentak Nanto lalu kembali keluar rumah. Dia tak lagi menghiraukan anak dan istrinya yang masih menangis. Dadanya terasa memanas dan jika tetap berada di rumah mungkin Nanto akan semakin mengamuk karena Garwita yang sedari dulu tak pernah mendengarkan sarannya."Buuu ... Ibu," panggil Gandra sembari meracau. Matanya masih memejam tapi bibirnya gemetaran. "Sayang, ini Ibu! Bangun, G

    Last Updated : 2023-05-27

Latest chapter

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 37

    "Bagaimana ini, Mas? Lukamu?" Garwita menunjuk wajah Kala."Tenanglah, semua akan baik-baik saja." Kala lalu merapikan penampilannya dan bersiap membuka pintu, begitu juga dengan Garwita yang berada di sampingnya. Saat pintu diketuk, kedua sejoli itu langsung membukanya. Menyambut orang tua Kala dengan senyum seramah mungkin."Pak, Bu, kok ke sini enggak bilang dulu?" ujar Kala lalu mencium tangan mereka. Juragan Jarwo tidak menolak. Dia tetap diam saat tangannya diraih oleh Kala dan Garwita. "Lah, piye? Kan siang tadi Ibu telepon! Katanya mau telepon balik. Tapi Ibu tunggu-tunggu ndak ada tuh panggilan dari kamu!" balas Ambar dengan suara merajuk. Kala terkekeh geli, dia baru ingat. "Silahkan masuk, Pak,Bu ...," kata Garwita mempersilahkan mereka untuk duduk terlebih dulu. Sementara dia berlalu ke belakang untuk membuat minuman.Juragan Jarwo tampak berdeham melihat anaknya, dia sadar akan wajah Kala yang babak belur. "Ya ampun, Le. Wajahmu kenapa?" Ambar yang langsung respek. Di

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 36

    "Hallo, Le? Gimana kabarmu?" tanya Ambar dari seberang telepon. Usai mendapat perintah dari juragan Jarwo, Ambar langsung menghubungi anaknya.Kala yang sedang berada di jalan melambatkan lajunya. "Baik, Bu, ada apa? Ini Kala lagi di jalan," balas Kala menyelipkan ponselnya ke helm tanpa berhenti dulu, pikirnya nanggung karena sebentar lagi sampai."Oalah, kalau lagi di jalan jangan angkat teleponnya dulu atuh!" balas Ambar khawatir dan urung mengatakan tujuannya telepon.Kala terkekeh-kekeh mendengar suara ibunya. "Ya mau gimana lagi, abis hape geter terus! Ya udah aku lanjut dulu ya, Bu. Nanti kalau sudah berhenti Kala telepon balik!" Kala kembali melanjutkan perjalanan, hari ini dia berniat untuk melamar kerja. Tadi sudah mengajukan surat lamaran ke beberapa sekolah, sementara sekarang dia ingin ke SMK yang memang ada jurusan pertanian di sana. Ya siapa tahu ada lowongan. Kala begitu bersemangat mulai merancang rencana di otaknya untuk masa depan keluarga kecilnya yang mulai dia b

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 35

    Sejak kejadian malam tadi, Garwita selalu menghindari kontak mata dengan Kala, apalagi jika harus berhadapan dengannya, Garwita akan bicara sambil menunduk. Bukan tanpa sebab, dia malu luar biasa juga jadi cangnggung karena ci*man itu. "Bu, Gandra mau tambah nasi!" pinta anak itu sambil menyodorkan piring. Buru-buru Garwita mengambilkan apa yang Gandra mau. "Aku juga mau!" Kala ikut menyodorkan piring. Garwita ingin meletakan secentong nasi, tapi Kala menarik piringnya dengan jail begitu terus sampai akhirnya Garwita mendongak. "Ish, mau enggak?" tanya Garwita menatap lelaki di samping Gandra dengan kesal. Kala menahan tawa lalu meraih tangan Garwita dan dan meletakan nasi itu pada piringnya. Pada saat Garwita ingin menarik tangannya Kala sedikit menahan membuat mereka saling adu tatap. Bagi Garwita tatapan Kala itu terlihat seperti menyeriangai dan membuatnya ingin selalu waspada. Sekali menatap wajah Kala, Garwita akan terfokus pada bibirnya lalu bayangan yang iya-iya mula

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 34

    Gandra sudah pulang dijemput oleh Topan siang tadi. Anak itu sekarang bermain di kamar Ray, Garwita sudah menahan dan tak memperbolehkannya. Namun, Ray sendiri yang meminta. Dia beralasan sakitnya akan mereda jika melihat anak kecil bermain."Om lagi sakit, ya?" tanya Gandra sambil bermain di lantai. Ray mengangguk dengan senyum ramah. "Hem, besar nanti Gandra mau jadi dokter," ucap anak itu tanpa ditanya."Kenapa?" Ray penasaran dengan alasan Gandra."Ibu bilang, aku anaknya seorang dokter. Ayahku orang yang hebat!" balasnya menirukan cerita yang Garwita buat. Mendengar itu, Ray merasa terharu sekaligus sedih. Anak yang begitu membanggakan ayahnya, nyatanya ayahnya bukanlah seseorang yang patut dibanggakan. Ray menelan ludah dengan berat setiap kali mendengar cerita polos dari Gandra, dari situ dia tahu betapa baiknya Garwita yang selalu menceritakan kelebihan Ray pada Gandra. "Lalu apa lagi, Gandra?" tanya Ray kepo. "Mmm ...." Gandra tampak berpikir. "Kayaknya, ayah itu genten

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 33

    Kala terdiam menatap Garwita yang begitu dekat dengan wajahnya. Ingin rasanya dia pura-pura khilaf lalu mencium dengan cepat bibir tipis kemerahan yang sekarang terasa sedang menggodanya. Tapi, Kala tak ingin gegabah dan membuat Garwita jadi takut padanya. Kala menggelengkan kepala untuk meredakan rasa nyeri yang sempat hinggap. "Aku tidak apa-apa," balas Kala mencoba terduduk, Garwita mengikuti. "Lagian, pagi-pagi dah iseng!" celetuknya masih kesal dengan candaan Kala. "Ish, siapa yang iseng! Dah ah, yuk bangun kita salat bareng?" ajak Kala kemudian. Dia tak ingin berlama-lama dekat seperti ini dan membuat sesuatu dalam tubuhnya bergejolak dan memanas. ***"Nanti kuantar kamu dulu, baru Gandra ya?" kata Kala perhatian. Garwita yang sedang menyuap makanan langsung mendongak. "Mas, kulihat di samping rumah ada sepeda, apa masih bisa dipake? Kalau bisa, aku ingin memakainya untuk berangkat kerja." Kala mengernyit, mengingat-ingat apa ada sepeda di sana. "Nanti coba ku cek dulu, ya

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 32

    "Mmm, a--ku tak punya apa pun yang bisa dijadikan jaminan. Bagaimana kalau mulai besok bekerja full di sini? Pagi sampai sore?" tawar Garwita, berharap Ray mau berbaik hati.Ray menggeleng dengan senyum remeh. "Menarik!" jawab Ray singkat. "Selain itu, jemputlah Gandra ketika pulang sekolah dan bawa dia ke sini." "Gandra?" Garwita mengernyit. "Ya, saya ingin punya teman main. Gandra pasti akan jadi teman yang menyenangkan!" balas Ray dengan senyum semringah. Itu membuat Garwita lega juga tak menyangka ada yang begitu menyukai dan menginginkan anaknya."Baik, Tuan." "Oke, pulanglah. Nanti Topan yang akan mengurus semuanya. Tunggu saja kabar dari kami," jelas Ray dengan senyum tulus. Dia pun senang karena akhirnya Garwita meminta bantuan darinya. Ray sangat senang jika merasa dibutuhkan oleh Garwita dan keluagarnya. ***"Ibuuu!" panggil Gandra dari arah jalan. Rupanya Kala sudah menjemput anak itu dan membawanya bersama. Garwita langsung mendekat. "Gandra ikut bersama kita? Bagai

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 31

    "Aku akan ke rumah Tuan Rian, Mas. Sore kemarin dan pagi tadi aku tak datang, mungkin dia akan kebingungan," ujar Garwita sembari mengemasi baju yang ada di rumahnya. Kala duduk di tepi ranjang. "Aku antar," kata Kala kemudian. Dia tak mungkin mencegah keinginan Garwita. "Berapa hutang bapak, Wit?" "Banyak, Mas," jawab Garwita singkat. Dia tak ingin memberi tahu karena takut akan merepotkan Kala. "Seberapa banyak?" desak Kala. "Tujuh puluh lima juta." Garwita menghentikan tangannya dan menatap lurus ke arah jendela. "Jumlah yang sangat banyak, bahkan jika aku menjual rumah dan tanah ini saja tak mungkin cukup." Kala merutuki situasi ini, kenapa di saat Garwita butuh uang dia justru tak punya banyak dan sedang bertengkar dengan bapaknya. Tentu saja, selama ini Kala hidup ditopang dengan kekayaan juragan Jarwo. Jika saat ini dia keluar dari rumah dan bapaknya tak peduli lagi, Kala tak punya apa-apa selain sisa uang yang dia bawa. "Aku akan kerja, Wit." Kala tak bisa bicar

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 30

    Tidak ada bahan makanan, sementara mereka berdua belum makan sejak siang tadi. Di luar hujan deras. "Mas, mau ke mana?" Garwita melihat Kala yang memegang kunci."Beli makanan, kamu lapar kan?" "Tapi di luar hujan deras, Mas. Ndak papa kalau malam ini kita enggak makan, anggap saja puasa dulu," canda Garwita. Dia tak ingin Kala pergi karena hujan sangat deras, suara gemuruh juga bersahut-sahutan."Tenang, ada payung, kok. Aku coba ke warung depan sebentar ya?" Kala langsung beranjak pergi, memakai payung yang ada di rumah ini. Garwita membuntut lalu menunggu di ruang depan. Sendirian di rumah membuatnya sedikit kikuk, rumah ini masih terasa asing dan menakutkan baginya. Berkali-kali Garwita menelan ludah karena suara gemuruh juga suara aneh yang terdengar dari beberapa ruangan yang terkunci, mungkin seperti suara tikus yang sedang mengacak-acak sesuatu. Garwita menyibak tirai, menatap keluar berharap Kala segera datang. Jarak warung lumayan jauh, mungkin ada dua ratus meter. Braa

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 29

    "Saya terima nikah dan kawinnya Garwita binti Nanto Wardaya dengan maskawin tersebut dibayar tunai!" Kala mengikrarkan ijab-kabul dengan sekali napas. Garwita menunduk dengan air mata di pipinya. Dia tak tahu harus bahagia atau bagaimana menyikapi masalah ini. Sekarang, statusnya sudah resmi menjadi seorang istri dari Kalandra. Seperti pengantin pada umumnya, Garwita mencium tangan Kala dengan takzim. Selanjutnya giliran Kala yang mengecup kening Garwita, cukup lama dia menyelipkam doa-doa di sana."Mungkin menikah dengan cara begini terlihat hina. Namun, bagiku semuanya terlihat natural ... terjadi karena takdir Sang Pencipta." Kala menyunggingkan senyum tipis pada istrinya, sementara Garwita hanya diam terpaku. Ijah mengusap-usap pundak anaknya, dia pun ikut menangis dengan pikiran kacau. Tapi tak memperpanjang pikiran negatifnya. Berbeda dengan Nanto usai menikahkan anaknya dia langsung pergi.***Berbekal nekat dan rasa tanggung jawabnya pada Garwita, Kala membawa wanita itu ke

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status