Share

Bab 7

Penulis: Ratu As
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-25 19:21:36

Kala melihat Garwita sedang mengemasi bajunya ke tas, dia mengernyit untuk apa wanita itu melakukan itu?

"Kamu mau pulang?" tanya Kala membuat Garwita berjengit.

Garwita mengangguk. "Pencarianku sudah selesai. Aku harus cepat pulang untuk Gandra," balasnya dengan seulas senyum. Senyum yang selalu Garwita tunjukkan sekali pun hati sedang gerimis.

Kala bersender ke tembok dengan tangan bersedekap. "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?"

Sejenak Garwita berpikir, namun tak ada dalam benaknya sesuatu yang ingin dia lakukan setelah ini. Usai tahu tentang Ray dan harapan itu hancur dalam sekejap, dia berasa tak punya harapan yang harus diperjuangkan.

"Seperti biasa lagi. Kerja untuk Gandra," balas Garwita tak ingin membuat kepalanya pusing dengan mencari-cari rencana.

"Kamu tidak akan menggugat cerai?" Kala bicara dengan tatapan serius pada Garwita. Wanita itu menghela napas dalam, rasa syoknya seakan-akan masih mencekik ingatan. Garwita ingin menolak untuk percaya bahwa Ray meninggalkannya karena selingkuh. Kalau bisa Garwita ingin memilih membayangkan hal lain misal Ray meninggalkannya karena mati kecelakaan menggelinding dari gunung atau hilang diculik alien.

"Lepaskan dirimu dari beban itu, Garwita. Ikatan itu hanya membuatmu bertahan tanpa kepastian, lalu mati menjadi pesakitan. Kamu kira dia akan peduli?" Tidak!" Dada Kala kembali memanas, entah mengapa jika Garwita merasa sakit, justru dialah yang merasa lebih dari itu.

Wanita yang duduk di tepi ranjang dengan tangan cekatan melipati bajunya itu mencoba tak acuh. Dia seakan-akan tak mendengarkan Kala yang sedang bicara.

"Garwita! Kamu dengar aku?" Kala meraih pundak Garwita dan membuatnya menatap ke arahnya.

"Diamlah, Mas, aku hanya ingin sedikit menenangkan pikiranku dulu! Perihal cerai akan kupikirkan nanti," balas Garwita dengan helaan napas berat. "Kepalaku masih terasa linglung, aku masih bingung harus melakukan apa. Aku ingin tidak mempercayai semua, tapi ...."

"Tapi, itu hanya akan membuatmu lebih bodoh! Dan ujungnya, sakit itu akan makin dalam!" lanjut Kala memotong ucapan Garwita.

Mereka saling adu tatap, Garwita bungkam dia tak bisa berkata-kata lagi karena yang diucapkan Kala memang benar.

"Dengarkan aku ...." Kala berjongkok di hadapan Garwita. "Bercerailah sekarang, kejar kebahagiaanmu sendiri. Dengan bertahan seperti ini hanya akan membuatmu menderita. Gandra bukan hanya butuh ayah, tapi dia butuh sosok ayah. Pikirkan itu, Garwita."

Tatapan Kala yang teduh membuat Garwita tak bisa berpaling. Dia tahu, nasehat itu memang baik untuknya, tapi apa bisa semudah itu? Pikir Garwita rumit.

"Bagaimana jika aku benar-benar bercerai, dan menemukan lelaki lain tapi dia tak mau menerima Gandra? Aku takut itu ... Mas. Memangnya ada lelaki yang bisa menerima seorang janda dengan tulus?"

"Ada! Itu aku!" batin Kala tertahan. Dia tak bisa mengatakan itu saat ini. Kala hanya bisa tersenyum menanggapi.

"Ada! Pasti ada ...," balas Kala, memberi keyakinan pada Garwita.

"Baiklah, aku akan mempertimbangkannya." Garwita tersenyum untuk menutupi kebimbangannya lagi. "Di kampung nanti pasti akan gempar jika ada janda baru," ucap Garwita dengan nada candaan.

"Ah, mereka hanya tak tahu saja kalau sekarang jangankan duda yang bujangan saja targetnya justru janda muda," timpal Kala dengan kekehan.

Garwita ikut terkikik geli. Malam ini mereka habiskan dengan candaan ringan. Rencananya Garwita akan balik ke kampung esok hari, ketika Kala sudah pulang dan bisa mengantarnya ke terminal.

***

Kala sama sekali tak bisa fokus ketika di kampus, sementara pikirannya terus berada di kontrakan ingin membersamai Garwita. Tepat ketika jam kuliah selesai, tanpa pikir panjang dia langsung pulang.

Motor melaju kencang, Kala tak ingin membuang waktu dan kesempatan yang tinggal hitungan jam saja bersama Garwita. Karena setelah ini dia akan lama lagi untuk bisa menyapa dan melihat senyum wanita itu. Masih ada satu semester lagi yang harus Kala tempuh untuk bisa wisuda dan balik kampung.

Sebelum lulus, Kala tak dibolehkan pulang oleh juragan Jarwo. Bapaknya yang terbilang tegas dalam mendidik Kala pasti akan marah jika anaknya pulang tanpa alasan yang jelas.

Suasana jalan cukup ramai tetapi Kala masih bisa menyalip. Motornya meliuk-liuk di jalanan, sesekali mendapat peringatan dari pengendara lain dengan klakson. Namun, Kala tak menghiraukan, baginya yang pengting cepat sampai.

Sebelum pertigaan jalan, Kala menyelip lalu melanjutkan dengan berbelok. Sayangnya dari arah berlawanan ada pengendara lain mereka sama-sama kaget dan tak bisa menghindar karena laju motor yang cukup kencang.

Braaak!

Suara benturan terdengar begitu keras, beberapa body motor bahkan pecah lalu melayang di jalanan.

Tubuh Kala terpental lalu jatuh dan dia langsung tak sadarkan diri. Orang-orang yang berada di sekitar langsung mengerumun dan membantu korban kecelakaan.

***

Di kontrakan, Garwita kaget dengan suara ketukan pintu yang diketuk berkali-kali seakan-akan tak sabar. Dengan tergopoh-gopoh Garwita berlari ke arah pintu lalu menyibak tirai dan mengintip dari dalam terlebih dahulu. Seperti saran Kala agar dia waspada dan tak sembarangan mengizinkan tamu masuk.

Ternyata Gendon, tetangga kontrakan. Dia terlihat berdiri dengan raut panik. Di ketuknya lagi pintu yang masih terkunci.

"Permisi, Mbak! Buka, Mbak! Ada kabar penting!" ucap lelaki bertubuh tambun dari luar.

Garwita yang sempat curiga, memberanikan diri untuk membukanya. Saat pintu terbuka Gendon langsung menarik tangan Garwita agar keluar, sontak saja membuatnya kaget dan langsung menepisnya.

"Heh! Apa-apaan kamu!" bentak Garwita tak terima.

"Maaf, Mbak, maaf! Tapi ini situasi penting!"

"Iya ada apa, jelaskan dulu kenapa?" Garwita berdiri dengan waspada, takut-takut orang di depannya sedang berakting.

"Kala--ndra, dia kece--lakaan!" balas Gendon tergagap. Dia begitu panik, sampai tubuhnya saja tak bisa diam saat menjelaskan pada Garwita dan terus berlari-lari di tempat.

"Innalillahi ...," lirih Garwita dengan raut kaget.

"Dia belum mati, Mbak!" jawab Gendon ambigu.

"Bukan itu maksudku ... sekarang dia ada di mana?" tanya Garwita.

"Rumah sakit. Ayo, Mbak, kita ke sana!"

"Sekarang?" Saking syok dan gugupnya membuat Garwita kebingungan.

"Iya sekarang! Kalo besok keburu mobil jenazah yang datang!"

"Suut! Jangan sembarangan!" Seru Garwita langsung menutup dan mengunci pintu kontrakan.

Gendon menutup mulut dan meminta maaf lagi, dia buru-buru lari ke arah motor lalu menyuruh Garwita membonceng di belakang.

Sepanjang jalan pikiran Garwita tak kuruan, rasa takut menyeruak memenuhi otaknya. Dia sangat takut kehilangan Kala saat ini.

"Bagaimana kondisi Mas Kala tadi?"

"Parah, Mbak!" jawab Gendon dengan nada ketakutan.

"Apanya yang luka?" Garwita terus bertanya karena sangat khawatir.

"Semuanya. Darah di mana-mana, tangannya patah, Mbak ...."

"Innalillahi, Mas Kala ...," gumam Garwita dengan air mata yang tak bisa dibendung lagi.

"Tangannya lepas?" tanya Garwita polos.

Gendon mengangguk, suara kendaraan lain membuat pendengarannya sedikit terganggu.

"Beneran?"

"Iya," jawab Gendon lagi yang langsung membuat Garwita lemas dan hampir pingsan. Namun, dia istighfar lagi karena sedang ada di jalan dan mencoba untuk kuat.

Wajah dan senyum Kala membayang-bayang di benak Garwita membuat ketakutan itu semakin menjadi. Garwita takut dia tak bisa lagi mendengar ocehan, lelucon, juga tawa khas Kala yang selalu membuat mood-nya membaik. Garwita tak tahu kenapa seperti itu, tapi yang jelas baginya Kala adalah salah satu orang berpengaruh di hidupnya.

Bab terkait

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 8

    Sampai di rumah sakit Garwita langsung berlari menuju ruangan di mana Kala dirawat, dia sudah dipindahkan dari UGD. Air mata Garwita terus mengalir, dia tergopoh-gopoh sambil menyekanya. Ketika pintu dibuka terlihatlah Kala yang sedang berbaring dengan perban dibagian kepala juga tangan. Dia masih memejam, pikir Garwita karena belum sadarkan diri. "Mas, kamu ndak papa kan?" tangis Garwita pecah sampai sesenggukan melihat Kala dengan kondisi begitu. "Mas, bangun!" Garwita merengek seperti anak kecil. Dia terduduk di kursi samping ranjang sembari meremas tepian ranjang. Kala yang tadinya ingin tidur merasa terganggu. Awalnya dia kira berhalusinasi tapi suara khas Garwita membuatnya mengerjap dan mendapati wanita itu sedang menangis untuknya. Kala masih diam dan pura-pura memejam, tapi senyum tipisnya tak bisa disembunyikan. Masih terdengar tangisan Garwita yang lebih mirip seperti anak kecil, lama-lama Kala tak tahan juga ingin tertawa. "Aku enggak papa, Sayang, cep cep cep!" ucap

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-25
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 9

    q"Witaku ...," gumam Ray nyaris tanpa suara.***Garwita celingak-celinguk di ruang rawat karena tak melihat Hana ada di sana. "Cari apa?" "Mmm, pacarmu sudah pulang, Mas?" tanya Garwita pada Kala yang duduk dengan menyenderkan punggungnya di kepala ranjang."Sudah, dia bukan pacarku," jawab Kala. Lalu menyuruh Garwita agar duduk kursi dekatnya. "Aku lapar, Wit." Garwita mengernyit, dilihatnya makanan yang sudah disediakan pihak rumah sakit di meja nakas. "Mau makan?" Garwita mengambil nampan berisi makanan dia ingin meletakannya di pangkuan Kala agar lebih mudah menjakaunya. "Ish, kamu enggak lihat tanganku kena cekal semua? Suapin!" pinta Kala manja. Gerwita tersenyum geli. "Yang cedera kan tangan kirimu saja, Mas! Tangan kanan masih bisa bergerak!""Tapi kan ada selang infusnya, Wit! Gimana kalau pas makan terus copot? Pokoknya suapin!" Garwita tak bisa lagi menolak, tangan kanan Kala memang diinfus. Bisa saja Kala makan sendiri, tapi niatnya sedari tadi menunggu Garwita

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-26
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 10

    "Mas, bisa melakukannya sendiri kan?" tanya Garwita ragu. Tangan Kala yang memakai arm sling, mungkin akan menyulitkannya untuk mandi. Kala tertawa pelan. "Memangnya kalau enggak bisa kamu mau bantu?" Kala menarik turunkan alisnya."Ish, ya ... aku bakal panggilin Gendon atau bapak pemilik kontrakan buat bantu kamu mandi," canda Garwita dengan senyum puas. Kala mengerucutkan bibirnya, dan memilih masuk ke kamar mandi. Dua hari berada di rumah sakit dan sekarang sudah dibolehkan untuk pulang keadaan Kala sudah membaik tinggal tangannya saja yang butuh waktu lebih lama untuk penyembuhan.Pagi ini, adalah hari terakhir Garwita di kota, Kala akan mengantarnya ke terminal. ***Garwita sudah bersiap dengan baju baru yang dibelikan Kala, gamis berwarna moka satu set dengan jilbab panjangnya. Bagus sekali, ini adalah baju Garwita yang terlihat paling mahal dan sangat pas di badannya. Kala terdiam ketika menunggu Garwita di teras kontrakan. Matanya melebar tanpa berkedip, sementara bibirnya

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-26
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 11

    **Flashback"Dok, tolong!" teriak seorang gadis, tergopoh-gopoh memapah seorang wanita paruh baya dan membawanya ke puskesmas. Ray dengan tanggap menyuruh satu perawat untuk membawakan brankar dan mendorong masuk pasien yang terlihat begitu lemas. Cekatan para petugas medis yang berjaga memeriksa wanita itu. Sementara anak gadisnya menunggu di luar. Sudah hampir tiga hari Ijah sakit perut dari mual muntah sampai diare. Garwita yang panik langsung membawa emaknya ke puskesmas. Saat itu dia baru saja selesai mencuci baju. Dengan gusar Garwita menunggu sembari mondar-mandir di depan ruang rawat. Puskesmas kampung tidaklah besar hanya memiliki dua gedung ukuran sedang. Suara deritan pintu membuat Garwita langsung menoleh dan menyongsong petugas medis yang keluar dari sana. "Dok, bagaimana kondisi emakku?" tanya Garwita cemas. Ray tersenyum ramah, dia tahu jika seseorang di depannya pasti sedang gugup dan panik. "Ibumu terkena gastroenteritis atau muntaber, jadi harus dirawat inap. T

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-26
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 12

    "Katakan, Garwita! Apa yang terjadi?" Nanto berdiri di depan Garwita dengan berkacang pinggang."I--iya, Pak. Mas Ray menikah lagi," balas Garwita. Dia memejam sembari menggigit bibir bawahnya. Nanto mengacak rambut lalu berbalik dan meremas kepala kursi. "Bapak sudah bilang, baiknya memang kamu bercerai! Sekarang terbukti semuanya kan?" Garwita yang ditatap dengan mata malotot tentu ketakutan. Ijah mengusap-usap pundak Garwita."Sudah, Pak, sudah. Mungkin ini sudah takdir," sela Ijah ikut menangis."Memang dasar anak ngeyel! Menunggumu tak ada arti! Bapak tak mau tahu, secepatnya urus perceraian kalian!" bentak Nanto lalu kembali keluar rumah. Dia tak lagi menghiraukan anak dan istrinya yang masih menangis. Dadanya terasa memanas dan jika tetap berada di rumah mungkin Nanto akan semakin mengamuk karena Garwita yang sedari dulu tak pernah mendengarkan sarannya."Buuu ... Ibu," panggil Gandra sembari meracau. Matanya masih memejam tapi bibirnya gemetaran. "Sayang, ini Ibu! Bangun, G

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-27
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 13

    "Ayo, Mbak Wita, cepat! Juragan Jarwo sudah menunggu," ujar Surti sembari melangkah lebih dulu. Mau tak mau Garwita membuntut. "Gan, sama nenek bentar ya!" ucap Garwita ketika pamit. Gandra yang tahu ibunya akan pergi langsung menggeleng dan berlari mengejar. Gandra meraih tangan Garwita dan merengek ingin ikut bersamanya. Akhirnya mereka berdua berjalan bersama. Surti lebih dulu berjalan di depan.Matahari sangat terik, tetapi jalanan kampung yang pinggirannya dipenuhi pohon berdaun rindang membuat teduh. Apalagi mereka berjalan lewat jalan pintas, gang yang masih berupa tanah dan remukkan batu kapur. Gandra mengayun-ayunkan genggaman tangan sembari bernyanyi riang, dia sama sekali tak tahu keresahan yang sedang dipikirkan Garwita karena tetap memasang senyum ketika Gandra menatapnya. Sampai di depan sebuah rumah berbentuk joglo, Garwita berhenti. Rumah juragan Jarwo memiliki desain tradisional khas orang-orang Jawa ningrat jaman dulu. Dia sengaja tak mengubahnya menjadi bangunan

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-30
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 14

    Dua bulan berlalu setalah Garwita resmi bercerai dari Raykarian. Dia menjalani hari seperti biasanya, hanya saja status yang sudah berganti membuatnya harus lebih hati-hati dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Apalagi sekarang masih dalam masa idah. Garwita terduduk di bawah pohon kelapa yang berada di tengah ladang milik juraga Jarwo. Dia berisitirahat sejenak setelah tadi berkerja keras bersama pekerja lainnya memanen daun tembakau pertama. Garwita memandangi tanaman hijau di sebalah selatan yang tumbuh subur dengan duan-daun lebar yang belum selesai dipanen. "Makan dulu, Wit, kamu bawa bekel ndak?" tanya Karmi, wanita paruh baya yang sudah lama bekerja pada juragan Jarwo, usianya tak beda jauh dengan Ijah. Sayangnya, Ijah yang sakit-sakitan sudah tak bisa lagi bekerja berat. Jadi, Garwita memintanya agar tetap di rumah."Bawa, kok, uwa Karmi. Pake lauk apa?" Garwita membuka kotak nasinya, lalu melongok ke arah makanan yang dibawa Karmi menggunakan kertas minyak. Mereka makan b

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-11
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 15

    "Mmm maaf, Mas, aku dengar di sini sedang cari orang buat jadi pembantu. Apa benar?" tanya Garwita memastikan."Oh, jadi mbaknya mau melamar kerja di sini?" Topan melontarkan seulas senyum, dalam benaknya merasa lega. Ternyata rencana menyuruh Imah untuk memberi infomasi perkerjaan pada Garwita disambut langsung oleh wanita itu. "Iya, Mas, semisal ada aku mau!" balas Garwita antusias.Topan tak langsung menjawab, dia pamit pada Garwita untuk bertanya pada tuannya. Topan masuk ke rumah sementara Garwita menunggu di luar.Di ruang tamu Topan mendapati Ray yang sudah duduk di balik tirai, dia pun langsung mengatakan maksud wanita itu datang. Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, Ray merasa senang tanpa bersusah payah ternyata Garwita sendiri yang langsung mendekat padanya. "Katakan padanya jika mulai besok sudah boleh bekerja, hanya untuk pagi dan sore. Karjanya memasak di sini, setelah itu dia boleh langsung pulang. Dan kusus hari minggu dia harus datang dan membersihkan rumah ini." Ra

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-22

Bab terbaru

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 22

    Braaak!Cara terakhir agar Topan tahu kondisi tuannya adalah dengan mendobrak pintu. Pintu terbuka lebar, terlihat jelas Ray yang jatuh dari kursi roda lalu melempar apa saja yang bisa digapai tangannya. Telapak tangannya sampai berdarah karena tergores serpihan gelas. "Anda baik-baik saja, Tuan?" Sigap Topan memapah Ray dan mendudukkannya ke ranjang. Sayangnya lelaki itu justru marah dan langsung mengusir Topan lagi."Pergi dan tutup pintunya!" teriak Ray dengan mata nyalang dan menunjuk ke arah pintu. Topan bisa lihat darah segar yang menetes dari telapak tangan Ray. Tapi tak ingin dia semakin marah membuat Topan hanya bisa menghela napas lalu keluar. *** Di lain tempat, Gandra sudah tertidur pulas sementara Garwita tak bisa tidur terlebih Nanto pulang dan dia memanggil-manggil Garwita untuk menyuruhnya membuat minuman. Mau tak mau wanita muda itu berjalan ke dapur dan menyeduh kopi untuk Nanto. Ijah yang kelelahan sudah tertidur di dipan depan dengan TV yang masih menyala. "Ini

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 21

    "Gandra?" Garwita kaget melihat Gandra dan Kala ada di depan rumah Ray. "Mas Kala?" lirihnya. Ray melihat dua lelaki beda usia itu menanti Garwita, lalu dia balik menoleh pada Garwita yang masih mematung. "Gandra, sini!" panggil Ray dengan suara serak sambil melambaikan tangan takut anak itu tak dengar. "Om Kala, aku turun dulu ya?" pinta Gandra lalu menghampiri ibunya dan Ray. Sementara Kala masih berdiam di tepi jalan. Kali ini dia merasa sangat canggung, apalagi sikap Garwita yang terkesan cuek. Padahal, biasanya kalau Garwita melihatnya pulang akan berteriak antusias bahkan kegirangan seperti anak kecil."Tuan, aku pamit," ucap Garwita setelah Gandra dan Ray saling memeluk dan saling salam tinju dengan kepalan tangan. Mereka berdua tampak sangat akrab.Ada rasa aneh yang Kala lihat pada lelaki di kursi roda itu, kenapa memakai pakaian serba tertutup di dalam rumah, bahkan memakai masker dan mantel jaket.Kala bersedekap dengan mata melihat ke arah mereka, dari adegan yang disugu

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 20

    "Ish, apaan sih Mas Rudi. Sudah dibilang ndak mau!" Garwita mendorong ponsel Rudi agar menjauh dari wajahnya."Wita!" Suara dari ponsel membuat Garwita dan Rudi yang sedang bergurau langsung diam dengan cepat Rudi meletakan ponselnya di tangan Garwita. Wanita itu tak mampu lagi menolak karena di layar, Kala sudah melihatnya. "Ya, Mas?" balas Garwita kemudian. "Kamu baik?" Kala terlihat sedang mengamati wajah Garwita dari balik layar. "Alhamdulillah, Baik. Mas Kala gimana?" Kala tak langsung menjawab, dia terkekeh-kekeh sejenak. "Ya enggak gimana-mana. Ini lagi sakit!" "Mas Kala sakit?" Garwita berubah penasaran. Dia mengangkat lebih tinggi tangannya agar jelas melihat Kala. "Ya, sakit rindu!" jawab Kala dengan tawa pecah. Garwita cemberut, tetapi semburat merah di pipinya tak bisa dia sembunyikan. "Halah, gombal!" Garwita memiring-miringkan bibirnya. "Serius! Oiya, kenapa enggak mau aktifin ponselnya?" Kala kembali mendesak Garwita. Wanita itu menggeleng, perasaan tak enaknya

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 19

    Ehem! Ray berdeham lalu mengalihkan pandangannya keluar jendela. Garwita pun melakukan hal yang sama, dia dibuat gugup sesaat tadi. Sementara Topan yang melihat hanya bisa tersenyum tipis. Dia tidak tahu bagaimana nasib tuannya ke depan, hanya saja doanya selalu ingin yang terbaik Ray bisa sembuh lalu membangun kembali keluaraga yang utuh. "Om, kalau besar nanti Gandra juga pengen bisa nyetir mobil!" celetuk Gandra pada Topan. Lelaki botak itu langsung tertawa geli. "Boleh saja, Gan. Besar nanti pasti kamu bakal punya mobil banyak, bukan cuma mainan!" yakin Topan meski dengan nada bercanda. Mau bagaimana pun, Ray adalah pewaris satu-satunya keluaraga tuan Abash, sementara sekarang hanya Gandra lah keturunan dari Ray. "Om Botak! Lihat itu!" Gandra menunjuk ke patung gajah yang berada di depan sebuah gedung. "Besar sekali!" Dia berdecak kagum."Gandra, jangan panggil begitu!" tegur Garwita merasa anaknya tak sopan memanggil Topan dengan sebutan botak."Tak masalah, Mbak, justru saya

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 18

    Garwita membuka kotak putih itu dan memang benar berisi smart phone. Lalu di dalamnya terselip sebuah surat kecil. Gandra meraih ponsel itu, dia begitu penasaran dan ingin memegang seperti apa ponsel. Sementara Garwita membaca suratnya. Pesan itu diawali sebuah salam lalu langsung pada intinya, hanya beberapa baris saja yang membuat Garwita tahu siapa pengirimnya. [Garwita, apa kabarmu? Sampai dengan selamat bukan? Aku lupa kemarin ingin memberikan ini padamu agar bisa berkomunikasi dengan siapa saja. Gandra pasti pun akan senang. Tolong aktifkan ponselnya, dia dalam sudah ada kartu seluler. Aku tak sabar ingin menelpon dan melihat wajah Gandra.] "Mas Kala?" batin Garwita. Dia merasa tak enak hati diberi barang semahal ini, dia tebak pasti harganya jutaan. Mengingat kata yang juragan Jarwo wanti-wanti kemarin, Garwita pun urung mengaktifkan ponsel itu. Dia mengambil kembali dari Gandra lalu menyimpannya, mungkin akan mengembalikannya jika Kala pulang nanti."Yah, Bu, kok diambil? G

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 17

    "Aaa, moster!" teriak Gandra ketakutan saat melihat seseorang di dalam mobil memakai kacamata hitam dengan wajah penuh luka bakar. Ray lupa tak memakai masker. "Heh, ndak boleh bilang gitu, Le!" tegur Ijah memperingatkan cucunya. "Maaf ya, Pak, cucu saya kadang cuma asal nyeplos," kata Ijah pada Ray dengan wajah tak enak hati. Sementara Gandra langsung berlari lebih dulu, Ijah membuntuti. Ray menutup kaca jendela. Dia sandarkan punggung ke jok, ada yang berasa perih dalam dadanya. Bukan karena penolakan dari anaknya, tapi ini jauh lebih buruk. Anaknya sendiri takut, dan bilang kalau dia seperti moster. Ray memejamkan mata, menahan rasa sesak di dada. Dia hela napas dalam dan kembali menenangkan diri. "Maafkan, Ayah," gumam Ray. Dia lalu menyuruh Topan untuk melajukan mobil dan langsung pulang ke rumah. ***Garwita menemui Topan yang sedang duduk di kursi depan. "Maaf, Mas, aku kesorean." Garwita tak enak hati ketika sampai di rumah majikannya pukul lima. "Tak masalah, Mbak. T

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 16

    "Panggil saja Tuan Rian, Mbak!" balas Topan tiba-tiba. Dia sudah berdiri di belakang Garwita. "Tuan Rian? Oh baiklah, terima kasih." Garwita menundukkan kepalanya sebagai isyarat pamit dengan senyum merekah lalu kembali undur diri. "Namanya Rian? Ah ya, Rian," batin Garwita terus mengingat-ingat. Pukul setengah delapan, waktu yang longgar untuk menuju ladang. Dia mengayuh sepeda dengan santai kali ini. Sinar mentari mulai terasa hangat-hangat kuku. "Wita!" panggil Nanto yang sudah berdiri di tepi jalan. Tadinya Garwita tak tahu jika beberapa orang yang mengerumun di tepi jalan ada bapaknya. Nanto memberi isyarat agar Garwita berhenti dan mendekat. "Ada apa, Pak?" Garwita melirik ke arah orang yang bersama Nanto. Dia paham betul lima orang itu adalah juragan Margono dan para pengikutnya. Untuk apa bapaknya ikut juga bersama mereka? Apa mungkin Nanto sekarang bekerja untuk juragan Margono? Batin Garwita mulai resah lalu mengingat ucapan Karmi kemarin siang. "Kamu mau berangkat ke

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 15

    "Mmm maaf, Mas, aku dengar di sini sedang cari orang buat jadi pembantu. Apa benar?" tanya Garwita memastikan."Oh, jadi mbaknya mau melamar kerja di sini?" Topan melontarkan seulas senyum, dalam benaknya merasa lega. Ternyata rencana menyuruh Imah untuk memberi infomasi perkerjaan pada Garwita disambut langsung oleh wanita itu. "Iya, Mas, semisal ada aku mau!" balas Garwita antusias.Topan tak langsung menjawab, dia pamit pada Garwita untuk bertanya pada tuannya. Topan masuk ke rumah sementara Garwita menunggu di luar.Di ruang tamu Topan mendapati Ray yang sudah duduk di balik tirai, dia pun langsung mengatakan maksud wanita itu datang. Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, Ray merasa senang tanpa bersusah payah ternyata Garwita sendiri yang langsung mendekat padanya. "Katakan padanya jika mulai besok sudah boleh bekerja, hanya untuk pagi dan sore. Karjanya memasak di sini, setelah itu dia boleh langsung pulang. Dan kusus hari minggu dia harus datang dan membersihkan rumah ini." Ra

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 14

    Dua bulan berlalu setalah Garwita resmi bercerai dari Raykarian. Dia menjalani hari seperti biasanya, hanya saja status yang sudah berganti membuatnya harus lebih hati-hati dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Apalagi sekarang masih dalam masa idah. Garwita terduduk di bawah pohon kelapa yang berada di tengah ladang milik juraga Jarwo. Dia berisitirahat sejenak setelah tadi berkerja keras bersama pekerja lainnya memanen daun tembakau pertama. Garwita memandangi tanaman hijau di sebalah selatan yang tumbuh subur dengan duan-daun lebar yang belum selesai dipanen. "Makan dulu, Wit, kamu bawa bekel ndak?" tanya Karmi, wanita paruh baya yang sudah lama bekerja pada juragan Jarwo, usianya tak beda jauh dengan Ijah. Sayangnya, Ijah yang sakit-sakitan sudah tak bisa lagi bekerja berat. Jadi, Garwita memintanya agar tetap di rumah."Bawa, kok, uwa Karmi. Pake lauk apa?" Garwita membuka kotak nasinya, lalu melongok ke arah makanan yang dibawa Karmi menggunakan kertas minyak. Mereka makan b

DMCA.com Protection Status