Sampai di rumah sakit Garwita langsung berlari menuju ruangan di mana Kala dirawat, dia sudah dipindahkan dari UGD. Air mata Garwita terus mengalir, dia tergopoh-gopoh sambil menyekanya. Ketika pintu dibuka terlihatlah Kala yang sedang berbaring dengan perban dibagian kepala juga tangan. Dia masih memejam, pikir Garwita karena belum sadarkan diri. "Mas, kamu ndak papa kan?" tangis Garwita pecah sampai sesenggukan melihat Kala dengan kondisi begitu. "Mas, bangun!" Garwita merengek seperti anak kecil. Dia terduduk di kursi samping ranjang sembari meremas tepian ranjang. Kala yang tadinya ingin tidur merasa terganggu. Awalnya dia kira berhalusinasi tapi suara khas Garwita membuatnya mengerjap dan mendapati wanita itu sedang menangis untuknya. Kala masih diam dan pura-pura memejam, tapi senyum tipisnya tak bisa disembunyikan. Masih terdengar tangisan Garwita yang lebih mirip seperti anak kecil, lama-lama Kala tak tahan juga ingin tertawa. "Aku enggak papa, Sayang, cep cep cep!" ucap
q"Witaku ...," gumam Ray nyaris tanpa suara.***Garwita celingak-celinguk di ruang rawat karena tak melihat Hana ada di sana. "Cari apa?" "Mmm, pacarmu sudah pulang, Mas?" tanya Garwita pada Kala yang duduk dengan menyenderkan punggungnya di kepala ranjang."Sudah, dia bukan pacarku," jawab Kala. Lalu menyuruh Garwita agar duduk kursi dekatnya. "Aku lapar, Wit." Garwita mengernyit, dilihatnya makanan yang sudah disediakan pihak rumah sakit di meja nakas. "Mau makan?" Garwita mengambil nampan berisi makanan dia ingin meletakannya di pangkuan Kala agar lebih mudah menjakaunya. "Ish, kamu enggak lihat tanganku kena cekal semua? Suapin!" pinta Kala manja. Gerwita tersenyum geli. "Yang cedera kan tangan kirimu saja, Mas! Tangan kanan masih bisa bergerak!""Tapi kan ada selang infusnya, Wit! Gimana kalau pas makan terus copot? Pokoknya suapin!" Garwita tak bisa lagi menolak, tangan kanan Kala memang diinfus. Bisa saja Kala makan sendiri, tapi niatnya sedari tadi menunggu Garwita
"Mas, bisa melakukannya sendiri kan?" tanya Garwita ragu. Tangan Kala yang memakai arm sling, mungkin akan menyulitkannya untuk mandi. Kala tertawa pelan. "Memangnya kalau enggak bisa kamu mau bantu?" Kala menarik turunkan alisnya."Ish, ya ... aku bakal panggilin Gendon atau bapak pemilik kontrakan buat bantu kamu mandi," canda Garwita dengan senyum puas. Kala mengerucutkan bibirnya, dan memilih masuk ke kamar mandi. Dua hari berada di rumah sakit dan sekarang sudah dibolehkan untuk pulang keadaan Kala sudah membaik tinggal tangannya saja yang butuh waktu lebih lama untuk penyembuhan.Pagi ini, adalah hari terakhir Garwita di kota, Kala akan mengantarnya ke terminal. ***Garwita sudah bersiap dengan baju baru yang dibelikan Kala, gamis berwarna moka satu set dengan jilbab panjangnya. Bagus sekali, ini adalah baju Garwita yang terlihat paling mahal dan sangat pas di badannya. Kala terdiam ketika menunggu Garwita di teras kontrakan. Matanya melebar tanpa berkedip, sementara bibirnya
**Flashback"Dok, tolong!" teriak seorang gadis, tergopoh-gopoh memapah seorang wanita paruh baya dan membawanya ke puskesmas. Ray dengan tanggap menyuruh satu perawat untuk membawakan brankar dan mendorong masuk pasien yang terlihat begitu lemas. Cekatan para petugas medis yang berjaga memeriksa wanita itu. Sementara anak gadisnya menunggu di luar. Sudah hampir tiga hari Ijah sakit perut dari mual muntah sampai diare. Garwita yang panik langsung membawa emaknya ke puskesmas. Saat itu dia baru saja selesai mencuci baju. Dengan gusar Garwita menunggu sembari mondar-mandir di depan ruang rawat. Puskesmas kampung tidaklah besar hanya memiliki dua gedung ukuran sedang. Suara deritan pintu membuat Garwita langsung menoleh dan menyongsong petugas medis yang keluar dari sana. "Dok, bagaimana kondisi emakku?" tanya Garwita cemas. Ray tersenyum ramah, dia tahu jika seseorang di depannya pasti sedang gugup dan panik. "Ibumu terkena gastroenteritis atau muntaber, jadi harus dirawat inap. T
"Katakan, Garwita! Apa yang terjadi?" Nanto berdiri di depan Garwita dengan berkacang pinggang."I--iya, Pak. Mas Ray menikah lagi," balas Garwita. Dia memejam sembari menggigit bibir bawahnya. Nanto mengacak rambut lalu berbalik dan meremas kepala kursi. "Bapak sudah bilang, baiknya memang kamu bercerai! Sekarang terbukti semuanya kan?" Garwita yang ditatap dengan mata malotot tentu ketakutan. Ijah mengusap-usap pundak Garwita."Sudah, Pak, sudah. Mungkin ini sudah takdir," sela Ijah ikut menangis."Memang dasar anak ngeyel! Menunggumu tak ada arti! Bapak tak mau tahu, secepatnya urus perceraian kalian!" bentak Nanto lalu kembali keluar rumah. Dia tak lagi menghiraukan anak dan istrinya yang masih menangis. Dadanya terasa memanas dan jika tetap berada di rumah mungkin Nanto akan semakin mengamuk karena Garwita yang sedari dulu tak pernah mendengarkan sarannya."Buuu ... Ibu," panggil Gandra sembari meracau. Matanya masih memejam tapi bibirnya gemetaran. "Sayang, ini Ibu! Bangun, G
"Ayo, Mbak Wita, cepat! Juragan Jarwo sudah menunggu," ujar Surti sembari melangkah lebih dulu. Mau tak mau Garwita membuntut. "Gan, sama nenek bentar ya!" ucap Garwita ketika pamit. Gandra yang tahu ibunya akan pergi langsung menggeleng dan berlari mengejar. Gandra meraih tangan Garwita dan merengek ingin ikut bersamanya. Akhirnya mereka berdua berjalan bersama. Surti lebih dulu berjalan di depan.Matahari sangat terik, tetapi jalanan kampung yang pinggirannya dipenuhi pohon berdaun rindang membuat teduh. Apalagi mereka berjalan lewat jalan pintas, gang yang masih berupa tanah dan remukkan batu kapur. Gandra mengayun-ayunkan genggaman tangan sembari bernyanyi riang, dia sama sekali tak tahu keresahan yang sedang dipikirkan Garwita karena tetap memasang senyum ketika Gandra menatapnya. Sampai di depan sebuah rumah berbentuk joglo, Garwita berhenti. Rumah juragan Jarwo memiliki desain tradisional khas orang-orang Jawa ningrat jaman dulu. Dia sengaja tak mengubahnya menjadi bangunan
Dua bulan berlalu setalah Garwita resmi bercerai dari Raykarian. Dia menjalani hari seperti biasanya, hanya saja status yang sudah berganti membuatnya harus lebih hati-hati dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Apalagi sekarang masih dalam masa idah. Garwita terduduk di bawah pohon kelapa yang berada di tengah ladang milik juraga Jarwo. Dia berisitirahat sejenak setelah tadi berkerja keras bersama pekerja lainnya memanen daun tembakau pertama. Garwita memandangi tanaman hijau di sebalah selatan yang tumbuh subur dengan duan-daun lebar yang belum selesai dipanen. "Makan dulu, Wit, kamu bawa bekel ndak?" tanya Karmi, wanita paruh baya yang sudah lama bekerja pada juragan Jarwo, usianya tak beda jauh dengan Ijah. Sayangnya, Ijah yang sakit-sakitan sudah tak bisa lagi bekerja berat. Jadi, Garwita memintanya agar tetap di rumah."Bawa, kok, uwa Karmi. Pake lauk apa?" Garwita membuka kotak nasinya, lalu melongok ke arah makanan yang dibawa Karmi menggunakan kertas minyak. Mereka makan b
"Mmm maaf, Mas, aku dengar di sini sedang cari orang buat jadi pembantu. Apa benar?" tanya Garwita memastikan."Oh, jadi mbaknya mau melamar kerja di sini?" Topan melontarkan seulas senyum, dalam benaknya merasa lega. Ternyata rencana menyuruh Imah untuk memberi infomasi perkerjaan pada Garwita disambut langsung oleh wanita itu. "Iya, Mas, semisal ada aku mau!" balas Garwita antusias.Topan tak langsung menjawab, dia pamit pada Garwita untuk bertanya pada tuannya. Topan masuk ke rumah sementara Garwita menunggu di luar.Di ruang tamu Topan mendapati Ray yang sudah duduk di balik tirai, dia pun langsung mengatakan maksud wanita itu datang. Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, Ray merasa senang tanpa bersusah payah ternyata Garwita sendiri yang langsung mendekat padanya. "Katakan padanya jika mulai besok sudah boleh bekerja, hanya untuk pagi dan sore. Karjanya memasak di sini, setelah itu dia boleh langsung pulang. Dan kusus hari minggu dia harus datang dan membersihkan rumah ini." Ra
Braaak!Cara terakhir agar Topan tahu kondisi tuannya adalah dengan mendobrak pintu. Pintu terbuka lebar, terlihat jelas Ray yang jatuh dari kursi roda lalu melempar apa saja yang bisa digapai tangannya. Telapak tangannya sampai berdarah karena tergores serpihan gelas. "Anda baik-baik saja, Tuan?" Sigap Topan memapah Ray dan mendudukkannya ke ranjang. Sayangnya lelaki itu justru marah dan langsung mengusir Topan lagi."Pergi dan tutup pintunya!" teriak Ray dengan mata nyalang dan menunjuk ke arah pintu. Topan bisa lihat darah segar yang menetes dari telapak tangan Ray. Tapi tak ingin dia semakin marah membuat Topan hanya bisa menghela napas lalu keluar. *** Di lain tempat, Gandra sudah tertidur pulas sementara Garwita tak bisa tidur terlebih Nanto pulang dan dia memanggil-manggil Garwita untuk menyuruhnya membuat minuman. Mau tak mau wanita muda itu berjalan ke dapur dan menyeduh kopi untuk Nanto. Ijah yang kelelahan sudah tertidur di dipan depan dengan TV yang masih menyala. "Ini
"Gandra?" Garwita kaget melihat Gandra dan Kala ada di depan rumah Ray. "Mas Kala?" lirihnya. Ray melihat dua lelaki beda usia itu menanti Garwita, lalu dia balik menoleh pada Garwita yang masih mematung. "Gandra, sini!" panggil Ray dengan suara serak sambil melambaikan tangan takut anak itu tak dengar. "Om Kala, aku turun dulu ya?" pinta Gandra lalu menghampiri ibunya dan Ray. Sementara Kala masih berdiam di tepi jalan. Kali ini dia merasa sangat canggung, apalagi sikap Garwita yang terkesan cuek. Padahal, biasanya kalau Garwita melihatnya pulang akan berteriak antusias bahkan kegirangan seperti anak kecil."Tuan, aku pamit," ucap Garwita setelah Gandra dan Ray saling memeluk dan saling salam tinju dengan kepalan tangan. Mereka berdua tampak sangat akrab.Ada rasa aneh yang Kala lihat pada lelaki di kursi roda itu, kenapa memakai pakaian serba tertutup di dalam rumah, bahkan memakai masker dan mantel jaket.Kala bersedekap dengan mata melihat ke arah mereka, dari adegan yang disugu
"Ish, apaan sih Mas Rudi. Sudah dibilang ndak mau!" Garwita mendorong ponsel Rudi agar menjauh dari wajahnya."Wita!" Suara dari ponsel membuat Garwita dan Rudi yang sedang bergurau langsung diam dengan cepat Rudi meletakan ponselnya di tangan Garwita. Wanita itu tak mampu lagi menolak karena di layar, Kala sudah melihatnya. "Ya, Mas?" balas Garwita kemudian. "Kamu baik?" Kala terlihat sedang mengamati wajah Garwita dari balik layar. "Alhamdulillah, Baik. Mas Kala gimana?" Kala tak langsung menjawab, dia terkekeh-kekeh sejenak. "Ya enggak gimana-mana. Ini lagi sakit!" "Mas Kala sakit?" Garwita berubah penasaran. Dia mengangkat lebih tinggi tangannya agar jelas melihat Kala. "Ya, sakit rindu!" jawab Kala dengan tawa pecah. Garwita cemberut, tetapi semburat merah di pipinya tak bisa dia sembunyikan. "Halah, gombal!" Garwita memiring-miringkan bibirnya. "Serius! Oiya, kenapa enggak mau aktifin ponselnya?" Kala kembali mendesak Garwita. Wanita itu menggeleng, perasaan tak enaknya
Ehem! Ray berdeham lalu mengalihkan pandangannya keluar jendela. Garwita pun melakukan hal yang sama, dia dibuat gugup sesaat tadi. Sementara Topan yang melihat hanya bisa tersenyum tipis. Dia tidak tahu bagaimana nasib tuannya ke depan, hanya saja doanya selalu ingin yang terbaik Ray bisa sembuh lalu membangun kembali keluaraga yang utuh. "Om, kalau besar nanti Gandra juga pengen bisa nyetir mobil!" celetuk Gandra pada Topan. Lelaki botak itu langsung tertawa geli. "Boleh saja, Gan. Besar nanti pasti kamu bakal punya mobil banyak, bukan cuma mainan!" yakin Topan meski dengan nada bercanda. Mau bagaimana pun, Ray adalah pewaris satu-satunya keluaraga tuan Abash, sementara sekarang hanya Gandra lah keturunan dari Ray. "Om Botak! Lihat itu!" Gandra menunjuk ke patung gajah yang berada di depan sebuah gedung. "Besar sekali!" Dia berdecak kagum."Gandra, jangan panggil begitu!" tegur Garwita merasa anaknya tak sopan memanggil Topan dengan sebutan botak."Tak masalah, Mbak, justru saya
Garwita membuka kotak putih itu dan memang benar berisi smart phone. Lalu di dalamnya terselip sebuah surat kecil. Gandra meraih ponsel itu, dia begitu penasaran dan ingin memegang seperti apa ponsel. Sementara Garwita membaca suratnya. Pesan itu diawali sebuah salam lalu langsung pada intinya, hanya beberapa baris saja yang membuat Garwita tahu siapa pengirimnya. [Garwita, apa kabarmu? Sampai dengan selamat bukan? Aku lupa kemarin ingin memberikan ini padamu agar bisa berkomunikasi dengan siapa saja. Gandra pasti pun akan senang. Tolong aktifkan ponselnya, dia dalam sudah ada kartu seluler. Aku tak sabar ingin menelpon dan melihat wajah Gandra.] "Mas Kala?" batin Garwita. Dia merasa tak enak hati diberi barang semahal ini, dia tebak pasti harganya jutaan. Mengingat kata yang juragan Jarwo wanti-wanti kemarin, Garwita pun urung mengaktifkan ponsel itu. Dia mengambil kembali dari Gandra lalu menyimpannya, mungkin akan mengembalikannya jika Kala pulang nanti."Yah, Bu, kok diambil? G
"Aaa, moster!" teriak Gandra ketakutan saat melihat seseorang di dalam mobil memakai kacamata hitam dengan wajah penuh luka bakar. Ray lupa tak memakai masker. "Heh, ndak boleh bilang gitu, Le!" tegur Ijah memperingatkan cucunya. "Maaf ya, Pak, cucu saya kadang cuma asal nyeplos," kata Ijah pada Ray dengan wajah tak enak hati. Sementara Gandra langsung berlari lebih dulu, Ijah membuntuti. Ray menutup kaca jendela. Dia sandarkan punggung ke jok, ada yang berasa perih dalam dadanya. Bukan karena penolakan dari anaknya, tapi ini jauh lebih buruk. Anaknya sendiri takut, dan bilang kalau dia seperti moster. Ray memejamkan mata, menahan rasa sesak di dada. Dia hela napas dalam dan kembali menenangkan diri. "Maafkan, Ayah," gumam Ray. Dia lalu menyuruh Topan untuk melajukan mobil dan langsung pulang ke rumah. ***Garwita menemui Topan yang sedang duduk di kursi depan. "Maaf, Mas, aku kesorean." Garwita tak enak hati ketika sampai di rumah majikannya pukul lima. "Tak masalah, Mbak. T
"Panggil saja Tuan Rian, Mbak!" balas Topan tiba-tiba. Dia sudah berdiri di belakang Garwita. "Tuan Rian? Oh baiklah, terima kasih." Garwita menundukkan kepalanya sebagai isyarat pamit dengan senyum merekah lalu kembali undur diri. "Namanya Rian? Ah ya, Rian," batin Garwita terus mengingat-ingat. Pukul setengah delapan, waktu yang longgar untuk menuju ladang. Dia mengayuh sepeda dengan santai kali ini. Sinar mentari mulai terasa hangat-hangat kuku. "Wita!" panggil Nanto yang sudah berdiri di tepi jalan. Tadinya Garwita tak tahu jika beberapa orang yang mengerumun di tepi jalan ada bapaknya. Nanto memberi isyarat agar Garwita berhenti dan mendekat. "Ada apa, Pak?" Garwita melirik ke arah orang yang bersama Nanto. Dia paham betul lima orang itu adalah juragan Margono dan para pengikutnya. Untuk apa bapaknya ikut juga bersama mereka? Apa mungkin Nanto sekarang bekerja untuk juragan Margono? Batin Garwita mulai resah lalu mengingat ucapan Karmi kemarin siang. "Kamu mau berangkat ke
"Mmm maaf, Mas, aku dengar di sini sedang cari orang buat jadi pembantu. Apa benar?" tanya Garwita memastikan."Oh, jadi mbaknya mau melamar kerja di sini?" Topan melontarkan seulas senyum, dalam benaknya merasa lega. Ternyata rencana menyuruh Imah untuk memberi infomasi perkerjaan pada Garwita disambut langsung oleh wanita itu. "Iya, Mas, semisal ada aku mau!" balas Garwita antusias.Topan tak langsung menjawab, dia pamit pada Garwita untuk bertanya pada tuannya. Topan masuk ke rumah sementara Garwita menunggu di luar.Di ruang tamu Topan mendapati Ray yang sudah duduk di balik tirai, dia pun langsung mengatakan maksud wanita itu datang. Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, Ray merasa senang tanpa bersusah payah ternyata Garwita sendiri yang langsung mendekat padanya. "Katakan padanya jika mulai besok sudah boleh bekerja, hanya untuk pagi dan sore. Karjanya memasak di sini, setelah itu dia boleh langsung pulang. Dan kusus hari minggu dia harus datang dan membersihkan rumah ini." Ra
Dua bulan berlalu setalah Garwita resmi bercerai dari Raykarian. Dia menjalani hari seperti biasanya, hanya saja status yang sudah berganti membuatnya harus lebih hati-hati dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Apalagi sekarang masih dalam masa idah. Garwita terduduk di bawah pohon kelapa yang berada di tengah ladang milik juraga Jarwo. Dia berisitirahat sejenak setelah tadi berkerja keras bersama pekerja lainnya memanen daun tembakau pertama. Garwita memandangi tanaman hijau di sebalah selatan yang tumbuh subur dengan duan-daun lebar yang belum selesai dipanen. "Makan dulu, Wit, kamu bawa bekel ndak?" tanya Karmi, wanita paruh baya yang sudah lama bekerja pada juragan Jarwo, usianya tak beda jauh dengan Ijah. Sayangnya, Ijah yang sakit-sakitan sudah tak bisa lagi bekerja berat. Jadi, Garwita memintanya agar tetap di rumah."Bawa, kok, uwa Karmi. Pake lauk apa?" Garwita membuka kotak nasinya, lalu melongok ke arah makanan yang dibawa Karmi menggunakan kertas minyak. Mereka makan b