Share

Bab 6

Penulis: Ratu As
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-25 19:19:21

Pencarian Kala tak membuahkan hasil, padahal dia sudah berkeliling cukup jauh. Dia mulai menepi lalu berhenti sejenak untuk berpikir.

"Kalau Garwita pergi untuk mencari Ray, kenapa aku tak melakukan hal yang sama? Mungkin saja dengan aku mencari tujuan yang sama bisa menemukan Garwita di sana?" batin Kala lalu memukul kepalanya kenapa sedari tadi malah berputar-putar bukannya langsung ke alamat.

"Bodoh!" gumam Kala pada diri sendiri.

Motor metik berwarna hitam itu kembali melesat menyusuri jalanan. Kala masih mengingat jelas setiap detail yang diucapakan ibu-ibu cleaning service di klinik Andalan. Dia yakin, berbekal ingatan dan nama Tuan Abash bisa menemukan alamat itu.

***

Garwita berlari sembari menyeka air matanya, tak dihiraukannya kaki yang semakin lecet dan berdarah. Harapan yang telah hancur membuat rasa sakit di badan tak lagi terasa karena yang lebih memilukan justru ada di dalam dada, sakit di hati yang amat dalam.

Kepala Garwita dipenuhi dengan prasangka dan tebak menebak, kenapa Ray bisa menghianatinya? Sepanjang bersama, Ray tak pernah berbuat jahat, bahkan dia orang yang selalu terlihat tulus dan begitu menyayangi Garwita.

"Wit, Wita!" panggil Kala ketika dia lihat wanita yang dicarinya berlari keluar dari rumah paling mewah yang ada di komplek itu.

Kala yang tadi berhenti dan duduk di jok motor langsung berlari mengejar Garwita yang sepertinya tak melihat keberadaanya. Cekatan Kala meraih tangan Garwita dan menahannya. Wanita itu terhenti lalu mendongak, dia palingkan wajah dari Kala karena tak ingin dilihat sedang menangis.

"Jangan terus berlari, jika lelah istirahat dulu, jika sakit ... ayo menepi, kita obati bersama!" kata Kala perhatian. Dia melihat Garwita dari ujung kepala sampai kaki, bukan hanya terlihat semrawut tapi sangat kacau. Apalagi luka di kaki yang semakin menganga.

Reflek Garwita memeluk Kala, dia tumpahkan tangisnya di dada Kala. Kala tak tahu apa yang terjadi, tapi dari tingkah dan tangis Garwita bisa menjelaskan semuanya kalau dia sedang tidak baik-baik saja. Kala membiarkan Garwita menangis sampai tenang, yang dia lakukan hanya diam sembari menepuk-nepuk pelan pundak Garwita.

"Mas, sakiiit," lirih Garwita. Dia ingin mencurahkan semua rasa sedihnya pada lelaki yang selalu ada untuknya dan Garwita anggap seperti kakak sendiri.

Suaranya parau dan tersendat-sendat, semakin membuat Kala merasa sesak mendengarnya.

"Sebelah mana yang sakit?" Kala menahan pundak Garwita yang sudah lumayan tenang dan melepas pelukkannya.

"Di sini!" Garwita menunjuk ke arah dada, tapi pandangannya jatuh ke bawah. Melihat kaki-kaki yang luka karena bergesekan dengan aspal.

"Semua akan kembali membaik. Ayo kita obati bersama!" Bagi Kala ucapannya bukan hanya sekadar tentang mengobati kaki yang luka itu, tapi jauh harapannya juga bisa menyembuhkan hati Garwita yang sekarat karena menahan pedih.

Kala menuntun Garwita berjalan ke arah trotoar lalu duduk di bawah pohon trembesi yang ada di tepi jalan. Dia juga mengambil kotak P3K yang selalu ada di jok motornya.

Garwita duduk sambil menekuk kakiknya, sementara Kala duduk berhadapan dan membersihkan kaki Garwita dari debu jalan dengan air. Satu per satu kejadian yang Garwita alami semenjak keluar dari kontrakan Kala dia ceritakan. Mulai dari tasnya yang dijambret, sandal jepit yang putus, kaki yang terluka, sampai pada titik di mana Garwita datang ke rumah megah itu dan air matanya kembali mengalir, meski tanpa sesenggukan.

Sudut mata Kala ikut berair, andai tak dia tahan mungkin juga tetes bening sudah mengalir. Namun, dia tak ingin terlihat cengeng di depan Garwita, hanya saja perjalanan Garwita terdengar begitu menyakitkan baginya, hatinya ikut terluka dengan apa yang di alami oleh wanita yang dicintai. Kala terus mengobati luka-luka di kaki Garwita dengan diam. Tiba saat Garwita menceritakan tentang Ray yang mengkhianatinya. Bibir Kala gemetar, dia menarik tangannya dan mengepal sekuat tenaga menahan emosi yang ikut meluap.

"Cukup! Tak ada lagi yang perlu kamu harapkan dari lelaki itu. Sudahi menunggumu, sudahi rasa sakitmu, sudahi semua yang kamu gantungkan dan berakhir dengan jalan buntu," ucap Kala penuh penekanan.

"Lepaskan dia, Garwita. Sudahi semuanya, aku tak terima!" lanjutnya dengan mata memerah dan napas yang memburu. Tatapan Kala membuat Garwita membisu, dia tak menyangka jika Kala akan membelanya seperti itu.

Andai ada Ray di hadapan Kala sekarang, dia tak segan-segan untuk menghabisnya. Sayangnya, semua percuma ketika mereka tahu jika Ray berada di luar negri.

"Wit! Pulang!" Kala meraih pundak Garwita dan menariknya agar berdiri. Tak sempat Garwita mengucapkan apa pun lagi, dia tahu jika Kala ikut emosi pada apa yang di alaminya.

Garwita langsung naik ke jok belakang. Kala mengemudi dengan pelan sambil menenangkan dada yang sesaat tadi gemuruh tak karuan. Mereka berdua sama-sama diam dengan pikiran masing-masing, yang terdengar hanya suara kendaraan yang hilir mudik menyalip atau berpapasan.

***

"Ternyata emosi sangat menguras tenaga. Ayo kita makan dulu, aku yakin sejak tadi kamu tak sempat minum apalagi makan kan?" Kala berbelok ke tempat makan lesehan. Garwita belum menjawab, tapi Kala lebih dulu berhenti lalu mencopot sepatunya. "Pake ini!" Kala meletakan sepatu putih berukuran 42 itu di bawah kaki Garwita. Sementara dia jadi nyeker sekarang.

"Kamu nyeker dong, Mas? Udah pake kamu saja," tolak Garwita ingin turun dari motor tanpa memakainya. Kala menahan.

"Enggak mau pake? Ya udah, aku yang pake tapi kamu kugendong, mau?" tawar Kala memberi pilihan. Tentu saja Garwita langsung menggeleng, membuat Kala jalan tanpa sepatu saja sudah membuatnya sungkan apalagi jika harus di gendong di tempat umum.

Karena diancam, Garwita langsung menurut. Kala berjongkok lalu memakaikan sepatunya di kaki Garwita, sangat kedodoran karena ukuran sepatu Garwita biasa di angka 38.

Mereka menuju ke tempat paling ujung yang di sediakan di mana ada sebuah saung dari kayu dan anyaman bambu yang berdiri di atas kolam ikan. Suasana yang sejuk dan asri membuat rasa lelah sedikit pudar. Garwita langsung duduk lalu selonjoran, semenatara Kala memilih duduk di tepi saung dengan kaki mencelup ke air.

Banyak ikan-ikan kecil yang mengerubuti kaki Kala. Garwita tertarik melihat itu tapi tak ingin ikutan karena takut lukanya terasa perih. Sambil menunggu pesanan, Kala mengeluarkan ponselnya lalu memanggil Garwita agar mendekat.

"Sini, kita foto dulu!"

"Enggak ah, Mas, aku malu!" tolak Garwita.

Kala berdecak, karena si wanita tak kunjung mendekat akhirnya Kala mengalah menghampiri Garwita lalu mengambil gambar berdua dengan tiba-tiba. Posisi tak siap membuat ekspresi Garwita begitu alami dan lucu.

"Iiih jelek!" protes Garwita ketika melihat hasil fotonya. Kala terkekeh-kekeh melihat Garwita kembali manyun, tapi wajah sedihnya sesaat tadi mulai luntur.

"Makanya pose, dong!" titah Kala memberi aba-aba dengan hitungan satu sampe tiga.

Kali ini Garwita merasa puas, karena senyum di dalam foto itu terlihat manis dan tidak sekonyol tadi.

"Iya-iya deh, si paling cantik," balas Kala sewot ketika Garwita membanggakan fotonya. Garwita jadi tertawa dan mencubit pundak Kala karena merasa gemas.

Mereka berdua kembali ceria dengan pertengkaran yang justru membuatnya makin tertawa terpingkal.

Pesanan siap, dua porsi ikan bakar beserta dengan nasi liwet dan lalapanya terhidang di meja. Untuk sambelnya ada tiga macam, sambal terasi, sambal kecap, dan sambal tomat, semua tampak menggiurkan.

Garwita menelan ludah, baru kali ini dia bisa makan ikan bakar dengan ukuran lumayan besar sendirian. Dia jadi teringat Gandra.

"Kalau ada Gandra pasti sangat senang. Dia jarang sekali makan seperti ini," gumam Gawita menatap makanannya.

"Aku janji kalau pulang nanti akan ajak kalian makan enak. Apa saja yang Gandra minta," balas Kala lalu menyuruh Garwita untuk makan dulu.

Garwita tersenyum haru mendengarnya. Matanya berbinar-binar menatap lelaki yang sekarang ada di hadapannya dan sedang fokus dengan makanan.

"Hati-hati, ada banyak durinya!" Kala mengambil alih piring berisi ikan milik Garwita lalu menyuir-nyuir daging, memisahkannya dari duri, lalu meletakkan di atas nasi milik Garwita. Perhatian Kala saat ini terekam jelas di benak Garwita, membuat senyum wanita itu terlukis lagi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 7

    Kala melihat Garwita sedang mengemasi bajunya ke tas, dia mengernyit untuk apa wanita itu melakukan itu?"Kamu mau pulang?" tanya Kala membuat Garwita berjengit. Garwita mengangguk. "Pencarianku sudah selesai. Aku harus cepat pulang untuk Gandra," balasnya dengan seulas senyum. Senyum yang selalu Garwita tunjukkan sekali pun hati sedang gerimis. Kala bersender ke tembok dengan tangan bersedekap. "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" Sejenak Garwita berpikir, namun tak ada dalam benaknya sesuatu yang ingin dia lakukan setelah ini. Usai tahu tentang Ray dan harapan itu hancur dalam sekejap, dia berasa tak punya harapan yang harus diperjuangkan. "Seperti biasa lagi. Kerja untuk Gandra," balas Garwita tak ingin membuat kepalanya pusing dengan mencari-cari rencana. "Kamu tidak akan menggugat cerai?" Kala bicara dengan tatapan serius pada Garwita. Wanita itu menghela napas dalam, rasa syoknya seakan-akan masih mencekik ingatan. Garwita ingin menolak untuk percaya bahwa Ray meningga

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-25
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 8

    Sampai di rumah sakit Garwita langsung berlari menuju ruangan di mana Kala dirawat, dia sudah dipindahkan dari UGD. Air mata Garwita terus mengalir, dia tergopoh-gopoh sambil menyekanya. Ketika pintu dibuka terlihatlah Kala yang sedang berbaring dengan perban dibagian kepala juga tangan. Dia masih memejam, pikir Garwita karena belum sadarkan diri. "Mas, kamu ndak papa kan?" tangis Garwita pecah sampai sesenggukan melihat Kala dengan kondisi begitu. "Mas, bangun!" Garwita merengek seperti anak kecil. Dia terduduk di kursi samping ranjang sembari meremas tepian ranjang. Kala yang tadinya ingin tidur merasa terganggu. Awalnya dia kira berhalusinasi tapi suara khas Garwita membuatnya mengerjap dan mendapati wanita itu sedang menangis untuknya. Kala masih diam dan pura-pura memejam, tapi senyum tipisnya tak bisa disembunyikan. Masih terdengar tangisan Garwita yang lebih mirip seperti anak kecil, lama-lama Kala tak tahan juga ingin tertawa. "Aku enggak papa, Sayang, cep cep cep!" ucap

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-25
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 9

    q"Witaku ...," gumam Ray nyaris tanpa suara.***Garwita celingak-celinguk di ruang rawat karena tak melihat Hana ada di sana. "Cari apa?" "Mmm, pacarmu sudah pulang, Mas?" tanya Garwita pada Kala yang duduk dengan menyenderkan punggungnya di kepala ranjang."Sudah, dia bukan pacarku," jawab Kala. Lalu menyuruh Garwita agar duduk kursi dekatnya. "Aku lapar, Wit." Garwita mengernyit, dilihatnya makanan yang sudah disediakan pihak rumah sakit di meja nakas. "Mau makan?" Garwita mengambil nampan berisi makanan dia ingin meletakannya di pangkuan Kala agar lebih mudah menjakaunya. "Ish, kamu enggak lihat tanganku kena cekal semua? Suapin!" pinta Kala manja. Gerwita tersenyum geli. "Yang cedera kan tangan kirimu saja, Mas! Tangan kanan masih bisa bergerak!""Tapi kan ada selang infusnya, Wit! Gimana kalau pas makan terus copot? Pokoknya suapin!" Garwita tak bisa lagi menolak, tangan kanan Kala memang diinfus. Bisa saja Kala makan sendiri, tapi niatnya sedari tadi menunggu Garwita

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-26
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 10

    "Mas, bisa melakukannya sendiri kan?" tanya Garwita ragu. Tangan Kala yang memakai arm sling, mungkin akan menyulitkannya untuk mandi. Kala tertawa pelan. "Memangnya kalau enggak bisa kamu mau bantu?" Kala menarik turunkan alisnya."Ish, ya ... aku bakal panggilin Gendon atau bapak pemilik kontrakan buat bantu kamu mandi," canda Garwita dengan senyum puas. Kala mengerucutkan bibirnya, dan memilih masuk ke kamar mandi. Dua hari berada di rumah sakit dan sekarang sudah dibolehkan untuk pulang keadaan Kala sudah membaik tinggal tangannya saja yang butuh waktu lebih lama untuk penyembuhan.Pagi ini, adalah hari terakhir Garwita di kota, Kala akan mengantarnya ke terminal. ***Garwita sudah bersiap dengan baju baru yang dibelikan Kala, gamis berwarna moka satu set dengan jilbab panjangnya. Bagus sekali, ini adalah baju Garwita yang terlihat paling mahal dan sangat pas di badannya. Kala terdiam ketika menunggu Garwita di teras kontrakan. Matanya melebar tanpa berkedip, sementara bibirnya

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-26
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 11

    **Flashback"Dok, tolong!" teriak seorang gadis, tergopoh-gopoh memapah seorang wanita paruh baya dan membawanya ke puskesmas. Ray dengan tanggap menyuruh satu perawat untuk membawakan brankar dan mendorong masuk pasien yang terlihat begitu lemas. Cekatan para petugas medis yang berjaga memeriksa wanita itu. Sementara anak gadisnya menunggu di luar. Sudah hampir tiga hari Ijah sakit perut dari mual muntah sampai diare. Garwita yang panik langsung membawa emaknya ke puskesmas. Saat itu dia baru saja selesai mencuci baju. Dengan gusar Garwita menunggu sembari mondar-mandir di depan ruang rawat. Puskesmas kampung tidaklah besar hanya memiliki dua gedung ukuran sedang. Suara deritan pintu membuat Garwita langsung menoleh dan menyongsong petugas medis yang keluar dari sana. "Dok, bagaimana kondisi emakku?" tanya Garwita cemas. Ray tersenyum ramah, dia tahu jika seseorang di depannya pasti sedang gugup dan panik. "Ibumu terkena gastroenteritis atau muntaber, jadi harus dirawat inap. T

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-26
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 12

    "Katakan, Garwita! Apa yang terjadi?" Nanto berdiri di depan Garwita dengan berkacang pinggang."I--iya, Pak. Mas Ray menikah lagi," balas Garwita. Dia memejam sembari menggigit bibir bawahnya. Nanto mengacak rambut lalu berbalik dan meremas kepala kursi. "Bapak sudah bilang, baiknya memang kamu bercerai! Sekarang terbukti semuanya kan?" Garwita yang ditatap dengan mata malotot tentu ketakutan. Ijah mengusap-usap pundak Garwita."Sudah, Pak, sudah. Mungkin ini sudah takdir," sela Ijah ikut menangis."Memang dasar anak ngeyel! Menunggumu tak ada arti! Bapak tak mau tahu, secepatnya urus perceraian kalian!" bentak Nanto lalu kembali keluar rumah. Dia tak lagi menghiraukan anak dan istrinya yang masih menangis. Dadanya terasa memanas dan jika tetap berada di rumah mungkin Nanto akan semakin mengamuk karena Garwita yang sedari dulu tak pernah mendengarkan sarannya."Buuu ... Ibu," panggil Gandra sembari meracau. Matanya masih memejam tapi bibirnya gemetaran. "Sayang, ini Ibu! Bangun, G

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-27
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 13

    "Ayo, Mbak Wita, cepat! Juragan Jarwo sudah menunggu," ujar Surti sembari melangkah lebih dulu. Mau tak mau Garwita membuntut. "Gan, sama nenek bentar ya!" ucap Garwita ketika pamit. Gandra yang tahu ibunya akan pergi langsung menggeleng dan berlari mengejar. Gandra meraih tangan Garwita dan merengek ingin ikut bersamanya. Akhirnya mereka berdua berjalan bersama. Surti lebih dulu berjalan di depan.Matahari sangat terik, tetapi jalanan kampung yang pinggirannya dipenuhi pohon berdaun rindang membuat teduh. Apalagi mereka berjalan lewat jalan pintas, gang yang masih berupa tanah dan remukkan batu kapur. Gandra mengayun-ayunkan genggaman tangan sembari bernyanyi riang, dia sama sekali tak tahu keresahan yang sedang dipikirkan Garwita karena tetap memasang senyum ketika Gandra menatapnya. Sampai di depan sebuah rumah berbentuk joglo, Garwita berhenti. Rumah juragan Jarwo memiliki desain tradisional khas orang-orang Jawa ningrat jaman dulu. Dia sengaja tak mengubahnya menjadi bangunan

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-30
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 14

    Dua bulan berlalu setalah Garwita resmi bercerai dari Raykarian. Dia menjalani hari seperti biasanya, hanya saja status yang sudah berganti membuatnya harus lebih hati-hati dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Apalagi sekarang masih dalam masa idah. Garwita terduduk di bawah pohon kelapa yang berada di tengah ladang milik juraga Jarwo. Dia berisitirahat sejenak setelah tadi berkerja keras bersama pekerja lainnya memanen daun tembakau pertama. Garwita memandangi tanaman hijau di sebalah selatan yang tumbuh subur dengan duan-daun lebar yang belum selesai dipanen. "Makan dulu, Wit, kamu bawa bekel ndak?" tanya Karmi, wanita paruh baya yang sudah lama bekerja pada juragan Jarwo, usianya tak beda jauh dengan Ijah. Sayangnya, Ijah yang sakit-sakitan sudah tak bisa lagi bekerja berat. Jadi, Garwita memintanya agar tetap di rumah."Bawa, kok, uwa Karmi. Pake lauk apa?" Garwita membuka kotak nasinya, lalu melongok ke arah makanan yang dibawa Karmi menggunakan kertas minyak. Mereka makan b

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-11

Bab terbaru

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 37

    "Bagaimana ini, Mas? Lukamu?" Garwita menunjuk wajah Kala."Tenanglah, semua akan baik-baik saja." Kala lalu merapikan penampilannya dan bersiap membuka pintu, begitu juga dengan Garwita yang berada di sampingnya. Saat pintu diketuk, kedua sejoli itu langsung membukanya. Menyambut orang tua Kala dengan senyum seramah mungkin."Pak, Bu, kok ke sini enggak bilang dulu?" ujar Kala lalu mencium tangan mereka. Juragan Jarwo tidak menolak. Dia tetap diam saat tangannya diraih oleh Kala dan Garwita. "Lah, piye? Kan siang tadi Ibu telepon! Katanya mau telepon balik. Tapi Ibu tunggu-tunggu ndak ada tuh panggilan dari kamu!" balas Ambar dengan suara merajuk. Kala terkekeh geli, dia baru ingat. "Silahkan masuk, Pak,Bu ...," kata Garwita mempersilahkan mereka untuk duduk terlebih dulu. Sementara dia berlalu ke belakang untuk membuat minuman.Juragan Jarwo tampak berdeham melihat anaknya, dia sadar akan wajah Kala yang babak belur. "Ya ampun, Le. Wajahmu kenapa?" Ambar yang langsung respek. Di

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 36

    "Hallo, Le? Gimana kabarmu?" tanya Ambar dari seberang telepon. Usai mendapat perintah dari juragan Jarwo, Ambar langsung menghubungi anaknya.Kala yang sedang berada di jalan melambatkan lajunya. "Baik, Bu, ada apa? Ini Kala lagi di jalan," balas Kala menyelipkan ponselnya ke helm tanpa berhenti dulu, pikirnya nanggung karena sebentar lagi sampai."Oalah, kalau lagi di jalan jangan angkat teleponnya dulu atuh!" balas Ambar khawatir dan urung mengatakan tujuannya telepon.Kala terkekeh-kekeh mendengar suara ibunya. "Ya mau gimana lagi, abis hape geter terus! Ya udah aku lanjut dulu ya, Bu. Nanti kalau sudah berhenti Kala telepon balik!" Kala kembali melanjutkan perjalanan, hari ini dia berniat untuk melamar kerja. Tadi sudah mengajukan surat lamaran ke beberapa sekolah, sementara sekarang dia ingin ke SMK yang memang ada jurusan pertanian di sana. Ya siapa tahu ada lowongan. Kala begitu bersemangat mulai merancang rencana di otaknya untuk masa depan keluarga kecilnya yang mulai dia b

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 35

    Sejak kejadian malam tadi, Garwita selalu menghindari kontak mata dengan Kala, apalagi jika harus berhadapan dengannya, Garwita akan bicara sambil menunduk. Bukan tanpa sebab, dia malu luar biasa juga jadi cangnggung karena ci*man itu. "Bu, Gandra mau tambah nasi!" pinta anak itu sambil menyodorkan piring. Buru-buru Garwita mengambilkan apa yang Gandra mau. "Aku juga mau!" Kala ikut menyodorkan piring. Garwita ingin meletakan secentong nasi, tapi Kala menarik piringnya dengan jail begitu terus sampai akhirnya Garwita mendongak. "Ish, mau enggak?" tanya Garwita menatap lelaki di samping Gandra dengan kesal. Kala menahan tawa lalu meraih tangan Garwita dan dan meletakan nasi itu pada piringnya. Pada saat Garwita ingin menarik tangannya Kala sedikit menahan membuat mereka saling adu tatap. Bagi Garwita tatapan Kala itu terlihat seperti menyeriangai dan membuatnya ingin selalu waspada. Sekali menatap wajah Kala, Garwita akan terfokus pada bibirnya lalu bayangan yang iya-iya mula

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 34

    Gandra sudah pulang dijemput oleh Topan siang tadi. Anak itu sekarang bermain di kamar Ray, Garwita sudah menahan dan tak memperbolehkannya. Namun, Ray sendiri yang meminta. Dia beralasan sakitnya akan mereda jika melihat anak kecil bermain."Om lagi sakit, ya?" tanya Gandra sambil bermain di lantai. Ray mengangguk dengan senyum ramah. "Hem, besar nanti Gandra mau jadi dokter," ucap anak itu tanpa ditanya."Kenapa?" Ray penasaran dengan alasan Gandra."Ibu bilang, aku anaknya seorang dokter. Ayahku orang yang hebat!" balasnya menirukan cerita yang Garwita buat. Mendengar itu, Ray merasa terharu sekaligus sedih. Anak yang begitu membanggakan ayahnya, nyatanya ayahnya bukanlah seseorang yang patut dibanggakan. Ray menelan ludah dengan berat setiap kali mendengar cerita polos dari Gandra, dari situ dia tahu betapa baiknya Garwita yang selalu menceritakan kelebihan Ray pada Gandra. "Lalu apa lagi, Gandra?" tanya Ray kepo. "Mmm ...." Gandra tampak berpikir. "Kayaknya, ayah itu genten

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 33

    Kala terdiam menatap Garwita yang begitu dekat dengan wajahnya. Ingin rasanya dia pura-pura khilaf lalu mencium dengan cepat bibir tipis kemerahan yang sekarang terasa sedang menggodanya. Tapi, Kala tak ingin gegabah dan membuat Garwita jadi takut padanya. Kala menggelengkan kepala untuk meredakan rasa nyeri yang sempat hinggap. "Aku tidak apa-apa," balas Kala mencoba terduduk, Garwita mengikuti. "Lagian, pagi-pagi dah iseng!" celetuknya masih kesal dengan candaan Kala. "Ish, siapa yang iseng! Dah ah, yuk bangun kita salat bareng?" ajak Kala kemudian. Dia tak ingin berlama-lama dekat seperti ini dan membuat sesuatu dalam tubuhnya bergejolak dan memanas. ***"Nanti kuantar kamu dulu, baru Gandra ya?" kata Kala perhatian. Garwita yang sedang menyuap makanan langsung mendongak. "Mas, kulihat di samping rumah ada sepeda, apa masih bisa dipake? Kalau bisa, aku ingin memakainya untuk berangkat kerja." Kala mengernyit, mengingat-ingat apa ada sepeda di sana. "Nanti coba ku cek dulu, ya

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 32

    "Mmm, a--ku tak punya apa pun yang bisa dijadikan jaminan. Bagaimana kalau mulai besok bekerja full di sini? Pagi sampai sore?" tawar Garwita, berharap Ray mau berbaik hati.Ray menggeleng dengan senyum remeh. "Menarik!" jawab Ray singkat. "Selain itu, jemputlah Gandra ketika pulang sekolah dan bawa dia ke sini." "Gandra?" Garwita mengernyit. "Ya, saya ingin punya teman main. Gandra pasti akan jadi teman yang menyenangkan!" balas Ray dengan senyum semringah. Itu membuat Garwita lega juga tak menyangka ada yang begitu menyukai dan menginginkan anaknya."Baik, Tuan." "Oke, pulanglah. Nanti Topan yang akan mengurus semuanya. Tunggu saja kabar dari kami," jelas Ray dengan senyum tulus. Dia pun senang karena akhirnya Garwita meminta bantuan darinya. Ray sangat senang jika merasa dibutuhkan oleh Garwita dan keluagarnya. ***"Ibuuu!" panggil Gandra dari arah jalan. Rupanya Kala sudah menjemput anak itu dan membawanya bersama. Garwita langsung mendekat. "Gandra ikut bersama kita? Bagai

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 31

    "Aku akan ke rumah Tuan Rian, Mas. Sore kemarin dan pagi tadi aku tak datang, mungkin dia akan kebingungan," ujar Garwita sembari mengemasi baju yang ada di rumahnya. Kala duduk di tepi ranjang. "Aku antar," kata Kala kemudian. Dia tak mungkin mencegah keinginan Garwita. "Berapa hutang bapak, Wit?" "Banyak, Mas," jawab Garwita singkat. Dia tak ingin memberi tahu karena takut akan merepotkan Kala. "Seberapa banyak?" desak Kala. "Tujuh puluh lima juta." Garwita menghentikan tangannya dan menatap lurus ke arah jendela. "Jumlah yang sangat banyak, bahkan jika aku menjual rumah dan tanah ini saja tak mungkin cukup." Kala merutuki situasi ini, kenapa di saat Garwita butuh uang dia justru tak punya banyak dan sedang bertengkar dengan bapaknya. Tentu saja, selama ini Kala hidup ditopang dengan kekayaan juragan Jarwo. Jika saat ini dia keluar dari rumah dan bapaknya tak peduli lagi, Kala tak punya apa-apa selain sisa uang yang dia bawa. "Aku akan kerja, Wit." Kala tak bisa bicar

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 30

    Tidak ada bahan makanan, sementara mereka berdua belum makan sejak siang tadi. Di luar hujan deras. "Mas, mau ke mana?" Garwita melihat Kala yang memegang kunci."Beli makanan, kamu lapar kan?" "Tapi di luar hujan deras, Mas. Ndak papa kalau malam ini kita enggak makan, anggap saja puasa dulu," canda Garwita. Dia tak ingin Kala pergi karena hujan sangat deras, suara gemuruh juga bersahut-sahutan."Tenang, ada payung, kok. Aku coba ke warung depan sebentar ya?" Kala langsung beranjak pergi, memakai payung yang ada di rumah ini. Garwita membuntut lalu menunggu di ruang depan. Sendirian di rumah membuatnya sedikit kikuk, rumah ini masih terasa asing dan menakutkan baginya. Berkali-kali Garwita menelan ludah karena suara gemuruh juga suara aneh yang terdengar dari beberapa ruangan yang terkunci, mungkin seperti suara tikus yang sedang mengacak-acak sesuatu. Garwita menyibak tirai, menatap keluar berharap Kala segera datang. Jarak warung lumayan jauh, mungkin ada dua ratus meter. Braa

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 29

    "Saya terima nikah dan kawinnya Garwita binti Nanto Wardaya dengan maskawin tersebut dibayar tunai!" Kala mengikrarkan ijab-kabul dengan sekali napas. Garwita menunduk dengan air mata di pipinya. Dia tak tahu harus bahagia atau bagaimana menyikapi masalah ini. Sekarang, statusnya sudah resmi menjadi seorang istri dari Kalandra. Seperti pengantin pada umumnya, Garwita mencium tangan Kala dengan takzim. Selanjutnya giliran Kala yang mengecup kening Garwita, cukup lama dia menyelipkam doa-doa di sana."Mungkin menikah dengan cara begini terlihat hina. Namun, bagiku semuanya terlihat natural ... terjadi karena takdir Sang Pencipta." Kala menyunggingkan senyum tipis pada istrinya, sementara Garwita hanya diam terpaku. Ijah mengusap-usap pundak anaknya, dia pun ikut menangis dengan pikiran kacau. Tapi tak memperpanjang pikiran negatifnya. Berbeda dengan Nanto usai menikahkan anaknya dia langsung pergi.***Berbekal nekat dan rasa tanggung jawabnya pada Garwita, Kala membawa wanita itu ke

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status