"Oalah, ke sini? Ini mah masih jauh, Mbak!" ujar seseorang membaca alamat yang dituduhkan.
"Jadi bukan di sini ya, Bu?" Garwita mulai merasa bimbang.
"Iya, Mbak. Paling enggak ada satu jam naik angkot." Wanita kurus itu menjawab, dari matanya terpancar rasa iba dan kasian. Apalagi ketika melihat kaki Garwita terluka.
Garwita merogoh saku bajunya, tak ada sepeser pun recehan yang tertinggal. Dia lalu menghela napas dan bingung, mau melanjutkan perjalanan atau pulang saja?
"Kalau Mbak mau ke sana, ini kukasih uang buat naik angkot, Mbak." Selembar uang dua puluh ribu disodorkan pada Garwita. Namun, dia langsung menolak karena sungkan.
"Enggak papa, ambil saja," paksa si ibu. Garwita tak bisa lagi menolak, dia ucapkan terima kasih berkali-kali sambil memeluk ibu-ibu yang menolongnya.
Garwita lalu pamit dan kembali melangkah, seperti yang dituduhkan ibu tadi kalau jalan ke arah barat sekitar lima ratus meter ada pangkalan angkot. Tidak mudah, sesekali Garwita berjinjit karena kakinya terasa panas ketika memijak aspal. Untungnya sudah sampai tujuan. Garwita langsung bertanya pada sopir angkot, lalu masuk dan duduk bersama penumpang lain.
***
Panas yang terik membuat peluh di wajah Garwita menetes-netes. Dia hanya bisa mengusapnya dengan ujung jilbab lalu memakai telapak tangannya untuk menutupi sinar menatari ke wajah.
Kakinya semakin terasa perih, namun Garwita tak ingin menyerah. Baginya Ray sudah ada di depan mata. Dia tak boleh menyiakan kesempatan ini.
Garwita berhenti lalu melihat ke sekeliling di mana jejeran rumah-rumah yang tampak megah berdiri, hampir semuanya tampak mewah dan bisa ditebak jika yang menghuni adalah orang-orang kaya. Garwita melihat seorang security kompleks yang berada di pos ujung jalan sebelum memasuki jalan itu.
"Permisi, Pak, boleh tanya ... apa di sini kompleks perumahan Mawarni?"
Security tadi mengangguk lalu membaca alamat yang dituduhkan Garwita. "Oh rumah Taun Abash. Lurus saja, Mbak. Rumah yang paling ujung yang ada gerbang tingginya ya itu ... cuma satu di sini," ujarnya.
Garwita tersenyum, binar matanya kembali terbit. Rasa lelah dan pusing yang sesaat tadi terasa seakan-akan langsung menyusut dan hilang. Dengan penuh semangat dan harapan Garwita berjalan lagi ke tempat yang ditunjukkan.
Di depan gerbang yang menjulang tinggi, Garwita berhenti. Dia celingak-celinguk lagi, bingung bagaimana caranya masuk. Lalu tatapannya beralih ke sebelah kanan di mana ada bel yang tertempel. Benda tak asing, yang sering Garwita lihat di TV itu lalu dia pencet beberapa kali. Tak lama seorang berpakaian security membuka gerbang lalu menanyai Garwita. Dia pun langsung bicara maksudnya datang kemari, Garwita menunggu beberapa menit karena security kembali masuk untuk bicara dengan tuannya.
"Silahkan masuk, Mbak!" titah security.
Pandangan Garwita menyapu sekeliling, rumah itu bukan hanya terlihat besar tapi memang sangat besar bagi Garwita. Dilihatnya mobil yang berjejer di area parkir.
"Ini rumah atau hotel? Benarkah ini rumah Mas Ray?" batin Garwita merasa sangat udik dan minder.
Sampai di depan pintu, Garwita memastikan lagi kalau kakinya tidak kotor. Belum sempat mengetuk pintu, sudah terbuka lebih dulu.
"Silahkan masuk, Mbak!" seorang paruh baya berpenampilan seperti pembantu langsung menyambut kedatangan Garwita, lalu disuruhnya duduk di ruang tamu.
Garwita menelan ludah ketika melihat seisi rumah sangat mewah. Ini pertama kalinya Garwita melihat langsung rumah orang kaya dengan perabot berisi barang-barang mahal. Lampu besar yang terpasang di tengah-tengah menarik perhatian Garwita, dia mengira mungkin terbuat dari kristal karena berkilauan, sangat indah dan besar.
Suara langkah seseorang membuat Garwita gugup, dia menegapkan duduknya dan bersiap melihat siapa yang datang. Mungkin saja itu Mas Ray? pikir Garwita. Namun, yang muncul justru seorang wanita.
Mata Garwita melebar ketika melihatnya, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dengan penmpilan berwibawa dan elegan. Dari wajahnya Garwita bisa menebak kalau dia benar-benar mamahnya Ray. Mata sipit khas orang chinese, sementara bentuk wajah dan yang lainnya khas orang Jawa.
Ray pernah bilang, jika dia keturunan campuran. Ayahnya berasal dari Pakistan sementara mamahnya orang Indo asli berdarah China-Jawa. Kini Garwita tahu, mata sipit Gandra berasal dari mana, bukan ayahnya tapi lebih mirip dengan neneknya ini.
Mamah Ray duduk, tatapannya tegas dan tajam. Belum apa-apa Garwita sudah merasa deg-degan dan gugup.
"Ada kepentingan apa mencari saya?" tanya wanita bernama Mega, tanpa basa-basi dan sapaan ramah pada Garwita.
"Ma--af, Bu," ucap Garwita terbata. Keringat dingin mulai membanjiri keningnya. "Kedatanganku kemari untuk mencari Mas Raykarian. Kami sudah menikah, tetapi hampir lima tahun ini dia pergi dan menghilang. Aku hanya ingin tahu keberadaannya dan kenapa dia lepas tanggung jawab," lanjut Garwita.
Mega mendengarkan dengan seksama sembari memandangi wanita muda di depannya. Dalam dadanya ikut merasa sesak, dia tahu tentang pernikahan anaknya tapi baru kali ini melihat langsung bagaimana rupa menantunya, sekali pun cantik tapi terkesan menyedihkan! Bahkan tak sebanding dengan anaknya Ray.
Saat seperti ini akan tiba, Mega tahu dia bahkan sudah mempersiapkan diri sejak lama andai seorang wanita datang dan mengaku sebagai istri anaknya.
Helaan napas dari Mega semakin menambah rasa tak enak dari Garwita.
"Jika putra saya sudah meninggalkanmu selama lima tahun kenapa kamu masih bersikap bodoh dengan menunggunya? Padahal bisa saja kamu menggugat cerai ke pengadilan agama! Tak perlu jauh-jauh kemari hanya untuk mendapatkan talak dari Ray!" Nada bicara Mega masih terkesan datar tapi terdengar menyakitkan di telinga Garwita.
Garwita tertegun, bukan itu tujuannya kemari. Dia justru ingin bertemu dengan Ray karena masih berharap bisa bersama lagi. Selama ditinggalkan jujur saja tak terbesit dalam benak Garwita untuk berpisah, itu sebabnya dia memilih tutup telinga rapat-rapat dari semua perkataan orang-orang yang menyudutkannya untuk mengajukkan gugatan cerai.
Kalau Garwita mau, tentu saja sudah dia lakukan sejak dulu, datang ke pengadilan agama dan meminta bantuan hakim untuk bercerai tanpa menunggu talak dari Ray, dengan bukti dan saksi-saksi yang tahu bagaimana Ray tak bertanggung jawab selama pergi meninggalkannya. Namun, itu tak dilakukannya karena rasa yang dalam juga harapannya akan Gandra bisa melihat seperti apa ayahnya.
"Ray pergi jauh, dia menyusul ayahnya ke Pakistan dan bertemu wanita cantik di sana. Mereka menikah dan sekarang hidup bahagia," ucap Mega dengan rasa tega yang dipaksakan.
"Mas Ray menikah lagi?" batin Garwita, seketika hatinya teras patah dan hancur. Dulu Ray memintanya untuk menunggu, namun kenyataanya tak sesuai harapan. Lelaki itu justru menghianatinya.
"Ibu bohong kan?" polos Garwita menatap Mega.
Mega menyodorkan sebuah foto dimana ada gambar Ray dan seorang wanita berhidung mancung dengan mata kecoklatan khas orang-orang timur, cantik. Jika dibandingan dengan Garwita tentu saja tak ada apa-apanya.
Air mata Garwita lolos saat melihat foto itu. Ray tersenyum lebar dengan tangan merangkul pundak si wanita, wajah tampannya semakin terpancar jelas juga binar kebahagiaan.
Mega memberi kode pada pembantunya untuk mengambilkan ponsel.
"Ini, jika ingin bukti yang semakin jelas!" Mega kembali menambah kepedihan Garwita dengan video Ray bersama wanita itu sedang bercanda gurau di pantai.
Rindu, satu kata yang tak bisa hilang ketika Garwita melihat Ray dalam rekaman meski jutaan pedih dan sakit mulai menyerangnya, rindu itu tetap yang paling dominan.
"Ray tak mungkin kembali padamu. Jadi saran saya, uruslah perceraianmu sendiri!" tegas Mega dengan raut kaku yang dia buat sekejam mungkin, agar wanita ringkih di depannya cepat berlalu.
Garwita menggeleng pelan, pipinya sudah sangat basah. Bibirnya gemetar tak bisa berkata-kata lagi.
"Tapi ... bagaimana dengan buah hati kami?" gumam Garwita dengan suara yang lirih, bersamaan dengan itu suara gaduh dari lantai atas mengusik suasana tegang di sini.
Pyaaar!
Suara pecahan gelas dari lantai atas membuat mereka terkejut dan diam bersamaan. Mega melirik pembantunya sebegai kode untuk melihat apa yang terjadi.
Bi Sumi yang sudah mengabdikan dirinya dari Ray masih kecil sampai sekarang, bergegas naik ke tangga dan mendekat ke sumber suara. Sementara Mega kembali melanjutkan perbincangan dengan Garwita.
Garwita masih menunduk sembari menyeka air matanya. Mega memalingkan wajah, hatinya ikut merasa perih melihat sesama wanita menangis sesenggukkan. Namun, Mega harus tak acuh.
"Boleh sekali saja aku mendengar suaranya? Aku ingin Mas Ray menjatuhkan talak secara langsung, tolong hubungi Mas Ray lewat telepon, Bu," pinta Garwita untuk terakhir kalinya.
Mega menggeleng, dengan tegas dia tak ingin menurutinya. Dia beralasan bahwa Ray sibuk. "Ray sudah menelantarkanmu, kamu punya banyak bukti untuk mengajukan gugatan cerai, jadi tak perlu lagi mencari-cari Ray." Lagi-lagi Mega mengulangi saran yang sama.
Pernikahan siri yang dilakukan Garwita tidak terdaftar secara tertulis di negara tetapi pernikahannya sah. Selama Ray tidak menjatuhkan talak, Garwita juga tidak mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama hubungan mereka masih sah suami-istri. Karena ketika Garwita melangsungkan pernikahaannya, tak ada surat atau perjanjian tertulis setelah menikah misal kapan jatuhnya talak jika suami lepas tanggung jawab atau tidak menafkahi lahir-batin, seperti layaknya pernikahan resmi yang tertulis di akta nikah.
Jika Garwita ingin terlepas dari ikatan pernikahaanya dengan Ray. Sementara Ray tidak menjatuhkan talak, jalan satu-satunya dia harus datang ke pengadilan agama setempat atau KUA membuat permohonan isbat nikah atau pengesahan atas pernikahan yang telah berlangsung lalu mengajukkan aduan atau gugatan dengan bukti-bukti adanya penyelewengan atau perbuatan Ray yang lepas tanggung jawab. Setelahnya meminta bantuan pengadilan agama untuk memberikan surat keterangan telah jatuh talak cerai kepada Garwita.
"Pulanglah dan bawa ini!" Mega melempar amplop berwarna coklat ke meja tepat di hadapan Garwita. Bisa ditebak jika isinya adalah uang. Mega memberinya karena kasian dengan penampilan Garwita.
Garwita langsung menolaknya lalu berdiri ingin beranjak. Dia pikir berada di sini lebih lama pun percuma karena Ray ada di luar negri, sementara hatinya sudah hancur berkeping-keping.
Sopan santun masih Garwita jaga, bahkan sampai detik ini dia tak menunjukkan rasa marahnya. Dia lalu pamit dan meninggalkan Mega dengan mencium tangannya lebih dulu. Mega tak mampu menolak, dia hanya diam mematung sembari memandangi amplop yang diabaikan Garwita.
Wanita muda itu lalu berlari keluar dengan tergesa dan tanpa alas kaki.
Ada penyesalan yang menyeruak dalam dada Mega kenapa dia buat drama semenyedihkan ini. Namun, semua dia lakukan demi anaknya Ray yang sedang tak baik-baik saja.
"Apa yang terjadi, Bi?" tanya Mega setelah Sumi kembali turun.
"Seperti biasanya, Nyonya ... Den Ray membanting gelas."
Mega menghela napas, dia berjalan ingin ke lantai atas tapi urung ketika mengingat sesuatu. "Bi, apa tadi dia bicara tentang anak?" tanya Mega ragu dengan pendengarannya.
Bi Sumi mendongak. "Saya tak yakin, tapi saya kira mendengar tentang 'buah hati kami' apa mungkin yang dimaksud anak dari wanita itu dan Den Ray?"
Kini Mega dan Bi Sumi saling tatap dan menyadari akan sesuatu. Mega urung untuk ke kamar anaknya, dia berlari keluar dengan tergesa-gesa berharap masih bisa bertemu dengan wanita muda itu.
Pencarian Kala tak membuahkan hasil, padahal dia sudah berkeliling cukup jauh. Dia mulai menepi lalu berhenti sejenak untuk berpikir. "Kalau Garwita pergi untuk mencari Ray, kenapa aku tak melakukan hal yang sama? Mungkin saja dengan aku mencari tujuan yang sama bisa menemukan Garwita di sana?" batin Kala lalu memukul kepalanya kenapa sedari tadi malah berputar-putar bukannya langsung ke alamat. "Bodoh!" gumam Kala pada diri sendiri. Motor metik berwarna hitam itu kembali melesat menyusuri jalanan. Kala masih mengingat jelas setiap detail yang diucapakan ibu-ibu cleaning service di klinik Andalan. Dia yakin, berbekal ingatan dan nama Tuan Abash bisa menemukan alamat itu. *** Garwita berlari sembari menyeka air matanya, tak dihiraukannya kaki yang semakin lecet dan berdarah. Harapan yang telah hancur membuat rasa sakit di badan tak lagi terasa karena yang lebih memilukan justru ada di dalam dada, sakit di hati yang amat dalam. Kepala Garwita dipenuhi dengan prasangka dan tebak me
Kala melihat Garwita sedang mengemasi bajunya ke tas, dia mengernyit untuk apa wanita itu melakukan itu?"Kamu mau pulang?" tanya Kala membuat Garwita berjengit. Garwita mengangguk. "Pencarianku sudah selesai. Aku harus cepat pulang untuk Gandra," balasnya dengan seulas senyum. Senyum yang selalu Garwita tunjukkan sekali pun hati sedang gerimis. Kala bersender ke tembok dengan tangan bersedekap. "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" Sejenak Garwita berpikir, namun tak ada dalam benaknya sesuatu yang ingin dia lakukan setelah ini. Usai tahu tentang Ray dan harapan itu hancur dalam sekejap, dia berasa tak punya harapan yang harus diperjuangkan. "Seperti biasa lagi. Kerja untuk Gandra," balas Garwita tak ingin membuat kepalanya pusing dengan mencari-cari rencana. "Kamu tidak akan menggugat cerai?" Kala bicara dengan tatapan serius pada Garwita. Wanita itu menghela napas dalam, rasa syoknya seakan-akan masih mencekik ingatan. Garwita ingin menolak untuk percaya bahwa Ray meningga
Sampai di rumah sakit Garwita langsung berlari menuju ruangan di mana Kala dirawat, dia sudah dipindahkan dari UGD. Air mata Garwita terus mengalir, dia tergopoh-gopoh sambil menyekanya. Ketika pintu dibuka terlihatlah Kala yang sedang berbaring dengan perban dibagian kepala juga tangan. Dia masih memejam, pikir Garwita karena belum sadarkan diri. "Mas, kamu ndak papa kan?" tangis Garwita pecah sampai sesenggukan melihat Kala dengan kondisi begitu. "Mas, bangun!" Garwita merengek seperti anak kecil. Dia terduduk di kursi samping ranjang sembari meremas tepian ranjang. Kala yang tadinya ingin tidur merasa terganggu. Awalnya dia kira berhalusinasi tapi suara khas Garwita membuatnya mengerjap dan mendapati wanita itu sedang menangis untuknya. Kala masih diam dan pura-pura memejam, tapi senyum tipisnya tak bisa disembunyikan. Masih terdengar tangisan Garwita yang lebih mirip seperti anak kecil, lama-lama Kala tak tahan juga ingin tertawa. "Aku enggak papa, Sayang, cep cep cep!" ucap
q"Witaku ...," gumam Ray nyaris tanpa suara.***Garwita celingak-celinguk di ruang rawat karena tak melihat Hana ada di sana. "Cari apa?" "Mmm, pacarmu sudah pulang, Mas?" tanya Garwita pada Kala yang duduk dengan menyenderkan punggungnya di kepala ranjang."Sudah, dia bukan pacarku," jawab Kala. Lalu menyuruh Garwita agar duduk kursi dekatnya. "Aku lapar, Wit." Garwita mengernyit, dilihatnya makanan yang sudah disediakan pihak rumah sakit di meja nakas. "Mau makan?" Garwita mengambil nampan berisi makanan dia ingin meletakannya di pangkuan Kala agar lebih mudah menjakaunya. "Ish, kamu enggak lihat tanganku kena cekal semua? Suapin!" pinta Kala manja. Gerwita tersenyum geli. "Yang cedera kan tangan kirimu saja, Mas! Tangan kanan masih bisa bergerak!""Tapi kan ada selang infusnya, Wit! Gimana kalau pas makan terus copot? Pokoknya suapin!" Garwita tak bisa lagi menolak, tangan kanan Kala memang diinfus. Bisa saja Kala makan sendiri, tapi niatnya sedari tadi menunggu Garwita
"Mas, bisa melakukannya sendiri kan?" tanya Garwita ragu. Tangan Kala yang memakai arm sling, mungkin akan menyulitkannya untuk mandi. Kala tertawa pelan. "Memangnya kalau enggak bisa kamu mau bantu?" Kala menarik turunkan alisnya."Ish, ya ... aku bakal panggilin Gendon atau bapak pemilik kontrakan buat bantu kamu mandi," canda Garwita dengan senyum puas. Kala mengerucutkan bibirnya, dan memilih masuk ke kamar mandi. Dua hari berada di rumah sakit dan sekarang sudah dibolehkan untuk pulang keadaan Kala sudah membaik tinggal tangannya saja yang butuh waktu lebih lama untuk penyembuhan.Pagi ini, adalah hari terakhir Garwita di kota, Kala akan mengantarnya ke terminal. ***Garwita sudah bersiap dengan baju baru yang dibelikan Kala, gamis berwarna moka satu set dengan jilbab panjangnya. Bagus sekali, ini adalah baju Garwita yang terlihat paling mahal dan sangat pas di badannya. Kala terdiam ketika menunggu Garwita di teras kontrakan. Matanya melebar tanpa berkedip, sementara bibirnya
**Flashback"Dok, tolong!" teriak seorang gadis, tergopoh-gopoh memapah seorang wanita paruh baya dan membawanya ke puskesmas. Ray dengan tanggap menyuruh satu perawat untuk membawakan brankar dan mendorong masuk pasien yang terlihat begitu lemas. Cekatan para petugas medis yang berjaga memeriksa wanita itu. Sementara anak gadisnya menunggu di luar. Sudah hampir tiga hari Ijah sakit perut dari mual muntah sampai diare. Garwita yang panik langsung membawa emaknya ke puskesmas. Saat itu dia baru saja selesai mencuci baju. Dengan gusar Garwita menunggu sembari mondar-mandir di depan ruang rawat. Puskesmas kampung tidaklah besar hanya memiliki dua gedung ukuran sedang. Suara deritan pintu membuat Garwita langsung menoleh dan menyongsong petugas medis yang keluar dari sana. "Dok, bagaimana kondisi emakku?" tanya Garwita cemas. Ray tersenyum ramah, dia tahu jika seseorang di depannya pasti sedang gugup dan panik. "Ibumu terkena gastroenteritis atau muntaber, jadi harus dirawat inap. T
"Katakan, Garwita! Apa yang terjadi?" Nanto berdiri di depan Garwita dengan berkacang pinggang."I--iya, Pak. Mas Ray menikah lagi," balas Garwita. Dia memejam sembari menggigit bibir bawahnya. Nanto mengacak rambut lalu berbalik dan meremas kepala kursi. "Bapak sudah bilang, baiknya memang kamu bercerai! Sekarang terbukti semuanya kan?" Garwita yang ditatap dengan mata malotot tentu ketakutan. Ijah mengusap-usap pundak Garwita."Sudah, Pak, sudah. Mungkin ini sudah takdir," sela Ijah ikut menangis."Memang dasar anak ngeyel! Menunggumu tak ada arti! Bapak tak mau tahu, secepatnya urus perceraian kalian!" bentak Nanto lalu kembali keluar rumah. Dia tak lagi menghiraukan anak dan istrinya yang masih menangis. Dadanya terasa memanas dan jika tetap berada di rumah mungkin Nanto akan semakin mengamuk karena Garwita yang sedari dulu tak pernah mendengarkan sarannya."Buuu ... Ibu," panggil Gandra sembari meracau. Matanya masih memejam tapi bibirnya gemetaran. "Sayang, ini Ibu! Bangun, G
"Ayo, Mbak Wita, cepat! Juragan Jarwo sudah menunggu," ujar Surti sembari melangkah lebih dulu. Mau tak mau Garwita membuntut. "Gan, sama nenek bentar ya!" ucap Garwita ketika pamit. Gandra yang tahu ibunya akan pergi langsung menggeleng dan berlari mengejar. Gandra meraih tangan Garwita dan merengek ingin ikut bersamanya. Akhirnya mereka berdua berjalan bersama. Surti lebih dulu berjalan di depan.Matahari sangat terik, tetapi jalanan kampung yang pinggirannya dipenuhi pohon berdaun rindang membuat teduh. Apalagi mereka berjalan lewat jalan pintas, gang yang masih berupa tanah dan remukkan batu kapur. Gandra mengayun-ayunkan genggaman tangan sembari bernyanyi riang, dia sama sekali tak tahu keresahan yang sedang dipikirkan Garwita karena tetap memasang senyum ketika Gandra menatapnya. Sampai di depan sebuah rumah berbentuk joglo, Garwita berhenti. Rumah juragan Jarwo memiliki desain tradisional khas orang-orang Jawa ningrat jaman dulu. Dia sengaja tak mengubahnya menjadi bangunan
Braaak!Cara terakhir agar Topan tahu kondisi tuannya adalah dengan mendobrak pintu. Pintu terbuka lebar, terlihat jelas Ray yang jatuh dari kursi roda lalu melempar apa saja yang bisa digapai tangannya. Telapak tangannya sampai berdarah karena tergores serpihan gelas. "Anda baik-baik saja, Tuan?" Sigap Topan memapah Ray dan mendudukkannya ke ranjang. Sayangnya lelaki itu justru marah dan langsung mengusir Topan lagi."Pergi dan tutup pintunya!" teriak Ray dengan mata nyalang dan menunjuk ke arah pintu. Topan bisa lihat darah segar yang menetes dari telapak tangan Ray. Tapi tak ingin dia semakin marah membuat Topan hanya bisa menghela napas lalu keluar. *** Di lain tempat, Gandra sudah tertidur pulas sementara Garwita tak bisa tidur terlebih Nanto pulang dan dia memanggil-manggil Garwita untuk menyuruhnya membuat minuman. Mau tak mau wanita muda itu berjalan ke dapur dan menyeduh kopi untuk Nanto. Ijah yang kelelahan sudah tertidur di dipan depan dengan TV yang masih menyala. "Ini
"Gandra?" Garwita kaget melihat Gandra dan Kala ada di depan rumah Ray. "Mas Kala?" lirihnya. Ray melihat dua lelaki beda usia itu menanti Garwita, lalu dia balik menoleh pada Garwita yang masih mematung. "Gandra, sini!" panggil Ray dengan suara serak sambil melambaikan tangan takut anak itu tak dengar. "Om Kala, aku turun dulu ya?" pinta Gandra lalu menghampiri ibunya dan Ray. Sementara Kala masih berdiam di tepi jalan. Kali ini dia merasa sangat canggung, apalagi sikap Garwita yang terkesan cuek. Padahal, biasanya kalau Garwita melihatnya pulang akan berteriak antusias bahkan kegirangan seperti anak kecil."Tuan, aku pamit," ucap Garwita setelah Gandra dan Ray saling memeluk dan saling salam tinju dengan kepalan tangan. Mereka berdua tampak sangat akrab.Ada rasa aneh yang Kala lihat pada lelaki di kursi roda itu, kenapa memakai pakaian serba tertutup di dalam rumah, bahkan memakai masker dan mantel jaket.Kala bersedekap dengan mata melihat ke arah mereka, dari adegan yang disugu
"Ish, apaan sih Mas Rudi. Sudah dibilang ndak mau!" Garwita mendorong ponsel Rudi agar menjauh dari wajahnya."Wita!" Suara dari ponsel membuat Garwita dan Rudi yang sedang bergurau langsung diam dengan cepat Rudi meletakan ponselnya di tangan Garwita. Wanita itu tak mampu lagi menolak karena di layar, Kala sudah melihatnya. "Ya, Mas?" balas Garwita kemudian. "Kamu baik?" Kala terlihat sedang mengamati wajah Garwita dari balik layar. "Alhamdulillah, Baik. Mas Kala gimana?" Kala tak langsung menjawab, dia terkekeh-kekeh sejenak. "Ya enggak gimana-mana. Ini lagi sakit!" "Mas Kala sakit?" Garwita berubah penasaran. Dia mengangkat lebih tinggi tangannya agar jelas melihat Kala. "Ya, sakit rindu!" jawab Kala dengan tawa pecah. Garwita cemberut, tetapi semburat merah di pipinya tak bisa dia sembunyikan. "Halah, gombal!" Garwita memiring-miringkan bibirnya. "Serius! Oiya, kenapa enggak mau aktifin ponselnya?" Kala kembali mendesak Garwita. Wanita itu menggeleng, perasaan tak enaknya
Ehem! Ray berdeham lalu mengalihkan pandangannya keluar jendela. Garwita pun melakukan hal yang sama, dia dibuat gugup sesaat tadi. Sementara Topan yang melihat hanya bisa tersenyum tipis. Dia tidak tahu bagaimana nasib tuannya ke depan, hanya saja doanya selalu ingin yang terbaik Ray bisa sembuh lalu membangun kembali keluaraga yang utuh. "Om, kalau besar nanti Gandra juga pengen bisa nyetir mobil!" celetuk Gandra pada Topan. Lelaki botak itu langsung tertawa geli. "Boleh saja, Gan. Besar nanti pasti kamu bakal punya mobil banyak, bukan cuma mainan!" yakin Topan meski dengan nada bercanda. Mau bagaimana pun, Ray adalah pewaris satu-satunya keluaraga tuan Abash, sementara sekarang hanya Gandra lah keturunan dari Ray. "Om Botak! Lihat itu!" Gandra menunjuk ke patung gajah yang berada di depan sebuah gedung. "Besar sekali!" Dia berdecak kagum."Gandra, jangan panggil begitu!" tegur Garwita merasa anaknya tak sopan memanggil Topan dengan sebutan botak."Tak masalah, Mbak, justru saya
Garwita membuka kotak putih itu dan memang benar berisi smart phone. Lalu di dalamnya terselip sebuah surat kecil. Gandra meraih ponsel itu, dia begitu penasaran dan ingin memegang seperti apa ponsel. Sementara Garwita membaca suratnya. Pesan itu diawali sebuah salam lalu langsung pada intinya, hanya beberapa baris saja yang membuat Garwita tahu siapa pengirimnya. [Garwita, apa kabarmu? Sampai dengan selamat bukan? Aku lupa kemarin ingin memberikan ini padamu agar bisa berkomunikasi dengan siapa saja. Gandra pasti pun akan senang. Tolong aktifkan ponselnya, dia dalam sudah ada kartu seluler. Aku tak sabar ingin menelpon dan melihat wajah Gandra.] "Mas Kala?" batin Garwita. Dia merasa tak enak hati diberi barang semahal ini, dia tebak pasti harganya jutaan. Mengingat kata yang juragan Jarwo wanti-wanti kemarin, Garwita pun urung mengaktifkan ponsel itu. Dia mengambil kembali dari Gandra lalu menyimpannya, mungkin akan mengembalikannya jika Kala pulang nanti."Yah, Bu, kok diambil? G
"Aaa, moster!" teriak Gandra ketakutan saat melihat seseorang di dalam mobil memakai kacamata hitam dengan wajah penuh luka bakar. Ray lupa tak memakai masker. "Heh, ndak boleh bilang gitu, Le!" tegur Ijah memperingatkan cucunya. "Maaf ya, Pak, cucu saya kadang cuma asal nyeplos," kata Ijah pada Ray dengan wajah tak enak hati. Sementara Gandra langsung berlari lebih dulu, Ijah membuntuti. Ray menutup kaca jendela. Dia sandarkan punggung ke jok, ada yang berasa perih dalam dadanya. Bukan karena penolakan dari anaknya, tapi ini jauh lebih buruk. Anaknya sendiri takut, dan bilang kalau dia seperti moster. Ray memejamkan mata, menahan rasa sesak di dada. Dia hela napas dalam dan kembali menenangkan diri. "Maafkan, Ayah," gumam Ray. Dia lalu menyuruh Topan untuk melajukan mobil dan langsung pulang ke rumah. ***Garwita menemui Topan yang sedang duduk di kursi depan. "Maaf, Mas, aku kesorean." Garwita tak enak hati ketika sampai di rumah majikannya pukul lima. "Tak masalah, Mbak. T
"Panggil saja Tuan Rian, Mbak!" balas Topan tiba-tiba. Dia sudah berdiri di belakang Garwita. "Tuan Rian? Oh baiklah, terima kasih." Garwita menundukkan kepalanya sebagai isyarat pamit dengan senyum merekah lalu kembali undur diri. "Namanya Rian? Ah ya, Rian," batin Garwita terus mengingat-ingat. Pukul setengah delapan, waktu yang longgar untuk menuju ladang. Dia mengayuh sepeda dengan santai kali ini. Sinar mentari mulai terasa hangat-hangat kuku. "Wita!" panggil Nanto yang sudah berdiri di tepi jalan. Tadinya Garwita tak tahu jika beberapa orang yang mengerumun di tepi jalan ada bapaknya. Nanto memberi isyarat agar Garwita berhenti dan mendekat. "Ada apa, Pak?" Garwita melirik ke arah orang yang bersama Nanto. Dia paham betul lima orang itu adalah juragan Margono dan para pengikutnya. Untuk apa bapaknya ikut juga bersama mereka? Apa mungkin Nanto sekarang bekerja untuk juragan Margono? Batin Garwita mulai resah lalu mengingat ucapan Karmi kemarin siang. "Kamu mau berangkat ke
"Mmm maaf, Mas, aku dengar di sini sedang cari orang buat jadi pembantu. Apa benar?" tanya Garwita memastikan."Oh, jadi mbaknya mau melamar kerja di sini?" Topan melontarkan seulas senyum, dalam benaknya merasa lega. Ternyata rencana menyuruh Imah untuk memberi infomasi perkerjaan pada Garwita disambut langsung oleh wanita itu. "Iya, Mas, semisal ada aku mau!" balas Garwita antusias.Topan tak langsung menjawab, dia pamit pada Garwita untuk bertanya pada tuannya. Topan masuk ke rumah sementara Garwita menunggu di luar.Di ruang tamu Topan mendapati Ray yang sudah duduk di balik tirai, dia pun langsung mengatakan maksud wanita itu datang. Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, Ray merasa senang tanpa bersusah payah ternyata Garwita sendiri yang langsung mendekat padanya. "Katakan padanya jika mulai besok sudah boleh bekerja, hanya untuk pagi dan sore. Karjanya memasak di sini, setelah itu dia boleh langsung pulang. Dan kusus hari minggu dia harus datang dan membersihkan rumah ini." Ra
Dua bulan berlalu setalah Garwita resmi bercerai dari Raykarian. Dia menjalani hari seperti biasanya, hanya saja status yang sudah berganti membuatnya harus lebih hati-hati dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Apalagi sekarang masih dalam masa idah. Garwita terduduk di bawah pohon kelapa yang berada di tengah ladang milik juraga Jarwo. Dia berisitirahat sejenak setelah tadi berkerja keras bersama pekerja lainnya memanen daun tembakau pertama. Garwita memandangi tanaman hijau di sebalah selatan yang tumbuh subur dengan duan-daun lebar yang belum selesai dipanen. "Makan dulu, Wit, kamu bawa bekel ndak?" tanya Karmi, wanita paruh baya yang sudah lama bekerja pada juragan Jarwo, usianya tak beda jauh dengan Ijah. Sayangnya, Ijah yang sakit-sakitan sudah tak bisa lagi bekerja berat. Jadi, Garwita memintanya agar tetap di rumah."Bawa, kok, uwa Karmi. Pake lauk apa?" Garwita membuka kotak nasinya, lalu melongok ke arah makanan yang dibawa Karmi menggunakan kertas minyak. Mereka makan b