Share

Bab 5

Author: Ratu As
last update Huling Na-update: 2023-05-24 16:03:03

"Oalah, ke sini? Ini mah masih jauh, Mbak!" ujar seseorang membaca alamat yang dituduhkan. 

"Jadi bukan di sini ya, Bu?" Garwita mulai merasa bimbang. 

"Iya, Mbak. Paling enggak ada satu jam naik angkot." Wanita kurus itu menjawab, dari matanya terpancar rasa iba dan kasian. Apalagi ketika melihat kaki Garwita terluka.

Garwita merogoh saku bajunya, tak ada sepeser pun recehan yang tertinggal. Dia lalu menghela napas dan bingung, mau melanjutkan perjalanan atau pulang saja? 

"Kalau Mbak mau ke sana, ini kukasih uang buat naik angkot, Mbak." Selembar uang dua puluh ribu disodorkan pada Garwita. Namun, dia langsung menolak karena sungkan.

"Enggak papa, ambil saja," paksa si ibu. Garwita tak bisa lagi menolak, dia ucapkan terima kasih berkali-kali sambil memeluk ibu-ibu yang menolongnya. 

Garwita lalu pamit dan kembali melangkah, seperti yang dituduhkan ibu tadi kalau jalan ke arah barat sekitar lima ratus meter ada pangkalan angkot. Tidak mudah, sesekali Garwita berjinjit karena kakinya terasa panas ketika memijak aspal. Untungnya sudah sampai tujuan. Garwita langsung bertanya pada sopir angkot, lalu masuk dan duduk bersama penumpang lain.

***

Panas yang terik membuat peluh di wajah Garwita menetes-netes. Dia hanya bisa mengusapnya dengan ujung jilbab lalu memakai telapak tangannya untuk menutupi sinar menatari ke wajah. 

Kakinya semakin terasa perih, namun Garwita tak ingin menyerah. Baginya Ray sudah ada di depan mata. Dia tak boleh menyiakan kesempatan ini. 

Garwita berhenti lalu melihat ke sekeliling di mana jejeran rumah-rumah yang tampak megah berdiri, hampir semuanya tampak mewah dan bisa ditebak jika yang menghuni adalah orang-orang kaya. Garwita melihat seorang security kompleks yang berada di pos ujung jalan sebelum memasuki jalan itu. 

"Permisi, Pak, boleh tanya ... apa di sini kompleks perumahan Mawarni?" 

Security tadi mengangguk lalu membaca alamat yang dituduhkan Garwita. "Oh rumah Taun Abash. Lurus saja, Mbak. Rumah yang paling ujung yang ada gerbang tingginya ya itu ... cuma satu di sini," ujarnya. 

Garwita tersenyum, binar matanya kembali terbit. Rasa lelah dan pusing yang sesaat tadi terasa seakan-akan langsung menyusut dan hilang. Dengan penuh semangat dan harapan Garwita berjalan lagi ke tempat yang ditunjukkan. 

Di depan gerbang yang menjulang tinggi, Garwita berhenti. Dia celingak-celinguk lagi, bingung bagaimana caranya masuk. Lalu tatapannya beralih ke sebelah kanan di mana ada bel yang tertempel. Benda tak asing, yang sering Garwita lihat di TV itu lalu dia pencet beberapa kali. Tak lama seorang berpakaian security membuka gerbang lalu menanyai Garwita. Dia pun langsung bicara maksudnya datang kemari, Garwita menunggu beberapa menit karena security kembali masuk untuk bicara dengan tuannya. 

"Silahkan masuk, Mbak!" titah security. 

Pandangan Garwita menyapu sekeliling, rumah itu bukan hanya terlihat besar tapi memang sangat besar bagi Garwita. Dilihatnya mobil yang berjejer di area parkir. 

"Ini rumah atau hotel? Benarkah ini rumah Mas Ray?" batin Garwita merasa sangat udik dan minder. 

Sampai di depan pintu, Garwita memastikan lagi kalau kakinya tidak kotor. Belum sempat mengetuk pintu, sudah terbuka lebih dulu. 

"Silahkan masuk, Mbak!" seorang paruh baya berpenampilan seperti pembantu langsung menyambut kedatangan Garwita, lalu disuruhnya duduk di ruang tamu. 

Garwita menelan ludah ketika melihat seisi rumah sangat mewah. Ini pertama kalinya Garwita melihat langsung rumah orang kaya dengan perabot berisi barang-barang mahal. Lampu besar yang terpasang di tengah-tengah menarik perhatian Garwita, dia mengira mungkin terbuat dari kristal karena berkilauan, sangat indah dan besar. 

Suara langkah seseorang membuat Garwita gugup, dia menegapkan duduknya dan bersiap melihat siapa yang datang. Mungkin saja itu Mas Ray? pikir Garwita. Namun, yang muncul justru seorang wanita. 

Mata Garwita melebar ketika melihatnya, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dengan penmpilan berwibawa dan elegan. Dari wajahnya Garwita bisa menebak kalau dia benar-benar mamahnya Ray. Mata sipit khas orang chinese, sementara bentuk wajah dan yang lainnya khas orang Jawa. 

Ray pernah bilang, jika dia keturunan campuran. Ayahnya berasal dari Pakistan sementara mamahnya orang Indo asli berdarah China-Jawa. Kini Garwita tahu, mata sipit Gandra berasal dari mana, bukan ayahnya tapi lebih mirip dengan neneknya ini. 

Mamah Ray duduk, tatapannya tegas dan tajam. Belum apa-apa Garwita sudah merasa deg-degan dan gugup. 

"Ada kepentingan apa mencari saya?" tanya wanita bernama Mega, tanpa basa-basi dan sapaan ramah pada Garwita. 

"Ma--af, Bu," ucap Garwita terbata. Keringat dingin mulai membanjiri keningnya. "Kedatanganku kemari untuk mencari Mas Raykarian. Kami sudah menikah, tetapi hampir lima tahun ini dia pergi dan menghilang. Aku hanya ingin tahu keberadaannya dan kenapa dia lepas tanggung jawab," lanjut Garwita. 

Mega mendengarkan dengan seksama sembari memandangi wanita muda di depannya. Dalam dadanya ikut merasa sesak, dia tahu tentang pernikahan anaknya tapi baru kali ini melihat langsung bagaimana rupa menantunya, sekali pun cantik tapi terkesan menyedihkan! Bahkan tak sebanding dengan anaknya Ray. 

Saat seperti ini akan tiba, Mega tahu dia bahkan sudah mempersiapkan diri sejak lama andai seorang wanita datang dan mengaku sebagai istri anaknya.

Helaan napas dari Mega semakin menambah rasa tak enak dari Garwita. 

"Jika putra saya sudah meninggalkanmu selama lima tahun kenapa kamu masih bersikap bodoh dengan menunggunya? Padahal bisa saja kamu menggugat cerai ke pengadilan agama! Tak perlu jauh-jauh kemari hanya untuk mendapatkan talak dari Ray!" Nada bicara Mega masih terkesan datar tapi terdengar menyakitkan di telinga Garwita.

Garwita tertegun, bukan itu tujuannya kemari. Dia justru ingin bertemu dengan Ray karena masih berharap bisa bersama lagi. Selama ditinggalkan jujur saja tak terbesit dalam benak Garwita untuk berpisah, itu sebabnya dia memilih tutup telinga rapat-rapat dari semua perkataan orang-orang yang menyudutkannya untuk mengajukkan gugatan cerai. 

Kalau Garwita mau, tentu saja sudah dia lakukan sejak dulu, datang ke pengadilan agama dan meminta bantuan hakim untuk bercerai tanpa menunggu talak dari Ray, dengan bukti dan saksi-saksi yang tahu bagaimana Ray tak bertanggung jawab selama pergi meninggalkannya. Namun, itu tak dilakukannya karena rasa yang dalam juga harapannya akan Gandra bisa melihat seperti apa ayahnya.

"Ray pergi jauh, dia menyusul ayahnya ke Pakistan dan bertemu wanita cantik di sana. Mereka menikah dan sekarang hidup bahagia," ucap Mega dengan rasa tega yang dipaksakan.

"Mas Ray menikah lagi?" batin Garwita, seketika hatinya teras patah dan hancur. Dulu Ray memintanya untuk menunggu, namun kenyataanya tak sesuai harapan. Lelaki itu justru menghianatinya.

"Ibu bohong kan?" polos Garwita menatap Mega.

Mega menyodorkan sebuah foto dimana ada gambar  Ray dan seorang wanita berhidung mancung dengan mata kecoklatan khas orang-orang timur, cantik. Jika dibandingan dengan Garwita tentu saja tak ada apa-apanya. 

Air mata Garwita lolos saat melihat foto itu. Ray tersenyum lebar dengan tangan merangkul pundak si wanita, wajah tampannya semakin terpancar jelas juga binar kebahagiaan. 

Mega memberi kode pada pembantunya untuk mengambilkan ponsel.

"Ini, jika ingin bukti yang semakin jelas!" Mega kembali menambah kepedihan Garwita dengan video Ray bersama wanita itu sedang bercanda gurau di pantai. 

Rindu, satu kata yang tak bisa hilang ketika Garwita melihat Ray dalam rekaman meski jutaan pedih dan sakit mulai menyerangnya, rindu itu tetap yang paling dominan.

"Ray tak mungkin kembali padamu. Jadi saran saya, uruslah perceraianmu sendiri!" tegas Mega dengan raut kaku yang dia buat sekejam mungkin, agar wanita ringkih di depannya cepat berlalu.

Garwita menggeleng pelan, pipinya sudah sangat basah. Bibirnya gemetar tak bisa berkata-kata lagi. 

"Tapi ... bagaimana dengan buah hati kami?" gumam Garwita dengan suara yang lirih, bersamaan dengan itu suara gaduh dari lantai atas mengusik suasana tegang di sini.

Pyaaar! 

Suara pecahan gelas dari lantai atas membuat mereka terkejut dan diam bersamaan. Mega melirik pembantunya sebegai kode untuk melihat apa yang terjadi.

Bi Sumi yang sudah mengabdikan dirinya dari Ray masih kecil sampai sekarang, bergegas naik ke tangga dan mendekat ke sumber suara. Sementara Mega kembali melanjutkan perbincangan dengan Garwita.

Garwita masih menunduk sembari menyeka air matanya. Mega memalingkan wajah, hatinya ikut merasa perih melihat sesama wanita menangis sesenggukkan. Namun, Mega harus tak acuh.

"Boleh sekali saja aku mendengar suaranya? Aku ingin Mas Ray menjatuhkan talak secara langsung, tolong hubungi Mas Ray lewat telepon, Bu," pinta Garwita untuk terakhir kalinya. 

Mega menggeleng, dengan tegas dia tak ingin menurutinya. Dia beralasan bahwa Ray sibuk. "Ray sudah menelantarkanmu, kamu punya banyak bukti untuk mengajukan gugatan cerai, jadi tak perlu lagi mencari-cari Ray." Lagi-lagi Mega mengulangi saran yang sama. 

Pernikahan siri yang dilakukan Garwita tidak terdaftar secara tertulis di negara tetapi pernikahannya sah. Selama Ray tidak menjatuhkan talak, Garwita juga tidak mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama hubungan mereka masih sah suami-istri. Karena ketika Garwita melangsungkan pernikahaannya, tak ada surat atau perjanjian tertulis setelah menikah misal kapan jatuhnya talak jika suami lepas tanggung jawab atau tidak menafkahi lahir-batin, seperti layaknya pernikahan resmi yang tertulis di akta nikah.

Jika Garwita ingin terlepas dari ikatan pernikahaanya dengan Ray. Sementara Ray tidak menjatuhkan talak, jalan satu-satunya dia harus datang ke pengadilan agama setempat atau KUA membuat permohonan isbat nikah atau pengesahan atas pernikahan yang telah berlangsung lalu mengajukkan aduan atau gugatan dengan bukti-bukti adanya penyelewengan atau perbuatan Ray yang lepas tanggung jawab. Setelahnya meminta bantuan pengadilan agama untuk memberikan surat keterangan telah jatuh talak cerai kepada Garwita.

"Pulanglah dan bawa ini!" Mega melempar amplop berwarna coklat ke meja tepat di hadapan Garwita. Bisa ditebak jika isinya adalah uang. Mega memberinya karena kasian dengan penampilan Garwita.

Garwita langsung menolaknya lalu berdiri ingin beranjak. Dia pikir berada di sini lebih lama pun percuma karena Ray ada di luar negri, sementara hatinya sudah hancur berkeping-keping. 

Sopan santun masih Garwita jaga, bahkan sampai detik ini dia tak menunjukkan rasa marahnya. Dia lalu pamit dan meninggalkan Mega dengan mencium tangannya lebih dulu. Mega tak mampu menolak, dia hanya diam mematung sembari memandangi amplop yang diabaikan Garwita. 

Wanita muda itu lalu berlari keluar dengan tergesa dan tanpa alas kaki. 

Ada penyesalan yang menyeruak dalam dada Mega kenapa dia buat drama semenyedihkan ini. Namun, semua dia lakukan demi anaknya Ray yang sedang tak baik-baik saja.

"Apa yang terjadi, Bi?" tanya Mega setelah Sumi kembali turun.

"Seperti biasanya, Nyonya ... Den Ray membanting gelas." 

Mega menghela napas, dia berjalan ingin ke lantai atas tapi urung ketika mengingat sesuatu. "Bi, apa tadi dia bicara tentang anak?" tanya Mega ragu dengan pendengarannya.

Bi Sumi mendongak. "Saya tak yakin, tapi saya kira mendengar tentang 'buah hati kami' apa mungkin yang dimaksud anak dari wanita itu dan Den Ray?" 

Kini Mega dan Bi Sumi saling tatap dan menyadari akan sesuatu. Mega urung untuk ke kamar anaknya, dia berlari keluar dengan tergesa-gesa berharap masih bisa bertemu dengan wanita muda itu. 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 6

    Pencarian Kala tak membuahkan hasil, padahal dia sudah berkeliling cukup jauh. Dia mulai menepi lalu berhenti sejenak untuk berpikir. "Kalau Garwita pergi untuk mencari Ray, kenapa aku tak melakukan hal yang sama? Mungkin saja dengan aku mencari tujuan yang sama bisa menemukan Garwita di sana?" batin Kala lalu memukul kepalanya kenapa sedari tadi malah berputar-putar bukannya langsung ke alamat. "Bodoh!" gumam Kala pada diri sendiri. Motor metik berwarna hitam itu kembali melesat menyusuri jalanan. Kala masih mengingat jelas setiap detail yang diucapakan ibu-ibu cleaning service di klinik Andalan. Dia yakin, berbekal ingatan dan nama Tuan Abash bisa menemukan alamat itu. *** Garwita berlari sembari menyeka air matanya, tak dihiraukannya kaki yang semakin lecet dan berdarah. Harapan yang telah hancur membuat rasa sakit di badan tak lagi terasa karena yang lebih memilukan justru ada di dalam dada, sakit di hati yang amat dalam. Kepala Garwita dipenuhi dengan prasangka dan tebak me

    Huling Na-update : 2023-05-25
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 7

    Kala melihat Garwita sedang mengemasi bajunya ke tas, dia mengernyit untuk apa wanita itu melakukan itu?"Kamu mau pulang?" tanya Kala membuat Garwita berjengit. Garwita mengangguk. "Pencarianku sudah selesai. Aku harus cepat pulang untuk Gandra," balasnya dengan seulas senyum. Senyum yang selalu Garwita tunjukkan sekali pun hati sedang gerimis. Kala bersender ke tembok dengan tangan bersedekap. "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" Sejenak Garwita berpikir, namun tak ada dalam benaknya sesuatu yang ingin dia lakukan setelah ini. Usai tahu tentang Ray dan harapan itu hancur dalam sekejap, dia berasa tak punya harapan yang harus diperjuangkan. "Seperti biasa lagi. Kerja untuk Gandra," balas Garwita tak ingin membuat kepalanya pusing dengan mencari-cari rencana. "Kamu tidak akan menggugat cerai?" Kala bicara dengan tatapan serius pada Garwita. Wanita itu menghela napas dalam, rasa syoknya seakan-akan masih mencekik ingatan. Garwita ingin menolak untuk percaya bahwa Ray meningga

    Huling Na-update : 2023-05-25
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 8

    Sampai di rumah sakit Garwita langsung berlari menuju ruangan di mana Kala dirawat, dia sudah dipindahkan dari UGD. Air mata Garwita terus mengalir, dia tergopoh-gopoh sambil menyekanya. Ketika pintu dibuka terlihatlah Kala yang sedang berbaring dengan perban dibagian kepala juga tangan. Dia masih memejam, pikir Garwita karena belum sadarkan diri. "Mas, kamu ndak papa kan?" tangis Garwita pecah sampai sesenggukan melihat Kala dengan kondisi begitu. "Mas, bangun!" Garwita merengek seperti anak kecil. Dia terduduk di kursi samping ranjang sembari meremas tepian ranjang. Kala yang tadinya ingin tidur merasa terganggu. Awalnya dia kira berhalusinasi tapi suara khas Garwita membuatnya mengerjap dan mendapati wanita itu sedang menangis untuknya. Kala masih diam dan pura-pura memejam, tapi senyum tipisnya tak bisa disembunyikan. Masih terdengar tangisan Garwita yang lebih mirip seperti anak kecil, lama-lama Kala tak tahan juga ingin tertawa. "Aku enggak papa, Sayang, cep cep cep!" ucap

    Huling Na-update : 2023-05-25
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 9

    q"Witaku ...," gumam Ray nyaris tanpa suara.***Garwita celingak-celinguk di ruang rawat karena tak melihat Hana ada di sana. "Cari apa?" "Mmm, pacarmu sudah pulang, Mas?" tanya Garwita pada Kala yang duduk dengan menyenderkan punggungnya di kepala ranjang."Sudah, dia bukan pacarku," jawab Kala. Lalu menyuruh Garwita agar duduk kursi dekatnya. "Aku lapar, Wit." Garwita mengernyit, dilihatnya makanan yang sudah disediakan pihak rumah sakit di meja nakas. "Mau makan?" Garwita mengambil nampan berisi makanan dia ingin meletakannya di pangkuan Kala agar lebih mudah menjakaunya. "Ish, kamu enggak lihat tanganku kena cekal semua? Suapin!" pinta Kala manja. Gerwita tersenyum geli. "Yang cedera kan tangan kirimu saja, Mas! Tangan kanan masih bisa bergerak!""Tapi kan ada selang infusnya, Wit! Gimana kalau pas makan terus copot? Pokoknya suapin!" Garwita tak bisa lagi menolak, tangan kanan Kala memang diinfus. Bisa saja Kala makan sendiri, tapi niatnya sedari tadi menunggu Garwita

    Huling Na-update : 2023-05-26
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 10

    "Mas, bisa melakukannya sendiri kan?" tanya Garwita ragu. Tangan Kala yang memakai arm sling, mungkin akan menyulitkannya untuk mandi. Kala tertawa pelan. "Memangnya kalau enggak bisa kamu mau bantu?" Kala menarik turunkan alisnya."Ish, ya ... aku bakal panggilin Gendon atau bapak pemilik kontrakan buat bantu kamu mandi," canda Garwita dengan senyum puas. Kala mengerucutkan bibirnya, dan memilih masuk ke kamar mandi. Dua hari berada di rumah sakit dan sekarang sudah dibolehkan untuk pulang keadaan Kala sudah membaik tinggal tangannya saja yang butuh waktu lebih lama untuk penyembuhan.Pagi ini, adalah hari terakhir Garwita di kota, Kala akan mengantarnya ke terminal. ***Garwita sudah bersiap dengan baju baru yang dibelikan Kala, gamis berwarna moka satu set dengan jilbab panjangnya. Bagus sekali, ini adalah baju Garwita yang terlihat paling mahal dan sangat pas di badannya. Kala terdiam ketika menunggu Garwita di teras kontrakan. Matanya melebar tanpa berkedip, sementara bibirnya

    Huling Na-update : 2023-05-26
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 11

    **Flashback"Dok, tolong!" teriak seorang gadis, tergopoh-gopoh memapah seorang wanita paruh baya dan membawanya ke puskesmas. Ray dengan tanggap menyuruh satu perawat untuk membawakan brankar dan mendorong masuk pasien yang terlihat begitu lemas. Cekatan para petugas medis yang berjaga memeriksa wanita itu. Sementara anak gadisnya menunggu di luar. Sudah hampir tiga hari Ijah sakit perut dari mual muntah sampai diare. Garwita yang panik langsung membawa emaknya ke puskesmas. Saat itu dia baru saja selesai mencuci baju. Dengan gusar Garwita menunggu sembari mondar-mandir di depan ruang rawat. Puskesmas kampung tidaklah besar hanya memiliki dua gedung ukuran sedang. Suara deritan pintu membuat Garwita langsung menoleh dan menyongsong petugas medis yang keluar dari sana. "Dok, bagaimana kondisi emakku?" tanya Garwita cemas. Ray tersenyum ramah, dia tahu jika seseorang di depannya pasti sedang gugup dan panik. "Ibumu terkena gastroenteritis atau muntaber, jadi harus dirawat inap. T

    Huling Na-update : 2023-05-26
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 12

    "Katakan, Garwita! Apa yang terjadi?" Nanto berdiri di depan Garwita dengan berkacang pinggang."I--iya, Pak. Mas Ray menikah lagi," balas Garwita. Dia memejam sembari menggigit bibir bawahnya. Nanto mengacak rambut lalu berbalik dan meremas kepala kursi. "Bapak sudah bilang, baiknya memang kamu bercerai! Sekarang terbukti semuanya kan?" Garwita yang ditatap dengan mata malotot tentu ketakutan. Ijah mengusap-usap pundak Garwita."Sudah, Pak, sudah. Mungkin ini sudah takdir," sela Ijah ikut menangis."Memang dasar anak ngeyel! Menunggumu tak ada arti! Bapak tak mau tahu, secepatnya urus perceraian kalian!" bentak Nanto lalu kembali keluar rumah. Dia tak lagi menghiraukan anak dan istrinya yang masih menangis. Dadanya terasa memanas dan jika tetap berada di rumah mungkin Nanto akan semakin mengamuk karena Garwita yang sedari dulu tak pernah mendengarkan sarannya."Buuu ... Ibu," panggil Gandra sembari meracau. Matanya masih memejam tapi bibirnya gemetaran. "Sayang, ini Ibu! Bangun, G

    Huling Na-update : 2023-05-27
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 13

    "Ayo, Mbak Wita, cepat! Juragan Jarwo sudah menunggu," ujar Surti sembari melangkah lebih dulu. Mau tak mau Garwita membuntut. "Gan, sama nenek bentar ya!" ucap Garwita ketika pamit. Gandra yang tahu ibunya akan pergi langsung menggeleng dan berlari mengejar. Gandra meraih tangan Garwita dan merengek ingin ikut bersamanya. Akhirnya mereka berdua berjalan bersama. Surti lebih dulu berjalan di depan.Matahari sangat terik, tetapi jalanan kampung yang pinggirannya dipenuhi pohon berdaun rindang membuat teduh. Apalagi mereka berjalan lewat jalan pintas, gang yang masih berupa tanah dan remukkan batu kapur. Gandra mengayun-ayunkan genggaman tangan sembari bernyanyi riang, dia sama sekali tak tahu keresahan yang sedang dipikirkan Garwita karena tetap memasang senyum ketika Gandra menatapnya. Sampai di depan sebuah rumah berbentuk joglo, Garwita berhenti. Rumah juragan Jarwo memiliki desain tradisional khas orang-orang Jawa ningrat jaman dulu. Dia sengaja tak mengubahnya menjadi bangunan

    Huling Na-update : 2023-05-30

Pinakabagong kabanata

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 37

    "Bagaimana ini, Mas? Lukamu?" Garwita menunjuk wajah Kala."Tenanglah, semua akan baik-baik saja." Kala lalu merapikan penampilannya dan bersiap membuka pintu, begitu juga dengan Garwita yang berada di sampingnya. Saat pintu diketuk, kedua sejoli itu langsung membukanya. Menyambut orang tua Kala dengan senyum seramah mungkin."Pak, Bu, kok ke sini enggak bilang dulu?" ujar Kala lalu mencium tangan mereka. Juragan Jarwo tidak menolak. Dia tetap diam saat tangannya diraih oleh Kala dan Garwita. "Lah, piye? Kan siang tadi Ibu telepon! Katanya mau telepon balik. Tapi Ibu tunggu-tunggu ndak ada tuh panggilan dari kamu!" balas Ambar dengan suara merajuk. Kala terkekeh geli, dia baru ingat. "Silahkan masuk, Pak,Bu ...," kata Garwita mempersilahkan mereka untuk duduk terlebih dulu. Sementara dia berlalu ke belakang untuk membuat minuman.Juragan Jarwo tampak berdeham melihat anaknya, dia sadar akan wajah Kala yang babak belur. "Ya ampun, Le. Wajahmu kenapa?" Ambar yang langsung respek. Di

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 36

    "Hallo, Le? Gimana kabarmu?" tanya Ambar dari seberang telepon. Usai mendapat perintah dari juragan Jarwo, Ambar langsung menghubungi anaknya.Kala yang sedang berada di jalan melambatkan lajunya. "Baik, Bu, ada apa? Ini Kala lagi di jalan," balas Kala menyelipkan ponselnya ke helm tanpa berhenti dulu, pikirnya nanggung karena sebentar lagi sampai."Oalah, kalau lagi di jalan jangan angkat teleponnya dulu atuh!" balas Ambar khawatir dan urung mengatakan tujuannya telepon.Kala terkekeh-kekeh mendengar suara ibunya. "Ya mau gimana lagi, abis hape geter terus! Ya udah aku lanjut dulu ya, Bu. Nanti kalau sudah berhenti Kala telepon balik!" Kala kembali melanjutkan perjalanan, hari ini dia berniat untuk melamar kerja. Tadi sudah mengajukan surat lamaran ke beberapa sekolah, sementara sekarang dia ingin ke SMK yang memang ada jurusan pertanian di sana. Ya siapa tahu ada lowongan. Kala begitu bersemangat mulai merancang rencana di otaknya untuk masa depan keluarga kecilnya yang mulai dia b

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 35

    Sejak kejadian malam tadi, Garwita selalu menghindari kontak mata dengan Kala, apalagi jika harus berhadapan dengannya, Garwita akan bicara sambil menunduk. Bukan tanpa sebab, dia malu luar biasa juga jadi cangnggung karena ci*man itu. "Bu, Gandra mau tambah nasi!" pinta anak itu sambil menyodorkan piring. Buru-buru Garwita mengambilkan apa yang Gandra mau. "Aku juga mau!" Kala ikut menyodorkan piring. Garwita ingin meletakan secentong nasi, tapi Kala menarik piringnya dengan jail begitu terus sampai akhirnya Garwita mendongak. "Ish, mau enggak?" tanya Garwita menatap lelaki di samping Gandra dengan kesal. Kala menahan tawa lalu meraih tangan Garwita dan dan meletakan nasi itu pada piringnya. Pada saat Garwita ingin menarik tangannya Kala sedikit menahan membuat mereka saling adu tatap. Bagi Garwita tatapan Kala itu terlihat seperti menyeriangai dan membuatnya ingin selalu waspada. Sekali menatap wajah Kala, Garwita akan terfokus pada bibirnya lalu bayangan yang iya-iya mula

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 34

    Gandra sudah pulang dijemput oleh Topan siang tadi. Anak itu sekarang bermain di kamar Ray, Garwita sudah menahan dan tak memperbolehkannya. Namun, Ray sendiri yang meminta. Dia beralasan sakitnya akan mereda jika melihat anak kecil bermain."Om lagi sakit, ya?" tanya Gandra sambil bermain di lantai. Ray mengangguk dengan senyum ramah. "Hem, besar nanti Gandra mau jadi dokter," ucap anak itu tanpa ditanya."Kenapa?" Ray penasaran dengan alasan Gandra."Ibu bilang, aku anaknya seorang dokter. Ayahku orang yang hebat!" balasnya menirukan cerita yang Garwita buat. Mendengar itu, Ray merasa terharu sekaligus sedih. Anak yang begitu membanggakan ayahnya, nyatanya ayahnya bukanlah seseorang yang patut dibanggakan. Ray menelan ludah dengan berat setiap kali mendengar cerita polos dari Gandra, dari situ dia tahu betapa baiknya Garwita yang selalu menceritakan kelebihan Ray pada Gandra. "Lalu apa lagi, Gandra?" tanya Ray kepo. "Mmm ...." Gandra tampak berpikir. "Kayaknya, ayah itu genten

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 33

    Kala terdiam menatap Garwita yang begitu dekat dengan wajahnya. Ingin rasanya dia pura-pura khilaf lalu mencium dengan cepat bibir tipis kemerahan yang sekarang terasa sedang menggodanya. Tapi, Kala tak ingin gegabah dan membuat Garwita jadi takut padanya. Kala menggelengkan kepala untuk meredakan rasa nyeri yang sempat hinggap. "Aku tidak apa-apa," balas Kala mencoba terduduk, Garwita mengikuti. "Lagian, pagi-pagi dah iseng!" celetuknya masih kesal dengan candaan Kala. "Ish, siapa yang iseng! Dah ah, yuk bangun kita salat bareng?" ajak Kala kemudian. Dia tak ingin berlama-lama dekat seperti ini dan membuat sesuatu dalam tubuhnya bergejolak dan memanas. ***"Nanti kuantar kamu dulu, baru Gandra ya?" kata Kala perhatian. Garwita yang sedang menyuap makanan langsung mendongak. "Mas, kulihat di samping rumah ada sepeda, apa masih bisa dipake? Kalau bisa, aku ingin memakainya untuk berangkat kerja." Kala mengernyit, mengingat-ingat apa ada sepeda di sana. "Nanti coba ku cek dulu, ya

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 32

    "Mmm, a--ku tak punya apa pun yang bisa dijadikan jaminan. Bagaimana kalau mulai besok bekerja full di sini? Pagi sampai sore?" tawar Garwita, berharap Ray mau berbaik hati.Ray menggeleng dengan senyum remeh. "Menarik!" jawab Ray singkat. "Selain itu, jemputlah Gandra ketika pulang sekolah dan bawa dia ke sini." "Gandra?" Garwita mengernyit. "Ya, saya ingin punya teman main. Gandra pasti akan jadi teman yang menyenangkan!" balas Ray dengan senyum semringah. Itu membuat Garwita lega juga tak menyangka ada yang begitu menyukai dan menginginkan anaknya."Baik, Tuan." "Oke, pulanglah. Nanti Topan yang akan mengurus semuanya. Tunggu saja kabar dari kami," jelas Ray dengan senyum tulus. Dia pun senang karena akhirnya Garwita meminta bantuan darinya. Ray sangat senang jika merasa dibutuhkan oleh Garwita dan keluagarnya. ***"Ibuuu!" panggil Gandra dari arah jalan. Rupanya Kala sudah menjemput anak itu dan membawanya bersama. Garwita langsung mendekat. "Gandra ikut bersama kita? Bagai

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 31

    "Aku akan ke rumah Tuan Rian, Mas. Sore kemarin dan pagi tadi aku tak datang, mungkin dia akan kebingungan," ujar Garwita sembari mengemasi baju yang ada di rumahnya. Kala duduk di tepi ranjang. "Aku antar," kata Kala kemudian. Dia tak mungkin mencegah keinginan Garwita. "Berapa hutang bapak, Wit?" "Banyak, Mas," jawab Garwita singkat. Dia tak ingin memberi tahu karena takut akan merepotkan Kala. "Seberapa banyak?" desak Kala. "Tujuh puluh lima juta." Garwita menghentikan tangannya dan menatap lurus ke arah jendela. "Jumlah yang sangat banyak, bahkan jika aku menjual rumah dan tanah ini saja tak mungkin cukup." Kala merutuki situasi ini, kenapa di saat Garwita butuh uang dia justru tak punya banyak dan sedang bertengkar dengan bapaknya. Tentu saja, selama ini Kala hidup ditopang dengan kekayaan juragan Jarwo. Jika saat ini dia keluar dari rumah dan bapaknya tak peduli lagi, Kala tak punya apa-apa selain sisa uang yang dia bawa. "Aku akan kerja, Wit." Kala tak bisa bicar

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 30

    Tidak ada bahan makanan, sementara mereka berdua belum makan sejak siang tadi. Di luar hujan deras. "Mas, mau ke mana?" Garwita melihat Kala yang memegang kunci."Beli makanan, kamu lapar kan?" "Tapi di luar hujan deras, Mas. Ndak papa kalau malam ini kita enggak makan, anggap saja puasa dulu," canda Garwita. Dia tak ingin Kala pergi karena hujan sangat deras, suara gemuruh juga bersahut-sahutan."Tenang, ada payung, kok. Aku coba ke warung depan sebentar ya?" Kala langsung beranjak pergi, memakai payung yang ada di rumah ini. Garwita membuntut lalu menunggu di ruang depan. Sendirian di rumah membuatnya sedikit kikuk, rumah ini masih terasa asing dan menakutkan baginya. Berkali-kali Garwita menelan ludah karena suara gemuruh juga suara aneh yang terdengar dari beberapa ruangan yang terkunci, mungkin seperti suara tikus yang sedang mengacak-acak sesuatu. Garwita menyibak tirai, menatap keluar berharap Kala segera datang. Jarak warung lumayan jauh, mungkin ada dua ratus meter. Braa

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 29

    "Saya terima nikah dan kawinnya Garwita binti Nanto Wardaya dengan maskawin tersebut dibayar tunai!" Kala mengikrarkan ijab-kabul dengan sekali napas. Garwita menunduk dengan air mata di pipinya. Dia tak tahu harus bahagia atau bagaimana menyikapi masalah ini. Sekarang, statusnya sudah resmi menjadi seorang istri dari Kalandra. Seperti pengantin pada umumnya, Garwita mencium tangan Kala dengan takzim. Selanjutnya giliran Kala yang mengecup kening Garwita, cukup lama dia menyelipkam doa-doa di sana."Mungkin menikah dengan cara begini terlihat hina. Namun, bagiku semuanya terlihat natural ... terjadi karena takdir Sang Pencipta." Kala menyunggingkan senyum tipis pada istrinya, sementara Garwita hanya diam terpaku. Ijah mengusap-usap pundak anaknya, dia pun ikut menangis dengan pikiran kacau. Tapi tak memperpanjang pikiran negatifnya. Berbeda dengan Nanto usai menikahkan anaknya dia langsung pergi.***Berbekal nekat dan rasa tanggung jawabnya pada Garwita, Kala membawa wanita itu ke

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status