Mereka sampai di kontrakan sekitar jam sembilan malam. Kala mengajak Garwita masuk ke kamarnya. Tentu saja wanita itu hanya mematung di luar, lalu celingak-celinguk ke sekitar yang masih terlihat ramai dengan orang-orang.
"Ayo masuk!"
"Bareng? Memang boleh, Mas,?" tanya Garwita, dalam benaknya di kontrakan Kala hanya ada kasur dengan ruangan yang sangat sempit.
"Boleh, kenapa enggak? Di sini bebas, kok. Tapi nanti aku bisa lapor dulu ke pemilik kontrakan. Biar enggak ada yang curiga," ujar Kala membuka kunci.
"Udah pulang, Ndra? Sama siapa tuh!" tegur penghuni kontrakan yang baru saja keluar dan mendapati wanita bersama Kala.
Kala mengangguk, di tempat ini dia biasa dipanggil Ndra, kepanjangan dari Kalandra.
"Ya, saudara! Mau ke mana lu?" balas Kala sambil memberi kode agar Garwita masuk lebih dulu.
Sementara Kala mengobrol dengan Gendon temannya. Lelaki bertubuh tambun itu berniat ingin mencari makan malam. Kala yang tadi belum sempat membelinya, meminta Gendon juga membelikannya dua porsi nasi goreng.
Garwita berdiri mengamati setiap sudut kontrakan Kala. Tak terlalu sempit, memang hanya ada satu ruang yang disekat jadi dua, memisahkan ranjang juga sedikit ruangan depan. Tapi kamar mandi kumplit, hanya tak ada dapurnya.
"Mandilah dulu, atau capek? Kamu bisa istirahat." Kala duduk di sofa sambil menggeliat.
Sedari tadi Garwita menahan ingin buang air kecil, jadi tanpa menunggu dia langsung ke kamar mandi.
***
Dua porsi nasi goreng sudah siap di meja. Kala juga membuat dua gelas teh hangat untuknya dan Garwita.
"Makan dulu!" titah Kala saat mendapati Garwita sudah bebersih dan memakai baju santai--kaus lengan penjang dengan rok.
"Beli?" tanya Garwita menempatkan diri berhadapan dengan Kala.
"Ya, aku tak pernah masak. Paling masak nasi."
"Boros, dong!" celetuk Garwita, menerka-nerka pengeluaran Kala selama kuliah di kota.
"Ya, enggak juga. Lebih boros lagi kalo masak sendiri, ribet!"
"Oh." Garwita mengamati Kala yang sedang lahap makan, pikirnya mungkin selama beberapa tahun ini Kala terlihat lebih kurus karena ini. Di kampung, dia terbiasa apa-apa serba tercukupi apalagi hanya sekadar makan. Tapi, di sini selain harus mandiri juga dibebani dengan tugas-tugas yang menumpuk.
Malam semakin larut, Kala masih terjaga dengan layar laptop yang masih menyala.
"Ndak tidur, Mas?"
"Kamu duluan saja. Aku biar tidur di sofa, ada tugas yang nanggung harus kuselesaikan."
Garwita mengintip layar laptop yang berisi dengan banyak file-file tulisan, tentu saja wanita itu tidak mudeng dengan sesuatu yang sedang dikerjakan Kala lalu memilih berbalik ke kemar. Dia meringkuk di ranjang berukuran sedang dengan seprai berwarna hitam. Tubuh yang terasa lelah membuatnya cepat terlelap.
***
Diceknya kembali oleh Garwita tulisan alamat di selembar kertas yang terselip di dompet. Dia menyodorkannya ke Kala, kening lelaki itu mengernyit karena membaca tulisan yang sudah buram. Masih bisa dibaca meski otaknya harus berkerja keras menterjemahkan lebih dulu.
"Kamu tahu, Mas?"
Kala mengangguk pelan. "Tapi kita butuh waktu satu jam buat menuju kotanya."
"Beritahu aku saja, harus naik apa dan buat denahnya," ujar Garwita mengeluarkan kertas kosong.
"Aku antar!" Kala langsung bangkit dari duduknya lalu mengambil kunci motor dan helm.
"Memang ndak kuliah?" Garwita merasa sungkan karena lagi-lagi harus merepotkan Kala.
"Hari ini tak ada mata kuliah. Ayo, mumpung masih pagi."
Mereka berdua mencari alamat Ray dengan menaiki motor metik milik Kala yang sengaja dibeli saat dulu masuk kuliah. Garwita duduk di jok belakang, harapannya melambung tinggi. Dia berdoa agar apa yang dia cari bisa secepatnya bertemu.
Sepanjang jalan, otak Garwita terus saja terbayang-bayang wajah suaminya. Kebersamaan yang hanya seumur jagung, nyatanya begitu membekas dan membuat Garwita tak bisa melupakkannya barang sejenak. Bahkan setiap inchi dari wajah dan tubuh suaminya masih tergambar jelas, sikap hangat dan lembut juga momen-momen yang mereka lalui bersama tak ada secuil pun yang terlupakan.
"Gedungnya tinggi bangeeet!" gumam Garwita ketika mengerjap dan kembali fokus ke jalanan.
Dari balik kaca spion, Kala melihat ekspresi Garwita yang begitu kagum. Dia tertawa geli melihatnya.
"Beneran kayak yang ada di TV, kira-kira berapa lama membangunnya, ya?" Coletahan Garwita semakin membuat Kala tak mampu menahan tawa. Pikiran polosnya sungguh lucu sekali.
"Ish, malah ketawa!" Garwita menepuk punggung Kala. Dia kesal karena terus ditertawakan.
"Lagian, kayak enggak pernah ke Jakarta saja."
"Pernah, tapi itu dulu banget waktu stady tour SMP. Bayangin saja udah berapa tahun! Yang pasti sekarang jauh lebih maju dan mengagumkan!"
Tak ingin mendengar ejekkan Kala lagi, Garwita memilih fokus pada apa yang dia lihat. Matanya terus mengedarkan pandangan ke setiap penjuru. Bukan hanya gedung, kendaraan, atau pedagang di tepi jalan. Bahkan pejalan kaki saja tak luput dari pengamatannya. Garwita melihat pakaian yang orang-orang kota kenakan, dia membatin begitu bagus dan kekinian. Lalu dilihatnya apa yang dia kenakan, gamis lusuh yang warnanya hampir pudar. Yah, Garwita membeli baju hanya setahun sekali jika lebaran, itu pun kalau ada duit, kalau tidak ya yang penting untuk Gandra ada.
Garwita jadi kepikiran Gandra lagi, apa pun yang terjadi pada Ray. Selagi Garwita punya kesempatan untuk mencari, dia ingin gunakan waktu semaksimal mungkin. Agar bisa cepat pulang dan kembali bertemu Gandra, baru sehari berpisah saja rindu itu mulai menumpuk.
"Kita makan siang dulu, ya?" Kala menepikan motornya di depan warung nasi.
Garwita tak bisa menolak, perutnya juga keroncongan. Saat di dalam dia bingung pake lauk apa, takut jika uangnya kurang.
Kala mengambilkan ayam goreng lalu meletakkannya di piring Garwita.
"Aku pake tempe ajah, Mas." Garwita ingin meletakkan kembali ayam gorengnya tapi dicegah oleh Kala.
"Kenapa?"
"Aku takut harganya mahal," balas Garwita dengan wajah polos.
"Halah, kita kan makan di warteg! Harganya murah, enggak kaya di restoran," ujar Kala mengambil apa saja yang terlihat enak ke piring Garwita.
Garwita bengong karena sekarang piringnya sangat penuh dengan tumpukkan lauk. Kala yang melihatnya langsung terkekeh-kekeh, meski batinnya sedikit iba. Dia tahu apa yang dipikirkan Garwita, wanita itu pasti sungkan.
"Tenanglah, jangan pikirkan soal duit, udik-udik begini, kamu tahu kan aku siapa ... anak juragan Jarwo!" kata Kala dengan congkak sembari membusungkan dada. Garwita terkikik geli melihat ekspresi konyol lelaki di sampingnya. Dia jadi ingat semasa SMP dulu, ketika Kala jadi kakak kelasnya. Diam-diam Garwita mengintip dari jendela saat Kala berada di depan kelas untuk perkenalan.
"Tolong dengarkan baik-baik, kalau perlu dicatat! Sekalian pake tinta merah biar kelihatan! Namaku Kala, panjangnya Kalandra Sujarwo! Anak juragan Jarwo, orang paling ningrat sekampung Karang Mencil." Bayangan Kala saat remaja yang bertubuh bongsor dengan pipi tembem terlintas di benak Garwita.
"Oiya, ini yang paling penting kenapa aku dinamai Kalandra, Bapak Jarwo bilang Kalandra dari bahasa Jawa artinya menerangi masyarakat. Nah, keren kan? Beliau pasti berharap tinggi, mungkin sangat tinggi kalau matang nanti ... ah bukan, maksudnya dewasa nanti aku bisa berperan penting dan memberi banyak manfaat untuk masyarakat. Bagai sang surya menerangi dunia. Woelah, jadi nyanyi!"
"Itu kujadikan motivasi, anggap saja maksud dari harapan Bapak Jarwo adalah agar aku kelak menjadi calon presiden! Begini saja perkenalannya, jadi tak usah panjang lebar, tolong pilih Kalandra Sujarwo jadi presiden!"
Mengingat itu, Garwita jadi senyum-senyum sendiri. Kala itu memiliki jiwa kepedean yang sangat tinggi. Melihat Garwita yang masih mesem-mesem membuat Kalandra mengernyit lalu menyikutnya.
"Ayo, duduk!" ajak Kala ke meja paling depan. Garwita membuntut.
"Kenapa tadi senyum-senyum?" tanya Kala penasaran sambil menyeruput es teh.
"Aku inget sama anak juragan Jarwo waktu perkenalan di SMP!"
Uhuuuk!
Spontan Kalandra menyemburkan minum dan terbatuk, untung saja hanya mengenai tembok. Garwita tertawa keras, dia tahu kenapa ekspresi Kala sangat kaget karena setelah perkenalan itu kejadian tak terduga berlangsung. Kala yang sudah selesai berjalan menuju kursinya, tapi nahas kakinya tersandung dan membuat tubuh tambunnya tersungkur. Teman-teman bukannya membantu justru tertawa menyoraki. Dimulai saat itulah teman-teman Kala selalu memanggilnya presiden gendut!"Hah, dasar teman-teman lak nat!" gerutu Kala kesal mengingatnya.
"Yah, mereka jahat sekali ... tapi memang wajahmu dulu sangat menggemaskan!" celoteh Garwita dengan senyum jahil.
"Ish, coba ada reuni SMP mereka pasti bakal tercengang lihat aku sekarang!" ucap Kala yakin.
"Sebab?" Garwita mengernyit, siap-siap menyemburkan tawa biasanya ucapan ngelantur Kala akan terdengar lebih konyol dan gokil.
"Sabab ... sekarang ketampananku sebalas, dua belas dengan Bapak Jarwo!" balas Kala bangga, ekspresi sok ganteng dengan tangan mengusap poninya kesamping membuat Garwita semakin terpingkal dan berasa gila. Sehebat itu memang Kala dalam membuat lelucon.
Kala tak pernah marah jika ditertawakan oleh Garwita, baginya senyum dan tawa wanita itu selalu tulus sebagai bentuk apresiasi dari lawakkannya.
Puas tertawa, mereka kembali melanjutkan makan. Garwita duduk anteng, langsung menikmati jatahnya.
"Enak ya? Biasanya aku makan daging kalau lagi kondangan doang!" gumam Garwita masih fokus ke piringnya. Suasana yang tadi penuh gelak tawa sekarang agak hening.
Kala menoleh, dia tersenyum tipis. Melihat itu, ada yang terasa mencubit hatinya. Andai bisa, Kala ingin menikahi lalu menafkahi wanita yang ada di sampingnya dengan penuh cinta dan kasih. Namun, saat dia sadar dari khayalan itu, Kala merasa itu terlalu konyol, Garwita belum menjanda. Dia tak mungkin bisa menerimanya, pun Kala belum berani mengungkapkan apa yang dia rasa karena takut Garwita justru akan menjauhinya.
***
Matahari tepat berada di pucuk singgasana, panas begitu menyengat. Apalagi debu jalan yang semakin membuat gerah. Di belakang, Garwita duduk sembari mengibas-ibaskan tangan. Kala mengegas motornya agar cepat sampai dan bisa berteduh sejenak.
"Rumah nomor berapa tadi, Wit?" tanya Kala ketika sampai di sekitaran tempat yang di tuju.
"Nomor 227, Mas!" Kala memelankan laju lalu mengamati setiap nomor yang tertera di depan rumah.
"Dua-dua lima, dua-dua enam ...." Kala berhenti tepat di hitungan dua-dua tujuh, di depan sebuah rumah megah, berpagar besi. Namun, terlihat seperti tak terawat.
"Apa ini rumahnya?" Garwita turun lalu mengecek nomor rumah yang kebetulan terpasang di pagar dan di sebelahnya tertulis 'Rumah Ini Dijual!'.
Mereka berdua saling pandang lalu celingak-celinguk.
"Permisi, Pak, saya mau tanya rumah nomor 227 atas nama Pak Raykarian di sebelah mana ya?" tanya Kala pada penghuni di sebelah rumah tadi yang kebetulan keluar.
Garwita berdiri di belakang Kala dengan dada bergemuruh, dia deg-degan dengan jawaban bapak yang ditanya tadi. Terpancar jelas raut penasaran juga penuh harapan dari Garwita.
"Dokter Ray? Oalah, beliau sudah pindah lama, Mas. Dulu ini memang rumah orang tuanya Dokter Ray, Tuan Abash dan Nyonya Mega. Tapi sekitaran empat atau tiga tahun lalu mereka pindah," terang bapak berbaju biru tua.
Kala menoleh ke arah Garwita yang sekarang mematung. Harapan wanita itu gugur seketika.
"Bapak tahu mereka pindah di mana?" tanya Kala lagi.
Bapak tadi berpikir keras, dia mengingat-ingat. "Duh, maaf Mas, saya lupa," jawabnya sambil memijat kepala yang sedikit botak. "Tapi setahu saya dulu Dokter Ray punya klinik di daerah ...," tuduhnya.
Kala mengingat-ingat alamat klinik pribadi Ray yang dituduhkan. Tanpa pikir panjang mereka kembali melajukan motor dan menyusuri jalanan.
"Jauh ya, Mas?" tanya Garwita gusar.
Kala mengangguk dan menyuruh Garwita berpegangan karena dia akan mengebut. "Kita harus cepat biar tidak kesorean!" ujar Kala lalu menarik gas. Garwita yang tanggap langsung memegang baju yang dikenakan Kala.
Udara sore mulai terasa dingin, sinar mentari pun mulai meredup saat mereka sampai di klinik yang dimaksud.
"Klinik Andalan," gumam Garwita. Matanya berbinar-binar ketika melihat klinik itu masih buka dan tampak ramai.
Tanpa menunggu Kala memarkirkan motor, Garwita melangkah lebih dulu. Jantungnya berdetak tak karuan, dia sangat berharap kali ini akan menemukan Ray. Tepat ketika dia berdiri di pintu masuk, dilihatnya seorang dokter yang berjalan di koridor ingin menuju ke suatu ruangan. Posturnya tinggi, memakai jas putih dan celana kain hitam. Senyum Garwita tersungging dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Mas Ray!" panggil Garwita membuat suasana di meja pendaftaran yang tadinya agak ramai jadi hening dan semua orang menatapnya kaget.
Merasa ada seseorang yang berteriak, dokter yang tadinya berjalan ke arah utara membalik badan. Garwita kini berdiri tepat di belakangnya dengan tak sabar ingin menepuk pundak dokter itu. Namun, urung karena lebih dulu dia membalik badan.Garwita mematung dan membulatkan mata, ketika yang dia lihat bukanlah yang dicarinya. Dokter pemakai kacamata dengan kemeja biru muda di balik jasnya itu mengerenyit heran."Anda ada perlu dengan saya?" Garwita menggeleng cepat. "Maaf, aku salah orang, Dok!" ucap Garwita sambil menundukkan kepala lalu pamit ke tempat pendaftaran. Jantungnya yang tadi berdetak tak karuan kini seakan melemah seperti pundaknya yang merosot. Di tempat pendaftaran sudah ada Kala yang bertanya pada petugas resepsionis."Jadi, pemilik klinik yang sekarang bukan dokter Raykarian ya, Mbak?" ulang Kala memastikan. Gadis cantik di meja resepsionis itu mengangguk. "Ya, Mas, betul. Saya baru di sini, katanya klinik ini baru sekitaran satu tahun beroperasi setelah vakum lama. D
"Oalah, ke sini? Ini mah masih jauh, Mbak!" ujar seseorang membaca alamat yang dituduhkan. "Jadi bukan di sini ya, Bu?" Garwita mulai merasa bimbang. "Iya, Mbak. Paling enggak ada satu jam naik angkot." Wanita kurus itu menjawab, dari matanya terpancar rasa iba dan kasian. Apalagi ketika melihat kaki Garwita terluka.Garwita merogoh saku bajunya, tak ada sepeser pun recehan yang tertinggal. Dia lalu menghela napas dan bingung, mau melanjutkan perjalanan atau pulang saja? "Kalau Mbak mau ke sana, ini kukasih uang buat naik angkot, Mbak." Selembar uang dua puluh ribu disodorkan pada Garwita. Namun, dia langsung menolak karena sungkan."Enggak papa, ambil saja," paksa si ibu. Garwita tak bisa lagi menolak, dia ucapkan terima kasih berkali-kali sambil memeluk ibu-ibu yang menolongnya. Garwita lalu pamit dan kembali melangkah, seperti yang dituduhkan ibu tadi kalau jalan ke arah barat sekitar lima ratus meter ada pangkalan angkot. Tidak mudah, sesekali Garwita berjinjit karena kakinya
Pencarian Kala tak membuahkan hasil, padahal dia sudah berkeliling cukup jauh. Dia mulai menepi lalu berhenti sejenak untuk berpikir. "Kalau Garwita pergi untuk mencari Ray, kenapa aku tak melakukan hal yang sama? Mungkin saja dengan aku mencari tujuan yang sama bisa menemukan Garwita di sana?" batin Kala lalu memukul kepalanya kenapa sedari tadi malah berputar-putar bukannya langsung ke alamat. "Bodoh!" gumam Kala pada diri sendiri. Motor metik berwarna hitam itu kembali melesat menyusuri jalanan. Kala masih mengingat jelas setiap detail yang diucapakan ibu-ibu cleaning service di klinik Andalan. Dia yakin, berbekal ingatan dan nama Tuan Abash bisa menemukan alamat itu. *** Garwita berlari sembari menyeka air matanya, tak dihiraukannya kaki yang semakin lecet dan berdarah. Harapan yang telah hancur membuat rasa sakit di badan tak lagi terasa karena yang lebih memilukan justru ada di dalam dada, sakit di hati yang amat dalam. Kepala Garwita dipenuhi dengan prasangka dan tebak me
Kala melihat Garwita sedang mengemasi bajunya ke tas, dia mengernyit untuk apa wanita itu melakukan itu?"Kamu mau pulang?" tanya Kala membuat Garwita berjengit. Garwita mengangguk. "Pencarianku sudah selesai. Aku harus cepat pulang untuk Gandra," balasnya dengan seulas senyum. Senyum yang selalu Garwita tunjukkan sekali pun hati sedang gerimis. Kala bersender ke tembok dengan tangan bersedekap. "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" Sejenak Garwita berpikir, namun tak ada dalam benaknya sesuatu yang ingin dia lakukan setelah ini. Usai tahu tentang Ray dan harapan itu hancur dalam sekejap, dia berasa tak punya harapan yang harus diperjuangkan. "Seperti biasa lagi. Kerja untuk Gandra," balas Garwita tak ingin membuat kepalanya pusing dengan mencari-cari rencana. "Kamu tidak akan menggugat cerai?" Kala bicara dengan tatapan serius pada Garwita. Wanita itu menghela napas dalam, rasa syoknya seakan-akan masih mencekik ingatan. Garwita ingin menolak untuk percaya bahwa Ray meningga
Sampai di rumah sakit Garwita langsung berlari menuju ruangan di mana Kala dirawat, dia sudah dipindahkan dari UGD. Air mata Garwita terus mengalir, dia tergopoh-gopoh sambil menyekanya. Ketika pintu dibuka terlihatlah Kala yang sedang berbaring dengan perban dibagian kepala juga tangan. Dia masih memejam, pikir Garwita karena belum sadarkan diri. "Mas, kamu ndak papa kan?" tangis Garwita pecah sampai sesenggukan melihat Kala dengan kondisi begitu. "Mas, bangun!" Garwita merengek seperti anak kecil. Dia terduduk di kursi samping ranjang sembari meremas tepian ranjang. Kala yang tadinya ingin tidur merasa terganggu. Awalnya dia kira berhalusinasi tapi suara khas Garwita membuatnya mengerjap dan mendapati wanita itu sedang menangis untuknya. Kala masih diam dan pura-pura memejam, tapi senyum tipisnya tak bisa disembunyikan. Masih terdengar tangisan Garwita yang lebih mirip seperti anak kecil, lama-lama Kala tak tahan juga ingin tertawa. "Aku enggak papa, Sayang, cep cep cep!" ucap
q"Witaku ...," gumam Ray nyaris tanpa suara.***Garwita celingak-celinguk di ruang rawat karena tak melihat Hana ada di sana. "Cari apa?" "Mmm, pacarmu sudah pulang, Mas?" tanya Garwita pada Kala yang duduk dengan menyenderkan punggungnya di kepala ranjang."Sudah, dia bukan pacarku," jawab Kala. Lalu menyuruh Garwita agar duduk kursi dekatnya. "Aku lapar, Wit." Garwita mengernyit, dilihatnya makanan yang sudah disediakan pihak rumah sakit di meja nakas. "Mau makan?" Garwita mengambil nampan berisi makanan dia ingin meletakannya di pangkuan Kala agar lebih mudah menjakaunya. "Ish, kamu enggak lihat tanganku kena cekal semua? Suapin!" pinta Kala manja. Gerwita tersenyum geli. "Yang cedera kan tangan kirimu saja, Mas! Tangan kanan masih bisa bergerak!""Tapi kan ada selang infusnya, Wit! Gimana kalau pas makan terus copot? Pokoknya suapin!" Garwita tak bisa lagi menolak, tangan kanan Kala memang diinfus. Bisa saja Kala makan sendiri, tapi niatnya sedari tadi menunggu Garwita
"Mas, bisa melakukannya sendiri kan?" tanya Garwita ragu. Tangan Kala yang memakai arm sling, mungkin akan menyulitkannya untuk mandi. Kala tertawa pelan. "Memangnya kalau enggak bisa kamu mau bantu?" Kala menarik turunkan alisnya."Ish, ya ... aku bakal panggilin Gendon atau bapak pemilik kontrakan buat bantu kamu mandi," canda Garwita dengan senyum puas. Kala mengerucutkan bibirnya, dan memilih masuk ke kamar mandi. Dua hari berada di rumah sakit dan sekarang sudah dibolehkan untuk pulang keadaan Kala sudah membaik tinggal tangannya saja yang butuh waktu lebih lama untuk penyembuhan.Pagi ini, adalah hari terakhir Garwita di kota, Kala akan mengantarnya ke terminal. ***Garwita sudah bersiap dengan baju baru yang dibelikan Kala, gamis berwarna moka satu set dengan jilbab panjangnya. Bagus sekali, ini adalah baju Garwita yang terlihat paling mahal dan sangat pas di badannya. Kala terdiam ketika menunggu Garwita di teras kontrakan. Matanya melebar tanpa berkedip, sementara bibirnya
**Flashback"Dok, tolong!" teriak seorang gadis, tergopoh-gopoh memapah seorang wanita paruh baya dan membawanya ke puskesmas. Ray dengan tanggap menyuruh satu perawat untuk membawakan brankar dan mendorong masuk pasien yang terlihat begitu lemas. Cekatan para petugas medis yang berjaga memeriksa wanita itu. Sementara anak gadisnya menunggu di luar. Sudah hampir tiga hari Ijah sakit perut dari mual muntah sampai diare. Garwita yang panik langsung membawa emaknya ke puskesmas. Saat itu dia baru saja selesai mencuci baju. Dengan gusar Garwita menunggu sembari mondar-mandir di depan ruang rawat. Puskesmas kampung tidaklah besar hanya memiliki dua gedung ukuran sedang. Suara deritan pintu membuat Garwita langsung menoleh dan menyongsong petugas medis yang keluar dari sana. "Dok, bagaimana kondisi emakku?" tanya Garwita cemas. Ray tersenyum ramah, dia tahu jika seseorang di depannya pasti sedang gugup dan panik. "Ibumu terkena gastroenteritis atau muntaber, jadi harus dirawat inap. T
"Bagaimana ini, Mas? Lukamu?" Garwita menunjuk wajah Kala."Tenanglah, semua akan baik-baik saja." Kala lalu merapikan penampilannya dan bersiap membuka pintu, begitu juga dengan Garwita yang berada di sampingnya. Saat pintu diketuk, kedua sejoli itu langsung membukanya. Menyambut orang tua Kala dengan senyum seramah mungkin."Pak, Bu, kok ke sini enggak bilang dulu?" ujar Kala lalu mencium tangan mereka. Juragan Jarwo tidak menolak. Dia tetap diam saat tangannya diraih oleh Kala dan Garwita. "Lah, piye? Kan siang tadi Ibu telepon! Katanya mau telepon balik. Tapi Ibu tunggu-tunggu ndak ada tuh panggilan dari kamu!" balas Ambar dengan suara merajuk. Kala terkekeh geli, dia baru ingat. "Silahkan masuk, Pak,Bu ...," kata Garwita mempersilahkan mereka untuk duduk terlebih dulu. Sementara dia berlalu ke belakang untuk membuat minuman.Juragan Jarwo tampak berdeham melihat anaknya, dia sadar akan wajah Kala yang babak belur. "Ya ampun, Le. Wajahmu kenapa?" Ambar yang langsung respek. Di
"Hallo, Le? Gimana kabarmu?" tanya Ambar dari seberang telepon. Usai mendapat perintah dari juragan Jarwo, Ambar langsung menghubungi anaknya.Kala yang sedang berada di jalan melambatkan lajunya. "Baik, Bu, ada apa? Ini Kala lagi di jalan," balas Kala menyelipkan ponselnya ke helm tanpa berhenti dulu, pikirnya nanggung karena sebentar lagi sampai."Oalah, kalau lagi di jalan jangan angkat teleponnya dulu atuh!" balas Ambar khawatir dan urung mengatakan tujuannya telepon.Kala terkekeh-kekeh mendengar suara ibunya. "Ya mau gimana lagi, abis hape geter terus! Ya udah aku lanjut dulu ya, Bu. Nanti kalau sudah berhenti Kala telepon balik!" Kala kembali melanjutkan perjalanan, hari ini dia berniat untuk melamar kerja. Tadi sudah mengajukan surat lamaran ke beberapa sekolah, sementara sekarang dia ingin ke SMK yang memang ada jurusan pertanian di sana. Ya siapa tahu ada lowongan. Kala begitu bersemangat mulai merancang rencana di otaknya untuk masa depan keluarga kecilnya yang mulai dia b
Sejak kejadian malam tadi, Garwita selalu menghindari kontak mata dengan Kala, apalagi jika harus berhadapan dengannya, Garwita akan bicara sambil menunduk. Bukan tanpa sebab, dia malu luar biasa juga jadi cangnggung karena ci*man itu. "Bu, Gandra mau tambah nasi!" pinta anak itu sambil menyodorkan piring. Buru-buru Garwita mengambilkan apa yang Gandra mau. "Aku juga mau!" Kala ikut menyodorkan piring. Garwita ingin meletakan secentong nasi, tapi Kala menarik piringnya dengan jail begitu terus sampai akhirnya Garwita mendongak. "Ish, mau enggak?" tanya Garwita menatap lelaki di samping Gandra dengan kesal. Kala menahan tawa lalu meraih tangan Garwita dan dan meletakan nasi itu pada piringnya. Pada saat Garwita ingin menarik tangannya Kala sedikit menahan membuat mereka saling adu tatap. Bagi Garwita tatapan Kala itu terlihat seperti menyeriangai dan membuatnya ingin selalu waspada. Sekali menatap wajah Kala, Garwita akan terfokus pada bibirnya lalu bayangan yang iya-iya mula
Gandra sudah pulang dijemput oleh Topan siang tadi. Anak itu sekarang bermain di kamar Ray, Garwita sudah menahan dan tak memperbolehkannya. Namun, Ray sendiri yang meminta. Dia beralasan sakitnya akan mereda jika melihat anak kecil bermain."Om lagi sakit, ya?" tanya Gandra sambil bermain di lantai. Ray mengangguk dengan senyum ramah. "Hem, besar nanti Gandra mau jadi dokter," ucap anak itu tanpa ditanya."Kenapa?" Ray penasaran dengan alasan Gandra."Ibu bilang, aku anaknya seorang dokter. Ayahku orang yang hebat!" balasnya menirukan cerita yang Garwita buat. Mendengar itu, Ray merasa terharu sekaligus sedih. Anak yang begitu membanggakan ayahnya, nyatanya ayahnya bukanlah seseorang yang patut dibanggakan. Ray menelan ludah dengan berat setiap kali mendengar cerita polos dari Gandra, dari situ dia tahu betapa baiknya Garwita yang selalu menceritakan kelebihan Ray pada Gandra. "Lalu apa lagi, Gandra?" tanya Ray kepo. "Mmm ...." Gandra tampak berpikir. "Kayaknya, ayah itu genten
Kala terdiam menatap Garwita yang begitu dekat dengan wajahnya. Ingin rasanya dia pura-pura khilaf lalu mencium dengan cepat bibir tipis kemerahan yang sekarang terasa sedang menggodanya. Tapi, Kala tak ingin gegabah dan membuat Garwita jadi takut padanya. Kala menggelengkan kepala untuk meredakan rasa nyeri yang sempat hinggap. "Aku tidak apa-apa," balas Kala mencoba terduduk, Garwita mengikuti. "Lagian, pagi-pagi dah iseng!" celetuknya masih kesal dengan candaan Kala. "Ish, siapa yang iseng! Dah ah, yuk bangun kita salat bareng?" ajak Kala kemudian. Dia tak ingin berlama-lama dekat seperti ini dan membuat sesuatu dalam tubuhnya bergejolak dan memanas. ***"Nanti kuantar kamu dulu, baru Gandra ya?" kata Kala perhatian. Garwita yang sedang menyuap makanan langsung mendongak. "Mas, kulihat di samping rumah ada sepeda, apa masih bisa dipake? Kalau bisa, aku ingin memakainya untuk berangkat kerja." Kala mengernyit, mengingat-ingat apa ada sepeda di sana. "Nanti coba ku cek dulu, ya
"Mmm, a--ku tak punya apa pun yang bisa dijadikan jaminan. Bagaimana kalau mulai besok bekerja full di sini? Pagi sampai sore?" tawar Garwita, berharap Ray mau berbaik hati.Ray menggeleng dengan senyum remeh. "Menarik!" jawab Ray singkat. "Selain itu, jemputlah Gandra ketika pulang sekolah dan bawa dia ke sini." "Gandra?" Garwita mengernyit. "Ya, saya ingin punya teman main. Gandra pasti akan jadi teman yang menyenangkan!" balas Ray dengan senyum semringah. Itu membuat Garwita lega juga tak menyangka ada yang begitu menyukai dan menginginkan anaknya."Baik, Tuan." "Oke, pulanglah. Nanti Topan yang akan mengurus semuanya. Tunggu saja kabar dari kami," jelas Ray dengan senyum tulus. Dia pun senang karena akhirnya Garwita meminta bantuan darinya. Ray sangat senang jika merasa dibutuhkan oleh Garwita dan keluagarnya. ***"Ibuuu!" panggil Gandra dari arah jalan. Rupanya Kala sudah menjemput anak itu dan membawanya bersama. Garwita langsung mendekat. "Gandra ikut bersama kita? Bagai
"Aku akan ke rumah Tuan Rian, Mas. Sore kemarin dan pagi tadi aku tak datang, mungkin dia akan kebingungan," ujar Garwita sembari mengemasi baju yang ada di rumahnya. Kala duduk di tepi ranjang. "Aku antar," kata Kala kemudian. Dia tak mungkin mencegah keinginan Garwita. "Berapa hutang bapak, Wit?" "Banyak, Mas," jawab Garwita singkat. Dia tak ingin memberi tahu karena takut akan merepotkan Kala. "Seberapa banyak?" desak Kala. "Tujuh puluh lima juta." Garwita menghentikan tangannya dan menatap lurus ke arah jendela. "Jumlah yang sangat banyak, bahkan jika aku menjual rumah dan tanah ini saja tak mungkin cukup." Kala merutuki situasi ini, kenapa di saat Garwita butuh uang dia justru tak punya banyak dan sedang bertengkar dengan bapaknya. Tentu saja, selama ini Kala hidup ditopang dengan kekayaan juragan Jarwo. Jika saat ini dia keluar dari rumah dan bapaknya tak peduli lagi, Kala tak punya apa-apa selain sisa uang yang dia bawa. "Aku akan kerja, Wit." Kala tak bisa bicar
Tidak ada bahan makanan, sementara mereka berdua belum makan sejak siang tadi. Di luar hujan deras. "Mas, mau ke mana?" Garwita melihat Kala yang memegang kunci."Beli makanan, kamu lapar kan?" "Tapi di luar hujan deras, Mas. Ndak papa kalau malam ini kita enggak makan, anggap saja puasa dulu," canda Garwita. Dia tak ingin Kala pergi karena hujan sangat deras, suara gemuruh juga bersahut-sahutan."Tenang, ada payung, kok. Aku coba ke warung depan sebentar ya?" Kala langsung beranjak pergi, memakai payung yang ada di rumah ini. Garwita membuntut lalu menunggu di ruang depan. Sendirian di rumah membuatnya sedikit kikuk, rumah ini masih terasa asing dan menakutkan baginya. Berkali-kali Garwita menelan ludah karena suara gemuruh juga suara aneh yang terdengar dari beberapa ruangan yang terkunci, mungkin seperti suara tikus yang sedang mengacak-acak sesuatu. Garwita menyibak tirai, menatap keluar berharap Kala segera datang. Jarak warung lumayan jauh, mungkin ada dua ratus meter. Braa
"Saya terima nikah dan kawinnya Garwita binti Nanto Wardaya dengan maskawin tersebut dibayar tunai!" Kala mengikrarkan ijab-kabul dengan sekali napas. Garwita menunduk dengan air mata di pipinya. Dia tak tahu harus bahagia atau bagaimana menyikapi masalah ini. Sekarang, statusnya sudah resmi menjadi seorang istri dari Kalandra. Seperti pengantin pada umumnya, Garwita mencium tangan Kala dengan takzim. Selanjutnya giliran Kala yang mengecup kening Garwita, cukup lama dia menyelipkam doa-doa di sana."Mungkin menikah dengan cara begini terlihat hina. Namun, bagiku semuanya terlihat natural ... terjadi karena takdir Sang Pencipta." Kala menyunggingkan senyum tipis pada istrinya, sementara Garwita hanya diam terpaku. Ijah mengusap-usap pundak anaknya, dia pun ikut menangis dengan pikiran kacau. Tapi tak memperpanjang pikiran negatifnya. Berbeda dengan Nanto usai menikahkan anaknya dia langsung pergi.***Berbekal nekat dan rasa tanggung jawabnya pada Garwita, Kala membawa wanita itu ke