Mereka sampai di kontrakan sekitar jam sembilan malam. Kala mengajak Garwita masuk ke kamarnya. Tentu saja wanita itu hanya mematung di luar, lalu celingak-celinguk ke sekitar yang masih terlihat ramai dengan orang-orang.
"Ayo masuk!"
"Bareng? Memang boleh, Mas,?" tanya Garwita, dalam benaknya di kontrakan Kala hanya ada kasur dengan ruangan yang sangat sempit.
"Boleh, kenapa enggak? Di sini bebas, kok. Tapi nanti aku bisa lapor dulu ke pemilik kontrakan. Biar enggak ada yang curiga," ujar Kala membuka kunci.
"Udah pulang, Ndra? Sama siapa tuh!" tegur penghuni kontrakan yang baru saja keluar dan mendapati wanita bersama Kala.
Kala mengangguk, di tempat ini dia biasa dipanggil Ndra, kepanjangan dari Kalandra.
"Ya, saudara! Mau ke mana lu?" balas Kala sambil memberi kode agar Garwita masuk lebih dulu.
Sementara Kala mengobrol dengan Gendon temannya. Lelaki bertubuh tambun itu berniat ingin mencari makan malam. Kala yang tadi belum sempat membelinya, meminta Gendon juga membelikannya dua porsi nasi goreng.
Garwita berdiri mengamati setiap sudut kontrakan Kala. Tak terlalu sempit, memang hanya ada satu ruang yang disekat jadi dua, memisahkan ranjang juga sedikit ruangan depan. Tapi kamar mandi kumplit, hanya tak ada dapurnya.
"Mandilah dulu, atau capek? Kamu bisa istirahat." Kala duduk di sofa sambil menggeliat.
Sedari tadi Garwita menahan ingin buang air kecil, jadi tanpa menunggu dia langsung ke kamar mandi.
***
Dua porsi nasi goreng sudah siap di meja. Kala juga membuat dua gelas teh hangat untuknya dan Garwita.
"Makan dulu!" titah Kala saat mendapati Garwita sudah bebersih dan memakai baju santai--kaus lengan penjang dengan rok.
"Beli?" tanya Garwita menempatkan diri berhadapan dengan Kala.
"Ya, aku tak pernah masak. Paling masak nasi."
"Boros, dong!" celetuk Garwita, menerka-nerka pengeluaran Kala selama kuliah di kota.
"Ya, enggak juga. Lebih boros lagi kalo masak sendiri, ribet!"
"Oh." Garwita mengamati Kala yang sedang lahap makan, pikirnya mungkin selama beberapa tahun ini Kala terlihat lebih kurus karena ini. Di kampung, dia terbiasa apa-apa serba tercukupi apalagi hanya sekadar makan. Tapi, di sini selain harus mandiri juga dibebani dengan tugas-tugas yang menumpuk.
Malam semakin larut, Kala masih terjaga dengan layar laptop yang masih menyala.
"Ndak tidur, Mas?"
"Kamu duluan saja. Aku biar tidur di sofa, ada tugas yang nanggung harus kuselesaikan."
Garwita mengintip layar laptop yang berisi dengan banyak file-file tulisan, tentu saja wanita itu tidak mudeng dengan sesuatu yang sedang dikerjakan Kala lalu memilih berbalik ke kemar. Dia meringkuk di ranjang berukuran sedang dengan seprai berwarna hitam. Tubuh yang terasa lelah membuatnya cepat terlelap.
***
Diceknya kembali oleh Garwita tulisan alamat di selembar kertas yang terselip di dompet. Dia menyodorkannya ke Kala, kening lelaki itu mengernyit karena membaca tulisan yang sudah buram. Masih bisa dibaca meski otaknya harus berkerja keras menterjemahkan lebih dulu.
"Kamu tahu, Mas?"
Kala mengangguk pelan. "Tapi kita butuh waktu satu jam buat menuju kotanya."
"Beritahu aku saja, harus naik apa dan buat denahnya," ujar Garwita mengeluarkan kertas kosong.
"Aku antar!" Kala langsung bangkit dari duduknya lalu mengambil kunci motor dan helm.
"Memang ndak kuliah?" Garwita merasa sungkan karena lagi-lagi harus merepotkan Kala.
"Hari ini tak ada mata kuliah. Ayo, mumpung masih pagi."
Mereka berdua mencari alamat Ray dengan menaiki motor metik milik Kala yang sengaja dibeli saat dulu masuk kuliah. Garwita duduk di jok belakang, harapannya melambung tinggi. Dia berdoa agar apa yang dia cari bisa secepatnya bertemu.
Sepanjang jalan, otak Garwita terus saja terbayang-bayang wajah suaminya. Kebersamaan yang hanya seumur jagung, nyatanya begitu membekas dan membuat Garwita tak bisa melupakkannya barang sejenak. Bahkan setiap inchi dari wajah dan tubuh suaminya masih tergambar jelas, sikap hangat dan lembut juga momen-momen yang mereka lalui bersama tak ada secuil pun yang terlupakan.
"Gedungnya tinggi bangeeet!" gumam Garwita ketika mengerjap dan kembali fokus ke jalanan.
Dari balik kaca spion, Kala melihat ekspresi Garwita yang begitu kagum. Dia tertawa geli melihatnya.
"Beneran kayak yang ada di TV, kira-kira berapa lama membangunnya, ya?" Coletahan Garwita semakin membuat Kala tak mampu menahan tawa. Pikiran polosnya sungguh lucu sekali.
"Ish, malah ketawa!" Garwita menepuk punggung Kala. Dia kesal karena terus ditertawakan.
"Lagian, kayak enggak pernah ke Jakarta saja."
"Pernah, tapi itu dulu banget waktu stady tour SMP. Bayangin saja udah berapa tahun! Yang pasti sekarang jauh lebih maju dan mengagumkan!"
Tak ingin mendengar ejekkan Kala lagi, Garwita memilih fokus pada apa yang dia lihat. Matanya terus mengedarkan pandangan ke setiap penjuru. Bukan hanya gedung, kendaraan, atau pedagang di tepi jalan. Bahkan pejalan kaki saja tak luput dari pengamatannya. Garwita melihat pakaian yang orang-orang kota kenakan, dia membatin begitu bagus dan kekinian. Lalu dilihatnya apa yang dia kenakan, gamis lusuh yang warnanya hampir pudar. Yah, Garwita membeli baju hanya setahun sekali jika lebaran, itu pun kalau ada duit, kalau tidak ya yang penting untuk Gandra ada.
Garwita jadi kepikiran Gandra lagi, apa pun yang terjadi pada Ray. Selagi Garwita punya kesempatan untuk mencari, dia ingin gunakan waktu semaksimal mungkin. Agar bisa cepat pulang dan kembali bertemu Gandra, baru sehari berpisah saja rindu itu mulai menumpuk.
"Kita makan siang dulu, ya?" Kala menepikan motornya di depan warung nasi.
Garwita tak bisa menolak, perutnya juga keroncongan. Saat di dalam dia bingung pake lauk apa, takut jika uangnya kurang.
Kala mengambilkan ayam goreng lalu meletakkannya di piring Garwita.
"Aku pake tempe ajah, Mas." Garwita ingin meletakkan kembali ayam gorengnya tapi dicegah oleh Kala.
"Kenapa?"
"Aku takut harganya mahal," balas Garwita dengan wajah polos.
"Halah, kita kan makan di warteg! Harganya murah, enggak kaya di restoran," ujar Kala mengambil apa saja yang terlihat enak ke piring Garwita.
Garwita bengong karena sekarang piringnya sangat penuh dengan tumpukkan lauk. Kala yang melihatnya langsung terkekeh-kekeh, meski batinnya sedikit iba. Dia tahu apa yang dipikirkan Garwita, wanita itu pasti sungkan.
"Tenanglah, jangan pikirkan soal duit, udik-udik begini, kamu tahu kan aku siapa ... anak juragan Jarwo!" kata Kala dengan congkak sembari membusungkan dada. Garwita terkikik geli melihat ekspresi konyol lelaki di sampingnya. Dia jadi ingat semasa SMP dulu, ketika Kala jadi kakak kelasnya. Diam-diam Garwita mengintip dari jendela saat Kala berada di depan kelas untuk perkenalan.
"Tolong dengarkan baik-baik, kalau perlu dicatat! Sekalian pake tinta merah biar kelihatan! Namaku Kala, panjangnya Kalandra Sujarwo! Anak juragan Jarwo, orang paling ningrat sekampung Karang Mencil." Bayangan Kala saat remaja yang bertubuh bongsor dengan pipi tembem terlintas di benak Garwita.
"Oiya, ini yang paling penting kenapa aku dinamai Kalandra, Bapak Jarwo bilang Kalandra dari bahasa Jawa artinya menerangi masyarakat. Nah, keren kan? Beliau pasti berharap tinggi, mungkin sangat tinggi kalau matang nanti ... ah bukan, maksudnya dewasa nanti aku bisa berperan penting dan memberi banyak manfaat untuk masyarakat. Bagai sang surya menerangi dunia. Woelah, jadi nyanyi!"
"Itu kujadikan motivasi, anggap saja maksud dari harapan Bapak Jarwo adalah agar aku kelak menjadi calon presiden! Begini saja perkenalannya, jadi tak usah panjang lebar, tolong pilih Kalandra Sujarwo jadi presiden!"
Mengingat itu, Garwita jadi senyum-senyum sendiri. Kala itu memiliki jiwa kepedean yang sangat tinggi. Melihat Garwita yang masih mesem-mesem membuat Kalandra mengernyit lalu menyikutnya.
"Ayo, duduk!" ajak Kala ke meja paling depan. Garwita membuntut.
"Kenapa tadi senyum-senyum?" tanya Kala penasaran sambil menyeruput es teh.
"Aku inget sama anak juragan Jarwo waktu perkenalan di SMP!"
Uhuuuk!
Spontan Kalandra menyemburkan minum dan terbatuk, untung saja hanya mengenai tembok. Garwita tertawa keras, dia tahu kenapa ekspresi Kala sangat kaget karena setelah perkenalan itu kejadian tak terduga berlangsung. Kala yang sudah selesai berjalan menuju kursinya, tapi nahas kakinya tersandung dan membuat tubuh tambunnya tersungkur. Teman-teman bukannya membantu justru tertawa menyoraki. Dimulai saat itulah teman-teman Kala selalu memanggilnya presiden gendut!"Hah, dasar teman-teman lak nat!" gerutu Kala kesal mengingatnya.
"Yah, mereka jahat sekali ... tapi memang wajahmu dulu sangat menggemaskan!" celoteh Garwita dengan senyum jahil.
"Ish, coba ada reuni SMP mereka pasti bakal tercengang lihat aku sekarang!" ucap Kala yakin.
"Sebab?" Garwita mengernyit, siap-siap menyemburkan tawa biasanya ucapan ngelantur Kala akan terdengar lebih konyol dan gokil.
"Sabab ... sekarang ketampananku sebalas, dua belas dengan Bapak Jarwo!" balas Kala bangga, ekspresi sok ganteng dengan tangan mengusap poninya kesamping membuat Garwita semakin terpingkal dan berasa gila. Sehebat itu memang Kala dalam membuat lelucon.
Kala tak pernah marah jika ditertawakan oleh Garwita, baginya senyum dan tawa wanita itu selalu tulus sebagai bentuk apresiasi dari lawakkannya.
Puas tertawa, mereka kembali melanjutkan makan. Garwita duduk anteng, langsung menikmati jatahnya.
"Enak ya? Biasanya aku makan daging kalau lagi kondangan doang!" gumam Garwita masih fokus ke piringnya. Suasana yang tadi penuh gelak tawa sekarang agak hening.
Kala menoleh, dia tersenyum tipis. Melihat itu, ada yang terasa mencubit hatinya. Andai bisa, Kala ingin menikahi lalu menafkahi wanita yang ada di sampingnya dengan penuh cinta dan kasih. Namun, saat dia sadar dari khayalan itu, Kala merasa itu terlalu konyol, Garwita belum menjanda. Dia tak mungkin bisa menerimanya, pun Kala belum berani mengungkapkan apa yang dia rasa karena takut Garwita justru akan menjauhinya.
***
Matahari tepat berada di pucuk singgasana, panas begitu menyengat. Apalagi debu jalan yang semakin membuat gerah. Di belakang, Garwita duduk sembari mengibas-ibaskan tangan. Kala mengegas motornya agar cepat sampai dan bisa berteduh sejenak.
"Rumah nomor berapa tadi, Wit?" tanya Kala ketika sampai di sekitaran tempat yang di tuju.
"Nomor 227, Mas!" Kala memelankan laju lalu mengamati setiap nomor yang tertera di depan rumah.
"Dua-dua lima, dua-dua enam ...." Kala berhenti tepat di hitungan dua-dua tujuh, di depan sebuah rumah megah, berpagar besi. Namun, terlihat seperti tak terawat.
"Apa ini rumahnya?" Garwita turun lalu mengecek nomor rumah yang kebetulan terpasang di pagar dan di sebelahnya tertulis 'Rumah Ini Dijual!'.
Mereka berdua saling pandang lalu celingak-celinguk.
"Permisi, Pak, saya mau tanya rumah nomor 227 atas nama Pak Raykarian di sebelah mana ya?" tanya Kala pada penghuni di sebelah rumah tadi yang kebetulan keluar.
Garwita berdiri di belakang Kala dengan dada bergemuruh, dia deg-degan dengan jawaban bapak yang ditanya tadi. Terpancar jelas raut penasaran juga penuh harapan dari Garwita.
"Dokter Ray? Oalah, beliau sudah pindah lama, Mas. Dulu ini memang rumah orang tuanya Dokter Ray, Tuan Abash dan Nyonya Mega. Tapi sekitaran empat atau tiga tahun lalu mereka pindah," terang bapak berbaju biru tua.
Kala menoleh ke arah Garwita yang sekarang mematung. Harapan wanita itu gugur seketika.
"Bapak tahu mereka pindah di mana?" tanya Kala lagi.
Bapak tadi berpikir keras, dia mengingat-ingat. "Duh, maaf Mas, saya lupa," jawabnya sambil memijat kepala yang sedikit botak. "Tapi setahu saya dulu Dokter Ray punya klinik di daerah ...," tuduhnya.
Kala mengingat-ingat alamat klinik pribadi Ray yang dituduhkan. Tanpa pikir panjang mereka kembali melajukan motor dan menyusuri jalanan.
"Jauh ya, Mas?" tanya Garwita gusar.
Kala mengangguk dan menyuruh Garwita berpegangan karena dia akan mengebut. "Kita harus cepat biar tidak kesorean!" ujar Kala lalu menarik gas. Garwita yang tanggap langsung memegang baju yang dikenakan Kala.
Udara sore mulai terasa dingin, sinar mentari pun mulai meredup saat mereka sampai di klinik yang dimaksud.
"Klinik Andalan," gumam Garwita. Matanya berbinar-binar ketika melihat klinik itu masih buka dan tampak ramai.
Tanpa menunggu Kala memarkirkan motor, Garwita melangkah lebih dulu. Jantungnya berdetak tak karuan, dia sangat berharap kali ini akan menemukan Ray. Tepat ketika dia berdiri di pintu masuk, dilihatnya seorang dokter yang berjalan di koridor ingin menuju ke suatu ruangan. Posturnya tinggi, memakai jas putih dan celana kain hitam. Senyum Garwita tersungging dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Mas Ray!" panggil Garwita membuat suasana di meja pendaftaran yang tadinya agak ramai jadi hening dan semua orang menatapnya kaget.
Merasa ada seseorang yang berteriak, dokter yang tadinya berjalan ke arah utara membalik badan. Garwita kini berdiri tepat di belakangnya dengan tak sabar ingin menepuk pundak dokter itu. Namun, urung karena lebih dulu dia membalik badan.Garwita mematung dan membulatkan mata, ketika yang dia lihat bukanlah yang dicarinya. Dokter pemakai kacamata dengan kemeja biru muda di balik jasnya itu mengerenyit heran."Anda ada perlu dengan saya?" Garwita menggeleng cepat. "Maaf, aku salah orang, Dok!" ucap Garwita sambil menundukkan kepala lalu pamit ke tempat pendaftaran. Jantungnya yang tadi berdetak tak karuan kini seakan melemah seperti pundaknya yang merosot. Di tempat pendaftaran sudah ada Kala yang bertanya pada petugas resepsionis."Jadi, pemilik klinik yang sekarang bukan dokter Raykarian ya, Mbak?" ulang Kala memastikan. Gadis cantik di meja resepsionis itu mengangguk. "Ya, Mas, betul. Saya baru di sini, katanya klinik ini baru sekitaran satu tahun beroperasi setelah vakum lama. D
"Oalah, ke sini? Ini mah masih jauh, Mbak!" ujar seseorang membaca alamat yang dituduhkan. "Jadi bukan di sini ya, Bu?" Garwita mulai merasa bimbang. "Iya, Mbak. Paling enggak ada satu jam naik angkot." Wanita kurus itu menjawab, dari matanya terpancar rasa iba dan kasian. Apalagi ketika melihat kaki Garwita terluka.Garwita merogoh saku bajunya, tak ada sepeser pun recehan yang tertinggal. Dia lalu menghela napas dan bingung, mau melanjutkan perjalanan atau pulang saja? "Kalau Mbak mau ke sana, ini kukasih uang buat naik angkot, Mbak." Selembar uang dua puluh ribu disodorkan pada Garwita. Namun, dia langsung menolak karena sungkan."Enggak papa, ambil saja," paksa si ibu. Garwita tak bisa lagi menolak, dia ucapkan terima kasih berkali-kali sambil memeluk ibu-ibu yang menolongnya. Garwita lalu pamit dan kembali melangkah, seperti yang dituduhkan ibu tadi kalau jalan ke arah barat sekitar lima ratus meter ada pangkalan angkot. Tidak mudah, sesekali Garwita berjinjit karena kakinya
Pencarian Kala tak membuahkan hasil, padahal dia sudah berkeliling cukup jauh. Dia mulai menepi lalu berhenti sejenak untuk berpikir. "Kalau Garwita pergi untuk mencari Ray, kenapa aku tak melakukan hal yang sama? Mungkin saja dengan aku mencari tujuan yang sama bisa menemukan Garwita di sana?" batin Kala lalu memukul kepalanya kenapa sedari tadi malah berputar-putar bukannya langsung ke alamat. "Bodoh!" gumam Kala pada diri sendiri. Motor metik berwarna hitam itu kembali melesat menyusuri jalanan. Kala masih mengingat jelas setiap detail yang diucapakan ibu-ibu cleaning service di klinik Andalan. Dia yakin, berbekal ingatan dan nama Tuan Abash bisa menemukan alamat itu. *** Garwita berlari sembari menyeka air matanya, tak dihiraukannya kaki yang semakin lecet dan berdarah. Harapan yang telah hancur membuat rasa sakit di badan tak lagi terasa karena yang lebih memilukan justru ada di dalam dada, sakit di hati yang amat dalam. Kepala Garwita dipenuhi dengan prasangka dan tebak me
Kala melihat Garwita sedang mengemasi bajunya ke tas, dia mengernyit untuk apa wanita itu melakukan itu?"Kamu mau pulang?" tanya Kala membuat Garwita berjengit. Garwita mengangguk. "Pencarianku sudah selesai. Aku harus cepat pulang untuk Gandra," balasnya dengan seulas senyum. Senyum yang selalu Garwita tunjukkan sekali pun hati sedang gerimis. Kala bersender ke tembok dengan tangan bersedekap. "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" Sejenak Garwita berpikir, namun tak ada dalam benaknya sesuatu yang ingin dia lakukan setelah ini. Usai tahu tentang Ray dan harapan itu hancur dalam sekejap, dia berasa tak punya harapan yang harus diperjuangkan. "Seperti biasa lagi. Kerja untuk Gandra," balas Garwita tak ingin membuat kepalanya pusing dengan mencari-cari rencana. "Kamu tidak akan menggugat cerai?" Kala bicara dengan tatapan serius pada Garwita. Wanita itu menghela napas dalam, rasa syoknya seakan-akan masih mencekik ingatan. Garwita ingin menolak untuk percaya bahwa Ray meningga
Sampai di rumah sakit Garwita langsung berlari menuju ruangan di mana Kala dirawat, dia sudah dipindahkan dari UGD. Air mata Garwita terus mengalir, dia tergopoh-gopoh sambil menyekanya. Ketika pintu dibuka terlihatlah Kala yang sedang berbaring dengan perban dibagian kepala juga tangan. Dia masih memejam, pikir Garwita karena belum sadarkan diri. "Mas, kamu ndak papa kan?" tangis Garwita pecah sampai sesenggukan melihat Kala dengan kondisi begitu. "Mas, bangun!" Garwita merengek seperti anak kecil. Dia terduduk di kursi samping ranjang sembari meremas tepian ranjang. Kala yang tadinya ingin tidur merasa terganggu. Awalnya dia kira berhalusinasi tapi suara khas Garwita membuatnya mengerjap dan mendapati wanita itu sedang menangis untuknya. Kala masih diam dan pura-pura memejam, tapi senyum tipisnya tak bisa disembunyikan. Masih terdengar tangisan Garwita yang lebih mirip seperti anak kecil, lama-lama Kala tak tahan juga ingin tertawa. "Aku enggak papa, Sayang, cep cep cep!" ucap
q"Witaku ...," gumam Ray nyaris tanpa suara.***Garwita celingak-celinguk di ruang rawat karena tak melihat Hana ada di sana. "Cari apa?" "Mmm, pacarmu sudah pulang, Mas?" tanya Garwita pada Kala yang duduk dengan menyenderkan punggungnya di kepala ranjang."Sudah, dia bukan pacarku," jawab Kala. Lalu menyuruh Garwita agar duduk kursi dekatnya. "Aku lapar, Wit." Garwita mengernyit, dilihatnya makanan yang sudah disediakan pihak rumah sakit di meja nakas. "Mau makan?" Garwita mengambil nampan berisi makanan dia ingin meletakannya di pangkuan Kala agar lebih mudah menjakaunya. "Ish, kamu enggak lihat tanganku kena cekal semua? Suapin!" pinta Kala manja. Gerwita tersenyum geli. "Yang cedera kan tangan kirimu saja, Mas! Tangan kanan masih bisa bergerak!""Tapi kan ada selang infusnya, Wit! Gimana kalau pas makan terus copot? Pokoknya suapin!" Garwita tak bisa lagi menolak, tangan kanan Kala memang diinfus. Bisa saja Kala makan sendiri, tapi niatnya sedari tadi menunggu Garwita
"Mas, bisa melakukannya sendiri kan?" tanya Garwita ragu. Tangan Kala yang memakai arm sling, mungkin akan menyulitkannya untuk mandi. Kala tertawa pelan. "Memangnya kalau enggak bisa kamu mau bantu?" Kala menarik turunkan alisnya."Ish, ya ... aku bakal panggilin Gendon atau bapak pemilik kontrakan buat bantu kamu mandi," canda Garwita dengan senyum puas. Kala mengerucutkan bibirnya, dan memilih masuk ke kamar mandi. Dua hari berada di rumah sakit dan sekarang sudah dibolehkan untuk pulang keadaan Kala sudah membaik tinggal tangannya saja yang butuh waktu lebih lama untuk penyembuhan.Pagi ini, adalah hari terakhir Garwita di kota, Kala akan mengantarnya ke terminal. ***Garwita sudah bersiap dengan baju baru yang dibelikan Kala, gamis berwarna moka satu set dengan jilbab panjangnya. Bagus sekali, ini adalah baju Garwita yang terlihat paling mahal dan sangat pas di badannya. Kala terdiam ketika menunggu Garwita di teras kontrakan. Matanya melebar tanpa berkedip, sementara bibirnya
**Flashback"Dok, tolong!" teriak seorang gadis, tergopoh-gopoh memapah seorang wanita paruh baya dan membawanya ke puskesmas. Ray dengan tanggap menyuruh satu perawat untuk membawakan brankar dan mendorong masuk pasien yang terlihat begitu lemas. Cekatan para petugas medis yang berjaga memeriksa wanita itu. Sementara anak gadisnya menunggu di luar. Sudah hampir tiga hari Ijah sakit perut dari mual muntah sampai diare. Garwita yang panik langsung membawa emaknya ke puskesmas. Saat itu dia baru saja selesai mencuci baju. Dengan gusar Garwita menunggu sembari mondar-mandir di depan ruang rawat. Puskesmas kampung tidaklah besar hanya memiliki dua gedung ukuran sedang. Suara deritan pintu membuat Garwita langsung menoleh dan menyongsong petugas medis yang keluar dari sana. "Dok, bagaimana kondisi emakku?" tanya Garwita cemas. Ray tersenyum ramah, dia tahu jika seseorang di depannya pasti sedang gugup dan panik. "Ibumu terkena gastroenteritis atau muntaber, jadi harus dirawat inap. T
Braaak!Cara terakhir agar Topan tahu kondisi tuannya adalah dengan mendobrak pintu. Pintu terbuka lebar, terlihat jelas Ray yang jatuh dari kursi roda lalu melempar apa saja yang bisa digapai tangannya. Telapak tangannya sampai berdarah karena tergores serpihan gelas. "Anda baik-baik saja, Tuan?" Sigap Topan memapah Ray dan mendudukkannya ke ranjang. Sayangnya lelaki itu justru marah dan langsung mengusir Topan lagi."Pergi dan tutup pintunya!" teriak Ray dengan mata nyalang dan menunjuk ke arah pintu. Topan bisa lihat darah segar yang menetes dari telapak tangan Ray. Tapi tak ingin dia semakin marah membuat Topan hanya bisa menghela napas lalu keluar. *** Di lain tempat, Gandra sudah tertidur pulas sementara Garwita tak bisa tidur terlebih Nanto pulang dan dia memanggil-manggil Garwita untuk menyuruhnya membuat minuman. Mau tak mau wanita muda itu berjalan ke dapur dan menyeduh kopi untuk Nanto. Ijah yang kelelahan sudah tertidur di dipan depan dengan TV yang masih menyala. "Ini
"Gandra?" Garwita kaget melihat Gandra dan Kala ada di depan rumah Ray. "Mas Kala?" lirihnya. Ray melihat dua lelaki beda usia itu menanti Garwita, lalu dia balik menoleh pada Garwita yang masih mematung. "Gandra, sini!" panggil Ray dengan suara serak sambil melambaikan tangan takut anak itu tak dengar. "Om Kala, aku turun dulu ya?" pinta Gandra lalu menghampiri ibunya dan Ray. Sementara Kala masih berdiam di tepi jalan. Kali ini dia merasa sangat canggung, apalagi sikap Garwita yang terkesan cuek. Padahal, biasanya kalau Garwita melihatnya pulang akan berteriak antusias bahkan kegirangan seperti anak kecil."Tuan, aku pamit," ucap Garwita setelah Gandra dan Ray saling memeluk dan saling salam tinju dengan kepalan tangan. Mereka berdua tampak sangat akrab.Ada rasa aneh yang Kala lihat pada lelaki di kursi roda itu, kenapa memakai pakaian serba tertutup di dalam rumah, bahkan memakai masker dan mantel jaket.Kala bersedekap dengan mata melihat ke arah mereka, dari adegan yang disugu
"Ish, apaan sih Mas Rudi. Sudah dibilang ndak mau!" Garwita mendorong ponsel Rudi agar menjauh dari wajahnya."Wita!" Suara dari ponsel membuat Garwita dan Rudi yang sedang bergurau langsung diam dengan cepat Rudi meletakan ponselnya di tangan Garwita. Wanita itu tak mampu lagi menolak karena di layar, Kala sudah melihatnya. "Ya, Mas?" balas Garwita kemudian. "Kamu baik?" Kala terlihat sedang mengamati wajah Garwita dari balik layar. "Alhamdulillah, Baik. Mas Kala gimana?" Kala tak langsung menjawab, dia terkekeh-kekeh sejenak. "Ya enggak gimana-mana. Ini lagi sakit!" "Mas Kala sakit?" Garwita berubah penasaran. Dia mengangkat lebih tinggi tangannya agar jelas melihat Kala. "Ya, sakit rindu!" jawab Kala dengan tawa pecah. Garwita cemberut, tetapi semburat merah di pipinya tak bisa dia sembunyikan. "Halah, gombal!" Garwita memiring-miringkan bibirnya. "Serius! Oiya, kenapa enggak mau aktifin ponselnya?" Kala kembali mendesak Garwita. Wanita itu menggeleng, perasaan tak enaknya
Ehem! Ray berdeham lalu mengalihkan pandangannya keluar jendela. Garwita pun melakukan hal yang sama, dia dibuat gugup sesaat tadi. Sementara Topan yang melihat hanya bisa tersenyum tipis. Dia tidak tahu bagaimana nasib tuannya ke depan, hanya saja doanya selalu ingin yang terbaik Ray bisa sembuh lalu membangun kembali keluaraga yang utuh. "Om, kalau besar nanti Gandra juga pengen bisa nyetir mobil!" celetuk Gandra pada Topan. Lelaki botak itu langsung tertawa geli. "Boleh saja, Gan. Besar nanti pasti kamu bakal punya mobil banyak, bukan cuma mainan!" yakin Topan meski dengan nada bercanda. Mau bagaimana pun, Ray adalah pewaris satu-satunya keluaraga tuan Abash, sementara sekarang hanya Gandra lah keturunan dari Ray. "Om Botak! Lihat itu!" Gandra menunjuk ke patung gajah yang berada di depan sebuah gedung. "Besar sekali!" Dia berdecak kagum."Gandra, jangan panggil begitu!" tegur Garwita merasa anaknya tak sopan memanggil Topan dengan sebutan botak."Tak masalah, Mbak, justru saya
Garwita membuka kotak putih itu dan memang benar berisi smart phone. Lalu di dalamnya terselip sebuah surat kecil. Gandra meraih ponsel itu, dia begitu penasaran dan ingin memegang seperti apa ponsel. Sementara Garwita membaca suratnya. Pesan itu diawali sebuah salam lalu langsung pada intinya, hanya beberapa baris saja yang membuat Garwita tahu siapa pengirimnya. [Garwita, apa kabarmu? Sampai dengan selamat bukan? Aku lupa kemarin ingin memberikan ini padamu agar bisa berkomunikasi dengan siapa saja. Gandra pasti pun akan senang. Tolong aktifkan ponselnya, dia dalam sudah ada kartu seluler. Aku tak sabar ingin menelpon dan melihat wajah Gandra.] "Mas Kala?" batin Garwita. Dia merasa tak enak hati diberi barang semahal ini, dia tebak pasti harganya jutaan. Mengingat kata yang juragan Jarwo wanti-wanti kemarin, Garwita pun urung mengaktifkan ponsel itu. Dia mengambil kembali dari Gandra lalu menyimpannya, mungkin akan mengembalikannya jika Kala pulang nanti."Yah, Bu, kok diambil? G
"Aaa, moster!" teriak Gandra ketakutan saat melihat seseorang di dalam mobil memakai kacamata hitam dengan wajah penuh luka bakar. Ray lupa tak memakai masker. "Heh, ndak boleh bilang gitu, Le!" tegur Ijah memperingatkan cucunya. "Maaf ya, Pak, cucu saya kadang cuma asal nyeplos," kata Ijah pada Ray dengan wajah tak enak hati. Sementara Gandra langsung berlari lebih dulu, Ijah membuntuti. Ray menutup kaca jendela. Dia sandarkan punggung ke jok, ada yang berasa perih dalam dadanya. Bukan karena penolakan dari anaknya, tapi ini jauh lebih buruk. Anaknya sendiri takut, dan bilang kalau dia seperti moster. Ray memejamkan mata, menahan rasa sesak di dada. Dia hela napas dalam dan kembali menenangkan diri. "Maafkan, Ayah," gumam Ray. Dia lalu menyuruh Topan untuk melajukan mobil dan langsung pulang ke rumah. ***Garwita menemui Topan yang sedang duduk di kursi depan. "Maaf, Mas, aku kesorean." Garwita tak enak hati ketika sampai di rumah majikannya pukul lima. "Tak masalah, Mbak. T
"Panggil saja Tuan Rian, Mbak!" balas Topan tiba-tiba. Dia sudah berdiri di belakang Garwita. "Tuan Rian? Oh baiklah, terima kasih." Garwita menundukkan kepalanya sebagai isyarat pamit dengan senyum merekah lalu kembali undur diri. "Namanya Rian? Ah ya, Rian," batin Garwita terus mengingat-ingat. Pukul setengah delapan, waktu yang longgar untuk menuju ladang. Dia mengayuh sepeda dengan santai kali ini. Sinar mentari mulai terasa hangat-hangat kuku. "Wita!" panggil Nanto yang sudah berdiri di tepi jalan. Tadinya Garwita tak tahu jika beberapa orang yang mengerumun di tepi jalan ada bapaknya. Nanto memberi isyarat agar Garwita berhenti dan mendekat. "Ada apa, Pak?" Garwita melirik ke arah orang yang bersama Nanto. Dia paham betul lima orang itu adalah juragan Margono dan para pengikutnya. Untuk apa bapaknya ikut juga bersama mereka? Apa mungkin Nanto sekarang bekerja untuk juragan Margono? Batin Garwita mulai resah lalu mengingat ucapan Karmi kemarin siang. "Kamu mau berangkat ke
"Mmm maaf, Mas, aku dengar di sini sedang cari orang buat jadi pembantu. Apa benar?" tanya Garwita memastikan."Oh, jadi mbaknya mau melamar kerja di sini?" Topan melontarkan seulas senyum, dalam benaknya merasa lega. Ternyata rencana menyuruh Imah untuk memberi infomasi perkerjaan pada Garwita disambut langsung oleh wanita itu. "Iya, Mas, semisal ada aku mau!" balas Garwita antusias.Topan tak langsung menjawab, dia pamit pada Garwita untuk bertanya pada tuannya. Topan masuk ke rumah sementara Garwita menunggu di luar.Di ruang tamu Topan mendapati Ray yang sudah duduk di balik tirai, dia pun langsung mengatakan maksud wanita itu datang. Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, Ray merasa senang tanpa bersusah payah ternyata Garwita sendiri yang langsung mendekat padanya. "Katakan padanya jika mulai besok sudah boleh bekerja, hanya untuk pagi dan sore. Karjanya memasak di sini, setelah itu dia boleh langsung pulang. Dan kusus hari minggu dia harus datang dan membersihkan rumah ini." Ra
Dua bulan berlalu setalah Garwita resmi bercerai dari Raykarian. Dia menjalani hari seperti biasanya, hanya saja status yang sudah berganti membuatnya harus lebih hati-hati dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Apalagi sekarang masih dalam masa idah. Garwita terduduk di bawah pohon kelapa yang berada di tengah ladang milik juraga Jarwo. Dia berisitirahat sejenak setelah tadi berkerja keras bersama pekerja lainnya memanen daun tembakau pertama. Garwita memandangi tanaman hijau di sebalah selatan yang tumbuh subur dengan duan-daun lebar yang belum selesai dipanen. "Makan dulu, Wit, kamu bawa bekel ndak?" tanya Karmi, wanita paruh baya yang sudah lama bekerja pada juragan Jarwo, usianya tak beda jauh dengan Ijah. Sayangnya, Ijah yang sakit-sakitan sudah tak bisa lagi bekerja berat. Jadi, Garwita memintanya agar tetap di rumah."Bawa, kok, uwa Karmi. Pake lauk apa?" Garwita membuka kotak nasinya, lalu melongok ke arah makanan yang dibawa Karmi menggunakan kertas minyak. Mereka makan b