"Jadi, kamu masih mengharapkan lelaki itu?" Kala mencondongkan badannya agar tepat berhadapan dengan Garwita. "Dia sudah membuangmu, bukan?"
"Ndak, Mas. Dia tak membuangku, mungkin saja suatu keadaan membuatnya tak bisa kembali. Dan saat ini, giliranku yang harus mencarinya!" kata Garwita penuh keyakinan. Binar harapan di matanya, berbanding terbalik dengan rasa pedih dan pupus yang kini dirasakan Kala.
"Bagaimana dengan Gandra?" Kala masih memandangi Garwita dengan raut cemas dan tak rela.
"Dia sudah lumayan besar, ada Emak yang akan menjaganya. Toh, ndak akan lama, hanya sampai aku tahu kabar tentang Mas Ray," pinta Garwita lagi. Dia meraih ujung baju Kala dan menarik-nariknya seperti anak kecil.
Kala diam sesaat, dibenaknya serasa sedang berperang antara ingin membantu atau egois? Egois untuk menahan Garwita agar tetap di sini, di tempat di mana saat Kala pulang masih bisa melihat senyum manisnya dan bercanda penuh jenaka.
"Mas?"
"Ya!"
"Aku mohon!" Garwita mengeluarkan jurus pamungkas yang tak mungkin bisa Kala tolak. Matanya mulai berkaca-kaca dengan bibir gemetar, seperti anak kecil yang akan menangis karena tak boleh membeli jajan.
"Baiklah," balas Kala putus asa. Sementara Gawitra langsung meloncat kegirangan. Andai bisa, mungkin harapannya pun ikut loncat setinggi-tingginya sampai menyentuh awan.
Sudut bibir Kala tertarik, membentuk senyuman tipis. Dia makin bingung, bagaimana bisa tetap tersenyum melihat kebahagiaan Garwita sesaat ini, sementara kebahagiaan itu bukan karenanya. Tapi, begitulah perasaan. Kadang kita bisa jadi bodoh mengesampingkan kepedihan sendiri, demi menukarnya dengan senyuman seseorang yang kita anggap sebagai sumber semua rasa.
Garwita terududuk lagi, dengan wajah semringah dan rencana yang mulai tersusun jelas di benaknya. Sementara Kala pamit untuk menemui Gandra. Dia tak ingin menyiakan bertemu dengan jagoan kecil yang senyumnya laksana obat dari penawar segala rasa sakit.
***
Tengah hari, tepat ketika azan Zuhur mulai berkumandang Garwita menghentikan pekerjaannya. Dia menunggu azan selesai lalu bergegas membereskan pekerjaannya agar bisa cepat pulang.
Kebun juragan Jarwo lumayan berjarak dari rumah Garwita. Mengayuh sepeda menjadi pilihannya ketika berjalan kaki terasa pegal. Suara decit sepeda usang milik bapak yang dipakainya mengiring setiap kayuhan yang mampu kakinya gerakkan.
"Ibuuu!" panggil Gandra antusias dari ambang pintu ketika melihat ibunya pulang.
Sepeda usang berwarna merah yang sudah terkelupas itu di senderkan pada bilik samping rumah. Garwita menghampiri Gandra yang juga menyongsong kedatangannya.
Bocah cilik berambut hitam tebal dengan poni yang membentuk seperti mangkuk tersenyum riang. "Bu, tadi Om Kala jemput Gandra di sekolah!" ujar Gandra antusias dia langsung menceritakan apa yang baru saja terjadi.
Garwita tersenyum menanggapi, diusapnya rambut Gandra dan menuntunnya masuk rumah. "Oiya, seneng dong bisa ketemu Om Kala?"
Gandra mengangguk. "Iya, apalagi dikasih hadiah!" tunjuk si anak pada kresek hitam di atas dipan yang langsung menarik perhatian Garwita.
Dibukanya bungkusan itu, Gandra duduk di sebelah ibunya.
Garwita mengernyit ketika mendapati baju kecil untuk Gandra juga pakaian wanita dewasa beserta kerudungnya.
"Itu dari Kala, katanya buat kamu sama anakmu biar bisa--" Ijah yang baru keluar dari dapur langsung memberi tahu Garwita. Dia berpikir sejenak karena lupa apa yang Kala katakan. "Biar apa ya? Emak lupa, pokoknya dia bilang ada co-- co-- apel gitu!"
Sontak Garwita tertawa pelan, dia mengerti dengan maskud yang dibingungkan emaknya. "Couple?"
"Nah, itu!" Ijah ikut tersenyum dan duduk di risban sambil menyeruput teh manis.
Senyum Garwita terpancar ketika menjembreng lagi baju pemberian Kala yang terlihat bagus dan pas di badannya. Baju model tunik yang panjangnya selutut berwarna marun. Sementara untuk Gandra, kaus dengan gambar dinosaurus setelan dengan celanannya.
***
"Aku tak akan lama, Mak, mungkin dua minggu atau lebih. Sampai tahu kabar pasti tentang Mas Ray, setelah itu janji akan langsung pulang," terang Garwita sebelum pamit pergi.
"Hati-hati ya, Nduk. Ini bawa buat bekel siang nanti. Bisa dimakan di bus sama Kala." Ijah menyodorkan kantong kresek berisi nasi ketan yang baru ditanak beserta parutan kelapanya.
"Makasih, Mak!" Garwita memeluk ibunya sebagai salam perpisahan. "Aku titip Gandra ...," lanjutnya.
Sebelum melangkah pergi, Garwita kembali masuk ke dalam bilik kamar, dici umnya kening anaknya yang masih tertidur pulas. Garwita sengaja berangkat di pagi buta saat Gandra masih tertidur dan dia tak akan melihat tangis anaknya yang akan menolak untuk berpisah. Itu bisa membuat Garwita tak tega, dan mengurungkan niatnya lagi.
Garwita kembali mengecek selembar kertas lecek bertuliskan alamat yang dulu pernah Ray beri. Entah alamat asli atau bukan, tapi Garwita ingin memastikannya nanti. Bukan hanya itu, Garwita juga membawa jas putih khas dokter milik Ray yang terdapat bercak darah. Bercak itu di dapat ketika dia membantu menangani pasien kecelakaan. Garwita masih menyimpannya, jika rindu jas itulah yang akan Garwita peluk dan ci umi. Setelahnya dia masukkan ke dalam tas dan membawanya pergi.
Suasana kampung masih berkabut, bahkan jalanan masih sedikit gelap. Garwita berjalan sambil bersedekap karena merasa dingin, dia menuju ke nambangan--tempat untuk menyeberang sungai. Disebut begitu karena orang jaman dulu menyebut penyeberang sebagai penambang.
Kala sudah berdiri menunggu di bantaran sungai dengan ransel besar di punggungnya.
"Mas!" tegur Garwita ketika melihat sosok jangkung yang sudah bersiap di sana.
Senyum Kala tersungging tatkala melihat wanita yang ditunggu datang memakai baju pemberiannya. Terlihat sangat cocok dan menambah cantik pada Garwita, sayangnya baju baru itu masih kontras dengan celana jin buluk yang dipakainya. Melihat itu ada yang terasa miris dan sesak di dada Kala, dia merutuki kebodohannya kenapa tak sekalian membeli yang satu paket?
"Sudah lama, Mas?"
"Ish, melamun!" Garwita menepuk pundak Kala karena tak menyahut dengan pertanyaannya.
"Ah ya?" Kala gelagapan, merasa terpergok memandangin Garwita terlalu dalam.
"Itu perahunya sudah hampir penuh. Ayo, ikut giliran yang sekarang!" tuduh Garwita menarik lengan baju Kala agar cepat melangkah.
Mereka menyeberang dengan perahu compreng, biasanya muat sampai tujuh motor. Bentuknya dua perahu besar yang disatukan lalu di atasnya di beri anyaman dari bambu sebagai alas pijakan para penyeberang. Sementara atapnya memakai seng.
Sampai di hulu, sudah ada dua ojek yang Kala sewa untuk mengantar mereka ke terminal.
***
Garwita duduk di pinggir, dekat jendela sementata Kala setia di sebelahnya. Sejak baru menginjakkan kaki di dalam bus, Garwita sudah mengeluh pusing dan mual. Rupanya dia mabuk kendaraan.
"Pake minyak kayu putih, ya?" Kala mengeluarkan botol kecil dan ingin membantu Garwita.
"Aku sendiri saja, Mas," pinta Garwita, meraih botol minyak kayu putih lalu mengoleskannya ke kepala dan leher.
"Tidur dulu biar enggak pusing," titah Kala. Dia melepas jaketnya lalu melipat dan meletakannya sebagai bantal di belakang punggung Garwita.
Sepanjang jalan Garwita memejam, wajahnya tampak kusut dan kelelahan. Kala membiarkannya untuk istirahat dan dia memilih bermain ponsel sambil mendengarkan lagu.
"Aw!" pekik Garwita ketika keningnya terbentur kaca jendela. Dia mengusap-usapnya sebentar dengan mata masih memejam, lalu menyenderkan kepalanya ke tempat duduk.
Kala tersenyum geli melihatnya, dia beranikan diri untuk menarik kepala Garwita dan membuatnya bersender di lengannya. Dada Kala semakin berdetak kencang, ketika berada dengan jarak sedekat ini dan bisa mengamati setiap detail wajah Garwita.
"Dia semakin terlihat manis ketika tertidur dengan wajah sepolos ini," gumam Kala dalam hati. Tangannya ingin mengusap pipi Garwita, merasakan kehangatan dari sana.
"Ada apa, Mas?" Garwita mengerjap-ngerjap setalah merasa tidurnya sangat puas dan mendapati Kala sedang mengulurkan tangan.
"Kamu ngiler!" celetuk Kala dengan ekspresi datar yang dibuat-buat, dia segera menarik tangannya dan digaruknya kepala yang tak gatal. Garwita langsung bergerak membenarkan posisi duduknya lalu mengusap wajah dengan ujung kerudung.
"Mana ada iler?" ujar Garwita merasa kerudungnya tak basah setelah digunakan untuk mengelap.
"Jorok!" tegur Kala. "Pake ini!" Dia menyodorkan kotak tisu. Garwita menurut saja dan mengelap kembali wajahnya.
Jarak yang ditempuh bus antar kota itu semakin jauh, dan mendekatkan mereka berdua ke tempat tujuan. Hari beranjak sore, sinar mentari mulai tenggelam di ujung barat.
Mereka berdua kembali hening, Garwita tak lagi memejamkan mata. Dia bersedekap dengan melihat keluar, di mana hari mulai gelap.
"Wit, kamu yakin akan keputusanmu mencari Ray?" tanya Kala lagi untuk memastikan keinginan Garwita memang sudah bulat. Garwita menoleh dengan raut serius.
"Ya, aku ingin mencarinya dan katakan kita punya anak. Anak yang selalu merindukkan dan bertanya seperti apa sosok ayahnya!" tegas Garwita.
Kala membalas tatapan Garwita tak kalah serius. "Kamu yakin bisa bertemu dengannya?"
"Ya!"
"Bagaimana jika beneran bertemu tapi dia tak mengakuimu?"
Garwita menggeleng dengan mata mulai berkaca-kaca.
"Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk seseorang pergi tanpa alasan." Kala mengungkapkan yang ada di pikirannya. "Dan di waktu panjang itu, bukankah dia seakan-akan membuangmu tanpa peduli?"
Air mata Garwita jatuh, ketika Kala seseorang yang paling dekat dengannya juga tak mendukung keinginan Garwita untuk mempertahankan hubungannya dengan Ray.
"Apa pun itu, bagaimana keadaanya saat kami bertemu nanti ... aku akan tetap menerimanya. Dan jika sebaliknya, dia sengaja meninggalkanku dan Gandra ... aku akan terus mencari tahu, apa alasannya!"
Mata Garwita berapi-api, keyakinannya begitu kuat. Kala tak mampu berkata apa pun lagi, saat melihat air mata yang mengalir di pipi Garwita membuatnya tak tega dan kembali bungkam.
***
"Sudah senja!" Bibir Garwita melengkung tipis, menatap langit kemerahan di balik jendela bus. Dia melupakan kesedihannya sesaat tadi, dan kembali menata hati agar bisa tenang.
"Lihat itu, Mas, indah sekali!" tunjuk Garwita ke arah barat. Dia juga bersikap biasa pada Kala dan tak menyimpan marah pada lelaki yang tadi membuat pikirannya bimbang dan semrawut.
"Apa?" Kala menuruti, dia mendekatkan wajah ke arah Garwita untuk mengintip dari jendela yang berada di sebelah Garwita.
Tepat ketika bus melaju di tikungan dan membuat tubuh Kala condong ke arah Garwita. Posisi tak siap, Kala justru terdorong maju ke arah wanita itu.
Plak!
Reflek Garwita menepis wajah Kala, lalu men jam baki rambut pendek lelaki itu. "Kesempatan!" tuduhnya ketus.Kala yang tadi pasrah dengan amukkan Garwita mencoba melepaskan rambutnya. "Astaga, aku tak sengaja!" ucap Kala dengan raut mengiba.
Garwita memonyongkan bibir dan mengalihkan pandangan ke samping.
"Salahin sopirnya juga, dong! Kan dia yang buat aku maju-maju. Lagian enggak sampe nyium pipi kan? Apalagi bibir, cuma kena kerudung doang," bela Kala tak terima. Dalam hati dia bersorak kegirangan.
"Tapi yang untung tuh kamu!"
"Heh? Mana bisa dibilang untung? Sini ulangi! Biar kukecup sekalian!" goda Kala semakin menjadi. Sekali lagi Garwita mencubit lengan Kala.
Kala mengaduh kesakitan, lalu terkekeh-kekeh pelan sambil melihat wajah cemburut Garwita, sebenarnya dia juga merasa sedikit bersalah karena bibirnya menyentuh tanpa permisi. Tapi, kadung tak sengaja, jadi bukan salahnya kan? Pikir Kala.
Mereka sampai di kontrakan sekitar jam sembilan malam. Kala mengajak Garwita masuk ke kamarnya. Tentu saja wanita itu hanya mematung di luar, lalu celingak-celinguk ke sekitar yang masih terlihat ramai dengan orang-orang. "Ayo masuk!" "Bareng? Memang boleh, Mas,?" tanya Garwita, dalam benaknya di kontrakan Kala hanya ada kasur dengan ruangan yang sangat sempit. "Boleh, kenapa enggak? Di sini bebas, kok. Tapi nanti aku bisa lapor dulu ke pemilik kontrakan. Biar enggak ada yang curiga," ujar Kala membuka kunci. "Udah pulang, Ndra? Sama siapa tuh!" tegur penghuni kontrakan yang baru saja keluar dan mendapati wanita bersama Kala. Kala mengangguk, di tempat ini dia biasa dipanggil Ndra, kepanjangan dari Kalandra. "Ya, saudara! Mau ke mana lu?" balas Kala sambil memberi kode agar Garwita masuk lebih dulu. Sementara Kala mengobrol dengan Gendon temannya. Lelaki bertubuh tambun itu berniat ingin mencari makan malam. Kala yang tadi belum sempat membelinya, meminta Gendon juga memb
Merasa ada seseorang yang berteriak, dokter yang tadinya berjalan ke arah utara membalik badan. Garwita kini berdiri tepat di belakangnya dengan tak sabar ingin menepuk pundak dokter itu. Namun, urung karena lebih dulu dia membalik badan.Garwita mematung dan membulatkan mata, ketika yang dia lihat bukanlah yang dicarinya. Dokter pemakai kacamata dengan kemeja biru muda di balik jasnya itu mengerenyit heran."Anda ada perlu dengan saya?" Garwita menggeleng cepat. "Maaf, aku salah orang, Dok!" ucap Garwita sambil menundukkan kepala lalu pamit ke tempat pendaftaran. Jantungnya yang tadi berdetak tak karuan kini seakan melemah seperti pundaknya yang merosot. Di tempat pendaftaran sudah ada Kala yang bertanya pada petugas resepsionis."Jadi, pemilik klinik yang sekarang bukan dokter Raykarian ya, Mbak?" ulang Kala memastikan. Gadis cantik di meja resepsionis itu mengangguk. "Ya, Mas, betul. Saya baru di sini, katanya klinik ini baru sekitaran satu tahun beroperasi setelah vakum lama. D
"Oalah, ke sini? Ini mah masih jauh, Mbak!" ujar seseorang membaca alamat yang dituduhkan. "Jadi bukan di sini ya, Bu?" Garwita mulai merasa bimbang. "Iya, Mbak. Paling enggak ada satu jam naik angkot." Wanita kurus itu menjawab, dari matanya terpancar rasa iba dan kasian. Apalagi ketika melihat kaki Garwita terluka.Garwita merogoh saku bajunya, tak ada sepeser pun recehan yang tertinggal. Dia lalu menghela napas dan bingung, mau melanjutkan perjalanan atau pulang saja? "Kalau Mbak mau ke sana, ini kukasih uang buat naik angkot, Mbak." Selembar uang dua puluh ribu disodorkan pada Garwita. Namun, dia langsung menolak karena sungkan."Enggak papa, ambil saja," paksa si ibu. Garwita tak bisa lagi menolak, dia ucapkan terima kasih berkali-kali sambil memeluk ibu-ibu yang menolongnya. Garwita lalu pamit dan kembali melangkah, seperti yang dituduhkan ibu tadi kalau jalan ke arah barat sekitar lima ratus meter ada pangkalan angkot. Tidak mudah, sesekali Garwita berjinjit karena kakinya
Pencarian Kala tak membuahkan hasil, padahal dia sudah berkeliling cukup jauh. Dia mulai menepi lalu berhenti sejenak untuk berpikir. "Kalau Garwita pergi untuk mencari Ray, kenapa aku tak melakukan hal yang sama? Mungkin saja dengan aku mencari tujuan yang sama bisa menemukan Garwita di sana?" batin Kala lalu memukul kepalanya kenapa sedari tadi malah berputar-putar bukannya langsung ke alamat. "Bodoh!" gumam Kala pada diri sendiri. Motor metik berwarna hitam itu kembali melesat menyusuri jalanan. Kala masih mengingat jelas setiap detail yang diucapakan ibu-ibu cleaning service di klinik Andalan. Dia yakin, berbekal ingatan dan nama Tuan Abash bisa menemukan alamat itu. *** Garwita berlari sembari menyeka air matanya, tak dihiraukannya kaki yang semakin lecet dan berdarah. Harapan yang telah hancur membuat rasa sakit di badan tak lagi terasa karena yang lebih memilukan justru ada di dalam dada, sakit di hati yang amat dalam. Kepala Garwita dipenuhi dengan prasangka dan tebak me
Kala melihat Garwita sedang mengemasi bajunya ke tas, dia mengernyit untuk apa wanita itu melakukan itu?"Kamu mau pulang?" tanya Kala membuat Garwita berjengit. Garwita mengangguk. "Pencarianku sudah selesai. Aku harus cepat pulang untuk Gandra," balasnya dengan seulas senyum. Senyum yang selalu Garwita tunjukkan sekali pun hati sedang gerimis. Kala bersender ke tembok dengan tangan bersedekap. "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" Sejenak Garwita berpikir, namun tak ada dalam benaknya sesuatu yang ingin dia lakukan setelah ini. Usai tahu tentang Ray dan harapan itu hancur dalam sekejap, dia berasa tak punya harapan yang harus diperjuangkan. "Seperti biasa lagi. Kerja untuk Gandra," balas Garwita tak ingin membuat kepalanya pusing dengan mencari-cari rencana. "Kamu tidak akan menggugat cerai?" Kala bicara dengan tatapan serius pada Garwita. Wanita itu menghela napas dalam, rasa syoknya seakan-akan masih mencekik ingatan. Garwita ingin menolak untuk percaya bahwa Ray meningga
Sampai di rumah sakit Garwita langsung berlari menuju ruangan di mana Kala dirawat, dia sudah dipindahkan dari UGD. Air mata Garwita terus mengalir, dia tergopoh-gopoh sambil menyekanya. Ketika pintu dibuka terlihatlah Kala yang sedang berbaring dengan perban dibagian kepala juga tangan. Dia masih memejam, pikir Garwita karena belum sadarkan diri. "Mas, kamu ndak papa kan?" tangis Garwita pecah sampai sesenggukan melihat Kala dengan kondisi begitu. "Mas, bangun!" Garwita merengek seperti anak kecil. Dia terduduk di kursi samping ranjang sembari meremas tepian ranjang. Kala yang tadinya ingin tidur merasa terganggu. Awalnya dia kira berhalusinasi tapi suara khas Garwita membuatnya mengerjap dan mendapati wanita itu sedang menangis untuknya. Kala masih diam dan pura-pura memejam, tapi senyum tipisnya tak bisa disembunyikan. Masih terdengar tangisan Garwita yang lebih mirip seperti anak kecil, lama-lama Kala tak tahan juga ingin tertawa. "Aku enggak papa, Sayang, cep cep cep!" ucap
q"Witaku ...," gumam Ray nyaris tanpa suara.***Garwita celingak-celinguk di ruang rawat karena tak melihat Hana ada di sana. "Cari apa?" "Mmm, pacarmu sudah pulang, Mas?" tanya Garwita pada Kala yang duduk dengan menyenderkan punggungnya di kepala ranjang."Sudah, dia bukan pacarku," jawab Kala. Lalu menyuruh Garwita agar duduk kursi dekatnya. "Aku lapar, Wit." Garwita mengernyit, dilihatnya makanan yang sudah disediakan pihak rumah sakit di meja nakas. "Mau makan?" Garwita mengambil nampan berisi makanan dia ingin meletakannya di pangkuan Kala agar lebih mudah menjakaunya. "Ish, kamu enggak lihat tanganku kena cekal semua? Suapin!" pinta Kala manja. Gerwita tersenyum geli. "Yang cedera kan tangan kirimu saja, Mas! Tangan kanan masih bisa bergerak!""Tapi kan ada selang infusnya, Wit! Gimana kalau pas makan terus copot? Pokoknya suapin!" Garwita tak bisa lagi menolak, tangan kanan Kala memang diinfus. Bisa saja Kala makan sendiri, tapi niatnya sedari tadi menunggu Garwita
"Mas, bisa melakukannya sendiri kan?" tanya Garwita ragu. Tangan Kala yang memakai arm sling, mungkin akan menyulitkannya untuk mandi. Kala tertawa pelan. "Memangnya kalau enggak bisa kamu mau bantu?" Kala menarik turunkan alisnya."Ish, ya ... aku bakal panggilin Gendon atau bapak pemilik kontrakan buat bantu kamu mandi," canda Garwita dengan senyum puas. Kala mengerucutkan bibirnya, dan memilih masuk ke kamar mandi. Dua hari berada di rumah sakit dan sekarang sudah dibolehkan untuk pulang keadaan Kala sudah membaik tinggal tangannya saja yang butuh waktu lebih lama untuk penyembuhan.Pagi ini, adalah hari terakhir Garwita di kota, Kala akan mengantarnya ke terminal. ***Garwita sudah bersiap dengan baju baru yang dibelikan Kala, gamis berwarna moka satu set dengan jilbab panjangnya. Bagus sekali, ini adalah baju Garwita yang terlihat paling mahal dan sangat pas di badannya. Kala terdiam ketika menunggu Garwita di teras kontrakan. Matanya melebar tanpa berkedip, sementara bibirnya
Braaak!Cara terakhir agar Topan tahu kondisi tuannya adalah dengan mendobrak pintu. Pintu terbuka lebar, terlihat jelas Ray yang jatuh dari kursi roda lalu melempar apa saja yang bisa digapai tangannya. Telapak tangannya sampai berdarah karena tergores serpihan gelas. "Anda baik-baik saja, Tuan?" Sigap Topan memapah Ray dan mendudukkannya ke ranjang. Sayangnya lelaki itu justru marah dan langsung mengusir Topan lagi."Pergi dan tutup pintunya!" teriak Ray dengan mata nyalang dan menunjuk ke arah pintu. Topan bisa lihat darah segar yang menetes dari telapak tangan Ray. Tapi tak ingin dia semakin marah membuat Topan hanya bisa menghela napas lalu keluar. *** Di lain tempat, Gandra sudah tertidur pulas sementara Garwita tak bisa tidur terlebih Nanto pulang dan dia memanggil-manggil Garwita untuk menyuruhnya membuat minuman. Mau tak mau wanita muda itu berjalan ke dapur dan menyeduh kopi untuk Nanto. Ijah yang kelelahan sudah tertidur di dipan depan dengan TV yang masih menyala. "Ini
"Gandra?" Garwita kaget melihat Gandra dan Kala ada di depan rumah Ray. "Mas Kala?" lirihnya. Ray melihat dua lelaki beda usia itu menanti Garwita, lalu dia balik menoleh pada Garwita yang masih mematung. "Gandra, sini!" panggil Ray dengan suara serak sambil melambaikan tangan takut anak itu tak dengar. "Om Kala, aku turun dulu ya?" pinta Gandra lalu menghampiri ibunya dan Ray. Sementara Kala masih berdiam di tepi jalan. Kali ini dia merasa sangat canggung, apalagi sikap Garwita yang terkesan cuek. Padahal, biasanya kalau Garwita melihatnya pulang akan berteriak antusias bahkan kegirangan seperti anak kecil."Tuan, aku pamit," ucap Garwita setelah Gandra dan Ray saling memeluk dan saling salam tinju dengan kepalan tangan. Mereka berdua tampak sangat akrab.Ada rasa aneh yang Kala lihat pada lelaki di kursi roda itu, kenapa memakai pakaian serba tertutup di dalam rumah, bahkan memakai masker dan mantel jaket.Kala bersedekap dengan mata melihat ke arah mereka, dari adegan yang disugu
"Ish, apaan sih Mas Rudi. Sudah dibilang ndak mau!" Garwita mendorong ponsel Rudi agar menjauh dari wajahnya."Wita!" Suara dari ponsel membuat Garwita dan Rudi yang sedang bergurau langsung diam dengan cepat Rudi meletakan ponselnya di tangan Garwita. Wanita itu tak mampu lagi menolak karena di layar, Kala sudah melihatnya. "Ya, Mas?" balas Garwita kemudian. "Kamu baik?" Kala terlihat sedang mengamati wajah Garwita dari balik layar. "Alhamdulillah, Baik. Mas Kala gimana?" Kala tak langsung menjawab, dia terkekeh-kekeh sejenak. "Ya enggak gimana-mana. Ini lagi sakit!" "Mas Kala sakit?" Garwita berubah penasaran. Dia mengangkat lebih tinggi tangannya agar jelas melihat Kala. "Ya, sakit rindu!" jawab Kala dengan tawa pecah. Garwita cemberut, tetapi semburat merah di pipinya tak bisa dia sembunyikan. "Halah, gombal!" Garwita memiring-miringkan bibirnya. "Serius! Oiya, kenapa enggak mau aktifin ponselnya?" Kala kembali mendesak Garwita. Wanita itu menggeleng, perasaan tak enaknya
Ehem! Ray berdeham lalu mengalihkan pandangannya keluar jendela. Garwita pun melakukan hal yang sama, dia dibuat gugup sesaat tadi. Sementara Topan yang melihat hanya bisa tersenyum tipis. Dia tidak tahu bagaimana nasib tuannya ke depan, hanya saja doanya selalu ingin yang terbaik Ray bisa sembuh lalu membangun kembali keluaraga yang utuh. "Om, kalau besar nanti Gandra juga pengen bisa nyetir mobil!" celetuk Gandra pada Topan. Lelaki botak itu langsung tertawa geli. "Boleh saja, Gan. Besar nanti pasti kamu bakal punya mobil banyak, bukan cuma mainan!" yakin Topan meski dengan nada bercanda. Mau bagaimana pun, Ray adalah pewaris satu-satunya keluaraga tuan Abash, sementara sekarang hanya Gandra lah keturunan dari Ray. "Om Botak! Lihat itu!" Gandra menunjuk ke patung gajah yang berada di depan sebuah gedung. "Besar sekali!" Dia berdecak kagum."Gandra, jangan panggil begitu!" tegur Garwita merasa anaknya tak sopan memanggil Topan dengan sebutan botak."Tak masalah, Mbak, justru saya
Garwita membuka kotak putih itu dan memang benar berisi smart phone. Lalu di dalamnya terselip sebuah surat kecil. Gandra meraih ponsel itu, dia begitu penasaran dan ingin memegang seperti apa ponsel. Sementara Garwita membaca suratnya. Pesan itu diawali sebuah salam lalu langsung pada intinya, hanya beberapa baris saja yang membuat Garwita tahu siapa pengirimnya. [Garwita, apa kabarmu? Sampai dengan selamat bukan? Aku lupa kemarin ingin memberikan ini padamu agar bisa berkomunikasi dengan siapa saja. Gandra pasti pun akan senang. Tolong aktifkan ponselnya, dia dalam sudah ada kartu seluler. Aku tak sabar ingin menelpon dan melihat wajah Gandra.] "Mas Kala?" batin Garwita. Dia merasa tak enak hati diberi barang semahal ini, dia tebak pasti harganya jutaan. Mengingat kata yang juragan Jarwo wanti-wanti kemarin, Garwita pun urung mengaktifkan ponsel itu. Dia mengambil kembali dari Gandra lalu menyimpannya, mungkin akan mengembalikannya jika Kala pulang nanti."Yah, Bu, kok diambil? G
"Aaa, moster!" teriak Gandra ketakutan saat melihat seseorang di dalam mobil memakai kacamata hitam dengan wajah penuh luka bakar. Ray lupa tak memakai masker. "Heh, ndak boleh bilang gitu, Le!" tegur Ijah memperingatkan cucunya. "Maaf ya, Pak, cucu saya kadang cuma asal nyeplos," kata Ijah pada Ray dengan wajah tak enak hati. Sementara Gandra langsung berlari lebih dulu, Ijah membuntuti. Ray menutup kaca jendela. Dia sandarkan punggung ke jok, ada yang berasa perih dalam dadanya. Bukan karena penolakan dari anaknya, tapi ini jauh lebih buruk. Anaknya sendiri takut, dan bilang kalau dia seperti moster. Ray memejamkan mata, menahan rasa sesak di dada. Dia hela napas dalam dan kembali menenangkan diri. "Maafkan, Ayah," gumam Ray. Dia lalu menyuruh Topan untuk melajukan mobil dan langsung pulang ke rumah. ***Garwita menemui Topan yang sedang duduk di kursi depan. "Maaf, Mas, aku kesorean." Garwita tak enak hati ketika sampai di rumah majikannya pukul lima. "Tak masalah, Mbak. T
"Panggil saja Tuan Rian, Mbak!" balas Topan tiba-tiba. Dia sudah berdiri di belakang Garwita. "Tuan Rian? Oh baiklah, terima kasih." Garwita menundukkan kepalanya sebagai isyarat pamit dengan senyum merekah lalu kembali undur diri. "Namanya Rian? Ah ya, Rian," batin Garwita terus mengingat-ingat. Pukul setengah delapan, waktu yang longgar untuk menuju ladang. Dia mengayuh sepeda dengan santai kali ini. Sinar mentari mulai terasa hangat-hangat kuku. "Wita!" panggil Nanto yang sudah berdiri di tepi jalan. Tadinya Garwita tak tahu jika beberapa orang yang mengerumun di tepi jalan ada bapaknya. Nanto memberi isyarat agar Garwita berhenti dan mendekat. "Ada apa, Pak?" Garwita melirik ke arah orang yang bersama Nanto. Dia paham betul lima orang itu adalah juragan Margono dan para pengikutnya. Untuk apa bapaknya ikut juga bersama mereka? Apa mungkin Nanto sekarang bekerja untuk juragan Margono? Batin Garwita mulai resah lalu mengingat ucapan Karmi kemarin siang. "Kamu mau berangkat ke
"Mmm maaf, Mas, aku dengar di sini sedang cari orang buat jadi pembantu. Apa benar?" tanya Garwita memastikan."Oh, jadi mbaknya mau melamar kerja di sini?" Topan melontarkan seulas senyum, dalam benaknya merasa lega. Ternyata rencana menyuruh Imah untuk memberi infomasi perkerjaan pada Garwita disambut langsung oleh wanita itu. "Iya, Mas, semisal ada aku mau!" balas Garwita antusias.Topan tak langsung menjawab, dia pamit pada Garwita untuk bertanya pada tuannya. Topan masuk ke rumah sementara Garwita menunggu di luar.Di ruang tamu Topan mendapati Ray yang sudah duduk di balik tirai, dia pun langsung mengatakan maksud wanita itu datang. Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, Ray merasa senang tanpa bersusah payah ternyata Garwita sendiri yang langsung mendekat padanya. "Katakan padanya jika mulai besok sudah boleh bekerja, hanya untuk pagi dan sore. Karjanya memasak di sini, setelah itu dia boleh langsung pulang. Dan kusus hari minggu dia harus datang dan membersihkan rumah ini." Ra
Dua bulan berlalu setalah Garwita resmi bercerai dari Raykarian. Dia menjalani hari seperti biasanya, hanya saja status yang sudah berganti membuatnya harus lebih hati-hati dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Apalagi sekarang masih dalam masa idah. Garwita terduduk di bawah pohon kelapa yang berada di tengah ladang milik juraga Jarwo. Dia berisitirahat sejenak setelah tadi berkerja keras bersama pekerja lainnya memanen daun tembakau pertama. Garwita memandangi tanaman hijau di sebalah selatan yang tumbuh subur dengan duan-daun lebar yang belum selesai dipanen. "Makan dulu, Wit, kamu bawa bekel ndak?" tanya Karmi, wanita paruh baya yang sudah lama bekerja pada juragan Jarwo, usianya tak beda jauh dengan Ijah. Sayangnya, Ijah yang sakit-sakitan sudah tak bisa lagi bekerja berat. Jadi, Garwita memintanya agar tetap di rumah."Bawa, kok, uwa Karmi. Pake lauk apa?" Garwita membuka kotak nasinya, lalu melongok ke arah makanan yang dibawa Karmi menggunakan kertas minyak. Mereka makan b