Share

Bab 2

Author: Ratu As
last update Huling Na-update: 2023-05-05 08:21:21

"Jadi, kamu masih mengharapkan lelaki itu?" Kala mencondongkan badannya agar tepat berhadapan dengan Garwita. "Dia sudah membuangmu, bukan?" 

"Ndak, Mas. Dia tak membuangku, mungkin saja suatu keadaan membuatnya tak bisa kembali. Dan saat ini, giliranku yang harus mencarinya!" kata Garwita penuh keyakinan. Binar harapan di matanya, berbanding terbalik dengan rasa pedih dan pupus yang kini dirasakan Kala. 

"Bagaimana dengan Gandra?" Kala masih memandangi Garwita dengan raut cemas dan tak rela. 

"Dia sudah lumayan besar, ada Emak yang akan menjaganya. Toh, ndak akan lama, hanya sampai aku tahu kabar tentang Mas Ray," pinta Garwita lagi. Dia meraih ujung baju Kala dan menarik-nariknya seperti anak kecil. 

Kala diam sesaat, dibenaknya serasa sedang berperang antara ingin membantu atau egois? Egois untuk menahan Garwita agar tetap di sini, di tempat di mana saat Kala pulang masih bisa melihat senyum manisnya dan bercanda penuh jenaka. 

"Mas?" 

"Ya!"

"Aku mohon!" Garwita mengeluarkan jurus pamungkas yang tak mungkin bisa Kala tolak. Matanya mulai berkaca-kaca dengan bibir gemetar, seperti anak kecil yang akan menangis karena tak boleh membeli jajan.

"Baiklah," balas Kala putus asa. Sementara Gawitra langsung meloncat kegirangan. Andai bisa, mungkin harapannya pun ikut loncat setinggi-tingginya sampai menyentuh awan. 

Sudut bibir Kala tertarik, membentuk senyuman tipis. Dia makin bingung, bagaimana bisa tetap tersenyum melihat kebahagiaan Garwita sesaat ini, sementara kebahagiaan itu bukan karenanya. Tapi, begitulah perasaan. Kadang kita bisa jadi bodoh mengesampingkan kepedihan sendiri, demi menukarnya dengan senyuman seseorang yang kita anggap sebagai sumber semua rasa. 

Garwita terududuk lagi, dengan wajah  semringah dan rencana yang mulai tersusun jelas di benaknya. Sementara Kala pamit untuk menemui Gandra. Dia tak ingin menyiakan bertemu dengan jagoan kecil yang senyumnya laksana obat dari penawar segala rasa sakit. 

***

Tengah hari, tepat ketika azan Zuhur mulai berkumandang Garwita menghentikan pekerjaannya. Dia menunggu azan selesai lalu bergegas membereskan pekerjaannya agar bisa cepat pulang. 

Kebun juragan Jarwo lumayan berjarak dari rumah Garwita. Mengayuh sepeda menjadi pilihannya ketika berjalan kaki terasa pegal.  Suara decit sepeda usang milik bapak yang dipakainya mengiring setiap kayuhan yang mampu kakinya gerakkan. 

"Ibuuu!" panggil Gandra antusias dari ambang pintu ketika melihat ibunya pulang.

Sepeda usang berwarna merah yang sudah terkelupas itu di senderkan pada bilik samping rumah. Garwita menghampiri Gandra yang juga menyongsong kedatangannya. 

Bocah cilik berambut hitam tebal dengan poni yang membentuk seperti mangkuk tersenyum riang. "Bu, tadi Om Kala jemput  Gandra di sekolah!" ujar Gandra antusias dia langsung menceritakan apa yang baru saja terjadi. 

Garwita tersenyum menanggapi, diusapnya rambut Gandra dan menuntunnya masuk rumah. "Oiya, seneng dong bisa ketemu Om Kala?" 

Gandra mengangguk. "Iya, apalagi dikasih hadiah!" tunjuk si anak pada kresek hitam di atas dipan yang langsung menarik perhatian Garwita. 

Dibukanya bungkusan itu, Gandra duduk di sebelah ibunya. 

Garwita mengernyit ketika mendapati baju kecil untuk Gandra juga pakaian wanita dewasa beserta kerudungnya. 

"Itu dari Kala, katanya buat kamu sama anakmu biar bisa--" Ijah yang baru keluar dari dapur langsung memberi tahu Garwita. Dia berpikir sejenak karena lupa apa yang Kala katakan. "Biar apa ya? Emak lupa, pokoknya dia bilang ada co-- co-- apel gitu!"

Sontak Garwita tertawa pelan, dia mengerti dengan maskud yang dibingungkan emaknya. "Couple?" 

"Nah, itu!" Ijah ikut tersenyum dan duduk di risban sambil menyeruput teh manis. 

Senyum Garwita terpancar ketika menjembreng lagi baju pemberian Kala yang terlihat bagus dan pas di badannya. Baju model tunik yang panjangnya selutut berwarna marun. Sementara untuk Gandra, kaus dengan gambar dinosaurus setelan dengan celanannya.

*** 

"Aku tak akan lama, Mak, mungkin dua minggu atau lebih. Sampai tahu kabar pasti tentang Mas Ray, setelah itu janji akan langsung pulang," terang Garwita sebelum pamit pergi. 

"Hati-hati ya, Nduk. Ini bawa buat bekel siang nanti. Bisa dimakan di bus sama Kala." Ijah menyodorkan kantong kresek berisi nasi ketan yang baru ditanak beserta parutan kelapanya. 

"Makasih, Mak!" Garwita memeluk ibunya sebagai salam perpisahan. "Aku titip Gandra ...," lanjutnya. 

Sebelum melangkah pergi, Garwita kembali masuk ke dalam bilik kamar, dici umnya kening anaknya yang masih tertidur pulas. Garwita sengaja berangkat di pagi buta saat Gandra masih tertidur dan dia tak akan melihat tangis anaknya yang akan menolak untuk berpisah. Itu bisa membuat Garwita tak tega, dan mengurungkan niatnya lagi. 

Garwita kembali mengecek selembar kertas lecek bertuliskan alamat yang dulu pernah Ray beri. Entah alamat asli atau bukan, tapi Garwita ingin memastikannya nanti. Bukan hanya itu, Garwita juga membawa jas putih khas dokter milik Ray yang terdapat bercak darah. Bercak itu di dapat ketika dia membantu menangani pasien kecelakaan. Garwita masih menyimpannya, jika rindu jas itulah yang akan Garwita peluk dan ci umi. Setelahnya dia masukkan ke dalam tas dan membawanya pergi.

Suasana kampung masih berkabut, bahkan jalanan masih sedikit gelap. Garwita berjalan sambil bersedekap karena merasa dingin, dia menuju ke nambangan--tempat untuk menyeberang sungai. Disebut begitu karena orang jaman dulu menyebut penyeberang sebagai penambang.

 Kala sudah berdiri menunggu di bantaran sungai dengan ransel besar di punggungnya. 

"Mas!" tegur Garwita ketika melihat sosok jangkung yang sudah bersiap di sana. 

Senyum Kala tersungging tatkala melihat wanita yang ditunggu datang memakai baju pemberiannya. Terlihat sangat cocok dan menambah cantik pada Garwita, sayangnya baju baru itu masih kontras dengan celana jin buluk yang dipakainya. Melihat itu ada yang terasa miris dan sesak di dada Kala, dia merutuki kebodohannya kenapa tak sekalian membeli yang satu paket? 

"Sudah lama, Mas?" 

"Ish, melamun!" Garwita menepuk pundak Kala karena tak menyahut dengan pertanyaannya. 

"Ah ya?" Kala gelagapan, merasa terpergok memandangin Garwita terlalu dalam. 

"Itu perahunya sudah hampir penuh. Ayo, ikut giliran yang sekarang!" tuduh Garwita menarik lengan baju Kala agar cepat melangkah. 

Mereka menyeberang dengan perahu compreng, biasanya muat sampai tujuh motor. Bentuknya dua perahu besar yang disatukan lalu di atasnya di beri anyaman dari bambu sebagai alas pijakan para penyeberang. Sementara atapnya memakai seng. 

Sampai di hulu, sudah ada dua ojek yang Kala sewa untuk mengantar mereka ke terminal.

***

Garwita duduk di pinggir, dekat jendela sementata Kala setia di sebelahnya. Sejak baru menginjakkan kaki di dalam bus, Garwita sudah mengeluh pusing dan mual. Rupanya dia mabuk kendaraan. 

"Pake minyak kayu putih, ya?" Kala mengeluarkan botol kecil dan ingin membantu Garwita.

"Aku sendiri saja, Mas," pinta Garwita, meraih botol minyak kayu putih lalu mengoleskannya ke kepala dan leher. 

"Tidur dulu biar enggak pusing," titah Kala. Dia melepas jaketnya lalu melipat dan meletakannya sebagai bantal di belakang punggung Garwita. 

Sepanjang jalan Garwita memejam, wajahnya tampak kusut dan kelelahan. Kala membiarkannya untuk istirahat dan dia memilih bermain ponsel sambil mendengarkan lagu. 

"Aw!" pekik Garwita ketika keningnya terbentur kaca jendela. Dia mengusap-usapnya sebentar dengan mata masih memejam, lalu menyenderkan kepalanya ke tempat duduk.

Kala tersenyum geli melihatnya, dia beranikan diri untuk menarik kepala Garwita dan membuatnya bersender di lengannya. Dada Kala semakin berdetak kencang, ketika berada dengan jarak sedekat ini dan bisa mengamati setiap detail wajah Garwita. 

"Dia semakin terlihat manis ketika tertidur dengan wajah sepolos ini," gumam Kala dalam hati. Tangannya ingin mengusap pipi Garwita, merasakan kehangatan dari sana. 

"Ada apa, Mas?" Garwita mengerjap-ngerjap setalah merasa tidurnya sangat puas dan mendapati Kala sedang mengulurkan tangan. 

"Kamu ngiler!" celetuk Kala dengan ekspresi datar yang dibuat-buat, dia segera menarik tangannya dan digaruknya kepala yang tak gatal. Garwita langsung bergerak membenarkan posisi duduknya lalu mengusap wajah dengan ujung kerudung. 

"Mana ada iler?" ujar Garwita merasa kerudungnya tak basah setelah digunakan untuk mengelap. 

"Jorok!" tegur Kala. "Pake ini!" Dia menyodorkan kotak tisu. Garwita menurut saja dan mengelap kembali wajahnya. 

Jarak yang ditempuh bus antar kota itu semakin jauh, dan mendekatkan mereka berdua ke tempat tujuan. Hari beranjak sore, sinar mentari mulai tenggelam di ujung barat.

Mereka berdua kembali hening, Garwita tak lagi memejamkan mata. Dia bersedekap dengan melihat keluar, di mana hari mulai gelap. 

"Wit, kamu yakin akan keputusanmu mencari Ray?" tanya Kala lagi untuk memastikan keinginan Garwita memang sudah bulat. Garwita menoleh dengan raut serius.

"Ya, aku ingin mencarinya dan katakan kita punya anak. Anak yang selalu merindukkan dan bertanya seperti apa sosok ayahnya!" tegas Garwita. 

Kala membalas tatapan Garwita tak kalah serius. "Kamu yakin bisa bertemu dengannya?" 

"Ya!" 

"Bagaimana jika beneran bertemu tapi dia tak mengakuimu?" 

Garwita menggeleng dengan mata mulai berkaca-kaca. 

"Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk seseorang pergi tanpa alasan." Kala mengungkapkan yang ada di pikirannya. "Dan di waktu panjang itu, bukankah dia seakan-akan membuangmu tanpa peduli?" 

Air mata Garwita jatuh, ketika Kala seseorang yang paling dekat dengannya juga tak mendukung keinginan Garwita untuk mempertahankan hubungannya dengan Ray.

"Apa pun itu, bagaimana keadaanya saat kami bertemu nanti ... aku akan tetap menerimanya. Dan jika sebaliknya, dia sengaja meninggalkanku dan Gandra ... aku akan terus mencari tahu, apa alasannya!" 

Mata Garwita berapi-api, keyakinannya begitu kuat. Kala tak mampu berkata apa pun lagi, saat melihat air mata yang mengalir di pipi Garwita membuatnya tak tega dan kembali bungkam.

***

"Sudah senja!" Bibir Garwita melengkung tipis, menatap langit kemerahan di balik jendela bus. Dia melupakan kesedihannya sesaat tadi, dan kembali menata hati agar bisa tenang.

"Lihat itu, Mas, indah sekali!" tunjuk Garwita ke arah barat. Dia juga bersikap biasa pada Kala dan tak menyimpan marah pada lelaki yang tadi membuat pikirannya bimbang dan semrawut.

"Apa?" Kala menuruti, dia mendekatkan wajah ke arah Garwita untuk mengintip dari jendela yang berada di sebelah Garwita.

Tepat ketika bus melaju di tikungan dan membuat tubuh Kala condong ke arah Garwita. Posisi tak siap, Kala justru terdorong maju ke arah wanita itu.

Plak!

Reflek Garwita menepis wajah Kala, lalu men jam baki rambut pendek lelaki itu. "Kesempatan!" tuduhnya ketus. 

Kala yang tadi pasrah dengan amukkan Garwita mencoba melepaskan rambutnya. "Astaga, aku tak sengaja!" ucap Kala dengan raut mengiba. 

Garwita memonyongkan bibir dan mengalihkan pandangan ke samping. 

"Salahin sopirnya juga, dong! Kan dia yang buat aku maju-maju. Lagian enggak sampe nyium pipi kan? Apalagi bibir, cuma kena kerudung doang," bela Kala tak terima. Dalam hati dia bersorak kegirangan.

"Tapi yang untung tuh kamu!" 

"Heh? Mana bisa dibilang untung? Sini ulangi! Biar kukecup sekalian!" goda Kala semakin menjadi. Sekali lagi Garwita mencubit lengan Kala. 

Kala mengaduh kesakitan, lalu terkekeh-kekeh pelan sambil melihat wajah cemburut Garwita, sebenarnya dia juga merasa sedikit bersalah karena bibirnya menyentuh tanpa permisi. Tapi, kadung tak sengaja, jadi bukan salahnya kan? Pikir Kala. 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 3

    Mereka sampai di kontrakan sekitar jam sembilan malam. Kala mengajak Garwita masuk ke kamarnya. Tentu saja wanita itu hanya mematung di luar, lalu celingak-celinguk ke sekitar yang masih terlihat ramai dengan orang-orang. "Ayo masuk!" "Bareng? Memang boleh, Mas,?" tanya Garwita, dalam benaknya di kontrakan Kala hanya ada kasur dengan ruangan yang sangat sempit. "Boleh, kenapa enggak? Di sini bebas, kok. Tapi nanti aku bisa lapor dulu ke pemilik kontrakan. Biar enggak ada yang curiga," ujar Kala membuka kunci. "Udah pulang, Ndra? Sama siapa tuh!" tegur penghuni kontrakan yang baru saja keluar dan mendapati wanita bersama Kala. Kala mengangguk, di tempat ini dia biasa dipanggil Ndra, kepanjangan dari Kalandra. "Ya, saudara! Mau ke mana lu?" balas Kala sambil memberi kode agar Garwita masuk lebih dulu. Sementara Kala mengobrol dengan Gendon temannya. Lelaki bertubuh tambun itu berniat ingin mencari makan malam. Kala yang tadi belum sempat membelinya, meminta Gendon juga memb

    Huling Na-update : 2023-05-05
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 4

    Merasa ada seseorang yang berteriak, dokter yang tadinya berjalan ke arah utara membalik badan. Garwita kini berdiri tepat di belakangnya dengan tak sabar ingin menepuk pundak dokter itu. Namun, urung karena lebih dulu dia membalik badan.Garwita mematung dan membulatkan mata, ketika yang dia lihat bukanlah yang dicarinya. Dokter pemakai kacamata dengan kemeja biru muda di balik jasnya itu mengerenyit heran."Anda ada perlu dengan saya?" Garwita menggeleng cepat. "Maaf, aku salah orang, Dok!" ucap Garwita sambil menundukkan kepala lalu pamit ke tempat pendaftaran. Jantungnya yang tadi berdetak tak karuan kini seakan melemah seperti pundaknya yang merosot. Di tempat pendaftaran sudah ada Kala yang bertanya pada petugas resepsionis."Jadi, pemilik klinik yang sekarang bukan dokter Raykarian ya, Mbak?" ulang Kala memastikan. Gadis cantik di meja resepsionis itu mengangguk. "Ya, Mas, betul. Saya baru di sini, katanya klinik ini baru sekitaran satu tahun beroperasi setelah vakum lama. D

    Huling Na-update : 2023-05-05
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 5

    "Oalah, ke sini? Ini mah masih jauh, Mbak!" ujar seseorang membaca alamat yang dituduhkan. "Jadi bukan di sini ya, Bu?" Garwita mulai merasa bimbang. "Iya, Mbak. Paling enggak ada satu jam naik angkot." Wanita kurus itu menjawab, dari matanya terpancar rasa iba dan kasian. Apalagi ketika melihat kaki Garwita terluka.Garwita merogoh saku bajunya, tak ada sepeser pun recehan yang tertinggal. Dia lalu menghela napas dan bingung, mau melanjutkan perjalanan atau pulang saja? "Kalau Mbak mau ke sana, ini kukasih uang buat naik angkot, Mbak." Selembar uang dua puluh ribu disodorkan pada Garwita. Namun, dia langsung menolak karena sungkan."Enggak papa, ambil saja," paksa si ibu. Garwita tak bisa lagi menolak, dia ucapkan terima kasih berkali-kali sambil memeluk ibu-ibu yang menolongnya. Garwita lalu pamit dan kembali melangkah, seperti yang dituduhkan ibu tadi kalau jalan ke arah barat sekitar lima ratus meter ada pangkalan angkot. Tidak mudah, sesekali Garwita berjinjit karena kakinya

    Huling Na-update : 2023-05-24
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 6

    Pencarian Kala tak membuahkan hasil, padahal dia sudah berkeliling cukup jauh. Dia mulai menepi lalu berhenti sejenak untuk berpikir. "Kalau Garwita pergi untuk mencari Ray, kenapa aku tak melakukan hal yang sama? Mungkin saja dengan aku mencari tujuan yang sama bisa menemukan Garwita di sana?" batin Kala lalu memukul kepalanya kenapa sedari tadi malah berputar-putar bukannya langsung ke alamat. "Bodoh!" gumam Kala pada diri sendiri. Motor metik berwarna hitam itu kembali melesat menyusuri jalanan. Kala masih mengingat jelas setiap detail yang diucapakan ibu-ibu cleaning service di klinik Andalan. Dia yakin, berbekal ingatan dan nama Tuan Abash bisa menemukan alamat itu. *** Garwita berlari sembari menyeka air matanya, tak dihiraukannya kaki yang semakin lecet dan berdarah. Harapan yang telah hancur membuat rasa sakit di badan tak lagi terasa karena yang lebih memilukan justru ada di dalam dada, sakit di hati yang amat dalam. Kepala Garwita dipenuhi dengan prasangka dan tebak me

    Huling Na-update : 2023-05-25
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 7

    Kala melihat Garwita sedang mengemasi bajunya ke tas, dia mengernyit untuk apa wanita itu melakukan itu?"Kamu mau pulang?" tanya Kala membuat Garwita berjengit. Garwita mengangguk. "Pencarianku sudah selesai. Aku harus cepat pulang untuk Gandra," balasnya dengan seulas senyum. Senyum yang selalu Garwita tunjukkan sekali pun hati sedang gerimis. Kala bersender ke tembok dengan tangan bersedekap. "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" Sejenak Garwita berpikir, namun tak ada dalam benaknya sesuatu yang ingin dia lakukan setelah ini. Usai tahu tentang Ray dan harapan itu hancur dalam sekejap, dia berasa tak punya harapan yang harus diperjuangkan. "Seperti biasa lagi. Kerja untuk Gandra," balas Garwita tak ingin membuat kepalanya pusing dengan mencari-cari rencana. "Kamu tidak akan menggugat cerai?" Kala bicara dengan tatapan serius pada Garwita. Wanita itu menghela napas dalam, rasa syoknya seakan-akan masih mencekik ingatan. Garwita ingin menolak untuk percaya bahwa Ray meningga

    Huling Na-update : 2023-05-25
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 8

    Sampai di rumah sakit Garwita langsung berlari menuju ruangan di mana Kala dirawat, dia sudah dipindahkan dari UGD. Air mata Garwita terus mengalir, dia tergopoh-gopoh sambil menyekanya. Ketika pintu dibuka terlihatlah Kala yang sedang berbaring dengan perban dibagian kepala juga tangan. Dia masih memejam, pikir Garwita karena belum sadarkan diri. "Mas, kamu ndak papa kan?" tangis Garwita pecah sampai sesenggukan melihat Kala dengan kondisi begitu. "Mas, bangun!" Garwita merengek seperti anak kecil. Dia terduduk di kursi samping ranjang sembari meremas tepian ranjang. Kala yang tadinya ingin tidur merasa terganggu. Awalnya dia kira berhalusinasi tapi suara khas Garwita membuatnya mengerjap dan mendapati wanita itu sedang menangis untuknya. Kala masih diam dan pura-pura memejam, tapi senyum tipisnya tak bisa disembunyikan. Masih terdengar tangisan Garwita yang lebih mirip seperti anak kecil, lama-lama Kala tak tahan juga ingin tertawa. "Aku enggak papa, Sayang, cep cep cep!" ucap

    Huling Na-update : 2023-05-25
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 9

    q"Witaku ...," gumam Ray nyaris tanpa suara.***Garwita celingak-celinguk di ruang rawat karena tak melihat Hana ada di sana. "Cari apa?" "Mmm, pacarmu sudah pulang, Mas?" tanya Garwita pada Kala yang duduk dengan menyenderkan punggungnya di kepala ranjang."Sudah, dia bukan pacarku," jawab Kala. Lalu menyuruh Garwita agar duduk kursi dekatnya. "Aku lapar, Wit." Garwita mengernyit, dilihatnya makanan yang sudah disediakan pihak rumah sakit di meja nakas. "Mau makan?" Garwita mengambil nampan berisi makanan dia ingin meletakannya di pangkuan Kala agar lebih mudah menjakaunya. "Ish, kamu enggak lihat tanganku kena cekal semua? Suapin!" pinta Kala manja. Gerwita tersenyum geli. "Yang cedera kan tangan kirimu saja, Mas! Tangan kanan masih bisa bergerak!""Tapi kan ada selang infusnya, Wit! Gimana kalau pas makan terus copot? Pokoknya suapin!" Garwita tak bisa lagi menolak, tangan kanan Kala memang diinfus. Bisa saja Kala makan sendiri, tapi niatnya sedari tadi menunggu Garwita

    Huling Na-update : 2023-05-26
  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 10

    "Mas, bisa melakukannya sendiri kan?" tanya Garwita ragu. Tangan Kala yang memakai arm sling, mungkin akan menyulitkannya untuk mandi. Kala tertawa pelan. "Memangnya kalau enggak bisa kamu mau bantu?" Kala menarik turunkan alisnya."Ish, ya ... aku bakal panggilin Gendon atau bapak pemilik kontrakan buat bantu kamu mandi," canda Garwita dengan senyum puas. Kala mengerucutkan bibirnya, dan memilih masuk ke kamar mandi. Dua hari berada di rumah sakit dan sekarang sudah dibolehkan untuk pulang keadaan Kala sudah membaik tinggal tangannya saja yang butuh waktu lebih lama untuk penyembuhan.Pagi ini, adalah hari terakhir Garwita di kota, Kala akan mengantarnya ke terminal. ***Garwita sudah bersiap dengan baju baru yang dibelikan Kala, gamis berwarna moka satu set dengan jilbab panjangnya. Bagus sekali, ini adalah baju Garwita yang terlihat paling mahal dan sangat pas di badannya. Kala terdiam ketika menunggu Garwita di teras kontrakan. Matanya melebar tanpa berkedip, sementara bibirnya

    Huling Na-update : 2023-05-26

Pinakabagong kabanata

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 37

    "Bagaimana ini, Mas? Lukamu?" Garwita menunjuk wajah Kala."Tenanglah, semua akan baik-baik saja." Kala lalu merapikan penampilannya dan bersiap membuka pintu, begitu juga dengan Garwita yang berada di sampingnya. Saat pintu diketuk, kedua sejoli itu langsung membukanya. Menyambut orang tua Kala dengan senyum seramah mungkin."Pak, Bu, kok ke sini enggak bilang dulu?" ujar Kala lalu mencium tangan mereka. Juragan Jarwo tidak menolak. Dia tetap diam saat tangannya diraih oleh Kala dan Garwita. "Lah, piye? Kan siang tadi Ibu telepon! Katanya mau telepon balik. Tapi Ibu tunggu-tunggu ndak ada tuh panggilan dari kamu!" balas Ambar dengan suara merajuk. Kala terkekeh geli, dia baru ingat. "Silahkan masuk, Pak,Bu ...," kata Garwita mempersilahkan mereka untuk duduk terlebih dulu. Sementara dia berlalu ke belakang untuk membuat minuman.Juragan Jarwo tampak berdeham melihat anaknya, dia sadar akan wajah Kala yang babak belur. "Ya ampun, Le. Wajahmu kenapa?" Ambar yang langsung respek. Di

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 36

    "Hallo, Le? Gimana kabarmu?" tanya Ambar dari seberang telepon. Usai mendapat perintah dari juragan Jarwo, Ambar langsung menghubungi anaknya.Kala yang sedang berada di jalan melambatkan lajunya. "Baik, Bu, ada apa? Ini Kala lagi di jalan," balas Kala menyelipkan ponselnya ke helm tanpa berhenti dulu, pikirnya nanggung karena sebentar lagi sampai."Oalah, kalau lagi di jalan jangan angkat teleponnya dulu atuh!" balas Ambar khawatir dan urung mengatakan tujuannya telepon.Kala terkekeh-kekeh mendengar suara ibunya. "Ya mau gimana lagi, abis hape geter terus! Ya udah aku lanjut dulu ya, Bu. Nanti kalau sudah berhenti Kala telepon balik!" Kala kembali melanjutkan perjalanan, hari ini dia berniat untuk melamar kerja. Tadi sudah mengajukan surat lamaran ke beberapa sekolah, sementara sekarang dia ingin ke SMK yang memang ada jurusan pertanian di sana. Ya siapa tahu ada lowongan. Kala begitu bersemangat mulai merancang rencana di otaknya untuk masa depan keluarga kecilnya yang mulai dia b

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 35

    Sejak kejadian malam tadi, Garwita selalu menghindari kontak mata dengan Kala, apalagi jika harus berhadapan dengannya, Garwita akan bicara sambil menunduk. Bukan tanpa sebab, dia malu luar biasa juga jadi cangnggung karena ci*man itu. "Bu, Gandra mau tambah nasi!" pinta anak itu sambil menyodorkan piring. Buru-buru Garwita mengambilkan apa yang Gandra mau. "Aku juga mau!" Kala ikut menyodorkan piring. Garwita ingin meletakan secentong nasi, tapi Kala menarik piringnya dengan jail begitu terus sampai akhirnya Garwita mendongak. "Ish, mau enggak?" tanya Garwita menatap lelaki di samping Gandra dengan kesal. Kala menahan tawa lalu meraih tangan Garwita dan dan meletakan nasi itu pada piringnya. Pada saat Garwita ingin menarik tangannya Kala sedikit menahan membuat mereka saling adu tatap. Bagi Garwita tatapan Kala itu terlihat seperti menyeriangai dan membuatnya ingin selalu waspada. Sekali menatap wajah Kala, Garwita akan terfokus pada bibirnya lalu bayangan yang iya-iya mula

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 34

    Gandra sudah pulang dijemput oleh Topan siang tadi. Anak itu sekarang bermain di kamar Ray, Garwita sudah menahan dan tak memperbolehkannya. Namun, Ray sendiri yang meminta. Dia beralasan sakitnya akan mereda jika melihat anak kecil bermain."Om lagi sakit, ya?" tanya Gandra sambil bermain di lantai. Ray mengangguk dengan senyum ramah. "Hem, besar nanti Gandra mau jadi dokter," ucap anak itu tanpa ditanya."Kenapa?" Ray penasaran dengan alasan Gandra."Ibu bilang, aku anaknya seorang dokter. Ayahku orang yang hebat!" balasnya menirukan cerita yang Garwita buat. Mendengar itu, Ray merasa terharu sekaligus sedih. Anak yang begitu membanggakan ayahnya, nyatanya ayahnya bukanlah seseorang yang patut dibanggakan. Ray menelan ludah dengan berat setiap kali mendengar cerita polos dari Gandra, dari situ dia tahu betapa baiknya Garwita yang selalu menceritakan kelebihan Ray pada Gandra. "Lalu apa lagi, Gandra?" tanya Ray kepo. "Mmm ...." Gandra tampak berpikir. "Kayaknya, ayah itu genten

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 33

    Kala terdiam menatap Garwita yang begitu dekat dengan wajahnya. Ingin rasanya dia pura-pura khilaf lalu mencium dengan cepat bibir tipis kemerahan yang sekarang terasa sedang menggodanya. Tapi, Kala tak ingin gegabah dan membuat Garwita jadi takut padanya. Kala menggelengkan kepala untuk meredakan rasa nyeri yang sempat hinggap. "Aku tidak apa-apa," balas Kala mencoba terduduk, Garwita mengikuti. "Lagian, pagi-pagi dah iseng!" celetuknya masih kesal dengan candaan Kala. "Ish, siapa yang iseng! Dah ah, yuk bangun kita salat bareng?" ajak Kala kemudian. Dia tak ingin berlama-lama dekat seperti ini dan membuat sesuatu dalam tubuhnya bergejolak dan memanas. ***"Nanti kuantar kamu dulu, baru Gandra ya?" kata Kala perhatian. Garwita yang sedang menyuap makanan langsung mendongak. "Mas, kulihat di samping rumah ada sepeda, apa masih bisa dipake? Kalau bisa, aku ingin memakainya untuk berangkat kerja." Kala mengernyit, mengingat-ingat apa ada sepeda di sana. "Nanti coba ku cek dulu, ya

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 32

    "Mmm, a--ku tak punya apa pun yang bisa dijadikan jaminan. Bagaimana kalau mulai besok bekerja full di sini? Pagi sampai sore?" tawar Garwita, berharap Ray mau berbaik hati.Ray menggeleng dengan senyum remeh. "Menarik!" jawab Ray singkat. "Selain itu, jemputlah Gandra ketika pulang sekolah dan bawa dia ke sini." "Gandra?" Garwita mengernyit. "Ya, saya ingin punya teman main. Gandra pasti akan jadi teman yang menyenangkan!" balas Ray dengan senyum semringah. Itu membuat Garwita lega juga tak menyangka ada yang begitu menyukai dan menginginkan anaknya."Baik, Tuan." "Oke, pulanglah. Nanti Topan yang akan mengurus semuanya. Tunggu saja kabar dari kami," jelas Ray dengan senyum tulus. Dia pun senang karena akhirnya Garwita meminta bantuan darinya. Ray sangat senang jika merasa dibutuhkan oleh Garwita dan keluagarnya. ***"Ibuuu!" panggil Gandra dari arah jalan. Rupanya Kala sudah menjemput anak itu dan membawanya bersama. Garwita langsung mendekat. "Gandra ikut bersama kita? Bagai

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 31

    "Aku akan ke rumah Tuan Rian, Mas. Sore kemarin dan pagi tadi aku tak datang, mungkin dia akan kebingungan," ujar Garwita sembari mengemasi baju yang ada di rumahnya. Kala duduk di tepi ranjang. "Aku antar," kata Kala kemudian. Dia tak mungkin mencegah keinginan Garwita. "Berapa hutang bapak, Wit?" "Banyak, Mas," jawab Garwita singkat. Dia tak ingin memberi tahu karena takut akan merepotkan Kala. "Seberapa banyak?" desak Kala. "Tujuh puluh lima juta." Garwita menghentikan tangannya dan menatap lurus ke arah jendela. "Jumlah yang sangat banyak, bahkan jika aku menjual rumah dan tanah ini saja tak mungkin cukup." Kala merutuki situasi ini, kenapa di saat Garwita butuh uang dia justru tak punya banyak dan sedang bertengkar dengan bapaknya. Tentu saja, selama ini Kala hidup ditopang dengan kekayaan juragan Jarwo. Jika saat ini dia keluar dari rumah dan bapaknya tak peduli lagi, Kala tak punya apa-apa selain sisa uang yang dia bawa. "Aku akan kerja, Wit." Kala tak bisa bicar

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 30

    Tidak ada bahan makanan, sementara mereka berdua belum makan sejak siang tadi. Di luar hujan deras. "Mas, mau ke mana?" Garwita melihat Kala yang memegang kunci."Beli makanan, kamu lapar kan?" "Tapi di luar hujan deras, Mas. Ndak papa kalau malam ini kita enggak makan, anggap saja puasa dulu," canda Garwita. Dia tak ingin Kala pergi karena hujan sangat deras, suara gemuruh juga bersahut-sahutan."Tenang, ada payung, kok. Aku coba ke warung depan sebentar ya?" Kala langsung beranjak pergi, memakai payung yang ada di rumah ini. Garwita membuntut lalu menunggu di ruang depan. Sendirian di rumah membuatnya sedikit kikuk, rumah ini masih terasa asing dan menakutkan baginya. Berkali-kali Garwita menelan ludah karena suara gemuruh juga suara aneh yang terdengar dari beberapa ruangan yang terkunci, mungkin seperti suara tikus yang sedang mengacak-acak sesuatu. Garwita menyibak tirai, menatap keluar berharap Kala segera datang. Jarak warung lumayan jauh, mungkin ada dua ratus meter. Braa

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 29

    "Saya terima nikah dan kawinnya Garwita binti Nanto Wardaya dengan maskawin tersebut dibayar tunai!" Kala mengikrarkan ijab-kabul dengan sekali napas. Garwita menunduk dengan air mata di pipinya. Dia tak tahu harus bahagia atau bagaimana menyikapi masalah ini. Sekarang, statusnya sudah resmi menjadi seorang istri dari Kalandra. Seperti pengantin pada umumnya, Garwita mencium tangan Kala dengan takzim. Selanjutnya giliran Kala yang mengecup kening Garwita, cukup lama dia menyelipkam doa-doa di sana."Mungkin menikah dengan cara begini terlihat hina. Namun, bagiku semuanya terlihat natural ... terjadi karena takdir Sang Pencipta." Kala menyunggingkan senyum tipis pada istrinya, sementara Garwita hanya diam terpaku. Ijah mengusap-usap pundak anaknya, dia pun ikut menangis dengan pikiran kacau. Tapi tak memperpanjang pikiran negatifnya. Berbeda dengan Nanto usai menikahkan anaknya dia langsung pergi.***Berbekal nekat dan rasa tanggung jawabnya pada Garwita, Kala membawa wanita itu ke

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status