Suara ayam berkokok begitu keras hingga membuat seorang wanita di atas tempat tidur terbangun. Wanita itu mengerejapkan matanya, menggeliat ketika merasakan sakit di seluruh tubuh."Shh," desis Gina, tubuhnya terasa remuk seperti sehabis di lindas truk. Dia duduk di tempat tidur, agak kaget ketika menyadari bahwa tubuh ya bugil di balik selimut. Seketika Gina mengingat apa yang semalam dia dan Bagas lakukan."Kamu udah bangun?" Suara Bagas tiba-tiba terdengar, pria itu masuk ke dalam kamar.Gina buru-buru mengeratkan selimut di tubuhnya yang penuh dengan bercak merah-keunguan. "Keluar!" usir Gina.Sudut bibir Bagas naik melihat wanita yang berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut itu, dia lalu berkata, "Aku udah buat sarapan, anak-anak juga udah berangkat sekolah.""Jam berapa ini?" tanya Gina."Jam sepuluh," jawab bagas begitu santai.Gina kaget, tidka menyangka dia akan bangun setelat itu. Gina turun dari tempat tidur dengan selimut yang masih melilit tubuhnya. Dia mendesis lagi sa
Untuk beberapa detik, Serly merasa jantungnya berhenti berdetak ketika melihat siapa yang ada di dalam kamar. Bagas! Bagas dan wanita itu, Gina! Keduanya tengah bergulat dengan panas di atas tempat tidur. Pupil mata Serly membulat sempurna, kebencian di hatinya membuncah.Kenapa?Kenapa?!Kenapa!Kenapa Bagas tega melakukan ini padanya? jelas-jelas dia yang sudah lama mendambakan Bagas dan Bagas juga tahu itu. Apa kurangnya? Dia cantik, berbakat dan seorang anak dari petinggi di militer, bukankan dia dan Bagas angat sempurna jika bersama?! Serly terengah-engah, menjauh dari sana.Suara desahan Gina dan erangan Bagas terus bergema di telinganya. Kebencian di hati Serly pada Gina bertumbuh lagi, dia sangat marah hingga tidak bisa tidur dari semalam."Dasar jalang! Pelacur! Akh! Sial! Sial! Sial!" Sudah Serly duga sebelumnya, wanita itu pasti yang menggoda Bagas lagi! Pria seperti Bagas pasti tidak akan tergoda jika Gina tidak bersikap gatal seperti pelacur murahan.Serly terengah-engah,
"Mbak gina enggak tau, bahkan kalau pun Mbak Gina tahu, Mbak enggak akan bisa membantu apa pun. Beda sama saya, saya dokter, saya bisa membantu mas Bagas kapan pun dia terluka." Serly menarik sudut bibirnya, akhirnya dia kembali mendapatkan kepercayaan dirinya.Hati Gina tidak nyaman ketika lagi dan lagi Serly membahas hal seperti itu, yang membuatnya benar-benar terlihat tidak mengenal Bagas. Serly tiba-tiba mengulurkan tangan, menjejalkan dengan paksa cek itu ke tangan Gina."Jangan dulu nolak, Mbak. Kalau Mbak Gina berubah pikiran, Mbak bisa langsung isi nominalnya dan kasih ke aku." Setelah mengatakan itu Serly berbalik pergi meninggalkan rumah kontrakan.Gina menatap punggung sang dokter lalu beralih pada cek di tangannya. Gina menghirup nafas panjang, menutup pintu rumah dan meletakkan cek itu di meja dapur.***"Mamah! Kita pulang!" Seruan dari Binar terdengar pada saat Gina sedang melipat pakaian di ruang tengah. Melihat satu-persatu anak-anaknya masuk, Gina tersenyum pada me
"Harusnya enggak usah di iming-imingi kaya gitu, nanti kebiasaan," ujar Gina pada Bagas."Enggak pa-pa, itung-itung buat semangatin mereka belajar."Giba mendelik, pria itu sama sekali tidak mau mendengarkannya. "Terus kenapa ngomong sama Binar kalau mau ajak dia jalan hari minggu?""Emangnya kenapa? Aku pengen ajak kalian jalan, kamu enggak mau?" tanya Bagas sambil mengerucutkan bibir.Pria yang memiliki badan besar itu mencoba membuat raut wajah imut membuat bulu kuduk Gina merinding. Apalagi wajah garang Bagas yang membuatnya terlihat semakin tidak cocok.Karena hari sudah mulai gelap, Bagas keluar dari rumah kontrakan yang Gina tempati. Di depan rumah, Bagas tidak sengaja berpapasan dengan seorang pria yang tidak lain adalah suami dari Sari. Ke dua pria itu saling menatap, lalu mengangguk secara bersamaan sebelum akhirnya kembali melanjutkan aktivitas mereka masing-masing.***Hari minggu pun tiba. Hari yang sangat di tunggu oleh anak-anak Gina dan Bagas. Pagi-pagi sekali, Binar d
Masuk ke dalam restoran, mereka di bawa berjalan melewati berbagai meja pelanggan di lantai bawah. Melewati tangga, berjalan menuju lorong yang di penuhi berbagai lukisan antik, Jes berhenti di sebuah pintu dan membukanya."Silahkan, masuk!" pinta Jes, lalu tatapannya jatuh pada tiga anak yang sedari tadi mengekori ayah mereka. "Ayo amsuk bocah-bocah kecil."Ghazi dan Binar langsung berlari masuk, sedangkan Gavin cemberut karena di samakan dengan adik-adiknya. Dia sudah remaja, enggan di panggil dengan panggilan 'bocah'.Bagas tersenyum melihat kebahagiaan anak-anaknya. Bagas membawa mereka duduk di kursi masing-masing. Gina melihat ke sekeliling, ruang vip itu terlihat sangat mewah sekaligus antik dengan bahan utama bangunan yang terbuat kayu jati. Berbagai lukisan juga di gantung pada dinding yang berwarna coklat. Tatapan Gina lalu jatuh pada Bagas yang tampak sedang berbincang dengan pria bernama Jes itu."Binar, Ghazi, jangan berisik!" peringat Gina mereka.Setelah Bagas berbincan
Rumah didominasi oleh warna putih, hitam dan coklat. Gina terperangah, dia tidak pernah membayangkan akan bisa masuk ke dalam rumah besar ini."Kita tidur di mana, Pah?" tanya Gavin masih bingung rumah siapa yang mereka masuki."Ayo Papah antar!" Menggendong Binar, Bagas mengantar ke dua putranya naik ke lantak atas. Dia lalu berhenti di dua buah pintu yang bersebelahan, menunjuk pada Gavin dan Ghazi. "Ini kamar Gavin, yang ini kamar Ghazi."Ke dua anak itu mengangguk, masuk ke dalam kamar mereka masing-masing dengan senang hati. Setelah itu Bagas membawa Binar ke kamar lainnya. Ketika pintu kamar itu terbuka, ruangan di penuhi dengan warna serba pink. Lemari, tempat tidur, hingga karpet dan boneka-boneka berwarna pink. Bagas meletakan Binar di atas tempat tidur besar, menarik selimut lalu mengecup kening anak itu dengan lembut.Setelah itu, Bagas kembali ke lantai bawah, menemui Gina yang saat ini tengah menatapnya dengan serius."Ada apa?" tanya Bagas dengan heran. Dia berjalan mende
Satu jam menatap layar tv yang menayangkan sinetron, perut Gina berbunyi, rasa lapar menghampirinya. Dia meletakan remote tv, bangkit berdiri dan pergi ke dapur. Karena baru pertama kali ke sini, Gina kebingungan saat mencari dapur. Dia menghabiskan waktu sepuluh menit hingga akhirnya berhasil menemukan dapur.Sebuah dapur yang terlihat sangat elegan dengan perpaduan warna hitam dan cokelat. Terdapat meja makan yang berada satu ruangan dengan dapur. Gina berjalan ke arahnya, melihat sebuah kulkas besar. Wanita itu membuka kulkas dan tidak menemukan apa pun di dalamnya.Gina menghela nafas, rasa laparnya tidak lagi bisa di tunda. Wanita itu naik ke lantai dua, masuk ke dalam kamar utama. Di sana, Bagas masih tertidur, Gina hendak membangunkannya saat melihat tas Bagas yang tergeletak di meja. Dia melirik Bagas sekilas, lalu mengambil dompet yang terdapat di dalam tas.Saat Gina membukanya, sebuah foto menarik perhatiannya. Di foto itu, seorang wanita muda berambut panjang tengah tersen
"Rumah kita," jawab Bagas sambil menyuapkan makanan ke mulutnya."BENERAN PAH?!" Ghazi berseru dengan semangat, dia bahkan meletakan kembali sendok berisikan nasi ke piring."Ghazi," tegur Gina.Anak itu tersenyum lebar hingga deretan gigi putihnya terlihat. "Tapi kita bakalan tinggal di sini, Mah? Sama Mamah juga?"Gina melirik Bagas yang mesem-mesem sendiri, mengangguk pada Ghazi. Sedangkan Gavin yang sudah cukup mengerti melirik ke dua orang tuanya, lalu melanjutkan makan yang tertunda. Gina tahu bahwa mungkin Gavin ingin mengajukan pertanyaan padanya, tapi tampaknya anak itu menahan diri.Selesai sarapan, Bagas berinisiatif mencuci piring, sedangkan Gina menyuruh ke tiga anaknya untuk mandi. Gina duduk di kursi ruang keluarga, baru saja akan menyalakan tv saat Gavin yang sudah berpakaian rapih menghampirinya."Mamah," panggil anak itu. Dia mendudukkan bokongnya di samping Gina."Kenapa, Sayang?" tanya Gina sambil mengelus surai lembut Gavin."Mamah mau tinggal di sini?" tanya Gavi
"Na, kenapa muka kamu pucat banget, kamu masih sakit?" tanya Dimas ketika dia melihat wajah Aina yang tampak tidak sehat.Aina menoleh ketika mendengar suara bertanya Dimas, dia menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Saya enggak pa-pa, kok, Pak!" Bibir pucat Aina terangkat, dia mencoba untuk baik-baik saja.Kening Dimas bertaut, masih merasa khawatir bahkan jika Aina berkata bahwa dia baik-baik saja. "Kamu sudah periksa ke rumah sakit?" tanya Dimas lagi."Saya cuma masuk angin, enggak perlu ke rumah sakit.""Kamu terlalu keras kepala, Na. Jangan sepelekan penyakit bahkan kalau pun itu hanya masuk angin. Saya antar kamu ke rumah sakit sekarang!" ujar Dimas dengan nada sedikit memaksa.Aina enggan, mereka masih berada di tempat kerja dan beberapa karyawan memperhatikannya. Dia takut jika Dimas mengantarnya ke rumah sakit di tengah jam kerja, pria itu akan terseret gosip karenanya. Karena Aina tahu betul jika beberapa karyawan sering memperhatikan dia dan bergosip secara diam-diam."Engg
Aina sedang duduk di atas tempat tidur saat bel pintu apartemen berdering. Aina yang sedang cemas menunggu kepulangan Gavin langsung berdiri, bergegas keluar dari kamar untuk membuka pintu.Ketika pintu apartemen dibuka, Aina melihat Gavin yang sedang di papah oleh seorang wanita yang Aina tahu dia berjama Celine."Gavin kenapa?" tanya Aina, sedikit panik melihat Gavin yang tampak tidak sadarkan diri."Gavin Mabuk, tolong minggir dulu, biar gue yang antar dia ke kamarnya!" Celine mendorong Aina ke samping, lalu dia bergegas masuk dengan susah payah. "Di mana kamar Gavin?" tanya Celine."Dudukkan di sofa aja," ujar Aina.Celine mendudukkan Gavin yang mabuk di atas sofa, wanita itu membuka jaket yang Gavin kenalan dan menyuruh Aina yang sedari tadi hanya berdiri dan menatap dari samping, "Buatin air hangat pake madu dan jeruk!"Meski hatinya merasa tidak nyaman melihat Celine yang begitu merawat Gavin, tapi dia tetap sigap melakukan hal yang Celine minta. Dia bergegas pergi ke dapur, me
Aina pulang ke apartemen. Saat dia membuka pintu dan masuk, Aina meletakan barang-barang yang dia beli, dia bahkan tidak sempat membereskan semua itu karena Aina langsung pergi ke dalam kamar mandi dan muntah lagi.Hoek, hoek, hoek.Terengah-engah, Aina menopang tubuhnya pada pinggiran wastafel. Dia berkumur, mencuci mulut dan wajahnya agar terlihat segar. Aina lalu mendongak, menatap wajah pucat nya di cermin. Pantulan dirinya di cermin terlihat sangat kuyu dengan wajah yang basah oleh air dan rambut acak-acakan.Menghela nafas, Aina keluar dari kamar mandi, dia mengganti pakaiannya dengan kaus dan celana pendek sebelum akhirnya berbaring di tempat tidur untuk menenangkan rasa mual di perutnya. Aina berharap bahwa setelah dia bangun nanti, rasa mual itu akan menghilang.***Gavin kembali ke apartemennya setelah menginap di rumah usai ulang tahun bunga, adiknya yang terakhir. Dia menekan serangkaian kata sandi, dan ketika pintu dibuka, Gavin masuk ke dalam apartemen.Suasana hening mem
Aina berdiri di trotoar, menunggu kendaraan umum yang lewat. Wanita itu celingak-celinguk, menunggu dengan cemas. Hari sudah menunjukan pukul tujuh malam, namun dia belum juga mendapati kendaraan yang lewat karena memang hujan deras baru yang diiringi oleh suara petir saja mereda. "Na, kamu mau bareng aja sama saya?" Dimas yang menghampiri Aina bertanya pada wanita itu."Enggak usah, pak. Saya bisa nunggu sebentar lagi, kok." Aina menggeleng, menolak sambil tersenyum."Kalau begitu saya temenin kamu nunggu, ini udah malem, enggak baik perempuan di pinggir jalan kaya gini." Dimas menawarkan diri."Tapi-" Aina ingin menolak, dia merasa tidak enak pada Dimas. Bagaimanapun pria itu juga pasti punya kesibukan setelah ini."Jangan nolak. Saya enggak terima penolakan." Dimas bersikukuh untuk menemani Aina.Pada akhirnya Aina dengan pasrah membiarkan Dimas menemaninya. Wanita itu sedari tadi mengguncang ponsel yang ada dalam genggamannya, menghubungi Gavin berulang kali untuk meminta jemput.
"Kamu pulang?" sapa Aina ketika dia melihat Gavin yang masuk ke dalam apartemen.Gavin mengangguk, dia membuka jaket yang dia kenakan, melemparnya ke atas sofa dengan sembarangan. "Gue lapar, ada makanan?" tanya Gavin.Aina bangkit berdiri dari sofa, dia berjalan ke arah dapur sambil menjawab, "Ada, makan sekarang apa mandi dulu?" tanya Aina."Makan sekarang," jawab Gavin.Mengangguk, Aina mengambil piring dan menyiapkan makanan untuk Gavin. Pria itu duduk di atas meja makan sambil menunggu Aina selesai menyiapkan makanan. Setelah makanan tersaji di hadapannya, Gavin mulai melahap makanannya."Perempuan yang sama kamu tadi siapa?" tanya Aina, dia bertanya dengan hati-hati agar Gavin tidak marah."Temen, kenapa?" Gavin balik bertanya tanpa menatap Aina."Enggak, keliatannya akrab banget sama kamu. Tadi kamu nelepon aku pake nomor dia?"Mengangguk, Gavin mendongak menatap wanita itu. "Kenapa, sih?" tanya Gavin.Kepala Aina menggeleng, dia menuangkan air putih ke dalam gelas dan menaruhn
"Vin...ugh." Aina melenguh saat Gavin mengecupi di sepanjang lehernya hingga akhirnya pria itu berhenti pada dadanya yang ranum.Rasa geli menyebar ke seluruh tubuh Aina, apalagi saat bibir Gavin dengan rakus mengisap pucuk dadanya bergantian. Aina mengelus rambut kepala Gavin, membuat pria wajah pria itu terbenam di sana.Tubuh keduanya sama-sama bugil, saling mengerat satu sama lain. Keringat mereka membanjiri tubuh, ac yang tergantung di dinding sama sekali tidak mempengaruhi suhu panas di antara keduanya."Baring!" titah Gavin pada Aina.Mengangguk, Aina berbaring di atas tempat tidur sambil membuka ke dua kakinya. Nafas Gavin memberat melihat wanita itu menatapnya dari bawah dengan ekspresi yang begitu provokatif."Emh..." Aina tersentak, Gavin memasuki dirinya secara tiba-tiba.Kegiatan yang biasa mereka lakukan setiap malam jika Gavin memintanya, Aina hanya menurut, bagaimana pun menurutnya Gavin adalah pria yang baik yang banyak membantunya di saat dia kesulitan. Aina sama sek
Di sebuah kamar yang remang, seorang wanita menggeliat di atas tempat tidur. Kelopak mata wanita itu terbuka, dia menguap, mencoba bangkit dari tempat tidur ketika tubuhnya tiba-tiba di peluk dengan erat pada pelukan seorang pria yang tertidur di sebelahnya."Vin, lepasin dulu!" titah Wanita yang tidak lain adalah Aina, dia mencoba menyingkirkan tangan Gavin yang melingkari pinggangnya."Sebentar aja," gumam Gavin dengan mata tertutup.Aina menghela nafas. "Ini udah siang, Vin. Katanya kamu ada kuliah jam segini?" tanya Aina dengan nada tidak berdaya.Gavin melepaskan pelukannya, dengan malas bangkit dari tempat tidur. "Sebenernya sesekali bolos juga gak pa-pa," ujar Pria itu."Kalau papah kamu tau, kamu pasti di marahin!" Aina turun dari tempat tidur, memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai. "Cepetan bangun!" titah Aina lagi pada Gavin sebelum dia masuk ke dalam kamar mandi.Selesai mandi dan berpakaian, Aina keluar dari sana, dia melihat Gavin yang hanya memakai boxernya seda
"Makasih, ya, Vin. Lo udah mau nganter gue," ucap Jullia pada Gavin yang berjalan di sampingnya.Gavin mengangguk, tatapannya mengedar menatap toko-toko dan orang yang berlalu-lalang. Dia melihat sebuah gaun cantik di salah satu etalase toko, berpikir jika Aina mengenakan gaun itu pasti akan terlihat cocok dan sangat cantik. Gavin tanpa sadar tersenyum."Vin!" Julia menegur pria yang ternyata tidak memperhatikan dan mendengarkannya."Hah? Kenapa?" Gavin menoleh pada Julia dengan wajah bingung."Lo mikirin apa, sih? Gue ngomong dari tadi ternyata enggak lo dengerin!" Julia cemberut kesal.Tangan Gavin terulur, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Sorry," ucap Gavin dengan rasa bersalah.Keduanya mengobrol di sepanjang perjalanan. Gavin terus mengikuti Julia meski dia tidak tahu ke mana tujuan wanita itu karena sedari tadi mereka hanya berkeliling mall.Tanpa mereka sadar, seseorang menatap keduanya di kejauhan. Gadis itu bersembunyi di salah satu tiang tinggi, melihat Julia yang tam
Seperti yang Gavin katakan, dia tidak ikut mengantar Aina hingga rumahnya, namun hanya di depan gang. Gavin ikut turun ketika Aina turun dari mobil, ia melihat ke gang yang cukup gelap di belakang karena matahari sudah terbenam."Gue anter, ya. Itu gangnya gelap banget, gimana kalau ada apa-apa?" tanya Gavin dengan khawatir.Aina menggelengkan kepalanya, dia menolak, "Enggak usah, Vin. Enggak bakalan ada apa-apa, kok. Aku udah biasa jalan sendiri.""Kalau gitu-""Wih, wih, wih!" Supri tiba-tiba datang dari arah gang, menghampiri Aina dan Gavin di sana.Gavin menatap Aina sejenak, lalu tatapannya beralih pada Supri yang datang. Dia tahu bahwa pria itu adalah ayah dari Aina, Gavin hendak menyapa dengan sopan saat Supri tiba-tiba membuka suara."Katanya cuma temen! Huh! Kalau kaya gitu ngapain kamu nangis-nangis sepatunya Bapak jual? Kan bisa beli lagi," ujar Supri sambil menoyor kepala Aina.Gavin terkejut, dia tidak menyangka jika Supri akan mengatakan itu. "Sepatunya di jual?" tanya G