Tia menolehkan kepalanya ke arah si tamu yang juga berdiri, mungkin dia tak ingin ditinggal sendiri di ruang makan keluarga lain.
Ia berpikir sebentar. Familiar sekali rasanya. Wajahnya familiar, dan ia samar mengingat wangi yang menguar dari tubuh pria itu. Yang akhirnya bisa ia fokuskan setelah sedari tadi fokus ke ayahnya sendiri.
Belum terpikirkan siapa gerangan lelaki familiar ini. Ah, sudahlah, lebih baik ia duduk dulu saja dan menemani si tamu melanjutkan sarapannya. Tia pun kembali duduk, dan mengisyaratkan agar tamunya itu juga duduk. Dan melanjutkan sarapannya, tentu saja.
Setelah si tamu melanjutkan sarapannya, Tia berpikir keras. Siapa tamu ini? Apakah ia mengenalnya? Tetapi dia tidak terlihat seperti salah satu pengujung klub tempatnya biasa menghabiskan malam, dan juga tidak terlihat seperti teman dari temannya (kalau pria ini adalah temannya, tidak mungkin ia tidak mengenalnya).
Ketika si tamu sudah selesai menghabiskan sarapannya dan sedang meminum jus jeruk, Tia tersentak. “OH! Yang di bis ya?” yang menghasilkan si tamu lagi-lagi tersedak karena suara Tia yang mengagetkan. Tia buru-buru menghampirinya dan mengelus pelan punggungnya, wajahnya bersalah. “Maaf, maaf.. Duh ini jadi belepotan. Coba liat sini sebentar,” katanya sambil mengarahkan kepala si tamu ke wajahnya untuk di lap bibirnya menggunakan tisu.
Si tamu hanya diam memerhatikan Tia.
“Arka,” ucapnya.
Tia bingung. “Apa?”
“Arka,”
“Siapa?”
“Saya.”
“Oh,” Tia melempar tisu ke tempat sampah di belakangnya, sebelum tersadar yang tamunya maksud.
“Ohhh iya! Arka! Nama kamu Arka.” Katanya antusias. Membuat Arka tersenyum lebar. “Eh, kemarin kayaknya aku panggil kakak? Usia berapa?”
“Halo, Tia. Eh, bener kan namanya Tia? Tadi denger pak direktur manggil Tia,” kepalanya ia miringkan, menunjukkan rasa bingungnya.
Tia ikut memiringkan kepalanya, reflek. Sebelum tertawa pelan dan mengangguk, “Iya, Tia. Maaf kemarin nggak sempat ngenalin diri.”
Lalu ia tawarkan tangannya untuk berjabat tangan. Tentu saja disambut oleh Arka.
“Ngomong-ngomong, saya tahun ini usia 29. Oh, sama makasih yang waktu malem-malem bantuin nangkep pencopet,” ujarnya. “Berkat kamu, polisi dateng tepat waktu soalnya si pencopet sadar diri waktu polisi datang.”
Wah, memori otak Tia ini memang patut dipertanyakan. “Kakak yang waktu itu? Yang si pencopet aku pukul pake tongkat baseball?” tanyanya antusias.
Arka terkekeh sambil mengangguk.
“Gila aku bangga banget waktu itu! Rasanya kayak pahlawan hahahahaha,” Tia tertawa lepas, hidungnya mengkerut dan matanya sampai terpejam. “Eh tapi ini bisa lepas nggak ya,” katanya, langsung lupa sama dirinya yang baru saja tertawa keras.
“Apanya?” tanya Arka.
“Ini,” jawab Tia, mengangkat tangannya yang masih belum terlepas usai berjabat tangan dengan Arka.
“OH. Maaf maaf,” ujar Arka, langsung melepaskan tangannya dan memalingkan wajah ke sisi kirinya.
“Ini, makannya. Saya udah. Maksudnya, saya udah selesai makannya. Makasih ya, saya pergi dulu.” Ujarnya cepat-cepat, langsung berdiri dan melesat begitu saja ke luar rumah.
Tia memandangi punggungnya yang menghilang seiring bunyi pintu yang tertutup. Dan menghela napas lagi.
Hening rumah ini harusnya menyesakkan, tapi sepertinya bantuan obat tidur tadi malam masih bereaksi, karena alih-alih merasa sesak, ia hanya merasakan kantuk yang sedari tadi ditahannya demi menit berharga dihabiskan bersama ayahnya.
---
Musik keras memekakkan telinga langsung menyambut Tia begitu ia memasuki klub. Ia mengedarkan pandangannya, mencari seseorang yang mungkin dikenalnya. Ini hari ke-3 ayahnya pergi ke Sidney, dan Tia sudah menghabiskan waktu selama itu juga untuk menjadi satu dengan kasur. Biasanya ia tak betah tinggal di rumah sendirian dalam waktu yang lama, tetapi teman-temannya sedang sibuk, jadi ia tak ada orang yang bisa diajak keluar untuk sekedar jalan-jalan.
Begitu sampai di depan bar counter, ia langsung duduk di salah satu barstool yang kosong. Tia tidak dapat melihat satu pun kenalannya disini. Sembari mengeluarkan ponsel dari dalam clutch yang dipangku, ia juga memesan minuman pembukanya untuk malam ini ke bartender.
Tia mencari kontak seseorang yang akan ia suruh untuk menemaninya. Ia tidak terlalu suka dengan ide untuk bergabung berdansa dengan orang-orang yang sama sekali tidak ia kenal. Karena biasanya, mereka yang tidak mengenalnya itulah yang suka memaksa Tia untuk terus menemaninya sepanjang malam. Duh, membayangkannya saja sudah lelah.
“Junaaa lo dimanaa?” sapanya dengan suara keras, berusaha mengalahkan suara musik yang diatur untuk menulikan telinga. “Oh? Kok rame? Lo lagi dimana temenin gue dong.” Satu sesapan dari gelas setelah ia selesai berbicara di telepon.
“Halo, Juna? Gue nggak kedengeran asli, text aja—ANJIR” Tia berjengit, seseorang baru saja berteriak “DOR” di telinganya, yang ternyata adalah Juna. Dasar anak itu.
“Hahahahaha harusnya gue rekam muka lo barusan! Gila lawak banget!” Juna masih tertawa terpingkal-pingkal, membuat Tia jengkel dan mengerucutkan bibirnya. Setelah memberi Juna sebuah lirikan singkat, sepertinya ada yang janggal dari Juna malam ini.
“Lo kenapa, Jun?” tanya Tia khawatir. Temannya sejak masih SMA itu terlihat berantakan. Juna yang biasanya selalu mengutamakan penampilan itu hari ini datang ke klub menggunakan kaos oblong bekas kepanitiaan jaman kuliah dulu, dan celana training yang Tia hafal biasanya dipakai untuk Juna tidur. Rambutnya dibiarkan jatuh begitu saja, dan sepertinya ia baru saja mandi dilihat dari rambutnya yang agak basah.
Alih-alih menjawab, Juna hanya mendudukkan dirinya di samping Tia dan memesan minuman ke bartender. Matanya tidak terlihat bersemangat sebagaimana Juna biasanya.
Tia juga ikut bungkam. Terpikirkan apa yang menjadi kemungkinan Juna bersikap seperti ini. Toh ini bukan pertama kalinya Juna tampil dengan penampilan seperti ini. Sekarang yang Tia pikirkan, apakah lebih baik ia tanyakan langsung, atau tunggu saja sampai Juna cerita sendiri?
“Gue putus sama Nadia,” ujar Juna singkat, menyesap minumannya pelan.
Entah Tia harus menjawab apa. Pasalnya, ia paham betul hal ini akan terjadi dalam waktu dekat. Tia sudah beberapa kali mencoba menyinggung tentang sikap Nadia di luar saat tidak bersama Juna. Mantan kekasih temannya itu bukan perempuan yang bisa dikategorikan perempuan manis yang akan sanggup meladeni Juna yang tidak terkontrol energinya.
“Dia bilang katanya gue nggak bersikap dewasa. Nggak pernah ada di samping dia saat dia butuh.” Ujar Juna lagi dengan sendu. Matanya menerawang. Kalau saja Juna sedang tidak sepatah hati ini, Tia ingin sekali menempeleng kepalanya karena Juna sama sekali tidak cocok bersikap melankolis seperti ini.
Akhirnya Tia memilih tidak menanggapi curhatan Juna. Ia tahu, Juna juga tidak suka dikasihani, itu membuat hatinya jauh lebih sakit. Di saat-saat seperti ini, Tia biasanya memilih untuk sekadar mendengarkan apapun yang lelaki itu ingin ungkapkan. Tapi kali ini, Juna tidak melanjutkan curhatannya. Sepertinya yang sekarang agak susah dilupakan, mengingat hubungan Juna kali ini bisa bertahan sampai 1 tahun lebih.
Bukan, bukan Juna masalahnya disini. Juna adalah temannya yang memiliki banyak cinta di hatinya. Tetapi sampai saat ini, perempuan yang sempat menjalin hubungan dengannya, selalu tidak pernah bisa akrab dengan Tia. Eksistensinya di hidup Juna itu selalu menjadi alasan nomor satu akan kecemburuan pasangan Juna.
“Jun, ayok, lagunya lagi enak,” akhirnya Tia bangkit dari tempatnya duduk, menarik Juna bersamanya untuk bergabung dengan puluhan orang lainnya. Sedikit waktu bersenang-senang pasti akan membuat Juna melupakan sejenak permasalahan asmaranya.
Walaupun ogah-ogahan saat ditarik oleh Tia, sekarang Juna sudah lebih rileks karena alkohol yang tadi sempat diminumnya. Ia menari bersama banyak orang, dan dalam sekejap menjadi bintang malam ini.
Tia tersenyum, ia lebih senang melihat Juna menikmati malamnya seperti ini dibandingkan tenggelam dalam rasa sedihnya.
Lagu yang barusan dimainkan membuat Tia berkeringat, temponya membuat orang-orang berebut untuk menari lebih ke tengah. Tia yang merasa cukup sesak, akhirnya melipir ke agak pinggir.
Di bagian sini orangnya tidak sebrutal mereka yang berebut spotlight. Tia lanjut menari kecil, mengikuti musik yang sekarang berubah menjadi lebih pelan. Ia menolehkan kepalanya saat merasa bahunya ditepuk oleh seseorang.
“Hai, haus nggak? Ini gue pesenin buat lo.” Tawar seorang lelaki yang belum pernah Tia lihat sebelumnya.
Seharusnya Tia tidak menerimanya. Hey, itu sudah hal yang umum diketahui semua orang, bahkan anak kecil yang diwanti-wanti oleh orang tua mereka. Tidak boleh menerima sembarang makanan atau minuman dari orang lain.
Tapi Tia hari ini juga sedang sedih. Sedang merasa kesepian. Sedang tidak ingin bergabung untuk menemani Juna di lantai dansa.
Dan juga, Tia haus.
Tadinya ia ingin ke klub untuk melepas penat, tetapi pada akhirnya ia tidak bisa membebani Juna dengan masalah hidupnya. Mana mungkin Tia menyampaikan keluh kesahnya ke sahabatnya itu, ketika si sahabat sedang memiliki masalah hidupnya sendiri?Jadi ia menerima minuman tersebut, menyesapnya pelan. Meringis saat merasakan minumannya yang super manis. Tia belum pernah meminum ini sebelumnya. Dan, oh. Kandungan alkoholnya pasti kuat.Si pria asing itu tersenyum melihat Tia yang menyesap minumannya sampai habis, walaupun dengan dahi yang berkerut.“Lagunya asik nih, yuk, bareng gue?” tawarnya, menjulurkan tangannya ke Tia, mengajaknya menari bersama.Kepala Tia agak pusing, minuman tersebut benar sangat kuat alkoholnya. Tanpa berpikir, ia menyambut tangan si lelaki dan membiarkan dirinya tertarik olehnya.Di tengah orang-orang yang sedang menghabiskan waktu dengan saling menempelkan diri ke satu sama lain, ada Tia juga, yang sekarang sedang
Arka tergesa membuka pintu penumpang dengan satu tangan, tangan lainnya menopang tubuh Tia yang masih lemas setelah mengeluarkan semua makanan yang sudah ia makan barusan.Sebelumnya, begitu Tia keluar dari toilet, sudah ada Arka yang berdiri menatap ke arahnya cemas, dengan tangan yang membawa clutch milik Tia. Tia baru mau berbicara sebelum Arka menghampirinya, langkahnya lebar.“Saya anter kamu ke dokter,” ujarnya singkat, berdiri tegap di depan Tia.Tia mendongak, wajahnya tidak suka. “Nggak usah, ini mah dibawa istirahat juga baikan, kak.” Jelasnya, demi Tuhan, ia sekarang hanya ingin bergelung di dalam selimut dan tidak beranjak dari kasurnya setidaknya sampai malam nanti.Tetapi Arka ini ternyata sedikit pemaksa. Lengan Tia dipegang erat, dan ia dituntun ke parkiran di luar.Sepertinya usaha Tia untuk menolak hanya akan menjadi sia-sia. Ia memutar bola matanya malas, dan mau tak mau merelakan dirinya diseret
Tia baru saja selesai mandi dan sedang bersiap untuk duduk santai di depan televisi ketika ponselnya berdenting terus menerus. Memutar jalan balik menuju kamarnya, ia meraih ponsel yang sedang diisi ulang dayanya dan mengernyit. 3 missed call from unknown. 4 new messages from unknown. Tia memilih membuka pesannya terlebih dulu, sambil mengusakkan handuk di rambutnya yang masih basah. Ia membelalakkan matanya saat membaca pesan-pesan tersebut. Tia, lagi dimana? Pintunya dibukain, itu saya pesen makanan buat kamu. Halo? Bener kan ini Tia? Ini Arka Tia.. ini kamu nggak ngasih saya nomor palsu kan.. Tia itu bapaknya udah nunggu di depan lama, kasian.. Tia melepas sambungan ponselnya dengan kabel, lalu melempar handuknya ke sembarang arah. Ia celingukan mencari sweater agar penampilannya tidak terlalu gembel. Tia berlari ke gantungan pintu kamar dan meraih sw
Tia terbangun siang itu dengan Juna yang masih mendekapnya dari belakang. Tia tersenyum, akhirnya ia bisa tidur dengan nyenyak tanpa terbangun di setiap jamnya kali ini. Mengusap matanya perlahan, ia membalikkan badannya pelan agar tidak membangunkan Juna yang masih terlelap. Sahabatnya ini sudah dipastikan akan dapat protes dari karyawan kafenya karena melewatkan briefing tiap pagi mereka.Merapatkan badannya lebih dekat ke tubuh Juna, Tia mengalungkan tangannya ke punggung Juna dan menenggelamkan wajahnya di dadanya. Tia menghembuskan napasnya lega, ia paling suka bangun tidur dengan Juna disampingnya karena ia yakin Juna tidak akan meninggalkannya saat pagi datang.Tia mengingat lagi kejadian kemarin sore. Setelah Tia bercerita tentang Arka (dan juga rasa rendah dirinya terhadap kata cinta), mereka memutuskan untuk berbelanja bersama di sebuah pusat perbelanjaan. Katanya untuk menjauhkan Tia dari pikiran-pikiran buruknya, alasan lainnya adalah Juna membutuhkan bantu
Usai membaca pesan tersebut, Tia hanya bisa tertawa keras. Juna yang mendengarnya melongokkan kepalanya dari dalam kamar mandi, wajahnya menuntut penjelasan dari tawa kerasnya. Tia hanya menggesturkan tangannya agar Juna lanjut mandi, dan Juna hanya menggumamkan “Oke..” sebelum menutup pintu kamar mandi kembali.Tia ingat, hari ini adalah hari dimana perusahaan papanya rutin mengadakan makan malam dengan keluarga karyawannya. Hanya plus one, sih. Dan biasanya mereka membawa pasangan mereka; suami, istri, maupun kekasih mereka. Tiga tahun lalu, ayahnya masih pergi ke acara tersebut dengan ibunya. Dua tahun lalu, Tia diajak ikut dan berakhir dengan Tia yang pulang kelelahan meladeni orang-orang yang mengajaknya berbicara. Tetapi dari tahun lalu, Tia sudah tidak diajak untuk datang ke acara tersebut.Harusnya Tia tidak perlu merasa kecewa, toh tahun lalu juga sama. Walau begitu, Tia tidak bisa menahan rasa kecewa bercampur sedihnya. Satu tahu
Saat mereka sudah sampai di taman kompleks, mereka duduk di salah satu kursi taman di bawah sinar lampu taman yang menyinari. Suara gemericik air dari air mancur kecil tidak jauh dari mereka mengisi kesunyian malam itu. Memang tetangga rumahnya tidak banyak yang menghabiskan waktu di taman, kecuali saat sore hari dimana banyak anak kecil yang bermain bersama di taman kecil tersebut.Sedari pertengahan jalan tadi, Arka banyak bercerita mengenai keluarganya. Kini, mereka berdua sedang duduk berdekatan berbagi kehangatan, tapi Tia sudah melepaskan lengan Arka, merasa terlalu berlebihan jika ia masih bergelayut di lengannya saat duduk.“—yang gede namanya Ethan, sekarang umurnya 8 tahun dan sekolah di tempat yang sama kayak dulu saya sekolah. Kalau adiknya, namanya Aria, masih pre-school sekarang, tapi mereka semua full day. Kakak saya sama suaminya sama-sama aktif kerja. Mereka sering nginap di rumah orangtua saya. Oh, dan saya juga
“Takdir nggak sih, ketemu terus gini?” tanya si penyelamatnya sambil tersenyum lebar, senyum manis khasnya yang selalu membuat Tia kehilangan napasnya selama sepersekian detik saat melihatnya.Salah tingkah, Tia hanya bisa tertawa garing dan berdiri dengan benar lalu merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan. Arka masih melihat kearahnya tanpa menghilangkan senyumannya, matanya melengkung lucu dan Tia harus menahan diri untuk tidak mencubit gemas tulang pipinya yang tinggi itu.“Mau jajan, kak?” tanya Tia mengalihkan pembicaraan, ia melihat Arka memegang sebuah kaleng kopi instan di tangan kanannya.Arka hanya menggoyangkan kaleng kopi tersebut di depan wajah Tia, mengiyakan.Tia mengernyit, ia tidak menyangka kalau Arka memilih membeli minuman instan di minimarket dibandingkan kopi di kedai kopi dekat kantornya.“Tadi saya liat kamu dari depan situ,” jelasnya menunjuk ke warung makan di seberang mini market.
Berkebalikan dari yang ia inginkan, sekarang dirinya sedang duduk di restoran Itali yang tadi disebutkan oleh ayahnya. Duduk di salah satu kursi di meja bundar dengan total 3 buah kursi. Ayahnya duduk di kanannya, sedangkan di sebelah kirinya ada si wanita tadi. Yang ia tidak mau memikirkan kenapa ayahnya mengajak wanita ini untuk makan siang bersama mereka. Tia pikir ini kencan makan siangnya dengan ayahnya.Ia mengatur napasnya perlahan, dan melanjutkan makan siangnya dengan tenang. Ia menanggapi beberapa pertanyaan singkat dari ayah dan wanita asing (yang sampai sekarang belum memperkenalkan dirinya ke Tia), dan meminum sampai habis air di hadapannya.“Dek, kenalin ini tante Susan, partner kerjasama papa akhir-akhir ini,” ucap ayahnya saat melihat Tia sudah menyelesaikan makannya. Walaupun makannya hanya habis setengah dan wajah Tia terlihat tidak nyaman, perutnya sakit karena ia memaksa memakan pasta di depannya dengan terlalu cepat, menginginkan pergi
Arka memang butuh bicara dengan Tia, tapi kesempatan yang diberikan Tuhan untuk bicara dengan Tia ini tidak terlalu bisa ia apresiasi.Mundur ke 5 menit yang lalu, Arka sedang berjalan santai menikmati malam sabtunya. Ia sudah berganti pakaian menjadi pakaian santai, dan berjalan mengitari sebuah taman dimana banyak orang yang juga menghabiskan waktunya disana.Beberapa foto berhasil ia abadikan, itu sebelum dirinya terlempar sebuah bola dengan cukup keras, membuatnya mengaduh hebat dan berjongkok sambil menekan kepalanya yang nyut-nyutan.“天啊,真的不好意思!你的头好吗?” (ya Tuhan, maaf banget! Kepalamu nggak kenapa-kenapa?). Arka memberikan jempolnya walaupun kepalanya masih menunduk menahan sakit. Saat tangan si penanya ikut memegang kepalanya, ia mendongak.Ia mendapati orang yang mendekatinya ini adalah orang yang sama dengan yang ia lihat sedang berduaan dengan Tia di area kampusnya waktu itu.Sepertinya si anak
Gelapnya ruangan klub malam ini tidak membuat mata Arka kesulitan untuk mendapati Tia di dalamnya.Dengan matanya, ia melihat Tia yang mungkin kini kesadarannya sudah tidak penuh lagi. Tubuh wanita itu berdempetan dengan seorang lelaki, pinggangnya dipeluk dari belakang dan kini kepala Tia menoleh ke belakang, membuat dirinya bisa melihat dengan jelas wajah wanita itu.Juga, sayangnya, melihat bagaimana Tia membalas ciuman lelaki yang rambutnya ditarik pelan olehnya, menikmati tiap detik bibir mereka berdua bersentuhan.Arka buru-buru mengalihkan pandangannya dari pasangan yang masih tenggelam dalam kegiatannya itu. Lalu melangkahkan kakinya keluar dengan cepat, tidak mengindahkan bouncer yang memandangnya bingung.Ia terus berjalan cepat tanpa arah, pandangannya kosong tetapi berbanding sangat terbalik dengan isi pikirannya sekarang.Seingat dia, Tia bukanlah orang yang bisa melakukan skinship dengan frontal di tempat umum. Tia yang ia kenal adala
Di dalam sebuah kafe dengan interior minimalis tetapi cantik, terlihat sepasang lelaki dan perempuan yang menyesap minumnya masing-masing.Di depan kedua orang itu ada segelas yoghurt frappe dan juga vanilla latte yang masih mengebulkan asap panasnya.Yang lelaki sambil mengetikkan pesan untuk kakaknya di negeri seberang, yang perempuan melihat-lihat ke interior kafe untuk menghilangkan rasa canggung.Tawarannya tadi ditolak oleh halus oleh si atasan.“Makasih tawarannya, El. Tapi saya rasa nggak sopan kalau saya ke apartemen kamu sendirian.”Wajahnya langsung memerah saat itu juga, dan dalam pikirannya, ia memukul kepalanya berulang kali karena bisa-bisanya menawarkan hal seperti itu ke atasannya? Jika orang kantor tahu, mau ditaruh dimana wajahnya?Teringat kembali dengan kejadian memalukan tadi, ia mengangkat gelasnya dan menempelkan gelas dingin itu ke pipinya yang menghangat kembali. Tak sengaja matanya bersitatap d
Semenjak melihat Tia dan teman lelakinya di kampus perempuan itu minggu lalu, Arka belum menemukan waktu yang tepat lagi untuk bertemu dengan Tia. Seperti yang ia bayangkan sebelum datang kesini, bahwa pekerjaan yang menantinya di kantor cabang ini begitu menyita waktunya.Tidak jarang ia pulang ke apartemennya jam 9 malam, itu pun dengan membawa sisa pekerjaannya yang belum selesai agar besok ia bisa menyerahkan pekerjaannya pada atasannya. Harga yang sepadan dengan tingkatan jabatannya yang juga selain melenceng, juga melompat tinggi.Jika ia tidak ada hal yang perlu dikerjakan secara terburu, tetap saja ia memiliki bawahan yang membutuhkan bimbingannya hampir setiap saat. Tapi ini juga merupakan distraksi yang lumayan agar ia tidak berat sebelah dan hanya mengejar Tia saja.Timnya disini ada 4 orang, semuanya sangat berpengalaman dan ia sebagai orang yang bisa dibilang baru saja berkecimpung langsung dalam pengembangan produk mereka, juga tidak serta merta be
“Maksudnya?” tanya Tia lirih. Ia tidak salah tangkap, kan? Yang Arka maksud itu pernikahan papanya...... kan? Melihat Arka yang tidak menjawab dan hanya memberi tatapan yang sulit diartikan, intonasi suara Tia meninggi. “Siapa yang nikah, kak?”“Pak Reza,” bisiknya.“Ha!” Tia rasanya ingin menertawakan dirinya sendiri. Dirinya dan juga hidupnya ini selalu saja bisa membuatnya tertawa. Terlalu membingungkan.“Aku pikir papa waktu itu masih nunggu waktu buat aku nerima kehadiran calon istrinya?” tanyanya tidak percaya. Nada tinggi itu masih menempel di suaranya. Beruntung tidak ada yang memahami percakapan mereka. Mungkin orang yang lewat hanya berpikir mereka sepasang kekasih yang sedang bercekcok.Arka tidak tahu harus merespon bagaimana, ia hanya mengeratkan genggamannya di tangan Tia.“Papa beneran nikah tanpa kehadiranku? Tanpa kabar?” cercanya lagi.“Pak Reza u
Tadi Arka bilang kalau dirinya ingin makan hotpot. Jadi Tia langsung meminta rekomendasi restoran dari temannya. Siapa lagi kalau bukan Figo?Figo itu tipe teman yang jika Tia mengiriminya pesan, pasti akan dibalas dengan panggilan telepon. Awalnya Tia risih karena kan maksudnya menggunakan pesan, agar tidak perlu mengobrol?Tetapi berbicara dengan Figo selalu menyenangkan, jadi Tia tidak ambil pusing.Itu juga yang terjadi 10 menit lalu. Tia yang sedang mengeringkan rambutnya mengirimi pesan ke Figo untuk meminta rekomendasi restoran. Tapi anak itu langsung menelponnya dengan jarak waktu tidak lebih dari 1 menit.“Lo mau makan, kak? Ikut dong, siang ini gue free nih,” sapa Figo riang di seberang sana. Tia mematikan pengering rambutnya sebentar dan menjawab sembari memilah-milah pakaian. Arka yang sedang tiduran hanya menolehkan kepalanya guna mengikuti arah Tia berjalan.“Gue lagi sama orang lain, nantian aja sama lo-nya. Lagian
Tidak terasa niatnya kemarin itu betulan terwujud. Memasuki satu bulan perkuliahan, bisa dihitung mungkin Tia hanya tidur dengan orang lain sebanyak 7 kali. Semuanya terjadi di akhir pekan maupun di malam sabtu, dimana dirinya tidak memiliki kegiatan di kampus keesokan harinya.Akhir pekan kali ini juga ia habiskan di hotel dengan orang yang ditemuinya di bar tadi malam. Tubuhnya super pegal karena partner tidurnya kali ini terlalu bersemangat hingga dirinya baru bisa tidur di jam 4 pagi, lalu ditinggal oleh si lelaki saat matahari menampakkan dirinya.Untung sekali ini bukan Indonesia, dirinya yang mengenakan pakaian minim tidak mendapatkan lirikan apapun dari orang-orang yang berlalu lalang.Suasana siang hari disini selalu membuatnya senang karena ramainya jalanan di kota ini. Ia sengaja turun satu stasiun lebih awal dari stasiun terdekat apartemennya.Sambil menyisipkan permen lollipop dalam mulutnya, ia bersenandung pelan sendirian. Matanya berlarian
Keringat menetes dari dahi Tia, dan terjatuh ke tanah yang dipenuhi oleh rumput. Kedua tangannya sedang memegang tongkat baseball dengan erat. Konsentrasinya tertuju pada bola yang kini sedang terlempar kencang ke arahnya.PAK!Melihat bola yang berhasil dipukul keras olehnya, ia langsung berlari kencang dan berhenti di base ke dua saat melihat tim lawan sudah memegang bola yang tadi dilemparnya.Seminggu ke belakang, Tia rajin ikut tim baseball kampusnya latihan. Sebetulnya bukan latihan serius karena dirinya bukan anggota tim baseball, tapi karena salah satu anggotanya ada yang merupakan orang Indonesia, jadi ia diperbolehkan ikut ketika mereka sedang bermain santai.“Nggak join kita aja, kak?” tanya penjaga base yang sedang ditempati Tia. Oh, itu Figo, mahasiswa berkebangsaan Indonesia yang tadi ia ceritakan. Umurnya baru 21 tahun, dan sedang menempuh pendidikan S1nya disini.“Kenapa? Gue keren ya?” Tia bertanya balik sam
Tia menyibakkan gorden berwarna pink pastel dan menyipitkan matanya saat melihat terangnya sinar mentari yang mengintip ke kamarnya. Setelah membuka jendelanya sedikit, ia melangkahkan kakinya ke sisi kamarnya untuk menuangkan dirinya minum.Kursi komputer yang empuk didudukinya. Tangan kanan mengoperasikan ponsel pintar, tangan kirinya menggenggam gelas berisikan air dingin. Cuaca di Shenzhen hari ini cukup sejuk, jadi ia matikan pendingin ruangannya dan membiarkan udaranya tergantikan oleh udara segar dari luar.Tempat tinggal Tia kali ini seperti mengingatkannya pada kamar tidur teman tidurnya beberapa saat lalu di Indonesia. Jika kamar Tia di Indonesia juga berukuran sama seperti ini, bedanya adalah kali ini ruangan ini berfungsi sebagai seluruh rumah untuknya.Keputusan Tia untuk melanjutkan studinya disini bisa dibilang agak impulsif. Ia menghabiskan waktu seharian penuh merenung di kamarnya dan membutuhkan beberapa saran dari Juna untuk akhirnya mengambil