Share

Tenderly

Author: Araitara
last update Last Updated: 2021-06-09 20:22:08

Tadinya ia ingin ke klub untuk melepas penat, tetapi pada akhirnya ia tidak bisa membebani Juna dengan masalah hidupnya. Mana mungkin Tia menyampaikan keluh kesahnya ke sahabatnya itu, ketika si sahabat sedang memiliki masalah hidupnya sendiri?

Jadi ia menerima minuman tersebut, menyesapnya pelan. Meringis saat merasakan minumannya yang super manis. Tia belum pernah meminum ini sebelumnya. Dan, oh. Kandungan alkoholnya pasti kuat.

Si pria asing itu tersenyum melihat Tia yang menyesap minumannya sampai habis, walaupun dengan dahi yang berkerut.

“Lagunya asik nih, yuk, bareng gue?” tawarnya, menjulurkan tangannya ke Tia, mengajaknya menari bersama.

Kepala Tia agak pusing, minuman tersebut benar sangat kuat alkoholnya. Tanpa berpikir, ia menyambut tangan si lelaki dan membiarkan dirinya tertarik olehnya.

Di tengah orang-orang yang sedang menghabiskan waktu dengan saling menempelkan diri ke satu sama lain, ada Tia juga, yang sekarang sedang berdiri tanpa jarak dengan si pria asing. Badannya mengikuti alunan musik, tidak merasa terganggu dengan tangan si pria yang ada di pinggulnya.

“Lo dateng kesini sama siapa?” tanya si pria asing, mendekatkan wajahnya ke wajah Tia yang memerah, si alkohol sudah bereaksi pada tubuhnya.

“Temennn,” jawabnya, berteriak.

Si pria mengangguk paham. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh klub ini, mencari si “teman” yang disebutkan oleh Tia. Tapi tidak ada seorang pun yang melirik ke arah mereka, apalagi ke Tia.

“Temen lo mana?” tanyanya lagi. Kali ini ia menyentuh dagu Tia, mengangkat kepalanya agar ia bisa memandang wajah Tia.

Tia berusaha setengah mati untuk sadar, walau hanya sedikit. Tetapi bahkan ia tidak memiliki tenaga untuk menepis tangan si pria, dan tanpa sadar bersandar pada si pria, mencari pegangan agar tidak jatuh.

Melihat Tia yang sudah tidak bisa menopang dirinya sendiri, si pria asing tersenyum miring. Ia coba lagi mengajak ngobrol Tia.

“Hey, lo capek kah? Istirahat dulu yuk? Apartemen gue nggak jauh dari sini. Takutnya lo kalo ditinggal gaada temennya, nanti kenapa-napa,” ujarnya, bernada khawatir.

Tia tidak dapat menangkap omongannya secara penuh, kesadarannya hampir hilang. Entah apa yang dikatakan si pria asing, ia hanya mengangguk kecil. Dalam alam bawah sadarnya, ia tahu ia akan menyesali keputusannya kali ini.

---

Tia terbangun karena ponselnya yang terus bergetar di nakas. Ia meregangkan badannya di kasur tersebut, merasa dingin karena selimut yang tidak ada di atas tubuhnya. Tia menggigil, dia tidak bisa tidur dengan pendingin ruangan yang menyala sembari tidak menggunakan selimutnya.

Sambil mengucek pelan matanya, tangannya berusaha menggapai ponselnya yang belum berhenti bergetar. Nama Juna tertera disana selama 2 detik sebelum panggilan terputus. Layar ponsel Tia menunjukkan 7 panggilan tidak terjawab dari Juna, dan beberapa pesan yang belum terbaca olehnya, berisikan hal yang memiliki inti sama, menanyakan keberadaannya berulang kali. Tentu saja dari Juna.

Tia mengaduh pelan, kepalanya langsung pusing dipakai untuk melihat layar ponsel begitu membuka mata. Ia lalu menaruh kembali ponselnya, berniat menghubungi balik Juna ketika ia sudah sadar sepenuhnya.

Tangannya mencari-cari selimut yang seharusnya ada di atas kasur. Begitu ia tidak dapat mendapatkan selimutnya, Tia beranjak duduk perlahan. Ia mengedarkan pandangannya.

Ini bukan kamarnya. Bukan pula ruangan di rumahnya. Dan bukan ruangan di rumah Juna.

Merasakan pusing yang datang kembali, ia mengernyit. Saat itu ia tersadar bahwa bajunya sudah berubah menjadi sebuah kaos kebesaran. Baju yang kemarin ia pakai ada di.. lantai.

Demi Tuhan.

Tia berteriak frustasi, tidak memercayai bahwa setelah sekian lama, ia terbangun dalam keadaan seperti ini di sebuah ruangan yang ia yakin adalah milik si pria asing kemarin malam. Ia mengutuk si pria dalam hati, bisa-bisanya meninggalkannya begini tanpa dibangunkan. Memangnya ia jalang?

Setelah kesadarannya terkumpul, ia bangun dari kasur dan mengambil bajunya yang berserakan di lantai. Setelah mengecek bahwa kamar apartemen itu benar-benar kosong ditinggal penghuninya —mungkin si pria sedang kuliah atau kerja, Tia tidak mau ambil pusing—, ia langsung mengganti bajunya dengan baju yang tadi malam ia pakai. Lalu ia berpikir, bajunya agak terlalu mencolok untuk dipakai keluar di siang hari seperti ini.

Tia membuka lemari pakaian si pria yang berada di pojok ruangan. Tangannya memilah-milah pakaian yang digantung di dalam sana, dan mengeluarkan sebuah jaket varsity untuk kemudian ditempelkan ke tubuhnya. Menimbang-nimbang, jaketnya cocok tidak untuk dipakai bersama bajunya. Setelah tidak bisa menemukan luaran yang bisa ia pakai, dengan berat hati akhirnya Tia mengenakan jaket varsity tersebut. Semoga orang-orang tidak memperhatikannya.

Sebelum meninggalkan kamar tersebut, Tia mencari clutch­ yang ia bawa kemarin. Tia memindai kamar tersebut, mengambil ponselnya selagi ingat, dan menemukan clutch-nya di atas kursi komputer. Setelah merogoh uang yang ada di dalamnya, ia meninggalkan beberapa lembar uang dan merobek selembar kertas dari buku catatan yang ada di dekat keyboard lalu mengambil pulpen yang tergeletak di atas nakas. Menulis pesan untuk teman tidurnya tadi malam.

“Gue ambil jaket lo ya. Ini uangnya.” Tulisnya. Setelah menaruh mouse sebagai beban kertas, ia memastikan untuk mematikan pendingin ruangan dan juga lampu yang masih menyala. Lalu ia pergi dari kamar itu.

---

Tia memencet tombol lift gedung tersebut. Apartemen si pria ini memiliki restoran di lantai dasarnya. Tia berpikir untuk membeli makan siang sambil menghilangkan sakit di kepalanya.

Ketika lift terbuka, ia langsung masuk ke dalamnya dan menyenderkan kepala ke dinding setelah memencet tombol. Rasanya masih pusing, dan sedikit mual. Perutnya belum diisi makanan sejak kemarin siang, yang itu juga hanya beberapa suap kue dari sebuah kafe, juga es kopi yang sama sekali tidak membuatnya kenyang.

Tia masih memejamkan matanya saat lift berdenting, menandakan ia sudah sampai pada lantai dasar. Saat ia melangkahkan kaki keluar, pusingnya datang lagi. Tia hampir jatuh jika saja tangannya tidak sigap untuk memegang apapun yang bisa dipegang.

Sepertinya kali ini adalah orang.

“Kamu gapapa?” ucap seseorang itu, terdengar agak kaget karena tiba-tiba menjadi tumpuan badan perempuan yang terlihat hampir pingsan.

Tia masih menunduk dan mengatur napasnya, jangan sampai ia pingsan di tempat umum. Bakal jadi terlalu merepotkan.

Merasa tidak mendapat jawaban, seseorang itu menyejajarkan wajahnya dengan Tia, berniat mengecek keadaannya.

“Loh? Tia?” tanyanya kaget, tangannya otomatis berpindah memegangi bahu Tia yang melemas.

Tia menengadahkan kepalanya, kepalanya masih pusing. Ia melihat Arka, rekan kerja ayahnya, sedang memandangi dirinya dari atas hingga bawah, dan kembali lagi ke atas. Sekarang wajahnya diselimuti kekhawatiran yang kentara.

Entah Tia harus merasa bersyukur karena ia bertemu dengan orang yang sudah dikenalnya, atau ia harus mengumpat karena orang ini adalah rekan kerja ayahnya. Maksudnya, ia paham jika ayahnya tidak akan peduli walaupun Tia menghancurkan hidupnya sendiri, tetapi Tia tidak ingin ada orang penting di kehidupan ayahnya yang menemukannya dalam kondisi seperti ini.

Ia tidak mau mempermalukan ayahnya.

Menampar pipinya sendiri cukup keras, ia berusaha berdiri tegak dengan bantuan Arka. Setelah itu, ia memberikan senyuman sopan sebelum menyapa orang pertama yang ia lihat hari ini.

“Halo, kak Arka. Lagi ngapain?” pertanyaan bodoh, Tia mengutuk dirinya dalam hati. Ini jam makan siang, dan ini di restoran. Apalagi yang dilakukan Arka selain makan siang? Tapi Tia tidak tahu harus bicara apa. Takut salah bicara, lalu image dia di mata rekan kerja ayahnya jadi jelek.

Arka masih memandangi Tia dengan khawatir. Ia baru saja ingin menanyakan apakah Tia baik-baik saja, sebelum perempuan itu memegangi mulut dan perutnya, seperti menahan mual.

“Ayo, saya temenin makan,” ajaknya ke Tia, merangkul perempuan itu ragu dan menuntunnya ke meja di pinggir.

Tia hanya membiarkan dirinya dibawa duduk, dan juga membiarkan Arka memesankan apa pun untuknya makan di siang hari ini.

Wajah si rekan kerja ayahnya ini menyiratkan kelelahan, Tia jadi tidak enak sudah menahan Arka untuk kembali ke kantornya. Setelan yang dipakai Arka hampir terlihat sama seperti yang Tia lihat sewaktu mereka bertemu di bis tempo hari. Celana dan jas berwarna senada, kali ini biru muda, dan dalaman kemeja berwarna hitam, kurang dasi saja untuk melengkapi tampilan formalnya. Tapi sama sekali tidak mengurangi ketampanan pria itu. Malah ia terlihat lebih muda, dengan poninya yang kali ini tidak terlihat disisir rapih ke belakang.

Merasa dirinya sudah memperhatikan Arka terlalu lama, Tia berdehem pelan. “Kak Arka bukannya harus balik ke kantor?” tanyanya, ia yakin harusnya Arka tidak sendirian disini. Kemana timnya yang lain?

Setelah menyampirkan jasnya yang sudah dilipat asal ke kursi sebelahnya, Arka tersenyum sebelum menjawab, “Tadi saya udah minta yang lain buat balik ke kantor duluan. Nggak apa, meetingnya udah selesai kok.” Imbuhnya cepat, saat Tia terlihat seperti ingin protes. Takut menghambat pekerjaan Arka dengan menemani Tia makan siang.

Mulut Tia menggumamkan “Oh, gitu” sebelum menopang kepalanya menggunakan kedua tangannya. Ia butuh minum secepatnya.

“Permisi, air mineralnya satu, dan teh peppermintnya. Makanannya mohon ditunggu sebentar lagi,” ujar seorang pelayan restoran tersebut, meletakkan kedua minuman di hadapan Tia sebelum kembali ke tempatnya setelah mendengar Arka berucap “Terima kasih” pelan.

Tia mendongak, “Ini tehnya buat aku?” tanyanya, memastikan sebelum meraih cangkirnya. Setelah melihat anggukan dari Arka, Tia langsung menyeruput tehnya pelan, mendesah puas dan terus menyesap sampai tehnya tinggal setengah. Ia merasa sedikit lebih baik, bahunya rileks dan tehnya ia taruh kembali di meja.

“Saya tadi pesenin kamu sop ayam. Suka, kan?” tanya Arka, memasukkan ponselnya ke dalam saku setelah sebelumnya berkutat dengan si ponsel. Mungkin mengabari orang kantornya bahwa ia akan terlambat kembali ke kantor.

Tia mengangguk sebelum menjawab, “Suka kok kak. Apa aja oke, hehe”. Lalu ia mengedarkan pandangannya ke area restoran.

Restorannya cukup ramai kali ini, Tia tidak hanya bisa melihat beberapa orang berpakaian formal yang sedang menyantap makanan, tetapi juga bisa melihat beberapa keluarga yang sedang makan siang bersama. Sepertinya memang restoran yang terkenal. Tia hanya pernah mendengar namanya saja, tetapi belum pernah pergi kesini. Biasanya ia dan Juna lebih suka mampir ke kafe-kafe kecil untuk bersantai, dan memilih makan di rumah memesan delivery.

“Tia, ayo dimakan dulu,” ujar Arka, mengalihkan perhatian Tia dari melihat orang lain makan siang.

Di hadapannya sudah tersedia semangkuk sop ayam yang masih mengepul, dan semangkuk kecil nasi putih. “Lah kapan datengnya ini kak?” tanyanya sambil terkekeh, menyendokkan sesuap kuah sop dan meniupnya.

“Kamu aja yang bengong terus. Dihabisin ya makannya?” jawab Arka sambil menggelengkan kepalanya, menertawai Tia yang sekarang membakar lidahnya sendiri. Kuah masih panas begitu langsung dimasukkan mulut, jelas saja lidahnya tidak akan kuat. “Pelan-pelan aja nggak papa, Tia. Saya tungguin.” Ujarnya, mengambil sekotak tisu untuk didekatkan ke arah Tia.

Tia hanya menyengir dan menganggukkan kepalanya, “Sorry ya kak jadi nyusahin.” Ucapnya merasa sungkan.

Arka hanya mengibaskan tangan di depan wajah, mengisyaratkan bahwa tidak masalah ia menemani Tia makan siang sebentar.

Sambil mengambil ponsel dari dalam clutchnya, ia lanjut menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Lapar juga ternyata hampir seharian tidak makan apapun. Tia membuka pesan dari Juna, membalas singkat “Gue lagi makan siang. Nanti langsung pulang. Lo dimana?”. Tia masih ingin memastikan temannya itu tidak tidur dengan orang lain sembarangan (seperti dirinya). Tia tidak akan membiarkan orang asing mengambil kesempatan dari situasi Juna yang sedang patah hati. Tidak lama, ponsel Tia berdering. Nama Juna terpampang disana, Tia melihat ke arah Arka, lalu mendapati Arka yang juga sedang memerhatikan ponsel Tia yang masih berdering.

“Aku angkat dulu ya kak?” tanyanya ke Arka, tidak ingin terlihat tidak sopan mengangkat telepon saat sedang makan.

Arka tersentak, langsung menjawab, “Iya, angkat dulu aja,” dan meraih ponselnya sendiri dari dalam saku celana panjangnya.

“Halo, gimana Jun? Iya ini makan siang. Beneran makan, elah. Mau langsung pulang nanti, tidur palingan? Baru tidur bentar gue tadi pagi,” sesuap potongan ayam masuk ke dalam mulutnya. “Iyaa, nanti gue cerita. Lo gapapa kan? Perlu gue samper ke rumah nggak?” Botol air mineral dibuka (dengan bantuan Arka yang melihat Tia susah membuka karena satu tangannya memegang ponsel), lalu Tia menegak air di dalamnya banyak-banyak. “Yaudah, gampang nanti gue kabarin lagi ya? Dah..” Tia memutuskan panggilan, lalu meletakkan ponselnya di meja.

Arka canggung, ia tidak memesan apapun dan hanya menemani Tia makan siang. Mau pura-pura main ponsel, tapi tidak ada hal yang perlu ia lakukan. Jadi dia hanya melihat-lihat orang lain yang berlalu lalang.

“Makasih, kak, udah dibukain tadi,” ucap Tia, tadi tidak sempat bilang karena masih tersambung di telepon dengan Juna.

“Ah, iya. Santai,” jawab Arka

Dia baru ingin membuka mulutnya untuk bicara lagi sebelum ia melihat Tia yang menutup mulutnya, wajahnya sedikit tegang, dan lalu langsung berlari ke toilet, sedikit sempoyongan.

Related chapters

  • Lend Me Your Wings   Fear

    Arka tergesa membuka pintu penumpang dengan satu tangan, tangan lainnya menopang tubuh Tia yang masih lemas setelah mengeluarkan semua makanan yang sudah ia makan barusan.Sebelumnya, begitu Tia keluar dari toilet, sudah ada Arka yang berdiri menatap ke arahnya cemas, dengan tangan yang membawa clutch milik Tia. Tia baru mau berbicara sebelum Arka menghampirinya, langkahnya lebar.“Saya anter kamu ke dokter,” ujarnya singkat, berdiri tegap di depan Tia.Tia mendongak, wajahnya tidak suka. “Nggak usah, ini mah dibawa istirahat juga baikan, kak.” Jelasnya, demi Tuhan, ia sekarang hanya ingin bergelung di dalam selimut dan tidak beranjak dari kasurnya setidaknya sampai malam nanti.Tetapi Arka ini ternyata sedikit pemaksa. Lengan Tia dipegang erat, dan ia dituntun ke parkiran di luar.Sepertinya usaha Tia untuk menolak hanya akan menjadi sia-sia. Ia memutar bola matanya malas, dan mau tak mau merelakan dirinya diseret

    Last Updated : 2021-06-15
  • Lend Me Your Wings   And I'm here

    Tia baru saja selesai mandi dan sedang bersiap untuk duduk santai di depan televisi ketika ponselnya berdenting terus menerus. Memutar jalan balik menuju kamarnya, ia meraih ponsel yang sedang diisi ulang dayanya dan mengernyit. 3 missed call from unknown. 4 new messages from unknown. Tia memilih membuka pesannya terlebih dulu, sambil mengusakkan handuk di rambutnya yang masih basah. Ia membelalakkan matanya saat membaca pesan-pesan tersebut. Tia, lagi dimana? Pintunya dibukain, itu saya pesen makanan buat kamu. Halo? Bener kan ini Tia? Ini Arka Tia.. ini kamu nggak ngasih saya nomor palsu kan.. Tia itu bapaknya udah nunggu di depan lama, kasian.. Tia melepas sambungan ponselnya dengan kabel, lalu melempar handuknya ke sembarang arah. Ia celingukan mencari sweater agar penampilannya tidak terlalu gembel. Tia berlari ke gantungan pintu kamar dan meraih sw

    Last Updated : 2021-06-17
  • Lend Me Your Wings   Sunset glow

    Tia terbangun siang itu dengan Juna yang masih mendekapnya dari belakang. Tia tersenyum, akhirnya ia bisa tidur dengan nyenyak tanpa terbangun di setiap jamnya kali ini. Mengusap matanya perlahan, ia membalikkan badannya pelan agar tidak membangunkan Juna yang masih terlelap. Sahabatnya ini sudah dipastikan akan dapat protes dari karyawan kafenya karena melewatkan briefing tiap pagi mereka.Merapatkan badannya lebih dekat ke tubuh Juna, Tia mengalungkan tangannya ke punggung Juna dan menenggelamkan wajahnya di dadanya. Tia menghembuskan napasnya lega, ia paling suka bangun tidur dengan Juna disampingnya karena ia yakin Juna tidak akan meninggalkannya saat pagi datang.Tia mengingat lagi kejadian kemarin sore. Setelah Tia bercerita tentang Arka (dan juga rasa rendah dirinya terhadap kata cinta), mereka memutuskan untuk berbelanja bersama di sebuah pusat perbelanjaan. Katanya untuk menjauhkan Tia dari pikiran-pikiran buruknya, alasan lainnya adalah Juna membutuhkan bantu

    Last Updated : 2021-06-19
  • Lend Me Your Wings   Boy with a star

    Usai membaca pesan tersebut, Tia hanya bisa tertawa keras. Juna yang mendengarnya melongokkan kepalanya dari dalam kamar mandi, wajahnya menuntut penjelasan dari tawa kerasnya. Tia hanya menggesturkan tangannya agar Juna lanjut mandi, dan Juna hanya menggumamkan “Oke..” sebelum menutup pintu kamar mandi kembali.Tia ingat, hari ini adalah hari dimana perusahaan papanya rutin mengadakan makan malam dengan keluarga karyawannya. Hanya plus one, sih. Dan biasanya mereka membawa pasangan mereka; suami, istri, maupun kekasih mereka. Tiga tahun lalu, ayahnya masih pergi ke acara tersebut dengan ibunya. Dua tahun lalu, Tia diajak ikut dan berakhir dengan Tia yang pulang kelelahan meladeni orang-orang yang mengajaknya berbicara. Tetapi dari tahun lalu, Tia sudah tidak diajak untuk datang ke acara tersebut.Harusnya Tia tidak perlu merasa kecewa, toh tahun lalu juga sama. Walau begitu, Tia tidak bisa menahan rasa kecewa bercampur sedihnya. Satu tahu

    Last Updated : 2021-06-21
  • Lend Me Your Wings   Look at me

    Saat mereka sudah sampai di taman kompleks, mereka duduk di salah satu kursi taman di bawah sinar lampu taman yang menyinari. Suara gemericik air dari air mancur kecil tidak jauh dari mereka mengisi kesunyian malam itu. Memang tetangga rumahnya tidak banyak yang menghabiskan waktu di taman, kecuali saat sore hari dimana banyak anak kecil yang bermain bersama di taman kecil tersebut.Sedari pertengahan jalan tadi, Arka banyak bercerita mengenai keluarganya. Kini, mereka berdua sedang duduk berdekatan berbagi kehangatan, tapi Tia sudah melepaskan lengan Arka, merasa terlalu berlebihan jika ia masih bergelayut di lengannya saat duduk.“—yang gede namanya Ethan, sekarang umurnya 8 tahun dan sekolah di tempat yang sama kayak dulu saya sekolah. Kalau adiknya, namanya Aria, masih ­pre-school ­sekarang, tapi mereka semua full day. Kakak saya sama suaminya sama-sama aktif kerja. Mereka sering nginap di rumah orangtua saya. Oh, dan saya juga

    Last Updated : 2021-06-24
  • Lend Me Your Wings   The reason behind it

    “Takdir nggak sih, ketemu terus gini?” tanya si penyelamatnya sambil tersenyum lebar, senyum manis khasnya yang selalu membuat Tia kehilangan napasnya selama sepersekian detik saat melihatnya.Salah tingkah, Tia hanya bisa tertawa garing dan berdiri dengan benar lalu merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan. Arka masih melihat kearahnya tanpa menghilangkan senyumannya, matanya melengkung lucu dan Tia harus menahan diri untuk tidak mencubit gemas tulang pipinya yang tinggi itu.“Mau jajan, kak?” tanya Tia mengalihkan pembicaraan, ia melihat Arka memegang sebuah kaleng kopi instan di tangan kanannya.Arka hanya menggoyangkan kaleng kopi tersebut di depan wajah Tia, mengiyakan.Tia mengernyit, ia tidak menyangka kalau Arka memilih membeli minuman instan di minimarket dibandingkan kopi di kedai kopi dekat kantornya.“Tadi saya liat kamu dari depan situ,” jelasnya menunjuk ke warung makan di seberang mini market.

    Last Updated : 2021-07-01
  • Lend Me Your Wings   Hard for me

    Berkebalikan dari yang ia inginkan, sekarang dirinya sedang duduk di restoran Itali yang tadi disebutkan oleh ayahnya. Duduk di salah satu kursi di meja bundar dengan total 3 buah kursi. Ayahnya duduk di kanannya, sedangkan di sebelah kirinya ada si wanita tadi. Yang ia tidak mau memikirkan kenapa ayahnya mengajak wanita ini untuk makan siang bersama mereka. Tia pikir ini kencan makan siangnya dengan ayahnya.Ia mengatur napasnya perlahan, dan melanjutkan makan siangnya dengan tenang. Ia menanggapi beberapa pertanyaan singkat dari ayah dan wanita asing (yang sampai sekarang belum memperkenalkan dirinya ke Tia), dan meminum sampai habis air di hadapannya.“Dek, kenalin ini tante Susan, partner kerjasama papa akhir-akhir ini,” ucap ayahnya saat melihat Tia sudah menyelesaikan makannya. Walaupun makannya hanya habis setengah dan wajah Tia terlihat tidak nyaman, perutnya sakit karena ia memaksa memakan pasta di depannya dengan terlalu cepat, menginginkan pergi

    Last Updated : 2021-07-06
  • Lend Me Your Wings   Where to go?

    Tia yang melihatnya merasakan hatinya sedih juga. Ia melepas tangan Juna dari pipinya lalu meraih leher pria itu, memeluknya dan menepuk-nepuk kepalanya. “Kenapa gue yang ditepuk-tepuk kepalanya?” tanya Juna, ia kini menekuk lututnya agar Tia bisa memeluknya lebih nyaman. “Soalnya gue belum mau sedih-sedih, sedangkan lo keliatan sedih.” Tia melepas pelukannya, meraih kedua tangan Juna dan menggoyang-goyang ke kanan dan ke kiri. “Nggak sekarang ya, Jun, gue ceritanya? Gue mau seneng dulu. Boleh, kan?” “Bolehh, lo butuh waktu berapa lama juga gue jabanin.” “Makasih ya Jun,” kata Tia, senyumnya mengembang. Tertular senyuman Tia, Juna juga ikut tersenyum. Kali ini senyuman pasrah, ia akan ikut Tia untuk menghabiskan hari dengan senang, dan mengundur kesedihan yang pasti akan turut ia rasakan jika Tia memutuskan untuk menceritakan apa yang membuatnya sampai menunggu Juna di luar berjam-jam, dan tidak masuk ke apartemennya walaupun ia tahu kode sandinya.

    Last Updated : 2021-07-17

Latest chapter

  • Lend Me Your Wings   Everyone can see his love

    Arka memang butuh bicara dengan Tia, tapi kesempatan yang diberikan Tuhan untuk bicara dengan Tia ini tidak terlalu bisa ia apresiasi.Mundur ke 5 menit yang lalu, Arka sedang berjalan santai menikmati malam sabtunya. Ia sudah berganti pakaian menjadi pakaian santai, dan berjalan mengitari sebuah taman dimana banyak orang yang juga menghabiskan waktunya disana.Beberapa foto berhasil ia abadikan, itu sebelum dirinya terlempar sebuah bola dengan cukup keras, membuatnya mengaduh hebat dan berjongkok sambil menekan kepalanya yang nyut-nyutan.“天啊,真的不好意思!你的头好吗?” ­(ya Tuhan, maaf banget! Kepalamu nggak kenapa-kenapa?). Arka memberikan jempolnya walaupun kepalanya masih menunduk menahan sakit. Saat tangan si penanya ikut memegang kepalanya, ia mendongak.Ia mendapati orang yang mendekatinya ini adalah orang yang sama dengan yang ia lihat sedang berduaan dengan Tia di area kampusnya waktu itu.Sepertinya si anak

  • Lend Me Your Wings   Everything's a mess

    Gelapnya ruangan klub malam ini tidak membuat mata Arka kesulitan untuk mendapati Tia di dalamnya.Dengan matanya, ia melihat Tia yang mungkin kini kesadarannya sudah tidak penuh lagi. Tubuh wanita itu berdempetan dengan seorang lelaki, pinggangnya dipeluk dari belakang dan kini kepala Tia menoleh ke belakang, membuat dirinya bisa melihat dengan jelas wajah wanita itu.Juga, sayangnya, melihat bagaimana Tia membalas ciuman lelaki yang rambutnya ditarik pelan olehnya, menikmati tiap detik bibir mereka berdua bersentuhan.Arka buru-buru mengalihkan pandangannya dari pasangan yang masih tenggelam dalam kegiatannya itu. Lalu melangkahkan kakinya keluar dengan cepat, tidak mengindahkan bouncer yang memandangnya bingung.Ia terus berjalan cepat tanpa arah, pandangannya kosong tetapi berbanding sangat terbalik dengan isi pikirannya sekarang.Seingat dia, Tia bukanlah orang yang bisa melakukan skinship dengan frontal di tempat umum. Tia yang ia kenal adala

  • Lend Me Your Wings   A day in a life of Arka

    Di dalam sebuah kafe dengan interior minimalis tetapi cantik, terlihat sepasang lelaki dan perempuan yang menyesap minumnya masing-masing.Di depan kedua orang itu ada segelas yoghurt frappe dan juga vanilla latte yang masih mengebulkan asap panasnya.Yang lelaki sambil mengetikkan pesan untuk kakaknya di negeri seberang, yang perempuan melihat-lihat ke interior kafe untuk menghilangkan rasa canggung.Tawarannya tadi ditolak oleh halus oleh si atasan.“Makasih tawarannya, El. Tapi saya rasa nggak sopan kalau saya ke apartemen kamu sendirian.”Wajahnya langsung memerah saat itu juga, dan dalam pikirannya, ia memukul kepalanya berulang kali karena bisa-bisanya menawarkan hal seperti itu ke atasannya? Jika orang kantor tahu, mau ditaruh dimana wajahnya?Teringat kembali dengan kejadian memalukan tadi, ia mengangkat gelasnya dan menempelkan gelas dingin itu ke pipinya yang menghangat kembali. Tak sengaja matanya bersitatap d

  • Lend Me Your Wings   El

    Semenjak melihat Tia dan teman lelakinya di kampus perempuan itu minggu lalu, Arka belum menemukan waktu yang tepat lagi untuk bertemu dengan Tia. Seperti yang ia bayangkan sebelum datang kesini, bahwa pekerjaan yang menantinya di kantor cabang ini begitu menyita waktunya.Tidak jarang ia pulang ke apartemennya jam 9 malam, itu pun dengan membawa sisa pekerjaannya yang belum selesai agar besok ia bisa menyerahkan pekerjaannya pada atasannya. Harga yang sepadan dengan tingkatan jabatannya yang juga selain melenceng, juga melompat tinggi.Jika ia tidak ada hal yang perlu dikerjakan secara terburu, tetap saja ia memiliki bawahan yang membutuhkan bimbingannya hampir setiap saat. Tapi ini juga merupakan distraksi yang lumayan agar ia tidak berat sebelah dan hanya mengejar Tia saja.Timnya disini ada 4 orang, semuanya sangat berpengalaman dan ia sebagai orang yang bisa dibilang baru saja berkecimpung langsung dalam pengembangan produk mereka, juga tidak serta merta be

  • Lend Me Your Wings   The storm

    “Maksudnya?” tanya Tia lirih. Ia tidak salah tangkap, kan? Yang Arka maksud itu pernikahan papanya...... kan? Melihat Arka yang tidak menjawab dan hanya memberi tatapan yang sulit diartikan, intonasi suara Tia meninggi. “Siapa yang nikah, kak?”“Pak Reza,” bisiknya.“Ha!” Tia rasanya ingin menertawakan dirinya sendiri. Dirinya dan juga hidupnya ini selalu saja bisa membuatnya tertawa. Terlalu membingungkan.“Aku pikir papa waktu itu masih nunggu waktu buat aku nerima kehadiran calon istrinya?” tanyanya tidak percaya. Nada tinggi itu masih menempel di suaranya. Beruntung tidak ada yang memahami percakapan mereka. Mungkin orang yang lewat hanya berpikir mereka sepasang kekasih yang sedang bercekcok.Arka tidak tahu harus merespon bagaimana, ia hanya mengeratkan genggamannya di tangan Tia.“Papa beneran nikah tanpa kehadiranku? Tanpa kabar?” cercanya lagi.“Pak Reza u

  • Lend Me Your Wings   Enjoy the calmness

    Tadi Arka bilang kalau dirinya ingin makan hotpot. Jadi Tia langsung meminta rekomendasi restoran dari temannya. Siapa lagi kalau bukan Figo?Figo itu tipe teman yang jika Tia mengiriminya pesan, pasti akan dibalas dengan panggilan telepon. Awalnya Tia risih karena kan maksudnya menggunakan pesan, agar tidak perlu mengobrol?Tetapi berbicara dengan Figo selalu menyenangkan, jadi Tia tidak ambil pusing.Itu juga yang terjadi 10 menit lalu. Tia yang sedang mengeringkan rambutnya mengirimi pesan ke Figo untuk meminta rekomendasi restoran. Tapi anak itu langsung menelponnya dengan jarak waktu tidak lebih dari 1 menit.“Lo mau makan, kak? Ikut dong, siang ini gue free nih,” sapa Figo riang di seberang sana. Tia mematikan pengering rambutnya sebentar dan menjawab sembari memilah-milah pakaian. Arka yang sedang tiduran hanya menolehkan kepalanya guna mengikuti arah Tia berjalan.“Gue lagi sama orang lain, nantian aja sama lo-nya. Lagian

  • Lend Me Your Wings   Waiting for you

    Tidak terasa niatnya kemarin itu betulan terwujud. Memasuki satu bulan perkuliahan, bisa dihitung mungkin Tia hanya tidur dengan orang lain sebanyak 7 kali. Semuanya terjadi di akhir pekan maupun di malam sabtu, dimana dirinya tidak memiliki kegiatan di kampus keesokan harinya.Akhir pekan kali ini juga ia habiskan di hotel dengan orang yang ditemuinya di bar tadi malam. Tubuhnya super pegal karena partner tidurnya kali ini terlalu bersemangat hingga dirinya baru bisa tidur di jam 4 pagi, lalu ditinggal oleh si lelaki saat matahari menampakkan dirinya.Untung sekali ini bukan Indonesia, dirinya yang mengenakan pakaian minim tidak mendapatkan lirikan apapun dari orang-orang yang berlalu lalang.Suasana siang hari disini selalu membuatnya senang karena ramainya jalanan di kota ini. Ia sengaja turun satu stasiun lebih awal dari stasiun terdekat apartemennya.Sambil menyisipkan permen lollipop dalam mulutnya, ia bersenandung pelan sendirian. Matanya berlarian

  • Lend Me Your Wings   Freshening up

    Keringat menetes dari dahi Tia, dan terjatuh ke tanah yang dipenuhi oleh rumput. Kedua tangannya sedang memegang tongkat baseball dengan erat. Konsentrasinya tertuju pada bola yang kini sedang terlempar kencang ke arahnya.PAK!Melihat bola yang berhasil dipukul keras olehnya, ia langsung berlari kencang dan berhenti di base ke dua saat melihat tim lawan sudah memegang bola yang tadi dilemparnya.Seminggu ke belakang, Tia rajin ikut tim baseball kampusnya latihan. Sebetulnya bukan latihan serius karena dirinya bukan anggota tim baseball, tapi karena salah satu anggotanya ada yang merupakan orang Indonesia, jadi ia diperbolehkan ikut ketika mereka sedang bermain santai.“Nggak join kita aja, kak?” tanya penjaga base yang sedang ditempati Tia. Oh, itu Figo, mahasiswa berkebangsaan Indonesia yang tadi ia ceritakan. Umurnya baru 21 tahun, dan sedang menempuh pendidikan S1nya disini.“Kenapa? Gue keren ya?” Tia bertanya balik sam

  • Lend Me Your Wings   A new old country

    Tia menyibakkan gorden berwarna pink pastel dan menyipitkan matanya saat melihat terangnya sinar mentari yang mengintip ke kamarnya. Setelah membuka jendelanya sedikit, ia melangkahkan kakinya ke sisi kamarnya untuk menuangkan dirinya minum.Kursi komputer yang empuk didudukinya. Tangan kanan mengoperasikan ponsel pintar, tangan kirinya menggenggam gelas berisikan air dingin. Cuaca di Shenzhen hari ini cukup sejuk, jadi ia matikan pendingin ruangannya dan membiarkan udaranya tergantikan oleh udara segar dari luar.Tempat tinggal Tia kali ini seperti mengingatkannya pada kamar tidur teman tidurnya beberapa saat lalu di Indonesia. Jika kamar Tia di Indonesia juga berukuran sama seperti ini, bedanya adalah kali ini ruangan ini berfungsi sebagai seluruh rumah untuknya.Keputusan Tia untuk melanjutkan studinya disini bisa dibilang agak impulsif. Ia menghabiskan waktu seharian penuh merenung di kamarnya dan membutuhkan beberapa saran dari Juna untuk akhirnya mengambil

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status