Berkebalikan dari yang ia inginkan, sekarang dirinya sedang duduk di restoran Itali yang tadi disebutkan oleh ayahnya. Duduk di salah satu kursi di meja bundar dengan total 3 buah kursi. Ayahnya duduk di kanannya, sedangkan di sebelah kirinya ada si wanita tadi. Yang ia tidak mau memikirkan kenapa ayahnya mengajak wanita ini untuk makan siang bersama mereka. Tia pikir ini kencan makan siangnya dengan ayahnya.
Ia mengatur napasnya perlahan, dan melanjutkan makan siangnya dengan tenang. Ia menanggapi beberapa pertanyaan singkat dari ayah dan wanita asing (yang sampai sekarang belum memperkenalkan dirinya ke Tia), dan meminum sampai habis air di hadapannya.
“Dek, kenalin ini tante Susan, partner kerjasama papa akhir-akhir ini,” ucap ayahnya saat melihat Tia sudah menyelesaikan makannya. Walaupun makannya hanya habis setengah dan wajah Tia terlihat tidak nyaman, perutnya sakit karena ia memaksa memakan pasta di depannya dengan terlalu cepat, menginginkan pergi
Tia yang melihatnya merasakan hatinya sedih juga. Ia melepas tangan Juna dari pipinya lalu meraih leher pria itu, memeluknya dan menepuk-nepuk kepalanya. “Kenapa gue yang ditepuk-tepuk kepalanya?” tanya Juna, ia kini menekuk lututnya agar Tia bisa memeluknya lebih nyaman. “Soalnya gue belum mau sedih-sedih, sedangkan lo keliatan sedih.” Tia melepas pelukannya, meraih kedua tangan Juna dan menggoyang-goyang ke kanan dan ke kiri. “Nggak sekarang ya, Jun, gue ceritanya? Gue mau seneng dulu. Boleh, kan?” “Bolehh, lo butuh waktu berapa lama juga gue jabanin.” “Makasih ya Jun,” kata Tia, senyumnya mengembang. Tertular senyuman Tia, Juna juga ikut tersenyum. Kali ini senyuman pasrah, ia akan ikut Tia untuk menghabiskan hari dengan senang, dan mengundur kesedihan yang pasti akan turut ia rasakan jika Tia memutuskan untuk menceritakan apa yang membuatnya sampai menunggu Juna di luar berjam-jam, dan tidak masuk ke apartemennya walaupun ia tahu kode sandinya.
“Juna, jadi pacar gue yuk?” bisik Tia serius. “Nyebut, anjing.” Jawabannya datang tidak lebih dari satu detik. “Juna seriusan!” bisiknya lagi. Tia mengekor Juna ke bagian dapur untuk menaruh notes pesanan baru. Berbalik badan menghadap Tia yang kini memasang wajah khawatir? Takut? Grogi? Juna menyejajarkan wajahnya dengan Tia, ia ikut memasang wajah serius. “Mending gue pacarin mas Arka lo itu,” bisiknya. “AW!” pukulan Tia datang lagi, kali ini keras sekali karena suara PLAK terdengar mungkin sampai tempat duduk para pelanggan. Wajah Tia memerah lebih kentara dari pada sebelumnya. Juna bersumpah ia bisa melihat asap keluar dari hidung dan telinga perempuan itu. “Dia bukan mas Arka GUE,” desisnya kesal. Terdiam sebentar, Juna paham kalau hal ini cukup sensitif untuk Tia. Ia memang pernah meminta Tia untuk membuka hatinya agar Arka bisa masuk, tetapi apa yang terjadi kemarin kemungkinan besar membuat segala kesempatan untuk Arka
Langkah kaki Arka terasa sedikit lebih enteng hari ini. Tadi sore, ia sedang penat sekali dengan urusan kantornya. Ditambah kejadian kemarin dimana ia bertemu Tia di tengah jalan dalam keadaan yang tidak dapat dibilang baik-baik saja. Sebetulnya tadi ia hanya berniat mengambil uang tunai di salah satu minimarket, lalu ia melihat sebuah kedai kopi yang terlihat cukup ramai. Tanpa ia sadari, ia sudah meninggalkan mobilnya di parkiran minimarket itu dan memasuki kedai kopi yang tadi menarik perhatiannya. Tidak terbesit di dalam pikirannya bahwa ia akan bertemu dengan wanita yang akhir-akhir ini selalu memenuhi pikirannya. Ia khawatir sekali dengan keadaan Tia kemarin, tetapi pemandangan yang terpajang seperti mengejek kekhawatirannya. Disana, Tia terlihat mesra dengan seorang lelaki tampan dan berpostur tubuh tidak jauh dengannya. Kulitnya lebih terang dan seketika Arka merasa tidak percaya diri dengan kulitnya yang lebih gelap. Dari bahasa tubuh Tia, Arka bisa
“Mas Arka, sori banget saya tau mas lagi sibuk, tapi ada klien yang pengen banget ditemenin makan siang sama mas..” bisik Dinar, salah satu staff marketing di perusahaan mereka. Gerakan jarinya di atas keyboard berhenti sesaat untuk memberikan atensinya pada Dinar. Ia melirik jam dinding yang tergantung di belakang Dinar dan kembali melirik ke pekerjaannya yang baru setengah jalan. Pak Reza memberikannya waktu hingga sore ini untuk menyelesaikannya. “Klien yang mana?” tanyanya, jarinya masih sempat untuk mengetikkan pekerjaannya dengan mata yang kembali fokus pada layar. Sedangkan telinganya ia fokuskan untuk mendengar jawaban dari Dinar. “Itu mas, yang tempo hari sempet ngobrol sama mas sebelum pak Reza dateng,” jawabnya. Jam makan siang sudah terlewat 10 menit. Perutnya lapar, tapi niat awalnya adalah ia akan menukar jam makan siangnya nanti ketika pekerjaan ini sudah selesai. Tapi maintaining klien juga sama pentingnya. Ia menimbang sebentar, di s
“Nggak, maksud saya bukan gitu, Ka,” ujar pak Reza sedikit panik. Arka tercekat, wajah sekretarisnya itu berubah pucat dalam hitungan detik.Di dalam kepala Arka, otaknya seperti berhenti sementara. Ucapan pak Reza barusan, dan cuti mendadak yang diambil oleh pak Reza dua hari belakangan ini menunjuk ke banyak pemikiran negatif dalam otaknya.“Tia masih ada di dunia ini, tapi lagi nggak disini gitu lho, Ka,” jelas pak Reza terburu-buru.Napas Arka yang ia tak sadari sedari tadi ditahan, kini dikeluarkan pelan dalam hembusan panjang. Matanya menutup dan ia bisa bersandar kembali di sofa empuk itu.Setidaknya, Tia-nya itu tidak meninggalkannya selamanya. Setidaknya, Tia-nya itu masih dalam keadaan sehat.Tetapi semua ketenangan itu pergi dalam sekejap, menyadari bahwa Tia-nya pergi tanpa mengabarinya. Ia terkekeh pelan. Tia-nya? Berani sekali ia menganggap perempuan itu sebagai miliknya. Disaat eksistensinya di dunia
Tia menyibakkan gorden berwarna pink pastel dan menyipitkan matanya saat melihat terangnya sinar mentari yang mengintip ke kamarnya. Setelah membuka jendelanya sedikit, ia melangkahkan kakinya ke sisi kamarnya untuk menuangkan dirinya minum.Kursi komputer yang empuk didudukinya. Tangan kanan mengoperasikan ponsel pintar, tangan kirinya menggenggam gelas berisikan air dingin. Cuaca di Shenzhen hari ini cukup sejuk, jadi ia matikan pendingin ruangannya dan membiarkan udaranya tergantikan oleh udara segar dari luar.Tempat tinggal Tia kali ini seperti mengingatkannya pada kamar tidur teman tidurnya beberapa saat lalu di Indonesia. Jika kamar Tia di Indonesia juga berukuran sama seperti ini, bedanya adalah kali ini ruangan ini berfungsi sebagai seluruh rumah untuknya.Keputusan Tia untuk melanjutkan studinya disini bisa dibilang agak impulsif. Ia menghabiskan waktu seharian penuh merenung di kamarnya dan membutuhkan beberapa saran dari Juna untuk akhirnya mengambil
Keringat menetes dari dahi Tia, dan terjatuh ke tanah yang dipenuhi oleh rumput. Kedua tangannya sedang memegang tongkat baseball dengan erat. Konsentrasinya tertuju pada bola yang kini sedang terlempar kencang ke arahnya.PAK!Melihat bola yang berhasil dipukul keras olehnya, ia langsung berlari kencang dan berhenti di base ke dua saat melihat tim lawan sudah memegang bola yang tadi dilemparnya.Seminggu ke belakang, Tia rajin ikut tim baseball kampusnya latihan. Sebetulnya bukan latihan serius karena dirinya bukan anggota tim baseball, tapi karena salah satu anggotanya ada yang merupakan orang Indonesia, jadi ia diperbolehkan ikut ketika mereka sedang bermain santai.“Nggak join kita aja, kak?” tanya penjaga base yang sedang ditempati Tia. Oh, itu Figo, mahasiswa berkebangsaan Indonesia yang tadi ia ceritakan. Umurnya baru 21 tahun, dan sedang menempuh pendidikan S1nya disini.“Kenapa? Gue keren ya?” Tia bertanya balik sam
Tidak terasa niatnya kemarin itu betulan terwujud. Memasuki satu bulan perkuliahan, bisa dihitung mungkin Tia hanya tidur dengan orang lain sebanyak 7 kali. Semuanya terjadi di akhir pekan maupun di malam sabtu, dimana dirinya tidak memiliki kegiatan di kampus keesokan harinya.Akhir pekan kali ini juga ia habiskan di hotel dengan orang yang ditemuinya di bar tadi malam. Tubuhnya super pegal karena partner tidurnya kali ini terlalu bersemangat hingga dirinya baru bisa tidur di jam 4 pagi, lalu ditinggal oleh si lelaki saat matahari menampakkan dirinya.Untung sekali ini bukan Indonesia, dirinya yang mengenakan pakaian minim tidak mendapatkan lirikan apapun dari orang-orang yang berlalu lalang.Suasana siang hari disini selalu membuatnya senang karena ramainya jalanan di kota ini. Ia sengaja turun satu stasiun lebih awal dari stasiun terdekat apartemennya.Sambil menyisipkan permen lollipop dalam mulutnya, ia bersenandung pelan sendirian. Matanya berlarian
Arka memang butuh bicara dengan Tia, tapi kesempatan yang diberikan Tuhan untuk bicara dengan Tia ini tidak terlalu bisa ia apresiasi.Mundur ke 5 menit yang lalu, Arka sedang berjalan santai menikmati malam sabtunya. Ia sudah berganti pakaian menjadi pakaian santai, dan berjalan mengitari sebuah taman dimana banyak orang yang juga menghabiskan waktunya disana.Beberapa foto berhasil ia abadikan, itu sebelum dirinya terlempar sebuah bola dengan cukup keras, membuatnya mengaduh hebat dan berjongkok sambil menekan kepalanya yang nyut-nyutan.“天啊,真的不好意思!你的头好吗?” (ya Tuhan, maaf banget! Kepalamu nggak kenapa-kenapa?). Arka memberikan jempolnya walaupun kepalanya masih menunduk menahan sakit. Saat tangan si penanya ikut memegang kepalanya, ia mendongak.Ia mendapati orang yang mendekatinya ini adalah orang yang sama dengan yang ia lihat sedang berduaan dengan Tia di area kampusnya waktu itu.Sepertinya si anak
Gelapnya ruangan klub malam ini tidak membuat mata Arka kesulitan untuk mendapati Tia di dalamnya.Dengan matanya, ia melihat Tia yang mungkin kini kesadarannya sudah tidak penuh lagi. Tubuh wanita itu berdempetan dengan seorang lelaki, pinggangnya dipeluk dari belakang dan kini kepala Tia menoleh ke belakang, membuat dirinya bisa melihat dengan jelas wajah wanita itu.Juga, sayangnya, melihat bagaimana Tia membalas ciuman lelaki yang rambutnya ditarik pelan olehnya, menikmati tiap detik bibir mereka berdua bersentuhan.Arka buru-buru mengalihkan pandangannya dari pasangan yang masih tenggelam dalam kegiatannya itu. Lalu melangkahkan kakinya keluar dengan cepat, tidak mengindahkan bouncer yang memandangnya bingung.Ia terus berjalan cepat tanpa arah, pandangannya kosong tetapi berbanding sangat terbalik dengan isi pikirannya sekarang.Seingat dia, Tia bukanlah orang yang bisa melakukan skinship dengan frontal di tempat umum. Tia yang ia kenal adala
Di dalam sebuah kafe dengan interior minimalis tetapi cantik, terlihat sepasang lelaki dan perempuan yang menyesap minumnya masing-masing.Di depan kedua orang itu ada segelas yoghurt frappe dan juga vanilla latte yang masih mengebulkan asap panasnya.Yang lelaki sambil mengetikkan pesan untuk kakaknya di negeri seberang, yang perempuan melihat-lihat ke interior kafe untuk menghilangkan rasa canggung.Tawarannya tadi ditolak oleh halus oleh si atasan.“Makasih tawarannya, El. Tapi saya rasa nggak sopan kalau saya ke apartemen kamu sendirian.”Wajahnya langsung memerah saat itu juga, dan dalam pikirannya, ia memukul kepalanya berulang kali karena bisa-bisanya menawarkan hal seperti itu ke atasannya? Jika orang kantor tahu, mau ditaruh dimana wajahnya?Teringat kembali dengan kejadian memalukan tadi, ia mengangkat gelasnya dan menempelkan gelas dingin itu ke pipinya yang menghangat kembali. Tak sengaja matanya bersitatap d
Semenjak melihat Tia dan teman lelakinya di kampus perempuan itu minggu lalu, Arka belum menemukan waktu yang tepat lagi untuk bertemu dengan Tia. Seperti yang ia bayangkan sebelum datang kesini, bahwa pekerjaan yang menantinya di kantor cabang ini begitu menyita waktunya.Tidak jarang ia pulang ke apartemennya jam 9 malam, itu pun dengan membawa sisa pekerjaannya yang belum selesai agar besok ia bisa menyerahkan pekerjaannya pada atasannya. Harga yang sepadan dengan tingkatan jabatannya yang juga selain melenceng, juga melompat tinggi.Jika ia tidak ada hal yang perlu dikerjakan secara terburu, tetap saja ia memiliki bawahan yang membutuhkan bimbingannya hampir setiap saat. Tapi ini juga merupakan distraksi yang lumayan agar ia tidak berat sebelah dan hanya mengejar Tia saja.Timnya disini ada 4 orang, semuanya sangat berpengalaman dan ia sebagai orang yang bisa dibilang baru saja berkecimpung langsung dalam pengembangan produk mereka, juga tidak serta merta be
“Maksudnya?” tanya Tia lirih. Ia tidak salah tangkap, kan? Yang Arka maksud itu pernikahan papanya...... kan? Melihat Arka yang tidak menjawab dan hanya memberi tatapan yang sulit diartikan, intonasi suara Tia meninggi. “Siapa yang nikah, kak?”“Pak Reza,” bisiknya.“Ha!” Tia rasanya ingin menertawakan dirinya sendiri. Dirinya dan juga hidupnya ini selalu saja bisa membuatnya tertawa. Terlalu membingungkan.“Aku pikir papa waktu itu masih nunggu waktu buat aku nerima kehadiran calon istrinya?” tanyanya tidak percaya. Nada tinggi itu masih menempel di suaranya. Beruntung tidak ada yang memahami percakapan mereka. Mungkin orang yang lewat hanya berpikir mereka sepasang kekasih yang sedang bercekcok.Arka tidak tahu harus merespon bagaimana, ia hanya mengeratkan genggamannya di tangan Tia.“Papa beneran nikah tanpa kehadiranku? Tanpa kabar?” cercanya lagi.“Pak Reza u
Tadi Arka bilang kalau dirinya ingin makan hotpot. Jadi Tia langsung meminta rekomendasi restoran dari temannya. Siapa lagi kalau bukan Figo?Figo itu tipe teman yang jika Tia mengiriminya pesan, pasti akan dibalas dengan panggilan telepon. Awalnya Tia risih karena kan maksudnya menggunakan pesan, agar tidak perlu mengobrol?Tetapi berbicara dengan Figo selalu menyenangkan, jadi Tia tidak ambil pusing.Itu juga yang terjadi 10 menit lalu. Tia yang sedang mengeringkan rambutnya mengirimi pesan ke Figo untuk meminta rekomendasi restoran. Tapi anak itu langsung menelponnya dengan jarak waktu tidak lebih dari 1 menit.“Lo mau makan, kak? Ikut dong, siang ini gue free nih,” sapa Figo riang di seberang sana. Tia mematikan pengering rambutnya sebentar dan menjawab sembari memilah-milah pakaian. Arka yang sedang tiduran hanya menolehkan kepalanya guna mengikuti arah Tia berjalan.“Gue lagi sama orang lain, nantian aja sama lo-nya. Lagian
Tidak terasa niatnya kemarin itu betulan terwujud. Memasuki satu bulan perkuliahan, bisa dihitung mungkin Tia hanya tidur dengan orang lain sebanyak 7 kali. Semuanya terjadi di akhir pekan maupun di malam sabtu, dimana dirinya tidak memiliki kegiatan di kampus keesokan harinya.Akhir pekan kali ini juga ia habiskan di hotel dengan orang yang ditemuinya di bar tadi malam. Tubuhnya super pegal karena partner tidurnya kali ini terlalu bersemangat hingga dirinya baru bisa tidur di jam 4 pagi, lalu ditinggal oleh si lelaki saat matahari menampakkan dirinya.Untung sekali ini bukan Indonesia, dirinya yang mengenakan pakaian minim tidak mendapatkan lirikan apapun dari orang-orang yang berlalu lalang.Suasana siang hari disini selalu membuatnya senang karena ramainya jalanan di kota ini. Ia sengaja turun satu stasiun lebih awal dari stasiun terdekat apartemennya.Sambil menyisipkan permen lollipop dalam mulutnya, ia bersenandung pelan sendirian. Matanya berlarian
Keringat menetes dari dahi Tia, dan terjatuh ke tanah yang dipenuhi oleh rumput. Kedua tangannya sedang memegang tongkat baseball dengan erat. Konsentrasinya tertuju pada bola yang kini sedang terlempar kencang ke arahnya.PAK!Melihat bola yang berhasil dipukul keras olehnya, ia langsung berlari kencang dan berhenti di base ke dua saat melihat tim lawan sudah memegang bola yang tadi dilemparnya.Seminggu ke belakang, Tia rajin ikut tim baseball kampusnya latihan. Sebetulnya bukan latihan serius karena dirinya bukan anggota tim baseball, tapi karena salah satu anggotanya ada yang merupakan orang Indonesia, jadi ia diperbolehkan ikut ketika mereka sedang bermain santai.“Nggak join kita aja, kak?” tanya penjaga base yang sedang ditempati Tia. Oh, itu Figo, mahasiswa berkebangsaan Indonesia yang tadi ia ceritakan. Umurnya baru 21 tahun, dan sedang menempuh pendidikan S1nya disini.“Kenapa? Gue keren ya?” Tia bertanya balik sam
Tia menyibakkan gorden berwarna pink pastel dan menyipitkan matanya saat melihat terangnya sinar mentari yang mengintip ke kamarnya. Setelah membuka jendelanya sedikit, ia melangkahkan kakinya ke sisi kamarnya untuk menuangkan dirinya minum.Kursi komputer yang empuk didudukinya. Tangan kanan mengoperasikan ponsel pintar, tangan kirinya menggenggam gelas berisikan air dingin. Cuaca di Shenzhen hari ini cukup sejuk, jadi ia matikan pendingin ruangannya dan membiarkan udaranya tergantikan oleh udara segar dari luar.Tempat tinggal Tia kali ini seperti mengingatkannya pada kamar tidur teman tidurnya beberapa saat lalu di Indonesia. Jika kamar Tia di Indonesia juga berukuran sama seperti ini, bedanya adalah kali ini ruangan ini berfungsi sebagai seluruh rumah untuknya.Keputusan Tia untuk melanjutkan studinya disini bisa dibilang agak impulsif. Ia menghabiskan waktu seharian penuh merenung di kamarnya dan membutuhkan beberapa saran dari Juna untuk akhirnya mengambil