“Maksudnya?” tanya Tia lirih. Ia tidak salah tangkap, kan? Yang Arka maksud itu pernikahan papanya...... kan? Melihat Arka yang tidak menjawab dan hanya memberi tatapan yang sulit diartikan, intonasi suara Tia meninggi. “Siapa yang nikah, kak?”
“Pak Reza,” bisiknya.
“Ha!” Tia rasanya ingin menertawakan dirinya sendiri. Dirinya dan juga hidupnya ini selalu saja bisa membuatnya tertawa. Terlalu membingungkan.
“Aku pikir papa waktu itu masih nunggu waktu buat aku nerima kehadiran calon istrinya?” tanyanya tidak percaya. Nada tinggi itu masih menempel di suaranya. Beruntung tidak ada yang memahami percakapan mereka. Mungkin orang yang lewat hanya berpikir mereka sepasang kekasih yang sedang bercekcok.
Arka tidak tahu harus merespon bagaimana, ia hanya mengeratkan genggamannya di tangan Tia.
“Papa beneran nikah tanpa kehadiranku? Tanpa kabar?” cercanya lagi.
“Pak Reza u
Semenjak melihat Tia dan teman lelakinya di kampus perempuan itu minggu lalu, Arka belum menemukan waktu yang tepat lagi untuk bertemu dengan Tia. Seperti yang ia bayangkan sebelum datang kesini, bahwa pekerjaan yang menantinya di kantor cabang ini begitu menyita waktunya.Tidak jarang ia pulang ke apartemennya jam 9 malam, itu pun dengan membawa sisa pekerjaannya yang belum selesai agar besok ia bisa menyerahkan pekerjaannya pada atasannya. Harga yang sepadan dengan tingkatan jabatannya yang juga selain melenceng, juga melompat tinggi.Jika ia tidak ada hal yang perlu dikerjakan secara terburu, tetap saja ia memiliki bawahan yang membutuhkan bimbingannya hampir setiap saat. Tapi ini juga merupakan distraksi yang lumayan agar ia tidak berat sebelah dan hanya mengejar Tia saja.Timnya disini ada 4 orang, semuanya sangat berpengalaman dan ia sebagai orang yang bisa dibilang baru saja berkecimpung langsung dalam pengembangan produk mereka, juga tidak serta merta be
Di dalam sebuah kafe dengan interior minimalis tetapi cantik, terlihat sepasang lelaki dan perempuan yang menyesap minumnya masing-masing.Di depan kedua orang itu ada segelas yoghurt frappe dan juga vanilla latte yang masih mengebulkan asap panasnya.Yang lelaki sambil mengetikkan pesan untuk kakaknya di negeri seberang, yang perempuan melihat-lihat ke interior kafe untuk menghilangkan rasa canggung.Tawarannya tadi ditolak oleh halus oleh si atasan.“Makasih tawarannya, El. Tapi saya rasa nggak sopan kalau saya ke apartemen kamu sendirian.”Wajahnya langsung memerah saat itu juga, dan dalam pikirannya, ia memukul kepalanya berulang kali karena bisa-bisanya menawarkan hal seperti itu ke atasannya? Jika orang kantor tahu, mau ditaruh dimana wajahnya?Teringat kembali dengan kejadian memalukan tadi, ia mengangkat gelasnya dan menempelkan gelas dingin itu ke pipinya yang menghangat kembali. Tak sengaja matanya bersitatap d
Gelapnya ruangan klub malam ini tidak membuat mata Arka kesulitan untuk mendapati Tia di dalamnya.Dengan matanya, ia melihat Tia yang mungkin kini kesadarannya sudah tidak penuh lagi. Tubuh wanita itu berdempetan dengan seorang lelaki, pinggangnya dipeluk dari belakang dan kini kepala Tia menoleh ke belakang, membuat dirinya bisa melihat dengan jelas wajah wanita itu.Juga, sayangnya, melihat bagaimana Tia membalas ciuman lelaki yang rambutnya ditarik pelan olehnya, menikmati tiap detik bibir mereka berdua bersentuhan.Arka buru-buru mengalihkan pandangannya dari pasangan yang masih tenggelam dalam kegiatannya itu. Lalu melangkahkan kakinya keluar dengan cepat, tidak mengindahkan bouncer yang memandangnya bingung.Ia terus berjalan cepat tanpa arah, pandangannya kosong tetapi berbanding sangat terbalik dengan isi pikirannya sekarang.Seingat dia, Tia bukanlah orang yang bisa melakukan skinship dengan frontal di tempat umum. Tia yang ia kenal adala
Arka memang butuh bicara dengan Tia, tapi kesempatan yang diberikan Tuhan untuk bicara dengan Tia ini tidak terlalu bisa ia apresiasi.Mundur ke 5 menit yang lalu, Arka sedang berjalan santai menikmati malam sabtunya. Ia sudah berganti pakaian menjadi pakaian santai, dan berjalan mengitari sebuah taman dimana banyak orang yang juga menghabiskan waktunya disana.Beberapa foto berhasil ia abadikan, itu sebelum dirinya terlempar sebuah bola dengan cukup keras, membuatnya mengaduh hebat dan berjongkok sambil menekan kepalanya yang nyut-nyutan.“天啊,真的不好意思!你的头好吗?” (ya Tuhan, maaf banget! Kepalamu nggak kenapa-kenapa?). Arka memberikan jempolnya walaupun kepalanya masih menunduk menahan sakit. Saat tangan si penanya ikut memegang kepalanya, ia mendongak.Ia mendapati orang yang mendekatinya ini adalah orang yang sama dengan yang ia lihat sedang berduaan dengan Tia di area kampusnya waktu itu.Sepertinya si anak
Matahari sudah tenggelam, di jalanan hanya ada segelintir kendaraan yang berlalu lalang. Jam tangan yang digunakan oleh Tia menunjukkan arah angka 9 di jarum pendeknya, dan angka 8 di jarum panjangnya. Tia mendesah malas sambil mengetuk-ngetukkan tongkat baseballnya ke aspal.Ia baru selesai bermain dengan teman-temannya di lapangan tidak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Walaupun lapangan masih lumayan ramai, tapi di halte tempat Tia menunggu bis ini agak sepi. Mungkin karena penerangan yang kurang? Atau karena jam yang sudah malam untuk para pekerja bertransportasi?Mungkin yang kedua, karena jam segini di area ini tidak terlalu menyenangkan, orang-orang pasti memilih untuk pulang menggunakan taksi.Tia masih memainkan ponselnya saat samar-samar ia mendengar suara orang yang berteriak. Saat ia menolehkan kepalanya ke kanan, ada seorang laki-laki yang sedang berlari ke arahnya. Dan dikejar oleh lelaki lain tidak jau
Tia menolehkan kepalanya ke arah si tamu yang juga berdiri, mungkin dia tak ingin ditinggal sendiri di ruang makan keluarga lain.Ia berpikir sebentar. Familiar sekali rasanya. Wajahnya familiar, dan ia samar mengingat wangi yang menguar dari tubuh pria itu. Yang akhirnya bisa ia fokuskan setelah sedari tadi fokus ke ayahnya sendiri.Belum terpikirkan siapa gerangan lelaki familiar ini. Ah, sudahlah, lebih baik ia duduk dulu saja dan menemani si tamu melanjutkan sarapannya. Tia pun kembali duduk, dan mengisyaratkan agar tamunya itu juga duduk. Dan melanjutkan sarapannya, tentu saja.Setelah si tamu melanjutkan sarapannya, Tia berpikir keras. Siapa tamu ini? Apakah ia mengenalnya? Tetapi dia tidak terlihat seperti salah satu pengujung klub tempatnya biasa menghabiskan malam, dan juga tidak terlihat seperti teman dari temannya (kalau pria ini adalah temannya, tidak mungkin ia tidak mengenalnya).Ketika si tamu sudah selesai menghabiskan sarapannya dan sedan
Tadinya ia ingin ke klub untuk melepas penat, tetapi pada akhirnya ia tidak bisa membebani Juna dengan masalah hidupnya. Mana mungkin Tia menyampaikan keluh kesahnya ke sahabatnya itu, ketika si sahabat sedang memiliki masalah hidupnya sendiri?Jadi ia menerima minuman tersebut, menyesapnya pelan. Meringis saat merasakan minumannya yang super manis. Tia belum pernah meminum ini sebelumnya. Dan, oh. Kandungan alkoholnya pasti kuat.Si pria asing itu tersenyum melihat Tia yang menyesap minumannya sampai habis, walaupun dengan dahi yang berkerut.“Lagunya asik nih, yuk, bareng gue?” tawarnya, menjulurkan tangannya ke Tia, mengajaknya menari bersama.Kepala Tia agak pusing, minuman tersebut benar sangat kuat alkoholnya. Tanpa berpikir, ia menyambut tangan si lelaki dan membiarkan dirinya tertarik olehnya.Di tengah orang-orang yang sedang menghabiskan waktu dengan saling menempelkan diri ke satu sama lain, ada Tia juga, yang sekarang sedang
Arka tergesa membuka pintu penumpang dengan satu tangan, tangan lainnya menopang tubuh Tia yang masih lemas setelah mengeluarkan semua makanan yang sudah ia makan barusan.Sebelumnya, begitu Tia keluar dari toilet, sudah ada Arka yang berdiri menatap ke arahnya cemas, dengan tangan yang membawa clutch milik Tia. Tia baru mau berbicara sebelum Arka menghampirinya, langkahnya lebar.“Saya anter kamu ke dokter,” ujarnya singkat, berdiri tegap di depan Tia.Tia mendongak, wajahnya tidak suka. “Nggak usah, ini mah dibawa istirahat juga baikan, kak.” Jelasnya, demi Tuhan, ia sekarang hanya ingin bergelung di dalam selimut dan tidak beranjak dari kasurnya setidaknya sampai malam nanti.Tetapi Arka ini ternyata sedikit pemaksa. Lengan Tia dipegang erat, dan ia dituntun ke parkiran di luar.Sepertinya usaha Tia untuk menolak hanya akan menjadi sia-sia. Ia memutar bola matanya malas, dan mau tak mau merelakan dirinya diseret
Arka memang butuh bicara dengan Tia, tapi kesempatan yang diberikan Tuhan untuk bicara dengan Tia ini tidak terlalu bisa ia apresiasi.Mundur ke 5 menit yang lalu, Arka sedang berjalan santai menikmati malam sabtunya. Ia sudah berganti pakaian menjadi pakaian santai, dan berjalan mengitari sebuah taman dimana banyak orang yang juga menghabiskan waktunya disana.Beberapa foto berhasil ia abadikan, itu sebelum dirinya terlempar sebuah bola dengan cukup keras, membuatnya mengaduh hebat dan berjongkok sambil menekan kepalanya yang nyut-nyutan.“天啊,真的不好意思!你的头好吗?” (ya Tuhan, maaf banget! Kepalamu nggak kenapa-kenapa?). Arka memberikan jempolnya walaupun kepalanya masih menunduk menahan sakit. Saat tangan si penanya ikut memegang kepalanya, ia mendongak.Ia mendapati orang yang mendekatinya ini adalah orang yang sama dengan yang ia lihat sedang berduaan dengan Tia di area kampusnya waktu itu.Sepertinya si anak
Gelapnya ruangan klub malam ini tidak membuat mata Arka kesulitan untuk mendapati Tia di dalamnya.Dengan matanya, ia melihat Tia yang mungkin kini kesadarannya sudah tidak penuh lagi. Tubuh wanita itu berdempetan dengan seorang lelaki, pinggangnya dipeluk dari belakang dan kini kepala Tia menoleh ke belakang, membuat dirinya bisa melihat dengan jelas wajah wanita itu.Juga, sayangnya, melihat bagaimana Tia membalas ciuman lelaki yang rambutnya ditarik pelan olehnya, menikmati tiap detik bibir mereka berdua bersentuhan.Arka buru-buru mengalihkan pandangannya dari pasangan yang masih tenggelam dalam kegiatannya itu. Lalu melangkahkan kakinya keluar dengan cepat, tidak mengindahkan bouncer yang memandangnya bingung.Ia terus berjalan cepat tanpa arah, pandangannya kosong tetapi berbanding sangat terbalik dengan isi pikirannya sekarang.Seingat dia, Tia bukanlah orang yang bisa melakukan skinship dengan frontal di tempat umum. Tia yang ia kenal adala
Di dalam sebuah kafe dengan interior minimalis tetapi cantik, terlihat sepasang lelaki dan perempuan yang menyesap minumnya masing-masing.Di depan kedua orang itu ada segelas yoghurt frappe dan juga vanilla latte yang masih mengebulkan asap panasnya.Yang lelaki sambil mengetikkan pesan untuk kakaknya di negeri seberang, yang perempuan melihat-lihat ke interior kafe untuk menghilangkan rasa canggung.Tawarannya tadi ditolak oleh halus oleh si atasan.“Makasih tawarannya, El. Tapi saya rasa nggak sopan kalau saya ke apartemen kamu sendirian.”Wajahnya langsung memerah saat itu juga, dan dalam pikirannya, ia memukul kepalanya berulang kali karena bisa-bisanya menawarkan hal seperti itu ke atasannya? Jika orang kantor tahu, mau ditaruh dimana wajahnya?Teringat kembali dengan kejadian memalukan tadi, ia mengangkat gelasnya dan menempelkan gelas dingin itu ke pipinya yang menghangat kembali. Tak sengaja matanya bersitatap d
Semenjak melihat Tia dan teman lelakinya di kampus perempuan itu minggu lalu, Arka belum menemukan waktu yang tepat lagi untuk bertemu dengan Tia. Seperti yang ia bayangkan sebelum datang kesini, bahwa pekerjaan yang menantinya di kantor cabang ini begitu menyita waktunya.Tidak jarang ia pulang ke apartemennya jam 9 malam, itu pun dengan membawa sisa pekerjaannya yang belum selesai agar besok ia bisa menyerahkan pekerjaannya pada atasannya. Harga yang sepadan dengan tingkatan jabatannya yang juga selain melenceng, juga melompat tinggi.Jika ia tidak ada hal yang perlu dikerjakan secara terburu, tetap saja ia memiliki bawahan yang membutuhkan bimbingannya hampir setiap saat. Tapi ini juga merupakan distraksi yang lumayan agar ia tidak berat sebelah dan hanya mengejar Tia saja.Timnya disini ada 4 orang, semuanya sangat berpengalaman dan ia sebagai orang yang bisa dibilang baru saja berkecimpung langsung dalam pengembangan produk mereka, juga tidak serta merta be
“Maksudnya?” tanya Tia lirih. Ia tidak salah tangkap, kan? Yang Arka maksud itu pernikahan papanya...... kan? Melihat Arka yang tidak menjawab dan hanya memberi tatapan yang sulit diartikan, intonasi suara Tia meninggi. “Siapa yang nikah, kak?”“Pak Reza,” bisiknya.“Ha!” Tia rasanya ingin menertawakan dirinya sendiri. Dirinya dan juga hidupnya ini selalu saja bisa membuatnya tertawa. Terlalu membingungkan.“Aku pikir papa waktu itu masih nunggu waktu buat aku nerima kehadiran calon istrinya?” tanyanya tidak percaya. Nada tinggi itu masih menempel di suaranya. Beruntung tidak ada yang memahami percakapan mereka. Mungkin orang yang lewat hanya berpikir mereka sepasang kekasih yang sedang bercekcok.Arka tidak tahu harus merespon bagaimana, ia hanya mengeratkan genggamannya di tangan Tia.“Papa beneran nikah tanpa kehadiranku? Tanpa kabar?” cercanya lagi.“Pak Reza u
Tadi Arka bilang kalau dirinya ingin makan hotpot. Jadi Tia langsung meminta rekomendasi restoran dari temannya. Siapa lagi kalau bukan Figo?Figo itu tipe teman yang jika Tia mengiriminya pesan, pasti akan dibalas dengan panggilan telepon. Awalnya Tia risih karena kan maksudnya menggunakan pesan, agar tidak perlu mengobrol?Tetapi berbicara dengan Figo selalu menyenangkan, jadi Tia tidak ambil pusing.Itu juga yang terjadi 10 menit lalu. Tia yang sedang mengeringkan rambutnya mengirimi pesan ke Figo untuk meminta rekomendasi restoran. Tapi anak itu langsung menelponnya dengan jarak waktu tidak lebih dari 1 menit.“Lo mau makan, kak? Ikut dong, siang ini gue free nih,” sapa Figo riang di seberang sana. Tia mematikan pengering rambutnya sebentar dan menjawab sembari memilah-milah pakaian. Arka yang sedang tiduran hanya menolehkan kepalanya guna mengikuti arah Tia berjalan.“Gue lagi sama orang lain, nantian aja sama lo-nya. Lagian
Tidak terasa niatnya kemarin itu betulan terwujud. Memasuki satu bulan perkuliahan, bisa dihitung mungkin Tia hanya tidur dengan orang lain sebanyak 7 kali. Semuanya terjadi di akhir pekan maupun di malam sabtu, dimana dirinya tidak memiliki kegiatan di kampus keesokan harinya.Akhir pekan kali ini juga ia habiskan di hotel dengan orang yang ditemuinya di bar tadi malam. Tubuhnya super pegal karena partner tidurnya kali ini terlalu bersemangat hingga dirinya baru bisa tidur di jam 4 pagi, lalu ditinggal oleh si lelaki saat matahari menampakkan dirinya.Untung sekali ini bukan Indonesia, dirinya yang mengenakan pakaian minim tidak mendapatkan lirikan apapun dari orang-orang yang berlalu lalang.Suasana siang hari disini selalu membuatnya senang karena ramainya jalanan di kota ini. Ia sengaja turun satu stasiun lebih awal dari stasiun terdekat apartemennya.Sambil menyisipkan permen lollipop dalam mulutnya, ia bersenandung pelan sendirian. Matanya berlarian
Keringat menetes dari dahi Tia, dan terjatuh ke tanah yang dipenuhi oleh rumput. Kedua tangannya sedang memegang tongkat baseball dengan erat. Konsentrasinya tertuju pada bola yang kini sedang terlempar kencang ke arahnya.PAK!Melihat bola yang berhasil dipukul keras olehnya, ia langsung berlari kencang dan berhenti di base ke dua saat melihat tim lawan sudah memegang bola yang tadi dilemparnya.Seminggu ke belakang, Tia rajin ikut tim baseball kampusnya latihan. Sebetulnya bukan latihan serius karena dirinya bukan anggota tim baseball, tapi karena salah satu anggotanya ada yang merupakan orang Indonesia, jadi ia diperbolehkan ikut ketika mereka sedang bermain santai.“Nggak join kita aja, kak?” tanya penjaga base yang sedang ditempati Tia. Oh, itu Figo, mahasiswa berkebangsaan Indonesia yang tadi ia ceritakan. Umurnya baru 21 tahun, dan sedang menempuh pendidikan S1nya disini.“Kenapa? Gue keren ya?” Tia bertanya balik sam
Tia menyibakkan gorden berwarna pink pastel dan menyipitkan matanya saat melihat terangnya sinar mentari yang mengintip ke kamarnya. Setelah membuka jendelanya sedikit, ia melangkahkan kakinya ke sisi kamarnya untuk menuangkan dirinya minum.Kursi komputer yang empuk didudukinya. Tangan kanan mengoperasikan ponsel pintar, tangan kirinya menggenggam gelas berisikan air dingin. Cuaca di Shenzhen hari ini cukup sejuk, jadi ia matikan pendingin ruangannya dan membiarkan udaranya tergantikan oleh udara segar dari luar.Tempat tinggal Tia kali ini seperti mengingatkannya pada kamar tidur teman tidurnya beberapa saat lalu di Indonesia. Jika kamar Tia di Indonesia juga berukuran sama seperti ini, bedanya adalah kali ini ruangan ini berfungsi sebagai seluruh rumah untuknya.Keputusan Tia untuk melanjutkan studinya disini bisa dibilang agak impulsif. Ia menghabiskan waktu seharian penuh merenung di kamarnya dan membutuhkan beberapa saran dari Juna untuk akhirnya mengambil