Arka tergesa membuka pintu penumpang dengan satu tangan, tangan lainnya menopang tubuh Tia yang masih lemas setelah mengeluarkan semua makanan yang sudah ia makan barusan.
Sebelumnya, begitu Tia keluar dari toilet, sudah ada Arka yang berdiri menatap ke arahnya cemas, dengan tangan yang membawa clutch milik Tia. Tia baru mau berbicara sebelum Arka menghampirinya, langkahnya lebar.
“Saya anter kamu ke dokter,” ujarnya singkat, berdiri tegap di depan Tia.
Tia mendongak, wajahnya tidak suka. “Nggak usah, ini mah dibawa istirahat juga baikan, kak.” Jelasnya, demi Tuhan, ia sekarang hanya ingin bergelung di dalam selimut dan tidak beranjak dari kasurnya setidaknya sampai malam nanti.
Tetapi Arka ini ternyata sedikit pemaksa. Lengan Tia dipegang erat, dan ia dituntun ke parkiran di luar.
Sepertinya usaha Tia untuk menolak hanya akan menjadi sia-sia. Ia memutar bola matanya malas, dan mau tak mau merelakan dirinya diseret oleh rekan kerja ayahnya itu.
Usai si clutch dilemparkan ke kursi tengah, Tia duduk di kursi penumpang dibantu oleh Arka. Berlebihan sekali dia, Tia ini hanya habis muntah saja, bukannya pingsan.
Tia menopangkan kepalanya dengan satu tangan dan bersender ke pintu mobil, memalingkan wajahnya dan menikmati pemandangan di luar sana. Karena Tia malas meladeni Arka yang sekarang sedang memberitahu Tia bahwa mereka akan pergi ke rumah sakit terdekat, jadi Tia hanya bisa memilih untuk melihat kendaraan yang berjalan dengan kecepatan sedang di luar sana. Tidak ada yang spesial, tapi lebih baik daripada membuka mulut dan bercengkrama dengan Arka. Tenaga Tia sedang tidak cukup untuk melakukan hal itu.
Senandung musik dari radio terdengar pelan, Tia melirik ke samping dan mendapati Arka sedang mengotak-atik tombol di layar mobilnya untuk mencari saluran radio yang dia inginkan. Tangan kanannya masih memegang setir mobil dan pandangannya berusaha menatap lurus ke depan, agak kesusahan mencari stasiun radio yang diinginkan. Akhirnya Arka menyerah, membiarkan suara radio yang menyetel lagu pop internasional.
Tia menimbang, selama ini ia sudah berusaha untuk bersikap sesopan mungkin terhadap rekan kerja ayahnya ini. Tetapi ia bukan orang yang bisa berlama-lama memakai topeng dan memamerkan senyumnya terus-terusan. Sial, bahkan orang-orang di kampusnya dulu mencapnya dengan orang yang minim ekspresi. Sekarang ia harus bersikap manis tiap bertemu dengan orang-orang yang ada hubungannya dengan ayahnya.
Sudahlah, mari kita tunjukkan sifat asli Tia. Semoga ini kali terakhir bertemu dengan Arka.
Tidak lama, mobil yang dikendarai Arka sampai di parkiran rumah sakit. Tia langsung melangkah keluar setelah membawa clutch-nya, dan berjalan ke dalam lobby. Arka terlihat terburu-buru menyusulnya di belakang.
Setelah Tia selesai mendaftar, ia duduk di kursi panjang yang disediakan rumah sakit. Arka juga menyusul duduk di sebelahnya.
“Jaketnya jelek,” ucap Arka.
Tia menoleh, ekspresinya tersinggung, sebelum menyadari bahwa memang jaket ini terlihat belel. Dan lagi ini bukan miliknya. Untuk apa tersinggung?
Ia hanya menganggukkan kepalanya tanda setuju, dan bergerak untuk mengeluarkan ponselnya untuk membunuh waktu.
Tia berhenti bergerak saat jaketnya ditarik ke arah Arka, dan si pria itu mengisyaratkan Tia untuk melepas jaketnya. Tia menggeleng, berucap “Nggak mau.” Lalu menarik jaketnya agar lepas dari tangan Arka.
Ia melihat Arka melepaskan jas biru mudanya, dan berkata “Ganti sama ini aja, lebih cocok pake ini. Lagian punya siapa sih jaketnya? Saya yakin bukan punyamu.”
Tia menimbang, jas Arka sudah pasti lebih nyaman dan juga lebih bagus daripada jaket belel si teman tidurnya. Setelah Arka menyerahkan jasnya ke pangkuan Tia, akhirnya Tia mengalah. Toh ia tidak rugi apa-apa dengan mengganti luarannya.
Seusai melepas jaket dan menggantinya dengan jas, Arka mengambil jaket varsity tersebut dan berjalan menjauh. Tia memperhatikannya dengan bingung. Ia membelalakkan matanya saat Arka ternyata membuang jaket tersebut di tempat sampah samping meja dimana beberapa suster berada.
Ia sudah siap-siap untuk marah, saat Arka berujar terlebih dahulu, “Bukan punya kamu, nggak perlu marah.” dan membuang mukanya ke arah lain.
Tia memutar bola matanya malas dan tertawa mengejek. Sikap Arka lucu sekali di mata Tia.
Malas berdebat, Tia hanya menjawab “Iya iya, terserah aja deh,” dan menyenderkan punggungnya ke kursi.
Setelah itu, namanya di panggil oleh salah seorang suster yang berdiri di depan ruang dokter. Tia bangun dari duduknya dan menoleh ke arah Arka.
“Titip,” ucapnya singkat, menyerahkan clutch-nya lalu berjalan menuju ruangan dokter.
---
“Kapan terakhir makan 3 kali sehari?” tanya dokter saat semua pemeriksaan sudah selesai.
Tia meringis, tahu betul bahwa dirinya pasti hanya akan diomeli oleh dokter jika ia pergi berobat, makanya tadi Tia awalnya tidak mau diseret kesini.
Dokter hanya menggelengkan kepalanya saat melihat Tia yang tidak menjawab dan hanya cengengesan.
“Kamu ini, makannya jarang, dan minuman paling banyak masuk perut kamu itu cuma alkohol. Nona Tia, mungkin sekarang ini hanya masalah sepele, kamu mungkin jarang merasa mual dan pusing berlebih setelah konsumsi alkohol, tapi saya yakin kamu paham kalau kamu terus seperti ini, bakal terkena penyakit yang serius,” ujar dokter, menatap Tia dengan sungguh-sungguh.
Tia menunduk, tentu saja ia paham betul dengan fakta itu. Ia paham, tetapi tetap ia lanjutkan gaya hidup tidak sehatnya. Memang pada dasarnya manusia itu bodoh.
Dokter memanggil suster yang berdiri untuk mendekat, dan menyerahkan resep obat untuk Tia. Ia berkata “Untuk saat ini kamu belum butuh obat, jadi saya hanya resepkan kamu vitamin. Kalau untuk kamu makan 3 kali sehari itu berat, paling nggak makanlah 2 kali sehari, dan usahakan jangan makanan cepat saji, lebih baik jika makanannya penuh nutrisi. Kurangi konsumsi alkoholnya, perbanyak minum air putih.” Lanjut si dokter menasihati.
Tia mengangguk, tidak terlalu memperhatikan ucapan sang dokter, ia hanya ingin cepat selesai. Lalu ia berucap “Oke Dokter, makasih ya. Saya permisi dulu,” dan keluar mengikuti suster ke arah loket obat.
---
Disana, sudah ada Arka yang duduk sambil menonton televisi yang menggantung di dekat jam dinding.
Saat melihat Tia mendekat, Arka langsung duduk tegap.
“Gimana?” tanyanya langsung.
Tia ingin mengomel karena kunjungan dokter ini amat membuang waktu baginya. Ia hanya mendengar hal yang sudah ia pahami dan mengurangi waktunya untuk beristirahat di rumah.
Akhirnya Tia hanya mengatakan, “Suruh minum vitamin aja. Sama makan yang bener,” pada Arka.
Arka bergumam “Ooh” pelan, dan langsung menyerahkan ponselnya ke Tia.
“Apa?” tanya Tia bingung.
“Nomor hape kamu. Saya belum punya, biar saya bisa hubungi kamu, atau kamu yang hubungi saya.” Jawab Arka.
“Buat apa sih kak?” tanya Tia lagi, kali ini suaranya berisikan kelelahan. Ia malas berhubungan dekat dengan orang lain seperti ini.
“Katanya kamu makannya nggak rutin? Saya bisa bantu,” ujarnya, dan mendorong lagi ponselnya ke arah Tia.
Tia menerimanya, tetapi tidak langsung mengetikkan nomornya disitu.
“Bantu gimana?” Demi Tuhan, apa mau Arka? Tia hanya ingin semuanya cepat selesai dan keluar dari rumah sakit ini.
“Nanti juga kamu tau, Tia. Udah, cepet,” paksa Arka pada akhirnya.
Tia menghela napasnya kasar, sangat lelah menghadapi kekeraskepalaan Arka. Sepertinya rekan kerja ayahnya ini amat sangat mencintai perusahaannya sampai-sampai ia memperhatikan kesehatan putri dari direkturnya. Cih, jika Tia berada di posisi Arka, Tia tidak mau bersusahpayah seperti ini. Mending kabur dan pura-pura tidak kenal saja saat melihat putri direktur di luar kantor.
Tetap, pada akhirnya Tia mengetikkan nomornya di ponsel Arka, mengosongkan namanya agar Arka sendiri yang menyimpan nomornya. Setelah Tia menyerahkan ponsel Arka, namanya dipanggil oleh petugas. Ia langsung berdiri dan mengambil vitaminnya.
“Udah semua?” tanya Arka di sampingnya, badannya condong ke arah Tia karena mengintip obat yang diterimanya.
Tia mundur sedikit, badan Arka terlalu dekat dengannya. “Udah, tinggal bayar aja.” Jawabnya, melangkah lagi ke loket pembayaran dengan Arka yang berjalan di sampingnya.
---
Semua urusan di rumah sakit selesai, dan kini Tia dan Arka sedang membelah jalanan menuju rumah Tia. Perjalanan kali ini sama seperti sebelumnya, hanya diisi dengan suara DJ dari radio yang mengalun samar untuk menghilangkan kesunyian.
Mobil sedang berhenti di lampu merah saat Arka melemparkan pertanyaan ke Tia, “Kamu paling suka makan apa, Tia?”
Tia melirik Arka, dan ternyata Arka sedang melihat ke arahnya.
“Nggak ada yang spesial, semuanya oke aja,” jawabnya, karena memang dirinya tidak ada makanan yang paling disuka. Seingatnya.
Mobil berjalan perlahan saat lampu sudah berubah jadi hijau. Arka terlihat berpikir, dan Tia tidak memikirkan pertanyaan Arka lebih jauh.
Saat sampai di rumahnya, Tia melepaskan jas Arka yang tadi dipakainya. Setelah menyerahkan jas ke Arka, dan mengucapkan terima kasih. Arka hanya mengangguk, tersenyum dan melambaikan tangannya saat Tia beranjak keluar.
Tia berdiri di depan gerbang rumahnya, menunggu Arka untuk kembali berjalan. Sesaat sebelum Arka menginjak pedal gas, ia menurunkan kacanya dan berteriak, “Ditunggu ya!” lalu melaju ke jalanan, tidak menghiraukan teriakan “Apa yang ditungguuu, kak?” dari Tia.
Tia baru saja selesai mandi dan sedang bersiap untuk duduk santai di depan televisi ketika ponselnya berdenting terus menerus. Memutar jalan balik menuju kamarnya, ia meraih ponsel yang sedang diisi ulang dayanya dan mengernyit. 3 missed call from unknown. 4 new messages from unknown. Tia memilih membuka pesannya terlebih dulu, sambil mengusakkan handuk di rambutnya yang masih basah. Ia membelalakkan matanya saat membaca pesan-pesan tersebut. Tia, lagi dimana? Pintunya dibukain, itu saya pesen makanan buat kamu. Halo? Bener kan ini Tia? Ini Arka Tia.. ini kamu nggak ngasih saya nomor palsu kan.. Tia itu bapaknya udah nunggu di depan lama, kasian.. Tia melepas sambungan ponselnya dengan kabel, lalu melempar handuknya ke sembarang arah. Ia celingukan mencari sweater agar penampilannya tidak terlalu gembel. Tia berlari ke gantungan pintu kamar dan meraih sw
Tia terbangun siang itu dengan Juna yang masih mendekapnya dari belakang. Tia tersenyum, akhirnya ia bisa tidur dengan nyenyak tanpa terbangun di setiap jamnya kali ini. Mengusap matanya perlahan, ia membalikkan badannya pelan agar tidak membangunkan Juna yang masih terlelap. Sahabatnya ini sudah dipastikan akan dapat protes dari karyawan kafenya karena melewatkan briefing tiap pagi mereka.Merapatkan badannya lebih dekat ke tubuh Juna, Tia mengalungkan tangannya ke punggung Juna dan menenggelamkan wajahnya di dadanya. Tia menghembuskan napasnya lega, ia paling suka bangun tidur dengan Juna disampingnya karena ia yakin Juna tidak akan meninggalkannya saat pagi datang.Tia mengingat lagi kejadian kemarin sore. Setelah Tia bercerita tentang Arka (dan juga rasa rendah dirinya terhadap kata cinta), mereka memutuskan untuk berbelanja bersama di sebuah pusat perbelanjaan. Katanya untuk menjauhkan Tia dari pikiran-pikiran buruknya, alasan lainnya adalah Juna membutuhkan bantu
Usai membaca pesan tersebut, Tia hanya bisa tertawa keras. Juna yang mendengarnya melongokkan kepalanya dari dalam kamar mandi, wajahnya menuntut penjelasan dari tawa kerasnya. Tia hanya menggesturkan tangannya agar Juna lanjut mandi, dan Juna hanya menggumamkan “Oke..” sebelum menutup pintu kamar mandi kembali.Tia ingat, hari ini adalah hari dimana perusahaan papanya rutin mengadakan makan malam dengan keluarga karyawannya. Hanya plus one, sih. Dan biasanya mereka membawa pasangan mereka; suami, istri, maupun kekasih mereka. Tiga tahun lalu, ayahnya masih pergi ke acara tersebut dengan ibunya. Dua tahun lalu, Tia diajak ikut dan berakhir dengan Tia yang pulang kelelahan meladeni orang-orang yang mengajaknya berbicara. Tetapi dari tahun lalu, Tia sudah tidak diajak untuk datang ke acara tersebut.Harusnya Tia tidak perlu merasa kecewa, toh tahun lalu juga sama. Walau begitu, Tia tidak bisa menahan rasa kecewa bercampur sedihnya. Satu tahu
Saat mereka sudah sampai di taman kompleks, mereka duduk di salah satu kursi taman di bawah sinar lampu taman yang menyinari. Suara gemericik air dari air mancur kecil tidak jauh dari mereka mengisi kesunyian malam itu. Memang tetangga rumahnya tidak banyak yang menghabiskan waktu di taman, kecuali saat sore hari dimana banyak anak kecil yang bermain bersama di taman kecil tersebut.Sedari pertengahan jalan tadi, Arka banyak bercerita mengenai keluarganya. Kini, mereka berdua sedang duduk berdekatan berbagi kehangatan, tapi Tia sudah melepaskan lengan Arka, merasa terlalu berlebihan jika ia masih bergelayut di lengannya saat duduk.“—yang gede namanya Ethan, sekarang umurnya 8 tahun dan sekolah di tempat yang sama kayak dulu saya sekolah. Kalau adiknya, namanya Aria, masih pre-school sekarang, tapi mereka semua full day. Kakak saya sama suaminya sama-sama aktif kerja. Mereka sering nginap di rumah orangtua saya. Oh, dan saya juga
“Takdir nggak sih, ketemu terus gini?” tanya si penyelamatnya sambil tersenyum lebar, senyum manis khasnya yang selalu membuat Tia kehilangan napasnya selama sepersekian detik saat melihatnya.Salah tingkah, Tia hanya bisa tertawa garing dan berdiri dengan benar lalu merapihkan rambutnya yang sedikit berantakan. Arka masih melihat kearahnya tanpa menghilangkan senyumannya, matanya melengkung lucu dan Tia harus menahan diri untuk tidak mencubit gemas tulang pipinya yang tinggi itu.“Mau jajan, kak?” tanya Tia mengalihkan pembicaraan, ia melihat Arka memegang sebuah kaleng kopi instan di tangan kanannya.Arka hanya menggoyangkan kaleng kopi tersebut di depan wajah Tia, mengiyakan.Tia mengernyit, ia tidak menyangka kalau Arka memilih membeli minuman instan di minimarket dibandingkan kopi di kedai kopi dekat kantornya.“Tadi saya liat kamu dari depan situ,” jelasnya menunjuk ke warung makan di seberang mini market.
Berkebalikan dari yang ia inginkan, sekarang dirinya sedang duduk di restoran Itali yang tadi disebutkan oleh ayahnya. Duduk di salah satu kursi di meja bundar dengan total 3 buah kursi. Ayahnya duduk di kanannya, sedangkan di sebelah kirinya ada si wanita tadi. Yang ia tidak mau memikirkan kenapa ayahnya mengajak wanita ini untuk makan siang bersama mereka. Tia pikir ini kencan makan siangnya dengan ayahnya.Ia mengatur napasnya perlahan, dan melanjutkan makan siangnya dengan tenang. Ia menanggapi beberapa pertanyaan singkat dari ayah dan wanita asing (yang sampai sekarang belum memperkenalkan dirinya ke Tia), dan meminum sampai habis air di hadapannya.“Dek, kenalin ini tante Susan, partner kerjasama papa akhir-akhir ini,” ucap ayahnya saat melihat Tia sudah menyelesaikan makannya. Walaupun makannya hanya habis setengah dan wajah Tia terlihat tidak nyaman, perutnya sakit karena ia memaksa memakan pasta di depannya dengan terlalu cepat, menginginkan pergi
Tia yang melihatnya merasakan hatinya sedih juga. Ia melepas tangan Juna dari pipinya lalu meraih leher pria itu, memeluknya dan menepuk-nepuk kepalanya. “Kenapa gue yang ditepuk-tepuk kepalanya?” tanya Juna, ia kini menekuk lututnya agar Tia bisa memeluknya lebih nyaman. “Soalnya gue belum mau sedih-sedih, sedangkan lo keliatan sedih.” Tia melepas pelukannya, meraih kedua tangan Juna dan menggoyang-goyang ke kanan dan ke kiri. “Nggak sekarang ya, Jun, gue ceritanya? Gue mau seneng dulu. Boleh, kan?” “Bolehh, lo butuh waktu berapa lama juga gue jabanin.” “Makasih ya Jun,” kata Tia, senyumnya mengembang. Tertular senyuman Tia, Juna juga ikut tersenyum. Kali ini senyuman pasrah, ia akan ikut Tia untuk menghabiskan hari dengan senang, dan mengundur kesedihan yang pasti akan turut ia rasakan jika Tia memutuskan untuk menceritakan apa yang membuatnya sampai menunggu Juna di luar berjam-jam, dan tidak masuk ke apartemennya walaupun ia tahu kode sandinya.
“Juna, jadi pacar gue yuk?” bisik Tia serius. “Nyebut, anjing.” Jawabannya datang tidak lebih dari satu detik. “Juna seriusan!” bisiknya lagi. Tia mengekor Juna ke bagian dapur untuk menaruh notes pesanan baru. Berbalik badan menghadap Tia yang kini memasang wajah khawatir? Takut? Grogi? Juna menyejajarkan wajahnya dengan Tia, ia ikut memasang wajah serius. “Mending gue pacarin mas Arka lo itu,” bisiknya. “AW!” pukulan Tia datang lagi, kali ini keras sekali karena suara PLAK terdengar mungkin sampai tempat duduk para pelanggan. Wajah Tia memerah lebih kentara dari pada sebelumnya. Juna bersumpah ia bisa melihat asap keluar dari hidung dan telinga perempuan itu. “Dia bukan mas Arka GUE,” desisnya kesal. Terdiam sebentar, Juna paham kalau hal ini cukup sensitif untuk Tia. Ia memang pernah meminta Tia untuk membuka hatinya agar Arka bisa masuk, tetapi apa yang terjadi kemarin kemungkinan besar membuat segala kesempatan untuk Arka
Arka memang butuh bicara dengan Tia, tapi kesempatan yang diberikan Tuhan untuk bicara dengan Tia ini tidak terlalu bisa ia apresiasi.Mundur ke 5 menit yang lalu, Arka sedang berjalan santai menikmati malam sabtunya. Ia sudah berganti pakaian menjadi pakaian santai, dan berjalan mengitari sebuah taman dimana banyak orang yang juga menghabiskan waktunya disana.Beberapa foto berhasil ia abadikan, itu sebelum dirinya terlempar sebuah bola dengan cukup keras, membuatnya mengaduh hebat dan berjongkok sambil menekan kepalanya yang nyut-nyutan.“天啊,真的不好意思!你的头好吗?” (ya Tuhan, maaf banget! Kepalamu nggak kenapa-kenapa?). Arka memberikan jempolnya walaupun kepalanya masih menunduk menahan sakit. Saat tangan si penanya ikut memegang kepalanya, ia mendongak.Ia mendapati orang yang mendekatinya ini adalah orang yang sama dengan yang ia lihat sedang berduaan dengan Tia di area kampusnya waktu itu.Sepertinya si anak
Gelapnya ruangan klub malam ini tidak membuat mata Arka kesulitan untuk mendapati Tia di dalamnya.Dengan matanya, ia melihat Tia yang mungkin kini kesadarannya sudah tidak penuh lagi. Tubuh wanita itu berdempetan dengan seorang lelaki, pinggangnya dipeluk dari belakang dan kini kepala Tia menoleh ke belakang, membuat dirinya bisa melihat dengan jelas wajah wanita itu.Juga, sayangnya, melihat bagaimana Tia membalas ciuman lelaki yang rambutnya ditarik pelan olehnya, menikmati tiap detik bibir mereka berdua bersentuhan.Arka buru-buru mengalihkan pandangannya dari pasangan yang masih tenggelam dalam kegiatannya itu. Lalu melangkahkan kakinya keluar dengan cepat, tidak mengindahkan bouncer yang memandangnya bingung.Ia terus berjalan cepat tanpa arah, pandangannya kosong tetapi berbanding sangat terbalik dengan isi pikirannya sekarang.Seingat dia, Tia bukanlah orang yang bisa melakukan skinship dengan frontal di tempat umum. Tia yang ia kenal adala
Di dalam sebuah kafe dengan interior minimalis tetapi cantik, terlihat sepasang lelaki dan perempuan yang menyesap minumnya masing-masing.Di depan kedua orang itu ada segelas yoghurt frappe dan juga vanilla latte yang masih mengebulkan asap panasnya.Yang lelaki sambil mengetikkan pesan untuk kakaknya di negeri seberang, yang perempuan melihat-lihat ke interior kafe untuk menghilangkan rasa canggung.Tawarannya tadi ditolak oleh halus oleh si atasan.“Makasih tawarannya, El. Tapi saya rasa nggak sopan kalau saya ke apartemen kamu sendirian.”Wajahnya langsung memerah saat itu juga, dan dalam pikirannya, ia memukul kepalanya berulang kali karena bisa-bisanya menawarkan hal seperti itu ke atasannya? Jika orang kantor tahu, mau ditaruh dimana wajahnya?Teringat kembali dengan kejadian memalukan tadi, ia mengangkat gelasnya dan menempelkan gelas dingin itu ke pipinya yang menghangat kembali. Tak sengaja matanya bersitatap d
Semenjak melihat Tia dan teman lelakinya di kampus perempuan itu minggu lalu, Arka belum menemukan waktu yang tepat lagi untuk bertemu dengan Tia. Seperti yang ia bayangkan sebelum datang kesini, bahwa pekerjaan yang menantinya di kantor cabang ini begitu menyita waktunya.Tidak jarang ia pulang ke apartemennya jam 9 malam, itu pun dengan membawa sisa pekerjaannya yang belum selesai agar besok ia bisa menyerahkan pekerjaannya pada atasannya. Harga yang sepadan dengan tingkatan jabatannya yang juga selain melenceng, juga melompat tinggi.Jika ia tidak ada hal yang perlu dikerjakan secara terburu, tetap saja ia memiliki bawahan yang membutuhkan bimbingannya hampir setiap saat. Tapi ini juga merupakan distraksi yang lumayan agar ia tidak berat sebelah dan hanya mengejar Tia saja.Timnya disini ada 4 orang, semuanya sangat berpengalaman dan ia sebagai orang yang bisa dibilang baru saja berkecimpung langsung dalam pengembangan produk mereka, juga tidak serta merta be
“Maksudnya?” tanya Tia lirih. Ia tidak salah tangkap, kan? Yang Arka maksud itu pernikahan papanya...... kan? Melihat Arka yang tidak menjawab dan hanya memberi tatapan yang sulit diartikan, intonasi suara Tia meninggi. “Siapa yang nikah, kak?”“Pak Reza,” bisiknya.“Ha!” Tia rasanya ingin menertawakan dirinya sendiri. Dirinya dan juga hidupnya ini selalu saja bisa membuatnya tertawa. Terlalu membingungkan.“Aku pikir papa waktu itu masih nunggu waktu buat aku nerima kehadiran calon istrinya?” tanyanya tidak percaya. Nada tinggi itu masih menempel di suaranya. Beruntung tidak ada yang memahami percakapan mereka. Mungkin orang yang lewat hanya berpikir mereka sepasang kekasih yang sedang bercekcok.Arka tidak tahu harus merespon bagaimana, ia hanya mengeratkan genggamannya di tangan Tia.“Papa beneran nikah tanpa kehadiranku? Tanpa kabar?” cercanya lagi.“Pak Reza u
Tadi Arka bilang kalau dirinya ingin makan hotpot. Jadi Tia langsung meminta rekomendasi restoran dari temannya. Siapa lagi kalau bukan Figo?Figo itu tipe teman yang jika Tia mengiriminya pesan, pasti akan dibalas dengan panggilan telepon. Awalnya Tia risih karena kan maksudnya menggunakan pesan, agar tidak perlu mengobrol?Tetapi berbicara dengan Figo selalu menyenangkan, jadi Tia tidak ambil pusing.Itu juga yang terjadi 10 menit lalu. Tia yang sedang mengeringkan rambutnya mengirimi pesan ke Figo untuk meminta rekomendasi restoran. Tapi anak itu langsung menelponnya dengan jarak waktu tidak lebih dari 1 menit.“Lo mau makan, kak? Ikut dong, siang ini gue free nih,” sapa Figo riang di seberang sana. Tia mematikan pengering rambutnya sebentar dan menjawab sembari memilah-milah pakaian. Arka yang sedang tiduran hanya menolehkan kepalanya guna mengikuti arah Tia berjalan.“Gue lagi sama orang lain, nantian aja sama lo-nya. Lagian
Tidak terasa niatnya kemarin itu betulan terwujud. Memasuki satu bulan perkuliahan, bisa dihitung mungkin Tia hanya tidur dengan orang lain sebanyak 7 kali. Semuanya terjadi di akhir pekan maupun di malam sabtu, dimana dirinya tidak memiliki kegiatan di kampus keesokan harinya.Akhir pekan kali ini juga ia habiskan di hotel dengan orang yang ditemuinya di bar tadi malam. Tubuhnya super pegal karena partner tidurnya kali ini terlalu bersemangat hingga dirinya baru bisa tidur di jam 4 pagi, lalu ditinggal oleh si lelaki saat matahari menampakkan dirinya.Untung sekali ini bukan Indonesia, dirinya yang mengenakan pakaian minim tidak mendapatkan lirikan apapun dari orang-orang yang berlalu lalang.Suasana siang hari disini selalu membuatnya senang karena ramainya jalanan di kota ini. Ia sengaja turun satu stasiun lebih awal dari stasiun terdekat apartemennya.Sambil menyisipkan permen lollipop dalam mulutnya, ia bersenandung pelan sendirian. Matanya berlarian
Keringat menetes dari dahi Tia, dan terjatuh ke tanah yang dipenuhi oleh rumput. Kedua tangannya sedang memegang tongkat baseball dengan erat. Konsentrasinya tertuju pada bola yang kini sedang terlempar kencang ke arahnya.PAK!Melihat bola yang berhasil dipukul keras olehnya, ia langsung berlari kencang dan berhenti di base ke dua saat melihat tim lawan sudah memegang bola yang tadi dilemparnya.Seminggu ke belakang, Tia rajin ikut tim baseball kampusnya latihan. Sebetulnya bukan latihan serius karena dirinya bukan anggota tim baseball, tapi karena salah satu anggotanya ada yang merupakan orang Indonesia, jadi ia diperbolehkan ikut ketika mereka sedang bermain santai.“Nggak join kita aja, kak?” tanya penjaga base yang sedang ditempati Tia. Oh, itu Figo, mahasiswa berkebangsaan Indonesia yang tadi ia ceritakan. Umurnya baru 21 tahun, dan sedang menempuh pendidikan S1nya disini.“Kenapa? Gue keren ya?” Tia bertanya balik sam
Tia menyibakkan gorden berwarna pink pastel dan menyipitkan matanya saat melihat terangnya sinar mentari yang mengintip ke kamarnya. Setelah membuka jendelanya sedikit, ia melangkahkan kakinya ke sisi kamarnya untuk menuangkan dirinya minum.Kursi komputer yang empuk didudukinya. Tangan kanan mengoperasikan ponsel pintar, tangan kirinya menggenggam gelas berisikan air dingin. Cuaca di Shenzhen hari ini cukup sejuk, jadi ia matikan pendingin ruangannya dan membiarkan udaranya tergantikan oleh udara segar dari luar.Tempat tinggal Tia kali ini seperti mengingatkannya pada kamar tidur teman tidurnya beberapa saat lalu di Indonesia. Jika kamar Tia di Indonesia juga berukuran sama seperti ini, bedanya adalah kali ini ruangan ini berfungsi sebagai seluruh rumah untuknya.Keputusan Tia untuk melanjutkan studinya disini bisa dibilang agak impulsif. Ia menghabiskan waktu seharian penuh merenung di kamarnya dan membutuhkan beberapa saran dari Juna untuk akhirnya mengambil