Desma sudah pindah ke warungnya yang baru. Bersamanya kini telah tinggal ibu tua yang ternyata bernama Ibu Aisyah. Desma menganggap Ibu Aisyah seperti ibu kandungnya sendiri. Kini Ibu Aisyah tidak kuma dan lusuh lagu. Desma membelikan beberapa potong pakaian untuknya. Selain itu Desma juga melarang Bu Aisyah memanggil namanya dengan embel-embel 'Ibu'.
"Cukup panggil Desma saja." Ucap Desma ketika mereka mulai tinggal bersama.Ibu Aisyah sangat bahagia diperlakukan sangat baik oleh Desma. Ia merasa punya keluarga sekarang. Hidupnya yang biasa sunyi tanpa perhatian, kini telah berubah. Sebuah kehidupan yang tidak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya.
Desma tidak pernah keberatan menyayangi dirinya bahkan Desma dengan penuh kasih merawatnya ketika ia jatuh sakit.
Ibu Aisyah juga sangat menyayangi Desma.Bulan ke bulan perut Desma nampak semakin membesar. Ibu Aisyah terkadang merasa sudah tidak sabar menanti calon cucunya. Di setiap selesai melaksanakan sholat fardu dan sunnat ia tidak pernah lupa berdoa agar Desma melahirkan seorang anak yang baik budi serta pintar. Tidak jarang pula Ibu Aisyah melantunkan ayat-ayat suci Al qur'an dihadapan perut Desma yang semakin membuncit.
Usaha sarapan pagi merekapun semakin maju dengan pesat. Beberapa bulan terakhir ini mereka sudah menambah durasi buka warung mereka. Mereka yang biasanya hanya menjual sarapan pagi, kini telah menyediakan hidangan untuk makan siang. Sore hari barulah mereka menutup warung dan beristirahat. Dan setelah melaksanakan sholat magrib mereka berdua mulai menyiapkan menu untuk sarapan yang akan dijual esok paginya.
Porsi makanan untuk kaum duafa bertambah banyak. Para gelandangan dan beberapa anak jalanan disekitar itu mendapat jatah makanan setiap hari. Iringan doa semakin membanjiri kehidupan Desma dan Ibu Aisyah.
Koko Cina si pemilik warung juga nampak sangat senang melihat kemajuan usaha Desma. Tidak jarang ia mampir untuk sekedar membeli makanan dan memberi sedikit nasehat.
Desma merasa hidupnya dikelilingi orang-orang yang punya cinta kasih. Walaupun tidak tinggal dirumah megah namun Desma merasakan kebahagiaan yang tiada tara nya.
Desma juga tak henti bersyukur. Dalam sujudnya ia selalu berdoa agar diberikan kemudahan dalam membantu sesama.Kini sembilan bulan sudah umur kandungan Desma. Ibu Aisyah sudah sibuk menyediakan perlengkapan bayi. Beberapa hari lagi ia akan menimang seorang cucu. Tangannya sudah mulai gatal dan hatinya semakin tidak sabar menunggu.
Hari itu Jum'at pagi jam 8.30 wib.
Desma nampak meringis kesakitan ketika ia sedang sibuk melayani pembeli yang sedang sarapan di warungnya. Ibu Aisyah yang kebetulan melihat kejadian itu segera mendekati Desma dan mengambil alih pekerjaannya."Sana pergi ke kamar mandi. Coba lihat apa sudah ada tanda-tanda melahirkan !" Perintahnya kepada Desma.Desma mematuhi perintah Ibu Aisyah. Ia meninggalkan pekerjaannya dan masuk ke kamar mandi. Di celana dalamnya Desma melihat ada darah bercampur lendir.
"Ibuuuu..!!" Teriak Desma sedikit histeris. Ia ketakutan karena ini adalah pengalaman melahirkan pertama bagi dirinya. Ibu Aisyah terlonjak kaget mendengar teriakan Desma. Iapun segera menghambur ke ruangan dalam dan menuju pintu kamar mandi yang tertutup.
"Ada apa Desma. Apa sudah ada tanda-tanda..?" Ibu Aisyah bertanya dari luar.
"Ada darah bercampur lendir Buu..!" Sahut Desma dari dalam. Ia segera membuka pintu kamar mandi. Wajah Ibu Aisyah nampak sumringah. Dengan kedua tangannya ia membimbing Desma keluar dari kamar mandi."Itu tandanya beberapa jam lagi kamu akan melahirkan Desma." Kata Ibu Aisyah tersenyum.
"Sini..! Istirahatlah dulu. Ibu akan melayani beberapa orang pembeli lagi. Setelah itu Ibu akan menutup warung dan kita berangkat kerumah bidan !" Ujar Ibu Aisyah sambil mengantar Desma kesisi tempat tidur. "Jangan lupa berjalan pelan-pelan agar bisa melahirkan dengan cepat dan mudah." Sambung Ibu Aisyah sembari kembali kedepan untuk melayani beberapa orang pembeli yang sedang antri.Desma melakukan apa yang diperintahkan Ibu Aisyah kepada dirinya. Ia mulai berjalan perlahan di sekeliling ruangan. Semakin lama rasa sakit semakin terasa melilit. Desma tidak henti-hentinya menyebut asma Allah dan meminta agar dimudahkan dalam proses melahirkan.
Jam 10 tepat Ibu Aisyah menutup warungnya. Ia memerintahkan Desma memesan taksi online untuk mengantarkan ke rumah sakit terdekat.
Beberapa saat kemudian taksi yang dipesan sudah tiba didepan warung Desma. Desma dan Ibu Aisyah bergegas masuk. Disepanjang perjalanan Desma nampak meringis menahan sakit. Keringatnya membasahi badan dan keningnya. Ibu Aisyah menyeka keringat di kening Aisyah."Sabar ya Nak, jangan lupa terus berzikir menyebut nama Allah." Kata Ibu Aisyah.Dua puluh menit kemudian mereka sudah sampai dihalaman rumah sakit. Beberapa perawat membantu Desma turun dari taksi. Desma dibawa ke ruang persalinan dengan menggunakan kereta dorong.
Ibu Aisyah tidak diperkenankan masuk. Ibu Aisyah dipersilahkan menunggu disebuah kursi panjang di ruang tunggu.
Ibu Aisyah menuruti apa yang dikatakan perawat. Ia duduk diantara beberapa orang lain yang mungkin sedang menunggui keluarganya juga. Di jari tangan kanan Bu Aisyah nampak seuntai tasbih bergerak perlahan. Mulutnya komat kamit dan kepalanya ditundukkan serta kedua matanya terpejam. Ia berzikir terus menerus tanpa henti. Ia mau mengiringi kelahiran cucunya dengan zikirnya menyebut asma Allah.
Satu jam lebih telah berlalu namun belum terdengar suara tangisan bayi dari dalam ruangan bersalin. Ibu Aisyah semakin mengkhusukkan fikirannya dalam zikir yang tidak putus.
Dari speaker mesjid mulai terdengar lantunan ayat suci Al qur'an dikumandangkan pertanda sebentar lagi akan masuk waktu sholat Jum'at.
Jarum jam terus berdetak dan waktu terus merangkak. Seiring kumandang Adzan bergema dari pengeras suara mesjid terdengar pula lengkingan bayi yang menangis menandakan awal kehadirannya diatas dunia.
Ibu Aisyah tersentak dalam zikirnya. Senyumnya nampak mengambang. Ia berlari kearah pintu ruang bersalin yang masih tertutup. Tak lama kemudian seorang Dokter wanita nampak keluar dengan wajah ceria. Dengan sejumput senyuman ia menyapa Ibu Aisyah yang telah berdiri di depan pintu.
"Selamat..! Cucu Ibu laki-laki. Keadaannya sehat tidak kurang satu apapun." Ujar Dokter itu kepada Ibu Aisyah. Ibu Aisyah girang bukan alang kepalang. Dari mulutnya terdengar rentetan kalimat syukur kepada Allah.
"Terima kasih dokter. Bolehkah saya melihat cucu saya..?" Tanya ibu Aisyah semakin tidak sabar. Matanya berlinang karena haru bercampur bahagia.
"Sabar Bu. Bayi dan Ibunya sedangkan dibersihkan dulu." Sahut si Ibu Dokter ramah dan memegang bahu Ibu Aisyah.Ibu Aisyah mengangguk dan kembali mengucapkan terima kasih. Dokter cantik nan ramah itu mengangguk dan tersenyum lalu meninggal Ibu Aisyah yang masih menunggu didepan pintu.Sekitar sepuluh menit menunggu akhirnya seorang perawat mempersilahkan Ibu Aisyah masuk. Dengan langkah bergegas Ibu Aisyah memasuki ruang persalinan. Disana ia melihat Desma sudah nampak agak segar dan ditangannya ia menggendong bayi yang sudah dibungkus kain bedong.
Ibu Aisyah menghampiri dan mengulurkan kedua tangannya untuk mengambil bayi merah itu dari pelukan Desma. Desma memberikan bayinya kepada Ibu Aisyah. Ibu Aisyah memandangi wajah cucunya yang tampan dan berhidung mancung serta berkulit bersih.
"Selamat datang cucuku." Bisiknya dengan air mata berlinang. Desma yang melihat keharuan Ibu Aisyah juga larut dalam tangis kebahagiaan.***************
Ibu Aisyah kini punya kegiatan baru. Setiap pagi siang dan malam ia sibuk merawat cucunya dan juga Desma. Untuk dua minggu ke depan mereka memutuskan untuk menutup warung tempat usaha mereka agar Ibu Aisyah lebih fokus mengurus bayi mungil yang baru dilahirkan Desma dan juga merawat ibunya.Sudah seminggu lebih usia si bayi namun Desma belum juga menemukan nama yang cocok untuk putranya itu. Beberapa orang kenalan yang datang menyumbangkan nama tapi belum satupun yang dirasa berkenan dihati Desma dan Ibu Aisyah. Sedangkan waktu terus saja berlalu. Bayi yang sementara dipanggil si Buyung itu memperlihatkan pertumbuhan yang sangat cepat.Pada hari ke empat puluh Desma bermimpi bertemu dengan seorang orang tua berjenggot putih. Ketika terbangun ia menceritakan mimpinya itu kepada Ibu Aisyah."Lalu apa yang dilakukan orang tua berjenggot putih itu kepada cucuku..? Tanya Bu Aisyah ingin tahu."Beliau memanggilk
"Ayooo kejar Ranggaa... Tendaaang..!! Hahha.. kamu hebat juga..!" Mohzan menyoraki Rangga yang sedang bermain dilapangan bola. Rangga yang baru saja berhasil menjebol gawang lawan nampak tertawa bahagia. Ia mengacungkan jempol tangannya kepada Mohzan yang terus memberi semangat dipinggir lapangan. Anak itu baru berumur 13 tahun, kemampuannya bermain bola sudah diatas rata-rata teman sebayanya.Kesebelasan Rangga nampak berpelukan ditengah lapangan. Wasit meniup pluit dan permainan bola kembali dimulai.Sekarang bola dikuasai oleh adit kesebelasan lawan. Adit mengoper kepada Ryan. "Oper kembali ke Adit Yaaan...! Ya ya begitu.... Tendang Diiiit...!!! Hahhaha gooool...!!!" Mohzan berteriak senang melihat adik-adik angkatnya bermain.Kedua kesebelasan bermain penuh semangat. Keringat membanjiri tubuh kecil mereka. Mohzan kemudian memberi isyarat untuk menyudahi permainan. Anak-anak dari kedua kesebelasan itu membubarkan diri dan ber
Adzan magrib sudah berkumandang dari pengeras suara di sebuah mesjid yang tidak begitu jauh dari bangunan kosong tempat tinggal para tuna wisma dan anak jalanan.Mohzan dan rombongannya baru saja memasuki bangunan yang agak tua itu. Bangunan terbengkalai itu nampaknya akan dibangun sebuah Mall. Tapi karena pihak pengelola tidak bisa menyelesaikan izin membuat bangunan dari pemerintah, maka bangunan besar itu sampai kini terbengkalai begitu saja. Karena kosong, tempat itu akhirnya menjadi rumah bagi para tuna wisma.Hari sudah mulai gelap pertanda malam akan segera menjelang. Puluhan anak-anak jalanan nampak tengah berwudhu dengan air yang ada didalam beberapa drum plastik. Drum plastik itu memang sengaja digunakan untuk menampung air hujan. Air itu digunakan oleh mereka yang tinggal disana untuk mandi dan keperluan sehari-hari. Tapi jika musim panas tiba, maka sudah barang tentu mereka tidak bisa menampung air. Tapi syukurlah tidak jauh dari gedung tu
Assalamualaikum..!""Waalaikumsalam" Desma dan nenek Aisyah serempak menjawab salam dari Mohzan yang sudah berdiri diambang pintu. Pakaian dan wajahnya sedikit kotor juga kusut."Dari mana Nak, kok terlambat pulang. Berkali-kali mama telponin tapi tidak ada jawaban. Chat juga centang satu." Desma memberondong pertanyaan pada putranya dengan nada cemas."Maaf Ma, hp Mohzan abis baterai.Tadi Mohzan ke gedung tua, disana tidak bisa ngecas hp." Sahut Mohzan menjelaskan sambil mencium punggung tangan ibunya. "Ooh.." Jawab Desma dengan perasaan lega."Neneeeek...!! Nenek pasti rindu kan sama cucu nenek yang ganteng ini.." Ujar Mohzan lalu mendekati nenek Aisyah yang sedang duduk diatas sebuah kursi dihadapan meja makan. Diatas meja makan nampak beberapa piring dan mangkuk berisi makanan. Sepertinya nenek Aisyah baru saja selesai makan malam.Nenek Aisyah mengembangkan kedua tangannya bersiap menyambut tubuh
Beberapa anak yang agak besar nampak tengah sibuk menyisihkan barang-barang bekas. Mereka mengelompokkan sesuai jenis masing-masing. Ada botol bekas, tutup botol, kaleng minuman, sendok plastik dan beberapa barang lainnya. Semua barang-barang itu sudah dicuci bersih dan dihamparkan di atas sehelai terpal berwarna biru tua."Sudah kering semua ?""Sudah Bang !" Jawab Aditya mewakili yang lain."Oke, yang ini dipotong seperti ini. Potongan yang atas kumpulin sebelah sini dan yang potongan bawah masukkan kedalam kardus ini." Mohzan memberi komando."Mau kita jadikan apa botol-botol ini Bang ?" Rangga nampak belum memahami tujuan Mohzan."Sebagian kita jadikan tempat menyimpan pernak-pernik seperti koin, jarum, benang dan banyak - barang kecil lainnya." Mohzan memaparkan dengan sabar."Terus nanti disambung dengan apa Bang ?" Rangga masih penasaran dan bertanya kembali."Sambungnya pakai ini !" Ujar Rangga memperlihatkan satu ikat resleting ber
Setelah semua rombongan membubarkan diri dan meninggalkan tempat itu, Mohzan memerintahkan adik-adiknya mengangkat semua kardus-kardus yang sudah tertumpuk menggunung. Beberapa karung beras juga ada disana.Kemudian mereka berkumpul didalam gedung tua. Satu persatu kardus itu mereka buka."Waaah... Ada baju..!" Seru Jery bersorak gembira. "Nah ini celana." Seru yang lainnya. Ada juga selimut, tikar dan makanan berupa mi instan, beras, sarden, kue-kue, susu dan banyak macam lainnya.Mohzan tersenyum bahagia melihat adik-adiknya bergembira. Tawa lepas mereka terdengar riang gembira. Walaupun banyak barang-barang yang mereka terima, namun mereka tidak nampak berebut apalagi bertengkar.Semua barang-barang itu disusun rapi disudut ruangan. Walaupun mereka anak-anak jalanan, tapi Mohzan mengajari mereka untuk selalu menjaga kebersihan dan kerapian."Bang lapar, ayo masak Bang..!" Seru Yuda menggoyang-goyang lengan Arya."Dik, masak nasi ya... Yuda sudah
Ramona nampak terharu menonton video yang sedang ia tonton dari channel YouTube. Dua video itu sudah ditontonnya berkali-kali. Video pertama adalah kejadian dimana Mohzan nampak membelikan bakso untuk puluhan anak jalanan. Video itu lengkap dari awal kedatangan mereka sampai akhir. Video kedua adalah aksi mahasiswa dan masyarakat yang datang berbondong-bondong membantu Mohzan. Suasana haru dalam video itu membuat mata Ramona ikut berlinang walaupun ia sudah puluhan kali memutar dan menonton video itu namun hatinya tetap mengharu biru.Perlahan ia merasakan kekaguman yang semakin berlipat ganda pada Mohzan."Sudahlah ganteng, pintar dan baik hati pula. Sungguh makhluk Tuhan yang sangat sempurna." Hati Ramona membathin. Benih-benih cinta pertama ia rasakan mulai tumbuh dihatinya."Ngapain kamu..?" Tanya Khalista tiba-tiba. Ia dari tadi memperhatikan tingkah Ramona.Khalista dan Ramona memang tinggal serumah. Ayah Khalis
"Bang Mohzan..!!" Khalista berseru riang didepan pintu. Didalam ruang belajar ia melihat Mohzan sedang berbincang serius dengan seorang gadis manis dengan rambut dikepang dua dibelakang kepalanya. Sontak wajah ceria Khalista mendadak berubah masam.Mohzan menoleh ke ambang pintu yang terbuka lebar. Disana ia menemukan seraut wajah yang kini sedang menatap Soraya yang juga sedang menoleh ke arah Khalista. Mohzan melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangannya. Disana waktu sudah menunjukkan jam 6 sore. Itu artinya mereka sudah tidak memiliki waktu lagi untuk melakukan proses belajar mengajar."Abang pikir kamu tidak datang Khalista. Kok kamu datang sendiri, mana Ramona..?" Pertanyaan Mohzan diakhir kalimat ini semakin membuat hatinya yang udah panas menjadi semakin membara."Abang kok cuma nanyain Ramona sih. Aku sudah sampai disini tapi malah Ramona yang diperhatikan." Protes Khalista semakin cemberut.Mohzan menjadi sedikit salah tingkah." Ya b
Ucapan Alpan diatas ring membuat semua keluarga besar dan orang-orang dekat Mohzan terkejut beberapa saat lalu tersenyum simpul juga beberapa detik kemudian. Tepuk tangan meriah dari semua hadirin membuat wajah Mohzan sedikit merona merah.Sementara itu Ramona terlihat gelisah. Beberapa kali gadis itu memperbaiki syal yang melilit dilehernya. Keringat dingin tiba-tiba saja membanjiri kening gadis itu. Ia sulit menggambarkan perasaannya saat ini.Dalam hati Ramona yakin kalau Mohzan akan memilih Khalista. Khalista sudah menjadi gadis yang baik dan terlihat akrab dengan Mohzan dan keluarganya.Walaupun Ramona telah mempersiapkan mentalnya sejak lama, tapi untuk melihat langsung Mohzan melamar Khalista ia merasa belum sanggup.Sementara itu Alpan dan Mohzan sudah turun dari ring. Kedua pemuda gagah itu berjalan beriringan menuju suatu titik dimana seluruh keluarga mereka duduk berderet disana.Pertama kali Mohzan menemui Desma. Ia menyalami wanita yang telah me
Mohzan, Tuan Junara dan Tuan Satya serta Tuan Besar Sudarta yang sudah berdiri berjejeran diatas ring, kini terlihat saling berpandangan. Mereka bingung harus berbuat apa, sedangkan Mr. Vincent terus saja meratap menyebut asma Allah dengan air mata berlinangan.Mohzan akhirnya mendekati Mr. Vincent dan berjongkok disisinya serta memegang lembut bahu pria bule itu.“What I can do for you.?” Tanya Mohzan lirih setengah berbisik ditelinga Mr. Vincent. Mr. Vincent menoleh ke arah Mohzan yang menatap lembut kepadanya.Dengan bibir bergetar Mr. Vincent menyahut “Help me and teach me to be a moslem.”“Are you sure..?” Mohzan kembali bertanya untuk memastikan keinginan Mr. Vincent untuk menjadi seorang muslim.“Yes.. very sure..!” Sambut Mr. Vincent tegas dan mantap.Tangan Mr. Vincent menggapai bahu Mohzan dan Mohzan mengerti kalau Mr. Vincent ingin berdiri. Mohzan membantunya lalu Tuan Satya dan Tuan Junara tanpa dikomando ikut serta pula menuntun Mr. Vincent
Bunyi lonceng dipukul satu kali menandakan ronde kedua segera akan dimulai.Mr. Vincent sudah sepenuhnya mampu menguasai dirinya. Sebagai seorang olah ragawan yang penuh pengalaman tentu stamina tubuhnya sudah terlatih dengan berbagai insiden dalam pertandingan. Namun untuk kali ini ia sudah tidak mau lagi meremehkan lawan. Hatinya sedikit mulai berangsur percaya dengan yang namanya keajaiban Tuhan. Tapi ia ingin mengujinya lebih jauh lagi. Secuil keyakinannya masih diselimuti segudang rasa tidak percaya. Prosentasenya masih sangat kecil.Mr. Vincent sudah berdiri dan Mohzan pun mengikutinya. Mereka kini tegak berhadapan. Si wasit plontos mulai memberi aba-aba. Kepalanya yang botak licin kadang memantulkan cahaya lampu yang jatuh kekepalanya sedikit membuat silau mata penonton. 😂Pada ronde kedua ini Mr. Vincent mengganti jurusnya. Ia berdiri tegak lurus dengan satu kaki diangkat dan paha datar sampai kelutut. Satu tangannya juga diangkat dan telapak tangannya
Tepuk tangan sudah mereda. Suasana semakin mencekam begitu wasit mempertemukan Mohzan dengan Mr. Vincent secara berhadap-hadapan.Lelaki berjas hitam bersiap dan kini mulai membacakan aturan main pertarungan itu dalam bahasa Inggris. Kedua petarung menganggukkan kepalanya tanda mengerti.Setelah pria berstelan hitam selesai membacakan aturan main dalam bahasa Inggris, kemudian giliran lelaki berjas putih yang akan menterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.“Aturan pertandingan ini adalah :1. Pertandingan akan dilaksanakan selama 12 ronde dan durasi setiap ronde adalah 3 menit, kecuali salah satu petarung menyatakan menyerah dengan mengangkat tangannya atau kode lain jika keadaan tidak berdaya.2. Waktu istirahat 1 menit.3. Pertandingan dianggap selesai jika salah satu petarung terluka parah dan dinyatakan tidak layak lagi mengikuti pertandingan.4. Petarung diperbolehkan menggunakan jurus apapun yang dikuasainya tanpa harus mengikuti jenis be
Bab 111. Duel 2.(Ramona sudah berada disini..!) Itulah pesan singkat yang dikirimkan oleh Khalista. Alpan memutar kepalanya menoleh kearah deretan penonton dibelakang juri. Disana ia melihat Ramona duduk bersebelahan dengan Khalista. Alpan berfikir sejenak lalu bergegas meninggalkan tempat ia berdiri saat itu. Ia terlihat menemui beberapa orang dibelakang ring. Mereka berbincang beberapa saat dan nampak beberapa orang yang ditemui Alpan mengangguk-anggukkan kepalanya.Sementara itu waktu pertarungan tinggal sepuluh menit lagi. Mr. Vincent terus saja berkeliling ring memamerkan gerakan-gerakan karate yang tujuannya tak lain adalah untuk menjatuhkan mental lawan.Sedangkan Mohzan memilih tetap duduk disebuah bangku disudut ring. Ditangan kanannya ia memegang sebuah botol air mineral.Sikap Mohzan yang tak bergeming menciptakan berbagai pendapat orang-orang yang menonton duel itu. Baik yang berada langsung di gedung olah raga itu maupun yang sedang menonton dilayar
Gedung olah raga dipusat kota Jakarta semakin ramai dikunjungi para calon penonton yang ingin menyaksikan langsung pertandingan duel antara Mohzan dengan Mr. Vincent. Kepada setiap calon penonton dijual satu lembar tiket yang harganya tidak terlalu mahal. Hasil penjualan tiket itu sudah disepakati akan diberikan kepada masyarakat yang berekonomi lemah dan akan disalurkan melalui dinas sosial. Hal itu menjadi persyaratan mutlak dari Mohzan sebelum menyetujui pemungutan biaya dari pertunjukkan itu.Karena besarnya gedung tidak mencukupi untuk menampung semua penonton yang hadir, maka diluar gedung disediakan layar yang sangat besar agar penonton yang tidak berhasil mendapatkan tiket tetap bisa menyaksikan jalannya pertandingan.Satu persatu tamu kehormatan memasuki gedung itu. Mereka datang dari berbagai negara guna untuk menyaksikan langsung pertandingan yang sungguh tidak biasa ini. Mereka mempunyai tugas dari negara mereka masing-masing untuk memberikan keterangan resmi s
Sabtu pagi dikediaman Tuan Besar Sudarta.Kesibukan terlihat diruang makan pagi itu. Seluruh keluarga Tuan Besar Sudarta berkumpul mengelilingi meja makan. Ratmi terlihat sibuk melayani dengan menata hidangan diatas meka dibantu oleh Desma dan ibu Aisyah.Sebuah televisi dengan layar lebar puluhan inci tergantung didinding menayangkan berita pagi.Mohzan duduk berdampingan dengan Alpan dan Tuan Satya berdekatan dengan Tuan Junara. Disamping Tuan Junara ada Desma lalu ibu Aisyah. Sedangkan Tuan Besar Sudarta berdampingan dengan Astuti istrinya yang kini tengah malayaninya dengan mengoleskan slai mangga kepotongan roti yang merupakan kesukaan Tuan Besar Sudarta.“Bagaimana Mohzan..? Mohzan sudah siap menghadapi Mr. Vincent malam ini.?” Tanya Tuan Junara kepada Mohzan yang sibuk memotong roti dengan pisau kecil diatas piring datar.“Insya Allah Pa !” Jawab Mohzan tenang setenang ia mengunyah makanan dimulutnya.“Pemirsa.. hari
“Ya sudah kalau begitu Bu Anggi. Tidak apa-apa kalau Khalista main disini dulu. Asal Bu Anggi tidak direpotkan.” Sahut Danar sangat sopan.“Wuuuiiih... Inikah yang disebut dengan tobat..? Bertanyalah Anggita kepada dirinya sendiri. Ia menyoroti punggung lelaki yang baru saja berbalik badan menuju pintu pagar rumahnya lalu menghilang.Anggita memutuskan untuk kembali keruang tamu rumahnya. Ia belum puas untuk mengintrogasi anak orang. (Hmm.. kepo juga nih si Ibu..😀😀😀)“Tadi Papamu menanyakan kamu Lista..!” Ujar Anggita memberi tahu Khalista. Namun sepertinya gadis itu tiada bergeming. Ia malah menatap sebuah foto berbingkai indah yang terpajang didinding ruang tamu Anggita.“Berliana... Seandainya kamu masih ada, aku pasti bisa curhat kepadamu. Semakin besar ternyata beban hidup bukan semakin ringan Liana.” Ratap Khalista kepada foto Berliana yang merupakan teman bermain kecilnya.Anggita jadi sedih mendengar ratap
“Alhamdulillah, kita sudah bisa kembali kerumah kita Lista.” Ujar Danar setelah selesai beres-beres rumah. Khalista baru saja pulang dari sekolah.“Iya Pa, syukurlah Tuan Satya kini sudah berubah baik. Kalau tidak entah apa nasib kita selanjutnya.” Jawab Khalista yang ikut merapikan beberapa barang diruang tamu.Sepertinya rumah itu dibiarkan kosong begitu saja, buktinya tidak ada barang yang berpindah tempat. Hanya debu tebal menutupi dimana-dimana.“Pa, Lista rindu sama Mama Santi dan Ramona. Kalau mereka ada disini tentu akan lebih ramai dan menyenangkan.” Kata Lista menghentikan pekerjaannya. Ia duduk bermenung diatas sofa.“Hmmm...!!” Danar menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia juga sangat merindukan istri dan anak tirinya itu. Tapi ia tidak tahu dimana mereka berada.Danar berjalan lalu duduk disamping Khalista. Pikirannya juga ikut menerawang kemasa-masa dimana mereka masih tinggal bersama